“Enggak usah dilihati terus, langsung hubungin aja kenapa?” Tania merebut ponsel Andin dan segera mencari nama Bagus dalam daftar kontak.“Jangan macam-macam, deh!” Andin merebut kembali ponselnya.Tania tersenyum kecut melihat foto lelaki berambut kribo yang terpampang di meja kerja Andin. Entah apa yang sahabatnya lihat dari sosok itu hingga berhasil membuat cewek populer seperti Andin begitu tergila-gila padanya. “Kalo kamu enggak gercep, bisa-bisa dia disana kepincut sama kembang desa terus nikah muda. Lalu pas kamu pulang besok dia udah jadi bapak-bapak anak dua,” ucap Tania.“Sopan, ya, kalo ngomong. Dia itu enggak bercita-cita nikah muda!”“Mending kamu cari cowok lain dulu, ya itung-itung pelampiasan. Kan udah banyak tuh kandidat yang ngantri nunggu kamu bilang iya. Edo, Bondan, Marsel terus Satria, siapa lagi, ya?” Kayla menyebutkan beberapa lelaki yang saat ini gencar menghadapi Andin.“Buat kamu aja!” Tania heran entah kehidupan seperti apa yang Andin harapkan sehingga
“Gila kamu, Kay!” pekik Hasna--teman kuliah Kayla. “Emangnya kenapa? Serasi, kan?” Kayla menunjukkan gambar yang baru saja di editnya.Hasna menepuk kepalanya saat melihat banyaknya foto Bagus dalam laptop Andin. Bahkan gadis itu sering kali memintanya untuk memfoto mereka secara diam-diam saat keduanya tengah bersama.“Kamu ngeditnya keterlaluan banget!”Hasna menunjuk satu buah foto berpose intim yang diperankan oleh keduanya. Bukan foto asli melainkan hanya hasil editan sebuah aplikasi yang menjadikan foto itu seolah nyata. Hasna bahkan bergidik ngeri karena sahabatnya bisa segila itu dengan lelaki berwajah pas-pasan seperti Bagus.“Kapan aku bisa sedekat ini sama dia?” Kayla membayangkan jika dirinya bisa bebas berdekatan, melihat bahkan menyentuh Bagus. Hal yang sangat sulit dilakukan karena lelaki itu selalu menjaga jarak padanya saat mereka bertemu. Ia mengingat betul entah berapa kali Bagus menampik tangannya saat ia berusaha menggandengnya di acara kondangan kemarin.Semaki
“Bodoh banget kamu, Kay!” Berkali-kali Kayla memukul kepalanya yang sedari tadi malam terus terasa sakit. Ia tak menyangka jika rahasia terbesarnya akan terbongkar secepat ini. Tak ada angin tak ada hujan, Ayahnya tiba-tiba menemukan foto kebersamaannya dengan Bagus. Bukan hanya itu, Ayahnya juga menemukan semua foto yang ia sengaja edit agar memberikan kesan romantis antara dirinya dengan Bagus.Berawal dari laptop Sugeng yang tiba-tiba rusak, ia yang saat itu ingin mengirim sebuah dokumen terpaksa meminjam laptop anak gadisnya. Tak ada hal yang janggal saat lelaki itu menggunakan laptop yang biasa digunakan Kayla untuk kuliah, namun setelah pekerjaannya beres dan mendiamkan laptop tersebut tetap menyala dihadapannya, ia dikejutkan oleh layar laptop yang berubah menjadi gambar dua remaja berbeda jenis yang sedang berdiri berdampingan. Sang gadis terlihat begitu cantik dengan kebaya anggun yang dikenakannya dan sang laki-laki juga tak kalah rapi dengan baju batik yang melekat ditubu
