“Bagus putus sama Andin.”“Putus?”Rini mengangguk lemah, ia baru saja melaporkan informasi yang baru saja diterima dari anak keduanya pada suaminya. Tanpa bertanya lebih jelas tentang masalah mereka, ia hanya bisa berusaha membesarkan hati anaknya serta menyuruhnya untuk tetap fokus pada tujuannya saja.Meski begitu Rini sedikit khawatir jika kandasnya hubungan keduanya akan berdampak buruk pada perasaan Bagus. Ia tak mau anaknya semakin merasa trauma hingga memutuskan untuk sendiri selamanya seperti dulu.“Syukurlah kalo begitu, kita tak perlu lagi berhubungan dengan keluarga sombong itu,” ucap Tanto datar.“Jangan terlalu lama menyimpan dendam, itu enggak baik. Lagi pula keluarga Andin dan Doni bisa saja berbeda.” Rini mengingatkan.“Halah, orang masih satu garis ya sama aja!”“Siapa tahu mereka sudah berubah.”Tanto tak menjawab, ia sudah malas membahas tentang keluarga yang dulu pernah meremehkan keluarganya. Meski kata Dwi, mantan suaminya kini sudah mulai peduli dengan anaknya
Dua tahun kemudian.“Apa rencana kamu selanjutnya?” “Bagus belum tahu, Yah.”Tanto berdiri memandang hamparan tanaman cabai keriting di hadapannya. Buahnya yang lebat dan mulai memerah sukses memanjakan matanya. Kurang dari sepuluh hari, cabai itu akan bisa dipetik setiap tiga hari sekali. Jika cuacanya mendukung dan pemupukannya rutin, cabai itu bisa dipanen sampai empat bulan ke depan. Bibir Tanto terus menyunggingkan senyum, ia begitu bangga dengan kerja keras Bagus karena berhasil mengolah lahan yang tadinya hanya dipenuhi semak belukar menjadi tanaman yang bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Jika harga sejak awal panen sampai akhir panen stabil di angka minimal dua puluh ribu, makan untuk lahan seperempat hektar miliknya bisa menghasilkan uang paling sedikit seratus juta. Itu Itulah mengapa jika ditekuni, pekerjaan petani tak kalah hasilnya dengan dirinya yang merupakan pegawai negeri sipil.“Mau coba kerja di perusahaan? Atau mau ikut CPNS?” tawar Tanto.“Aku pikir-pikir dul
[Maaf, aku gagal lagi, Yah]Bagus mengirimkan sebuah pesan pada Tanto disertai dengan gambar bukti jika dirinya tak lolos kualifikasi calon karyawan sebuah perusahaan distributor mobil terkenal. Ini bukan yang pertama kali ia gagal melainkan sudah lebih lima kali seleksi di perusahaan yang berbeda dan hasilnya tetap nihil.Tak ingin merasa sedih, Bagus memacu motornya ke salah satu ladang yang jaraknya hanya seratus meter dari rumah. Dari tepi desa, ia bisa melihat tanaman cabainya berdaun kuning yang ibarat manusia berarti terkena penyakit parah. Beberapa kali mencoba menanam baru kali ini Bagus merasa rugi besar. Bisa dipastikan hasil panennya kali ini tak mendapatkan untung dan hanya bisa untuk menutup modal.Bukan tanpa sebab, tapi rasa taatnya pada orang tua memaksanya untuk menuruti kemauan mereka. Hampir tiga bulan ini Bagus sibuk mencari pekerjaan kesana kemari atas rekomendasi dari Ayah dan Kakaknya. Mereka memang selalu mendukung kemauan Bagus yang hanya ingin berprofesi s
“Selamat ya.”Andin mengangguk dan membalas pelukan sahabatnya. Hari ini adalah momen bersejarah dalam hidupnya yaitu saat ia berhasil membuka usaha pribadinya untuk pertama kali. Meski bukan sepenuhnya hasil kerja kerasnya karena sebagian besar modal berasal dari Mamanya, tapi Andin bersyukur karena ia tak akan selamanya bekerja di perusahaan orang.Sebagai anak yang lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga pengusaha, Andin awalnya merasa tenang karena menyangka orang tuanya akan mewariskan beberapa usahanya untuk ia kelola selepas kuliah. Namun semua mimpinya seketika ambyar saat sang Papa memutuskan untuk tak memberikan modal padanya bahkan menyetop fasilitas yang selama ini ia terima sebagai balasan atas hidup hedon yang Andin jalani.“Mulai besok, kunci mobil, motor, ATM harus kamu kembalikan. Sebagai gantinya Papa akan memberi uang cash yang akan kamu gunakan untuk hidup satu bulan ke depan,” ucap seorang lelaki pada Andin sebelum ia menjalani kemandiriannya.“Tapi, Pa!”Andin m
