Aku dilanda kebingungan. Dalam persimpangan dilema. Seharusnya aku bicara ini dengan Kang Sabar selaku kakak tertua. Tetapi mengingat sifat mbak Lastri, niat ku ingin ku urungkan. Seorang ibu mampu merawat lima orang anak. Tetapi lima orang anak belum tentu bisa merawat satu ibu.
Emak hanya terus menerus menangis. Tentu emak sedih dengan perlakuan anak dan menantunya." Rasa rasa nya emak ingin segera menyusul bapakmu, Nar."" Emak istigfar mak. Masih ada Narti yang mau merawat emak.". Aku kaget emak berkata seperti itu. Beban itu mungkin begitu berat."Ma afkan emak, Nar. Dulu kamu ikut bekerja keras bersama emak dan bapak demi adik adikmu. Kini engkau harus repot lagi,"" Emak, mereka tetap saudara ku. Mau kita jungkir balik memaksanya, jika orang lain itu tidak mau berubah, maka dia juga tidak akan berubah. Kita do'akan saja ya mak,"Membawa emak ke rumah ku pun, aku tetap harus ijin Kang Sabar. Emak juga belum tentu mau. Rumah ini terlalu banyak kenangan dengan Almarhum bapak. Saksi perjuangan dan pengorbanan emak dan bapak membesarkan anak anak nya. Aku yakin tidak ada niat emak untuk pilih kasih. Hanya mungkin emak kasihan dengan ku yang kondisi ekonomi nya tidak seberuntung saudara saudara ku.' Kasih ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali. Bagai Sang Surya menyinari dunia'Aku ucapkan terima kasih banyak untuk kasih sayangnya mak.Mungkin itu juga yang menjadi pemicu ketidaksukaan mereka padaku. Karena aku miskin. Bukankah semua di dunia ini tidak ada yang abadi termasuk harta dan kesuksesan ?Sebaiknya aku juga meminta saran kepada Bang Usman, suamiku. Ia bijak dalam menyikapi sesuatu. Ia memang miskin harta tetapi ia kaya hati. Kadang aku merasa beruntung diperistri orang seperti Bang Usman. Rasa syukur dan sabar itu yang selalu dia tanamkan semenjak kami menikah. Seorang imam yang beriman." Emak, Narti pulang dulu ya. Nanti sore biar Yuli yang kesini temani emak," pamitku.Emak tersenyum. Senyum yang ingin aku lihat selalu. Senyum yang menjadi salah satu sumber kekuatanku. Senyum pelipur laraku.***Ku ceritakan semuanya pada Bang Usman. Dia mengangguk mengerti." Neng, entah itu manis atau pahit yang kamu terima, kamu harus tetap bicara dengan Kang Sabar selaku kakak tertua. Emak itu bukan hanya ibu eneng tetapi ibu dari kakak dan adik adik eneng. Abang mengerti pasti eneng ragu karena sifat mereka. Bismillah Neng sujudlah walau raga mu berada di posisi terendah tetapi hatimu ada di langit. Di genggam oleh Sang Pemilik Hati. Eneng pasti kuat," nasihat Bang Usman.Kata kata itu menyusup menjelma menjadi salah satu kekuatanku berdiri di sebuah rumah modern bernuansa ungu dengan pilar penyangga yang lumayan besar. Tampak taman yang sangat asri menandakan pemiliknya merawat nya dengan baik. Rumah Kang Sabar. Aku adalah salah satu orang yang menyaksikan perjuanganya mewujudkan mimpi menjadi seorang guru. Selepas sekolah, Kang Sabar menjadi kuli panggul di pasar mengingat emak dan Almarhum bapak tidak mampu menyekolahkan Kang Sabar hingga kuliah. Sedangkan aku, aku membantu emak dan almarhum bapak mengumpulkan uang sedikit demi sedikit. Untuk biaya sekolah adik adik ku. Setidaknya mereka bisa mengenyam pendidikan sampai Sekolah Menengah Atas. Aku tak memikirkan pendidikan ku kala itu. Yang aku ingin hanya adik adik ku menjadi sukses." Narti,". Panggilan itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Kang Sabar berdiri di depan pintu." Kenapa hanya diam disitu. Ayok masuk," Tiba tiba Mbak Lastri muncul di belakang Kang