“Bagaimana kabar kamu, Nak?” Wajah Rini terpampang jelas memenuhi layar ponsel milik Bagus.“Baik, Ma.” Bagus berusaha menunjukkan senyum terbaiknya.Meski masalah yang melandanya begitu rumit, tapi ia memutuskan untuk lebih dulu merahasiakan hal ini dari orang tuanya. Ia akan terlebih dulu berbicara pada orang tua Kayla dan meminta kejelasan atas kelanjutan masalah ini. Jika nantinya mereka tetap kekeh menyalahkannya dan memintanya bertanggung jawab, saat itulah Bagus akan berbicara secara langsung pada orang tuanya dan menjelaskan yang sejelas-jelasnya.“Maaf, akhir bulan ini kami enggak bisa pulang. Ayah enggak dapat cuti dan Kak Ari juga dapat tugas luar,” ucap Rini“Enggak apa-apa, Ma.”“Kamu lagi ada masalah? Kok mukamu pucat gitu?”“Biasa, Ma, kecapekan.”Sebagai orang tua, tak mungkin Rini tak merasakan perubahan yang terjadi anaknya. Dari raut wajah yang berbeda saja, ia langsung tahu jika anaknya sedang tak baik-baik saja. Seorang ibu akan selalu mempunyai ikatan batin yan
“Anak Pak lurah kamu embat? Emang enggak ada obat kamu, Gus!”“Apaan sih? Enggak usah teriak-teriak bisa, kan?” Bagus membekap mulut lelaki yang duduk di sampingnya. Ia takut semua orang yang sedang apa yang sedang mereka bicarakan. Untuk meringankan beban pikiran, Bagus terpaksa menceritakan masalah yang menimpanya Pada Edo—teman terdekatnya. Ia berharap Edo bisa sedikit memberi solusi tentang hal apa yang harus ia lakukan selanjutnya.“Terus kamu dipaksa nikah gitu?” tanya Edo setengah berbisik.“Enggak, mereka minta duit dua ratus juta.”“Apa? Du-Dua ratus juta? Gila Pak lurah, jualan anak, dia?” Mulut Edo ternganga seraya membelalakkan mata.“Enggak usah lebay! Biasa aja bisa, kan?” Bagus menoyor kepala sahabatnya.“Kenapa enggak minta dinikahi aja? Kayla udah tekdung belum, sih?” Edo melingkarkan tangannya di depan perut.Lagi-lagi Bagus berusaha membungkam mulut Edo karena sudah ada beberapa orang di sekitar mereka yang mulai mencuri pandang. Pengujung warung bakso yang keduany
“Kalo aja Mas Bagus mau sedikit saja membuka hati, pasti aku enggak akan seperti ini.”Setelah mengaku, kini Kayla duduk dilantai bersandar dinding kos benuansa hello kitty yang ditempati temannya. Di depannya Bagus juga duduk melipat kakinya mendengarkan semua hal yang dirasakan Kayla. Sebagai seorang anak yang berasal dari keluarga terpandang, Kayla merasa hidupnya cukup terkekang karena ia dituntut sempurna oleh kedua orang tuanya. Tak hanya unggul dalam bidang akademik, untuk sebuah pertemanan saja, Kayla diharapkan bergaul dengan teman yang setara dengan keluarganya. Belum lagi sikap orang-orang di sekitarnya yang seolah segan untuk mendekat membuat hidupnya semakin terasa berbeda dengan teman lainnya. Sebagai seorang remaja normal, Kayla mulai merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Tak sekali dua kali ia mengagumi seorang teman lelakinya, tapi mereka malah menjauh karena merasa segan dengan keluarganya. Hingga ia bertemu Bagus, seorang yang ditugaskan sebuah lembaga bela
“Woy, ngelamun aja kamu! Kesamambet hantu sawah baru tahu rasa!”