[Mas, bulan depan bisa enggak kirim uang lebih. Ari minta di sunati]
Dengan cepat jari-jari Rini mengetik pesan untuk suaminya. Sebulan lagi anak sulungnya akan naik ke kelas enam, itu artinya ia harus menepati janjinya untuk menyunatinya.[Aku usahakan ya, Dek. Tapi kalo enggak bisa kamu cari utangan dulu di situ, nanti aku yang bayar]Rini mencebikkan bibir membaca balasan dari suaminya. Jawaban yang sama setiap ia meminta uang lebih untuk membeli keperluan anak-anaknya.[Tapi Ari sudah besar, Mas. Dia malu karena satu kelas dia sendiri yang belum sunat. Kamu jadi Bapaknya mbok ya mikir]Dengan perasaan geram Rini kembali membalas pesan Budi. [Ya, mau gimana lagi, kerjaan lagi susah, Dek.]“Susah kok tahunan,” gerutu Rini.[Bulan depan dan seterusnya enggak usah kirim uang, aku sudah tak butuh uangmu]Setelah mengirim balasan untuk Budi Rini melempar kasar ponselnya ke atas ranjang. Percuma saja di meminta uang pada suaminya kalo ujung-ujungnya di suruh hutang. Lagi pula sejak awal Rini terkenal pantang hutang, ia lebih baik hidup apa adanya dari pada terjerat hutang. Sudah hampir tengah malam, tapi Rini masih terjaga. Begitu banyak masalah yang bercokol di kepala membuat matanya enggan terpejam. Ia melirik dua bocah yang sudah tertidur pulas di sampingnya, anak yang ia besarkan dengan hidup yang serba kekurangan. Hasil kerjanya sehari-hari hanya cukup untuk makan, sedangkan kebutuhan lainnya semakin bertambah dan suaminya semakin hari semakin tak bisa di andalkan. Rini mulai berpikir mungkin sudah saatnya ia menggunakan uang simpanannya, apa pun risikonya nanti yang terpenting adalah kebahagiaan keluarganya.**“Mbak Rini,” sapa seorang wanita yang mengendarai motor matic besar dengan wajah yang tertutup helm.“Ya, siapa ya?” Rini mengurungkan niatnya melangkah dan berbalik mengamatinya.“Aku Ina, Mbak. pangling, ya?” Ina membuka helm menampilkan wajah bermake up tebal dengan lipstik berwarna merah menyala. Rambutnya yang di cat pirang membuat penampilannya semakin paripurna.“Owalah, Mbak Ina. Ya mesti pangling, lha wong jadi cantik banget sekarang.” Rini mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.Ina adalah wanita yang sering di banding-bandingkan dengannya. Sama-sama memiliki suami yang bekerja di luar negeri tapi bernasib berbeda. Suami Ina yang bekerja di kapal asing sukses mengangkat derajat keluarganya, berbanding terbalik dengan nasib Rini yang semakin terlunta-lunta. “Mbak Rini dari mana atau mau ke mana?” tanya Ina ramah.“Habis dari bank mau pulang, Mbak. Lagi nunggu angkutan.” “Wah, aku lupa sekarang tanggal muda, pasti habis ambil uang bulanan ya, Mbak?”Rini tersenyum sekilas lalu mengangguk. Sebenarnya tujuannya ke bank bukan untuk mengambil uang, tapi menyimpan uang, tepatnya menyimpan uang yang setiap bulan dikirimkan orang misterius padanya.Semakin bertambahnya uang yang ia terima, Rini berpikir jika rumahnya bukanlah tempat yang aman untuk menyimpannya. Walaupun tak ada yang tahu ia memiliki uang banyak tapi tak menutup kemungkinan jika rumahnya di masuki orang tak bertanggung jawab. Maka dari itu ia memutuskan untuk menyimpannya di bank. Lagi pula jika uang itu tetap di rumah, ia semakin tergoda untuk memakainya.“Pulang bareng aku aja, yuk!” tawar Ina.“Tapi apa Mbak Ina sudah mau pulang?” tanya Rini ragu, ia segan jika harus nebeng dengan Ina. Walaupun bertetangga tapi mereka jarang sekali berinteraksi.“Iya, kebetulan aku mau pulang, yuk! Nanti keburu panas banget.”Rini bergegas naik ke atas motor dengan bodi besar itu dari pada terus menunggu angkutan yang tak kunjung datang. Jarak bank dari rumah Rini memang terbilang cukup jauh, maka dari itu ia memilih menggunakan angkutan umum dari pada sepeda.