Sabar." Ada apa Nar. Kalau mau pinjam uang, kita nggak punya," ucap Mbak Lastri ketus.Astagfirulloh. Apakah aku ini seperti pengemis ? Aku berkunjung ke rumah kakak ku bukan berarti aku lantas meminta minta.Aku memilih duduk di teras saja. Daripada aku duduk di kursi mewah Kang Sabar, bisa bisa menjadi bahan maki makian mbak Lastri." Kang, Narti kesini cuma mau bertanya. Bukan untuk memicu pertengkaram lagi. Apakah kegiatan bersih bersih rumah dan memasak untuk emak sudah di tiadakan. Kasihan emak kang. Narti tadi melihat emak berbelanja sendiri,"" Jadi Lastri dan kedua adikmu tidak ke rumah emak lagi ?"" Begitulah penuturan emak,kang," Aku menunduk."LASTRII....LASTRIIIIKang Sabar berteriak murka. Ya Allah, jangan sampai kedatanganku memicu pertengkaran lagi. Aku takut Tuhan.Mbak Lastri lari tergopoh gopoh dari belakang. Mungkin ia sedang memasak. Terlihat ia lupa menaruh spatula. Menentengnya hingga di depan Kang Sabar." Ada apa kang ?"" Kenapa kamu tidak kerumah emak lagi?"Alih alih menjawab pertanyaan suaminya, Mbak Lastri malah menoleh ke arahku. Dia mengacungkan spatulanya padaku." Dasar adik tidak tau diri. Beraninya kamu mengadu domba aku dengan suamiku,"" Demi Allah demi Rasulullah, aku tidak ada niat mengadu mbak Lastri dengan Kang Sabar. Aku hanya menanyakan mbak. Kalau mbak pun tidak mau mengurus emak, biar aku yang urus. Aku ikhlas mbak,"" Ya sudah urus emak mu sana sendiri,"Kang Sabar melayangkan tangan di udara. Dapat aku tangkap signal tangan itu akan menampar mbak Lastri. Serta merta langsung ku tahan ku tarik tangan Kang Sabar untuk turun." Kang istigfar. Bagaimanapun perlakuan istri, akang tidak boleh bermain kasa
Bang Usman dan emak menarik tangan ku agar duduk kembali. Tetapi mata ini tetap menatap tajam ke arah Leli. Tak ku sangka Leli tega berkata seperti itu kepada emak." Neng tenang neng. Amarah tidak akan menyelesaikan masalah," Bang Usman menasihati.Ku lihat emak menangis terisak di sampingku. Kang Sabar hanya duduk bersender kursi. Terlihat kebingungan dari raut wajahnya." Akang selaku kakak tertua. Sebagai pengganti Almarhum bapak, rasa rasanya gagal memimpin kalian. Entah bagaimana pertanggungjawaban akang di akhirat kelak," Kang Sabar angkat bicara.Aku telah berusaha melawan kata hati. Mungkin ini saatnya berdamai dan menerima apa yang terjadi. Karena memang ada beberapa yang tak bisa dipaksakan, melainkan hanya bisa direlakan dan di ikhlaskan." Kang, Narti disini memang orang kecil tapi Narti sayang sama emak. Perdebatan ini tidak ada titik temu jika tidak ada salah satu pihak yang mau mengalah. Bagaimana kalau Narti yang setiap hari merawat emak, tapi Narti tidak tinggal disi
Aku mengerti dia minta ku sejumlah uang tersebut, karena Sobri membenciku. Aku berjalan gontai. Belum tentu hari ini Bang Usman dapat uang dua ratus ribu. Paling banyak Bang Usman membawa uang tiga puluh ribu. Aku tidak merutuk keadaan. Aku hanya ingin Yuli tetap sekolah. Dengan ilmu, aku yakin Yuli bisa mengubah dunianya. Tapi darimana aku mendapatkan uang itu.Pinjam saudara juga tidak mungkin. Bisa bisa aku jadi bulan bulanan mereka." Narti,".Aku menoleh ke arah sumber suara. Suara seorang wanita yang sedang menyapu teras. Wanita ayu dengan lesung pipi yang ketara dengan sedikit riasan diwajahnya yang terlihat natural, ia terlihat sangat cantik. Dia Asih. Teman baik ku saat sekolah dulu." Mampir sini, Nar. Kita sudah lama tidak ngobrol,". Asih melambaiku.Sebenarnya aku juga rindu denganya. Kami punya banyak kesamaaan jadi selalu nyambung jika berbicara. Aku berbelok ke rumah Asih. Rumah dengan nuansa pink yang terlihat mewah." Kamu darimana, Nar ? Kok terlihat lesu ?" tanya Asi