“Yang sebelah kanan itu siapa?” tanya Rini sembari menunjuk pada gambar seorang wanita yang berdiri tepat di sebelah Tanto.“Oh itu anak magang,” jawab Tanto santai.“Kayaknya orangnya genit. Liat tatapannya ke kamu.” Rini menyodorkan ponselnya.“Paling Cuma kebetulan posenya lagi begitu.” Rini terus memperhatikan sebuah foto di ponselnya yang merupakan status WA teman kerja Tanto. Beberapa hari yang lalu suaminya baru saja menghadiri pernikahan rekan kerjanya di luar kota. Namun sekian lama menjadi istri Tanto baru kali ini Rini merasa ada yang aneh dengan foto kebersamaan suami dan teman kerjanya. Seorang wanita muda berambut panjang terlihat selalu menempel pada beberapa foto yang ia lihat. Bukan hanya itu, cara wanita itu memandang juga terlihat berbeda karena binar matanya seolah menandakan sebuah rasa tertarik pada Tanto.“Kenapa kamu fotonya deket dia terus, engak ganti posisi?” tanya Rini lagi.“Ya enggak tahu, tahunya Cuma berdiri terus foto, gitu aja. Kamu cemburu?” tebak T
“Enggak usah dilihati terus, langsung hubungin aja kenapa?” Tania merebut ponsel Andin dan segera mencari nama Bagus dalam daftar kontak.“Jangan macam-macam, deh!” Andin merebut kembali ponselnya.Tania tersenyum kecut melihat foto lelaki berambut kribo yang terpampang di meja kerja Andin. Entah apa yang sahabatnya lihat dari sosok itu hingga berhasil membuat cewek populer seperti Andin begitu tergila-gila padanya. “Kalo kamu enggak gercep, bisa-bisa dia disana kepincut sama kembang desa terus nikah muda. Lalu pas kamu pulang besok dia udah jadi bapak-bapak anak dua,” ucap Tania.“Sopan, ya, kalo ngomong. Dia itu enggak bercita-cita nikah muda!”“Mending kamu cari cowok lain dulu, ya itung-itung pelampiasan. Kan udah banyak tuh kandidat yang ngantri nunggu kamu bilang iya. Edo, Bondan, Marsel terus Satria, siapa lagi, ya?” Kayla menyebutkan beberapa lelaki yang saat ini gencar menghadapi Andin.“Buat kamu aja!” Tania heran entah kehidupan seperti apa yang Andin harapkan sehingga
“Gila kamu, Kay!” pekik Hasna--teman kuliah Kayla. “Emangnya kenapa? Serasi, kan?” Kayla menunjukkan gambar yang baru saja di editnya.Hasna menepuk kepalanya saat melihat banyaknya foto Bagus dalam laptop Andin. Bahkan gadis itu sering kali memintanya untuk memfoto mereka secara diam-diam saat keduanya tengah bersama.“Kamu ngeditnya keterlaluan banget!”Hasna menunjuk satu buah foto berpose intim yang diperankan oleh keduanya. Bukan foto asli melainkan hanya hasil editan sebuah aplikasi yang menjadikan foto itu seolah nyata. Hasna bahkan bergidik ngeri karena sahabatnya bisa segila itu dengan lelaki berwajah pas-pasan seperti Bagus.“Kapan aku bisa sedekat ini sama dia?” Kayla membayangkan jika dirinya bisa bebas berdekatan, melihat bahkan menyentuh Bagus. Hal yang sangat sulit dilakukan karena lelaki itu selalu menjaga jarak padanya saat mereka bertemu. Ia mengingat betul entah berapa kali Bagus menampik tangannya saat ia berusaha menggandengnya di acara kondangan kemarin.Semaki
“Bodoh banget kamu, Kay!” Berkali-kali Kayla memukul kepalanya yang sedari tadi malam terus terasa sakit. Ia tak menyangka jika rahasia terbesarnya akan terbongkar secepat ini. Tak ada angin tak ada hujan, Ayahnya tiba-tiba menemukan foto kebersamaannya dengan Bagus. Bukan hanya itu, Ayahnya juga menemukan semua foto yang ia sengaja edit agar memberikan kesan romantis antara dirinya dengan Bagus.Berawal dari laptop Sugeng yang tiba-tiba rusak, ia yang saat itu ingin mengirim sebuah dokumen terpaksa meminjam laptop anak gadisnya. Tak ada hal yang janggal saat lelaki itu menggunakan laptop yang biasa digunakan Kayla untuk kuliah, namun setelah pekerjaannya beres dan mendiamkan laptop tersebut tetap menyala dihadapannya, ia dikejutkan oleh layar laptop yang berubah menjadi gambar dua remaja berbeda jenis yang sedang berdiri berdampingan. Sang gadis terlihat begitu cantik dengan kebaya anggun yang dikenakannya dan sang laki-laki juga tak kalah rapi dengan baju batik yang melekat ditubu
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men