“Kita mampir sebentar, Mbak. Aku lapar.” Motor yang Ina kendarai tiba-tiba berhenti di area pertokoan.“I-iya,” Seketika Rini menampilkan wajah gusar saat sadar jika ia sedang berdiri di depan warung bakso. “Kita makan bakso dulu, Mbak,” ajak Ina.“Si-silakan, Mbak. Aku tunggu di sini.” Rini bingung karena ia tak cukup membawa uang.“Jangan khawatir aku yang traktir, kebetulan aku baru dapat rezeki,” ucap Ina seakan tahu isi hati Rini.“Enggak usah repot-repot, Mbak.”“Halah, kayak sama siapa.” Ina menyeret Rini masuk ke dalam warung bakso yang katanya terkenal enak.Walaupun hanya kenal sebatas tetangga, tapi Rini bisa menyimpulkan jika Ina adalah orang yang baik. Dari sikap dan penuturannya Ina juga termasuk orang yang supel dan tidak sombong, nyatanya dia mau duduk bersama dengan Rini yang penampilannya sangat kontras dengannya. “Kiriman dan suami lancar, Mbak?” tanya Ina sembari di sela-sela mereka makan.“Alhamdulillah, Mbak.”“Udah berapa tahun Budi merantau?” “Hampir tujuh tahun, Mbak.”“Wah, udah lama juga, ya?”“Lama tapi enggak menghasilkan apa-apa. Beda dengan Mbak yang bisa sukses,” keluh Rini.“Itu dulu, sekarang udah dua tahun suamiku tak pernah kirim uang.”Rini mendongak mendengar pengakuan wanita yang duduk di hadapannya. Kalo sudah dua tahun tidak dikirimi suaminya, lalu bagaimana selama ini Ina dan anak-anaknya bisa hidup? Sedangkan setahu Rini, Ina tak bekerja.“Ah, Mbak suka bercanda, deh!” Rini berusaha mengurai ketegangan di antara mereka.“Beneran, Mbak, Aku enggak bohong. Bahkan demi anak aku terpaksa hidup nista.”“Maksudnya?” “Jangan pura-pura enggak tahu, Mbak.”Sudah menjadi rahasia umum, jika Ina adalah gundik juragan Karyo, tepatnya istri keempat yang dinikahi secara siri.“Tapi mengapa, Mbak?” tanya Rini seolah tak percaya.“Suamiku nikah lagi, Mbak. Dia sudah sama sekali tak memedulikan aku dan anak-anak. Sebenarnya aku sudah tahu sejak lama, tapi aku memilih diam karena dia tetap rutin mengirimi kami uang bulanan, namun seiring berjalannya waktu uang yang dia kirimkan semakin berkurang. Sejak itu hidupku mulai morat-marit,” ungkap Ina dengan mata berkaca-kaca. Ia menarik nafas dalam kemudian menyeruput sedikit es teh di hadapannya.Rini memilih diam, tak menanggapi cerita Ina. Ia merasa iba karena ternyata banyak perempuan yang bernasib sama dengannya. “Aku enggak tahu lagi harus bagaimana, terlebih anak-anakku sudah terbiasa hidup mewah membuat pikiranku semakin kacau. Hingga suatu saat Mas Karyo datang dan menawarkan begitu banyak uang, akhirnya aku tergoda dan terjebak hingga sekarang.”Mendengar cerita Ina, Rini seketika mengingat hidupnya. Rasanya kisah Ina sama persis dengan kehidupan yang ia jalani. Bedanya ia tak tahu Budi menikah lagi atau tidak.Sama dengan Ina yang di tawari banyak uang oleh juragan Karyo, Rini juga rutin di kirimi uang oleh seorang lelaki yang bisa saja mempunyai maksud terselubung seperti juragan Karyo. Walaupun sekarang ia masih berpikiran lurus, tapi tak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti tergoda, bahkan saat ini pun ia sudah mulai tergoda. Akankah Rini bernasib sama dengan Ina?“Astaga, benar-benar keterlaluan si Sari,” pekik Wulan sembari menunjukkan selembar uang berwarna ungu.“Kenapa?” tanya Rini heran.“Masa iya kondangan Cuma sepuluh ribu.”“Ah, kamu salah kali, paling tadi ada yang jatuh pas kamu ambil uangnya,” ucap Rini sembari merapikan amplop kosong di hadapannya.“Beneran cuma sepuluh ribu. Liat, nih” Wulan membolak-balikkan uang di tangannya.“Enggak apa-apa, lagian ini hanya syukuran. Jadi mereka enggak wajib ngasih amplop."Kemarin Rini menepati janjinya untuk menyunati anak sulungnya. Seperti umumnya, ia membuat selamatan dan menyediakan makan juga bingkisan untuk para tetangga dan saudara yang datang. Bermodalkan uang dari orang tuanya dan sedikit uang tabungannya akhirnya ia bisa melaksanakan kewajiban sebagai orang tua, tentu saja tanpa bantuan Budi, suaminya yang tak tahu diri.“Kalo kayak gini kamu rugi, dong! Masak udah makan di kasih bingkisan cuma ngasih sepuluh ribu. Gayanya aja selangit, eh enggak taunya pelit," cibir wanita berginc