Aku bingung bagaimana aku pulang tanpa membawa surat untuk Yuli. Aku tidak tega melihat wajah sedihnya. Tuhan izinkan aku menyenangkan anak ku untuk kali ini.Sambil memikirkan apa yang harus aku lakukan, aku teringat emak. Ya Tuhan aku lupa belum ke rumah emak. Pasti emak menungguku. Aku bergegas ku percepat langkahku. Benar saja emak menungguku di teras. Dapat kutangkap signal kecemasan pada wajah emak." Narti, emak kira kamu kenapa kenapa. Emak takut kamu tidak mau merawat emak,"" Ma afkan Narti ya mak. Tadi masih banyak pekerjaan,""Tadi kebetulan Bu Surti lewat depan rumah jadi sekalian emak beli sayur. Nanti tinggal kamu masak,"Aku memasak dengan sejuta pikiran berkecamuk. Bagaimana nasib Yuli. Aku harus memperjuangkan masa depanya. Jangan sampai ia seperti kedua orang tuanya. Anak ku harus sukses.Ditengah kegalauan yang melanda, tangan ku ikut teriris pisau. Perih." Narti, kamu kenapa ? Emak lihat kamu tidak seperti biasanya. Kamu sakit ?"Memang ikatan batin seorang ibu
Aku pulang dengan sejuta pikiran berkecamuk. Sebenci itukah adik adiku kepadaku. Rasanya memang aku tiada nilainya di mata mereka." Neng kenapa pulang lesu begitu ? Belanjaanya mana ?" tanya Bang Usman. " Bu Surti tidak jualan, bang. Semua warga mengambil sembako di kelurahan kecuali keluarga kita,"" Astagfirulloh, Neng tidak boleh iri dengan rezeki orang lain. Rezeki sudah ada yang mengatur,""Eneng tau bang. Tapi bukankah rakyat kecil seperti kita seharusnya berhak menerima bantuan ? Semua orang di kampung membicarakan kita bang. Tatang yang memberi surat edaran itu,"" Mungkin dia lupa, neng. Sudah jangan suudzon kepada orang lain. Tidak baik. Insya Allah akan ada gantinya,"Seperti yang pernah aku bilang hidup di kampung harus menebalkan telinga. Mungkin kalau omongan yang lain, aku masih bisa sabar. Tapi kalau masalah keluarga, bisa membuat hati ini bersedih. Apalagi aib keluarga. Bukankah tidak pantas menceritakan aib keluarga kepada orang lain ?" Neng, hari ini abang tidak
" Cukup Nisa. Selama ini mbak diam atas semua perlakuan kamu. Tetapi jika terus terusan kamu memfitnah mbak, aku tidak terima," . Entah kekuatan apa yang merasuki diri ku untuk membentak Nisa." Mbak yang keterlaluan mempermalukan suamiku di depan warga kampung. Suamiku itu orang terpandang mbak. Dia perangkat desa. Jadi mbak jangan macam macam,"Nisa pergi meninggalkan rumahku. Tuhan, aku ini kakak kandung nya , hanya karena strata sosial dia tidak ada hormatnya. Tapi biarlah Allah Maha Melihat. Dia tau mana yang benar dan mana yang salah. Aku percaya akan ada kebahagiaan dibalik kesabaran yang tulus.***Keesokan harinya...Badanku lemas, kepalaku pusing, perut mual. Berat sekali ku angkat badanku beranjak dari tempat tidur. Tapi aku harus tetap masak. Yuli harus sekolah, emak dan Bang Usman harus ku masakan. Walau sempoyongan, aku harus tetap ke rumah emak. Sesampai di rumah emak bukanya langsung masuk, aku beristirahat di kursi yang ada di teras emak. Badanku terasa lemas.Emak m