“Apaan, sih?”Bagus menghisap dalam-dalam sebatang rokok ditangannya kemudian membuang asapnya perlahan tanpa memedulikan pertanyaan Dio. Ia fokus berpikir sembari melihat hamparan ladang yang lajur jalannya banyak dipenuhi rumput. Ia beristirahat sejenak sebelum bekerja kembali membuang rumput liar yang sedikit mengganggu tanaman cabenya.Beberapa minggu terbengkalai, Bagus mulai membenahi satu persatu ladangnya. Penanganan yang terlambat membuat jadwal panennya terancam mundur karena pertumbuhan tanamannya sedikit lambat.Kasusnya dengan Kayla memang sudah selesai, tapi masih ada rasa yang mengganjal dihati Bagus akan nasib Kayla saat ini. Berbagai pertanyaan berkecamuk dikepalanya tentang keadaan Kayla. Ia takut jika gadis itu mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari keluarga terutama Ayahnya sendiri. Berkali-kali Bagus mencoba menghubunginya namun sama sekali tak ada jawaban.“Mikirin apa kamu?” tanya Dio sembari
“Aku berangkat, Bude,” pamit Bagus pada Riyati.“Hati-hati dijalan ya, Nak! Salam buat Mama dan Ayahmu.”“Iya Bude.” Bagus mencium tangan Riyati dan memeluknya sejenak sebelum melangkah pergi.Hari ini Bagus memutuskan untuk memulai hari baru dalam hidupnya. Dengan meninggalkan pekerjaan yang di cintainya, Bagus akan kembali ke orang tuanya dan memulai hidup baru sesuai saran kekasihnya. Bukan hanya itu sebenarnya alasannya pergi, Bagus juga ingin menepi dari masalah yang baru saja menderanya dengan memilih tak peduli pada keadaan Kayla saat ini.Menjadi tega adalah pilihan pertama saat hati dan pikiran tak sejalan. Hatinya tetap merasa iba pada keadaan Kayla, namun ia berpikir tak mungkin terus seperti ini karena lebih baik pergi saat ini atau akan lebih menyakiti lagi.“Tolong dirawat sebisanya, Pakde. Terserah nanti pembagiannya bagaimana, aku manut saja. Aku udah bilang Bude semalam,” ucap Bagus pada seseorang yang selama ini membantunya merawat ladang.“Hati-hati di jalan ya, Na
“Maaf Sayang, bukannya ingin berkhianat, tapi aku—“Bagus tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terus menatap nisan dihadapannya dengan penuh rasa bersalah. Seminggu terhitung sejak hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Kayla, wanita yang telah ia pilih menjadi ibu sambung bagi Adiba.“Cintaku tetap sama dan namamu akan kutempatkan pada bagian yang paling spesial dihatiku selamanya. Semoga kamu mengerti.”Terkadang kata hati tak sejalan dengan pikiran. Dua minggu yang lalu, ia nekat meminang Kayla dan memintanya menjadi bagian dari hidupnya.“Terima kasih sudah mau menerima undangan kami Kay,” ucap Bagus pada sosok wanita yang kini memakai topi lebar yang digunakan untuk melindungi wajahnya dari terik matahari.“Sama-sama, Mas. Aku senang kalian mau ngajak aku.”Atas permintaan Adiba, Bagus sengaja mengajak Kayla liburan ke pantai untuk merayakan hari ulang tahun Adiba yang ke enam. Meski hanya liburan sederhana namun kali ini terasa spesial karena ada seorang wanita bera
Bagus menyentuh gundukan tanah merah yang rutin ia kunjungi setiap minggu sejak lima tahun yang lalu. Sebuah bunga lili putih ia letakkan di sana sebelum ia duduk dan berdoa untuk wanita yang telah lama meninggalkannya. “Hai Mama, Diba datang lagi.” Bocah berbaju kuning itu berbicara pada batu nisan yang ia anggap sebagai rumah Mamanya. “Maaf Sayang, mungkin setelah ini kami akan jarang datang, semoga kamu mengerti. Kami akan pindah ke kampung seperti harapanmu dulu. Bukannya kami ingin meninggalkanmu, tapi kami ingin menjalani hidup baru tanpa bayang-bayang masa lalu di sana,” ucap Bagus mengelus lembut nisan mendiang istrinya. Lima tahun telah berlalu, Bagus merasa sudah saatnya ia membenahi hidupnya. Ia yakin Andin tak akan suka jika dirinya terus-terusan terbelenggu dengan masa lalu. Setelah berpikir ribuan kali, Bagus memutuskan untuk mencari tempat yang lebih tenang untuk menata hidupnya kembali, tentu saja dengan Adiba—putri kesayangannya, buah cintanya bersama Andin, bocah m