“Dimana-mana orang pulang kerja di luar negeri itu beli sawah bukan jual sawah.”Nafas Rini memburu tatkala Budi berniat menjual sawah satu-satunya yang mereka miliki. Meskipun tak terlalu luas dan hanya panen setahun sekali, tapi cukup untuk mencukupi beras yang mereka makan.“Tapi kalo enggak ada duitnya aku enggak bisa pulang, Dek,” ucap suaminya dari balik telepon.Pagi tadi Wulan mengunjungi rumah Rini dan mengatakan jika Budi akan menelepon. Benar saja, baru saja Wulan pergi sebuah panggilan masuk.“Kamu gila ya, Mas? Kamu enggak tahu betapa tersiksanya aku saat orang-orang tanya hasil kerja kamu? Pokoknya aku enggak mau jual sawah itu,” ucap Rini geram.“Jangan ketus begitu, kamu pasti kangen sama aku, kan? Katanya pengen aku pulang.” “Kangen?” Rini mengernyit heran. Mengingat-ingat kapan terakhir kali ia merasakan rindu dengan lelaki yang lebih dari sepuluh tahun menikahinya.Awal-awal kepergian Budi, setiap hari ia merasa ada yang kurang dari hidupnya, bahkan setiap saat ing
"Mbak, beli sayur kentang dua puluh lima ribu, ayam goreng delapan biji, sate telur enam tusuk, kembaliannya tempe goreng." Sari terus menatap pada wanita yang sedang mengulurkan uang berwarna merah padanya. Matanya menyipit tatkala tetangga depan rumahnya yang biasanya datang berpakaian daster lusuh, kini memakai gamis model terbaru berwarna coklat susu lengkap dengan jilbab bermotif bunga."Rini?" Nafas Sari terasa berhenti saat melihat benda berkilau berwarna kuning melingkar di tangan dan jarinya.Hampir enam bulan setelah kepulangan Rini ke rumah orang tuanya, ia berubah drastis. Dengan bantuan Wulan, ia membenahi penampilannya agar terlihat fress. Bukan berarti lupa masalahnya dengan Budi, tapi hanya ingin membuktikan jika ia bisa bahagia tanpa Budi.Berita pernikahan Budi yang begitu cepat menyebar membuat banyak orang merasa iba pada Rini, namun tak sedikit pula yang menganggapnya bodoh karena dulu tak percaya dengan omongan orang lain. Namun Rini tak ambil pusing, yang terp
“Woy, bangun!”Rini terperanjat saat sebuah bantal tiba-tiba mendarat tepat di wajahnya.“Mentang-mentang udah enggak punya suami, bangunnya telat terus! Tuh anakmu pada kelaparan,” teriak wanita bertubuh langsing yang tiba-tiba masuk ke kamarnya.“Aku ngantuk, Mbak. Tolong masakin, dong.” Rini meregangkan badan sebentar lalu kembali menarik selimutnya, tak memedulikan kedatangan Ranti-kakak tertuanya. Rini merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara. Kakaknya Ranti dan Rafli, masing-masing sudah berkeluarga dan mempunyai rumah sendiri-sendiri. Dan adiknya Riski belum menikah dan masih bekerja di luar kota.Semalam memang Rini susah tertidur, sejak sore hingga tengah malam, ia hanya mondar-mandir tak jelas di kamarnya. Lelah bekerja seharian tak membuat matanya cepat terpejam. Bagaimana tidak, baru saja satu masalah selesai, muncul lagi masalah baru. Rini masih terus berpikir bagaimana cara ia menjelaskan perihal uang yang di pakai untuk modal usaha pada kedua orang tuanya.“Bapak h