" Aku dan Toni sudah mengambil keputusan bahwa nanti Toni akan membayar orang untuk merawat emak. Kasiann Narti dia hamil. Untuk gaji nya nanti Toni yang bayar. Percuma bermusyawarah dengan orang tak berperasaan," ucap Kang Sabar.Ma afkan Narti mak, padahal Narti sudah berjanji akan merawat emak. Tetapi bagaimana, kehamilan ini menyiksaku.***Tiga bulan pertama kehamilanku benar benar membuat aku kepayahan tak mampu melakukan pekerjaan berat. Beruntung aku mempunyai anak sebaik dan sepintar Yuli. Dia yang menggantikanku mengerjakan pekerjaan rumah.Memasuki trimester dua, keadaanku membaik. Badanku tidak selemas dulu. Aku lumayan bisa melakukan aktifitas." Neng, abang dapat kabar kalau ibu pulang dari umroh, kita jenguk yuk neng. Sekalian memberi kabar kalau eneng hamil,"Bang Usman mengajak ku mengunjungi orang tuanya. Sebenarnya aku sedikit berat untuk kesana. Berbeda denganku yang begitu disayang emak. Ibu Bang Usman tidak suka dengan kami. Bahkan dari cerita, sejak Bang Usman k
" Kalau abang tidak mau pulang, eneng pulang sendiri,"" Eh Narti, enak sekali kamu mau pulang, pekerjaanmu di dapur itu banyak," serta merta mertua ku muncul begitu saja.Aku terdiam. Sejenak berpikir. Bukankah Bang Usman sangat hormat kepada Emak ku. Bukan kah Bang Usman selalu sabar saat diperlakukan tidak adil oleh saudara ku. Bukan kah Bang Usman selalu diam jika dihina adik adik ku . Bukankah aku terbiasa diperlakukan seperti ini. Dipandang sebelah mata karena materi membuatku sadar diri.Aku berjalan ke dapur untuk segera mencuci piring. Baru akan menyabun piring pertama, ada tangan yang mencegahku." Mbak, jangan," Rina memegang tanganku." Rin, sudah tidak apa apa, mbak disuruh ibu,"Entah mungkin ibu mertuaku mengikuti kemana saja aku pergi. Aku berbicara dengan siapa saja, pasti beliau tau." Rina, biarkan Narti yang mencuci piring itu,"" Ibu, kenapa tidak menyuruh Rina atau Winda saja untuk mencuci piring. Kasian Mbak Narti bu, dia hamil,"" Kamu sama Winda tidak pantas m
Lima belas tahun kemudian..." Fandi, perkenalkan ini Fania. Anak dari rekan bisnis, ibu," kata ibu seraya memperkenalkan seorang wanita cantik, berkulit putih, tinggi semampai.Fandi hanya membalas uluran tanganya. Disertai senyum yang sedikit dipaksakan.Sudah puluhan kali mungkin, ibu mengenalkan Fandi pada wanita yang bisa di bilang cantik untuk ukuranya, tetapi sama sekali tidak ada satupun yang bisa mengetuk pintu hatinya." Ibu, sudah jangan terus menerus membawa wanita di hadapanku. Umurku juga sudah semakin tua. Aku muak," keluh Fandi pada ibunya." Ibu hanya ingin anak ibu punya pendamping itu saja. Ibu ingin ada yang menemani masa tua mu. Tidak seperti ibu yang kesepian." Ada Yumna bu. Dia kelak yang menemani ku,"Bu Maya menghembuskan nafas dengan kasar. Membuang pandangan ke luar jendela. Sedikitpun ia tidak dapat menyelami pikiran putranya itu." Kamu sadar kan Fandi. Yumna diasuh oleh Narti. Jadi kemungkinan besar ia juga akan dekat dengan ibunya. Untuk merebut hak asu
POV USMAN ARI FANDIAku tak menyangka bahwa langkahku berbakti pada surga ku benar benar menggores hati separuh jiwaku. Bukan segera mengharap kepergian Tina. Tetapi ku kira setelah kepergian Tina, semua akan berjalan kembali normal. Namun nyatanya Narti memiliki hati yang kokoh. Pernah suatu waktu dia berkata bahwa dia bukanya tidak menuruti suami. Tetapi dia lebih takut bahwa suaminya tak mampu berbuat adil.Ya aku harus akui. Karena dialah cinta sejatiku. Bahkan kebersamaan dengan Tina yang kata oramg memiliki kecantikan bak bidadari pun namun nyatanya cinta ini tetap tidak mau berbagi." Aku telah berhijrah. Aku telah berubah. Tidakah sedikit saja engkau mengatakan sayang padaku, bang ?" tanya Tina suatu malam." Kalau kamu berhijrah demi manusia, itu salah Tin,"" Permata indah memang tidak dilihat dari harta dan kecantikan raga. Tetapi dari keikhlasan dan ketulusan seorang wanita. Dan itu bagimu hanya ada pada Mbak Narti,"" Ma afkan aku Tin. Tapi memang itulah kenyataanya. Seki