“Bagus, kamu langsung ke rumah sakit, Andin pendarahan.”Bagaikan tersambar petir disiang bolong, kabar yang baru saja diberikan Papa mertuanya berhasil membuat hatinya hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin istrinya tiba-tiba mengalami pendarahan, padahal beberapa jam yang lalu saat ia akan pergi ke kantor wanita itu terlihat biasa saja. Tak menunggu lama, Bagus segera memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit yang mertuanya sebutkan. Ia tak peduli lagi dengan meeting penting yang beberapa menit lagi akan diadakan atau tender yang mungkin akan hilang karena saat ini yang terpenting adalah menemui Andin secepatnya.Tulang-tulang ditubuh Bagus serasa rontok saat pertama kali ia memandang wanita yang kini terbaring lemah di atas bangkar dengan beberapa alat yang memenuhi tubuh dan wajahnya.“Jangan lupa bahagia, Sayang.” Kata-kata itu terus terngiang saat wanita itu pagi tadi mengantarkannya berangkat kerja. Tak seperti biasanya, Andin memeluknya cukup lama dan m
“Capek?” Bagus mengelus lembut perut Andin yang mulai membuncit.“Heem.” Andin menyeruput jus mangganya hingga tandas lalu beralih memandang Bagus.Saat ini mereka baru saja pulang dari rumah Rini dan Tanto untuk menghadiri selamatan yang diadakan karena kedua anaknya hamil bersamaan. Tak hanya selamatan, Andin dan Fira juga harus bertukar baju seperti kata orang tua zaman dahulu yang masih dipercaya oleh Rini. Meski hanya naluri, namun Rini hanya ingin memohon keselamatan untuk kedua menantunya.“Masih mual?”Andin mengangguk.Sejak awal kehamilan, Andin memang mengalami mual dan muntah yang cukup parah. Ia bahkan hampir tak bisa meminum air putih jika lidahnya merasakan air tanpa perasa. Sebagai gantinya setiap saat ia akan meminum jus buah atau teh manis agar asupan cairan ditubuhnya tetap terjaga.“Mau makan? Mama bawakan rendang tadi.”Andin mengangguk semangat.Tak hanya kesulitan minum, untuk urusan makan pun Andin terbilang cukup susah. Wanita itu bahkan bisa memuntahkan semu
“Kapan kamu akan resign? Papa nanyain terus tuh!” Andin mengantarkan Bagus yang akan berangkat kerja sampai halaman rumah.“Aku belum bicara sama atasan,” lirih Bagus.“Kok gitu? Kamu enggak mau terima tawaran Papa?” “Mau sih, tapi—““Tapi apa?”“Enggak apa-apa. Aku berangkat kerja dulu, baik-baik di rumah, nanti sore kita ke rumah Mama.” Bagus mencium kening, pipi kanan, pipi kiri dan yang terakhir mengecup bibir istrinya sekilas.Andin hanya tersenyum melihat tingkah suaminya yang mulai berani menunjukkan kemesraannya berbeda dengan awal-awal menikah yang terlihat begitu pemalu dan tak berkutik jika berada di luar kamar.Andin memutuskan kembali masuk ke dalam rumah setelah mobil hitam yang dikendarai Bagus meninggalkan halaman. Ia melangkah menuju ruangan kamar yang berada tepat di sebelah kamarnya yang telah disulap menjadi ruang kerjanya. Dari kamar bernuansa krem inilah Andin setiap hari berkutat dengan laptop untuk berkoordinasi dengan beberapa teman yang menjalankan usahanya.