"Apa Mas yang setiap bulan mengirimiku uang?" tanya Rini saat berjalan beriringan bersama Tanto menuju tempat parkir. Meskipun bukan saat yang tepat, tapi kesempatan bertemu anak Bu Riyati itu mungkin takkan terulang dua kali.“Ya,” jawab lelaki itu singkat sembari terus berjalan. "Tapi kenapa? Bukankah kamu tahu aku wanita bersuami? Bisa menimbulkan fitnah jika ada orang lain yang tahu aku menerima uang dari lelaki lain setiap bulan." Rini berhenti dan menoleh pada lelaki berkulit bersih dan berkumis tipis itu."Aku hanya ingin memberi saja," jawab Tanto yang masih menunjukkan wajah datar.Di usianya yang sudah matang tak membuat Tanto berani menghadapi makhluk bernama wanita. Mungkin itulah yang membuatnya betah hidup sendiri hingga sekarang."Aku sudah mengumpulkan uang yang kamu kirimkan, namun ada sebagian yang aku pakai. Besok kukembalikan semua, terima kasih telah membantu kami selama ini," lirih Rini sembari menghentikan langkahnya.Sebenarnya masih banyak hal yang ingin ia
“Bapak kok enggak pernah telepon, Ma?” tanya Bagus sembari sibuk memainkan robot di tangannya. Rini yang tengah sibuk menyetrika hanya menoleh. Entah bagaimana caranya memberitahu pada anak bungsunya jika orang tuanya telah berpisah. Tak pernah mengenal sosok ayah sejak bayi, membuatnya kesulitan membedakan antara berpisah karena tuntutan pekerjaan dengan berpisah karena perceraian.Walaupun sudah berpisah, Seharusnya hubungan ayah dan anak tetap berjalan dengan baik. Tapi sebagian besar lelaki jika sudah menemukan keluarga baru akan lupa pada keluarga lamanya.“Enggak usah tanya-tanya Bapak lagi, anggap aja Bapak sudah mati. Lagian dia enggak bakal ingat kamu!” sahut Ari yang juga tengah duduk di samping Bagus.“Memangnya kenapa, kak?” Sejenak Bagus menghentikan aktivitas bermainnya. Ia beralih memandang Ari seolah meminta penjelasan atas perkataan kakaknya tadi.Berbeda dengan Bagus, anak sulung Rini sudah sangat paham dengan kondisi orang tuanya. Tanpa diceritakan, anak yang baru
[Assalamualaikum Rin, bagaimana kabar Ari dan Bagus? Aku baru saja kirim uang buat jajan mereka, tolong di terima, ya]Tangan Rini bergetar saat sebuah pesan masuk dari nomor yang sudah sangat ia hafal. Alih-alih membalas, Rini malah menghapus pesan itu.[Maafkan aku, Rin. Bisakah kita baik-baik saja demi anak-anak?][Rini?][Ini aku Budi][Aku masih Bapaknya Ari dan Bagus Rin][Kamu dosa jika berniat menjauhkan kami]Rini tersenyum miris membaca pesan yang masuk bertubi-tubi. Sekian lama menghilang, kini tiba-tiba datang dan di bilang baik-baik saja? Benar-benar enggak waras si Budi. Apa dia tahu, betapa sakitnya bertahun-tahun diselingkuhi dan tak diberi nafkah yang cukup? Apa pun alasannya semua sudah tak akan baik-baik saja, bahkan demi anak sekalipun.Rini segera memblokir nomor ponsel Budi. Bagaimanapun juga dia belum siap untuk berhubungan kembali dengan mantan suaminya sekalipun itu demi anak. Ia masih ingin tenang dan menjalani hari-harinya serta fokus mengurus anak-anakny
“Wulan!” panggil Rini yang masih duduk di atas motor.Wanita yang sedang mengobrol sambil mengunyah bakwan itu langsung menoleh diikuti oleh beberapa ibu-ibu yang lain.“Hay, Rin. Sini dulu.” Wulan melambaikan tangan mengisyaratkan agar Rini turun terlebih dahulu.Dengan ragu Rini perlahan turun dan menghampiri beberapa ibu-ibu yang tengah menatapnya serius.“Rini apa kabar?” tanya seorang wanita berdaster kuning yang berdiri tepat di samping kanan Wulan.“Ba-baik, Bu RT. Ibu-ibu semua apa kabar?” Rini menyalami satu persatu ibu-ibu mantan tetangganya.“Wah, Janda memang beda, ya?” celetuk seorang lagi wanita yang baru saja keluar sambil membawa semangkuk besar sayur kentang.“Rini, apa kabar? Lama enggak ketemu, ya?” tanya wanita yang memakai celemek hijau di tubuhnya.“Ba-baik, Mbak Sari. Mbak Sari apa kabar?”“Ya, seperti yang kamu lihat, aku baik-baik juga.” Sari tersenyum sebelum kembali fokus pada dagangannya.Kalo saja tak ingin bertemu Wulan, Rini tak ingin lagi ke kampung ini
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men