" Aku sama sekali tidak tahu, neng. Jangan menuduh sembarangan tanpa bukti. Nanti bisa jadi fitnah." kata Bang Usman." Aku telusuri riwayat siapa saja yang mengunjungi Yuli. Ada nama Tante Mira. Apa salah jika saya bertanya ?"Bang Usman menyuruh asisten rumah tangga untuk memanggilkan Tante Mira. Dan selalu dengan wajah yang angkuh ia melangkah. Tatapan sinis tak pernah lepas dari pandanganya saat menatapku." Mau apa lagi kamu kesini ?" tanyanya ketus." Saya kesini bertanya secara baik baik. Apa Bu Mira mendoktrin Yuli agar membenci saya ?"" Bisa dijaga mulut kamu itu ? Jangan asal tuduh," " Saya bertanya bukan menuduh,". Aku berusaha menenangkan diri agar tidak larut dalam emosi." Sama saja,"" Ma af Bu Mira. Saya telusuri riwayat siapa saja yang mengunjungi Yuli. Terakhir tertera nama anda. Maka dari itu saya bertanya. Letak salahnya dimana ?"Bu Mira melengos menatap arah lain. Aku yakin ada yang tidak beres dengan nya. Dari bahasa tubuhnya. Dari mimik wajahnya." Kenapa Bu
" Ma afkan aku, Nis,". Leli langsung menjatuhkan diri di hadapan Nisa.Nisa diam mematung. Dia melirik ke arahku seolah penuh tanda tanya. Aku hanya mengangguk." Siapa ?" tanya Nisa seraya mengangkat Leli dari kaki nya. Dengan malu sekaligus takut, Leli memberanikan diri mendongakan wajahnya. Ku lihat wajah Nisa memerah tanganya mengepak. Aku pegang tangan itu. Aku takut Nisa berbuat nekat. " Kenapa setelah semuanya hancur baru berujar ma af ?" " Aku bertaubat Nis. Ma afkan aku,"" Andai ma af mbak berguna,"jawab Nisa singkat. Seraya meninggalkan Leli yang masih diam mematung di tempatnya.Aku terhenyak dengan perkataan Nisa. Sakit itu terlalu dalam." Nis, coba kamu fikirkan. Leli sudah menuai karmanya. Tolong ma afkan dia Nis. Kasihan dia,"" Mbak, mau dia menuai karma,mau dia mati pun tidak bisa menggantikan apa yang sudah hilang kan,"" Nis,mbak tau. Mbak juga belum pernah berada di posisimu. Tetapi kita sama nis.Sama sama pernah di khianati dalam ikatan suci pernikahan. Tetapi
" Leli," panggilku. Tidak salah dia Leli. Aku mengenalinya walaupun dengan penampilan yang berbanding terbalik dengan yang terakhir aku temui tempo hari.Wanita yang ku panggil hanya melengos masuk kedalam lagi dengan menelangkupkan tangan ke wajah. Seolah enggan menemui ku. Karena rasa penasaran yang tinggi, ku kejar dia. Kalau memang dia bukan Leli, kenapa harus lari.Ku buka tirai tanpa pintu itu dengan hati hati. Kepala ku menyembul kedalam. Wanita itu menangis di ujung ranjang yang reyot. Bahunya terguncang. Aku duduk di sampingnya. Ku pegang pelan ujung tanganya." Benar. Ini Leli adik mbak ?" tanya ku sehalus mungkin.Dia histeris. Berdiri dengan berlinangan air mata." Mau apa mbak kesini ? Mau menghinaku sekaligus mengusirku ? Hancurkan aku sekalian mbak," ucapnya pilu.Ku genggam tanganya. Ku dudukan lagi dia di sisiku. Tanganya masih bergetar. Tangisnya belum reda." Lel, mau seperti apapun aku ini adalah kakakmu. Setiap orang pasti punya salah dan masa lalu,"Serta merta L