I⁹Andin menyunggingkan senyum melihat tangan kekar yang kini memeluknya erat. Embusan nafas hangat terasa menyapu kepalanya membuatnya enggan beranjak dari posisinya. Ia memejamkan mata mengingat aktivitasnya semalam yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saat lelaki yang kini mendekapnya berhasil mendapatkan mahkota yang paling ia jaga selama hidupnya.“Udah bangun?” bisik Bagus tepat ditelinga Andin.“Heem.” Bukannya melepaskan tangannya, Bagus malah mengeratkan pelukannya. Aroma sampo yang sejak semalam menguar dihidungnya membuatnya enggan untuk beralih posisi. Bahkan jika bisa ia ingin berada dalam posisi seperti ini setiap saat. Entah kebaikan apa yang telah ia lakukan semasa hidup, hingga ia bisa mendapatkan istri secantik Andin. Seorang wanita yang seharusnya hanya ada dalam angannya namun kini nyata menjadi miliknya. “Terima kasih.” Bagus menghujani kepala istrinya dengan kecupan bertubi-tubi.Tidak ada kata yang bisa mengungkapkan kebahagiaannya saat ini. Bagus merasa
“Sah.”Kata itu menggema diruang aula yang telah disulap menjadi tempat ijab kabul sekaligus resepsi pernikahan Andin dan Bagus. Semua orang menengadahkan tangan bersamaan dengan lantunan doa oleh salah penghulu yang bertugas menikahkan Andin dan Bagus.Suasana haru sekaligus bahagia tercipta saat semua orang yang datang menjadi saksi bersatunya dua manusia berbeda jenis itu dalam ikatan pernikahan yang sah menurut agama juga negara.“Cuit, cuit!”Suara riuh seketika terdengar saat kedua mempelai saling berhadapan dan Andin mencium tangan Bagus yang dibalas dengan kecupan lembut yang cukup lama di dahi Andin.“Kopi susu!”“Black and white.”Warna kulit keduanya yang kontras memang menjadi hal yang paling diperhatikan oleh semua yang datang terutama teman-teman Andin dan Bagus. Kulit Andin yang seputih susu benar-benar tak bisa menyatu jika disandingkan dengan warna kulit Bagus yang dominan sawo matang. Namun itulah indahnya takdir Tuhan yang menciptakan rasa bernama cinta yang bahkan
“Wow!”Andin memandang takjub hamparan ladang yang terbentang dihadapannya. Kebun yang bersebelahan dengan sungai dan tepat berada di tepi jalan desa itu sedang ditumbuhi tanaman pepaya yang sudah berbuah. Jumlah pohon yang diperkirakan lebih dari seratus batang itu berjajar rapi serta buahnya yang lebat menjadi pemandangan menarik bagi Andin yang baru pertama kali melihatnya.Bagus menggandeng tangan istrinya menyusuri ladang sembari melihat secara langsung perkembangan tanaman yang biasanya hanya bisa ia lihat lewat gambar atau video yang dikirimkan oleh sang penggarap. Sedangkan Andin malah sibuk memvideo langkah demi langkah kebersamaannya dengan Bagus yang baginya terasa romantis.“Ini punya kamu?” tanya Andin disela langkahnya.“Punya Ayah tepatnya,” jawab Bagus sembari memetik buah yang sudah mulai menguning.“Siapa yang menggarap?”“Ada, nanti kita temui dia.”“Terus hasilnya?” “Aku enggak tahu, itu semua urusan Ayah, lagian ini Cuma hiburan buat Ayah dari pada tanahnya jadi
“Sah!”Suara itu lirih terdengar bersamaan dengan suara isak tangis orang-orang di sekitarnya. Air mata Bagus yang sedari tadi ia tahan akhirnya luruh bersamaan dengan diangkatnya jenazah sang kakek ke dalam keranda. “Selamat, Nak. Kakek sudah tenang sekarang, ikhlas ya, Nak.” Beberapa saudara terutama Riyati langsung merengkuh Bagus dan Andin ke dalam pelukannya.Sedih dan bahagia tercipta bersamaan dengan dimulainya prosesi pemberangkatan jenazah oleh sang pemuka agama. Tak kurang dari sepuluh menit akhirnya jenazah kakek dibawa ke pembaringan terakhirnya diiringi semua anak, cucu dan saudara yang menyayanginya.Bagus masih tetap bersimpuh di depan gundukan tanah basah bertabur bunga dihadapannya. Sebelah tangannya menggenggam erat tangan seorang wanita yang baru saja dinikahinya. Meski hanya pernikahan di bawah tangan, tapi secara agama mereka telah sah menjadi suami istri.“Selamat jalan, Kek. Maaf Bagus datang terlambat. Kenalkan ini Andin, istri Bagus. Maaf Bagus terlambat men