" Sombong kamu Narti. Berapa sih uang mu dari hasil kerjamu menjadi babu di negara orang ? Paling tidak sampai setahun juga sudah habis," hina Tante Mira." Itu urusan saya Tante. Mau berapapun, setelah ini saya akan rebut hak asuh anak anak dari kalian,"" Apa bisa kamu menghidupi anak mu dengan layak hah ?" Seorang anak tidak perlu orang tua yang kaya. Tapi orang tua yang bahagia. Permisi,"Aku berpamit ke kamar Yuli. Putri ku tergolek lemah di ranjang. Badan kurusnya semakin membuat hatiku menjadi miris. Kupegang tanganya. Ku ciumi berulang ulang. Tak henti hentinya aku meminta ma af karena telah meninggalkanya.Mata itu terbuka perlahan." Bu, Yuli tidak tahan. Tolong belikan Yuli bu," ucapnya memelas. Tetapi air mataku semakin tumpah ruah. Permintaan yang tidak mungkin akan aku turuti." Yuli lawan ya nak. Itu haram. Yuli harus bisa," " Hanya dengan itu Yuli tenang bu. Tolong," kata Yuli bergetar.Ya Tuhan apa yang selama ini dialami Yuli. Hingga dia mengharapkan ketenangan. A
"Stop. Yuli tidak akan ikut siapa siapa,". Yuli akhirnya membuka suara setelah orang tuanya terlibat debat tak berujung. Tetapi jawabanya membuat hatiku mendesir. Apakah dia benci kepada ke egoisan orang tua nya ini. " Yuli punya istana sendiri," lanjutnya. Aku menyipitkan mata. Menautkan alis. Bertemu tatap dengan Nisa. Nisa mengisyaratkan terjadi sesuatu yang tidak beres dengan Yuli. Yuli melangkah pergi meninggalkan kami. Dengan refleks aku mengejar nya. Tetapi naas tangan Tante Mira berhasil menahanku." Mau kemana kamu ? Ini bukan rumah kamu. Tolong bersikap sopan."Ku hempaskan tangan Tante Mira yang mencengkram erat tanganku. Ini adalah reflek seorang ibu yang merasa bahwa putri kandungnya bermasalah. " Kang, tidakah kamu merasa aneh dengan Yuli ?"" Tidak ada yang aneh. Justru Yuli menikmati kehidupan ini,"Aku hanya menggeleng kepala dengan pemikiranya saat ini. Apa dia hanya disibukan dengan pekerjaan tanpa memperhatikan anaknya." Ma af ya semunaya. Ini cuma pendapat s
Yuli mana Nis ?"" Emm ma afkan saya mbak," Nisa menunduk. Raut mukanya berubah menjadi gelisah. " Yuli kenapa Nis ?"" Yuli dibawa Kang Usman mbak. Aku sudah mempertahankanya. Tapi mereka mengancam menjebloskan ke penjara tentang penculikan. Bagaimanapun bapak mereka masih ada mbak. Ma afkan aku mbak. Aku gagal menjaga mereka,". Nisa bersujud di kaki ku.Aku menangis. Bukan untuk menyalahkan Nisa. Tapi aku muak dengan perlakuan keluarga Kang Usman. Padahal dulu jelas jelas Yuli yang bersikeras ikut denganku. Dan Tante Mira mengatakan bahwa anak anak ku tidak ada disitu. Bahkan mengataiku tak becus menjaga anak anak. Betapa munafiknya mereka." Bangunlsh, Nis. Kamu tidak bersalah,"" Tapi aku gagal menjaga amanat dari Mbak Narti,"" Setiap kesulitan pasti ada ada jalan keluar yang menyertai Nis. Nanti kita bicarakan ya," kataku mengajaknya untuk masuk.Rumah Nisa tergolong mewah. Furniture nya menambah asri dan cantiknya rumah ini. Ruman dengan gaya eropa pasti membuat bangga pemilik
" Mbak boleh pinjam uang mu Nis ? Mbak ingin mengadu nasib di luar negeri. Mbak janji akan menggantinya,"Sebenarnya aku malu sekaligus takut dikira mengincar hasil penjualan rumah Nisa. Juga aku bingung bagaimana bicaranya untuk menitipkan anak anak ku pada Nisa.Nisa terdiam. Aku benar benar takut ia tersinggung. Lalu sejurus kemudian ia justru tersenyum." Tidak usah pinjam mbak. Ini adalah hak mba Narti. Dulu kami menjual rumah emak tanpa memberi hak yang seharusnya mbak Narti peroleh. Ini uang mbak Narti yang pernah Nisa pakai,"Air mataku luruh seketika. Keadaan yang mengguncang jiwa raga serta psikis Nisa nyatanya benar benar membuatnya berubah haluan. Membuatnya benar benar berubah ke arah yang lebih baik." Terimakasih banyak ya Nisa," ucapku terharu." Kenapa harus pergi keluar negeri mbak ? Apa tidak ada jalan keluar yang lain ? Kasian anak anak mbak. Apalagi Yumna masih kecil,"" Kalau aku terus terusan disini, entah kapan bisa membuat bahagia mereka. Aku tidak mau kehidup