"Oh, tentu saja, Tan. Kamu membayar mahal atas apa pun yang kamu simpan di luar sana. Bahkan sebuah rumah dengan harga belasan milyar kamu berikan untuk seorang wanita yang bahkan tak terikat apa pun denganmu," kata Marissa membongkar fakta perselingkuhan suaminya dengan Naomi.
Tristan terkejut bukan main, bukan hanya itu, Naren dan Tuan Baruna juga tak kalah tertegun. Maren tak percaya jika Marissa akan membongkar semuanya sekarang. Semua diluar kendali dan perkiraan Naren sebagai orang yang mengetahui segalanya."Apa ini? Rumah?" Tuan Baruna mendekati ketiganya."Tunggu, Pa." Naren mencoba menahan ayahnya."Katakan, Tan. Apa yang dimaksud Marissa dengan rumah belasan milyar itu? Siapa yang kamu berikan rumah?" desak Tuan Baruna.Tristan terhimpit, dia tidak bisa lagi mengelak. Walau masih terus menyimpan apa yang dia lakukan selama ini, tapi dia sudah cukup bersiap jika ternyata Marissa mengetahuinya. Hanya saja, dia tak menyangkaSementara di rumah, Marissa merasa hatinya tak tenang. Dia hanya bisa mondar-mandir tanpa hal yang jelas saat itu. Wanita itu terus saja gundah dengan apa yang terjadi pada ayah mertuanya. Terlebih semua karena fakta yang dia ungkapkan. Marissa sangat tertekan, apa yang Tristan lakukan saja bisa sampai membuatnya ambruk seperti sekarang. Apalagi jika Tuan Baruna sampai mengetahui hubungannya dengan Naren."Tenang, Rissa. Tarik napasmu dan cobalah untuk tenang," ujar Marissa mencoba menenangkan dirinya yang dilanda kekhawatiran.Beberapa saat setelah Marissa mencoba menenangkan diri, dia merasa siap untuk menghubungi Tristan atau Naren. Namun, lagi-lagi dia dibuat bingung. Marissa tak tahu harus menghubungi siapa saat ini. Jika dia menghubungi Naren, tentu saja akan mengundang rasa penasaran Tristan. Tetapi, jika dia menelepon Tristan, Marissa tak yakin pria itu akan menjawab teleponnya.Di tengah rasa yang tak bisa dia kendalikan itu, Marissa masih tak bis
"Kesepakatan?" tanya Marissa. Marissa membulatkan kedua matanya, dia nampak bingung dengan apa yang suaminya katakan. Kesepakatan atas dasar demi kesehatan macam apa yang sebenarnya pria itu inginkan. "Papa tidak boleh terlalu banyak tekanan pikiran. Kondisinya masih tidak stabil sehingga membuat kinerja jantungnya masih harus dipantau." Tristan memberikan kalimat pengantar. "Tarik kembali kalimatmu kemarin di depan Papa dan katakan jika hubungan kita baik-baik saja," lanjutnya. "Apa masih mungkin?" tanya Marissa yang ragu jika hal itu masih bisa dilakukan olehnya. Dia tahu benar jika Tuan Baruna bukan orang bodoh yang bisa diakal-akali. Apalagi ini tentang sebuah hal yang mungkin saja sudah dia khawatirkan sejak awal."Itu tugasmu, kamu harus berusaha meyakinkan agar Papa percaya." Tristan seperti orang yang memberi hukuman atas apa yang Marissa lakukan hingga semua itu terjadi. "Aku tidak yakin bisa melakukan itu, Papa bukan orang y
"Ti-tidak, Naren." Marissa menjawab dengan gelagapan. Dia masih belum bisa menenangkan dirinya sendiri karena Tristan. "Tak ada yang terjadi, Rissa. Kamu jangan terlalu khawatir. Papa hanya butuh istirahat," jelasnya dan dibalas dengan anggukkan kepala oleh Marissa. Dia melihat wajah tenang Naren dan membuatnya lebih baik saat ini. "Mungkin dia merasa bersalah, bukankah dia yang menyebabkan ini semua terjadi?" Tristan mulai membahas hal yang sudah dia dan Marissa bahas di rumah tadi. Naren nampak melihat ke arah adiknya itu, dia melirik dengan tatapan tak mengerti. "Mengapa kamu seperti anak kecil yang melempar kesalahan begitu saja pada orang lain?" Naren mengolok adiknya. "Sudahlah, jangan membuat kegaduhan. Ini rumah sakit, Papa butuh istirahat," sela Marissa. Situasi saat itu membuat Marissa menjadi bingung. Kedatangannya bahkan tidak bisa membuat segala sesuatu menjadi baik saat ini. Semua hanya seperti sebuah hal yang tak perna
"Salah paham?" tanya Tuan Baruna. "Benar, Pa. Aku minta maaf atas segalanya. Aku telah berani mengatakan sebuah ketidakpastian di hadapan Papa." Marissa menjelaskan. Tuan Baruna yang baru saja bangun merasa sedikit bingung, pria itu sepertinua tak mengerti apa yang Marissa bicarakan. Dia memicingkan matanya dan mencoba mencerna apa yang Marissa sedang jelaskan. "Tunggu, tunggu." Tuan Baruna minta waktu. "Apa yang terjadi sampai aku bisa masuk rumah sakit?" tanya pria itu. "Astaga," batin Marissa bertanya-tanya. Dia sudah mencoba membangun situasi yang Tristan inginkan, tapi ternyata tidak sesuai dengan yang terjadi. Ayah mertuanya justru bangun dalam keadaan bingung yang bercampur. "Rissa, kenapa Papa di sini?" tanyanya lagi. "Pa, sebenarnya ...," jawab Marissa tak selesai. Baru saja wanita itu akan menjelaskan apa yang terjadi, dokter dan Bareng sudah masuk. Mereka berdua sedikit bergaduh dan membuat Marissa memu
"Apa yang kamu katakan pada Papa?" Tristan yang baru sampai dan mendapat kabar jika ayahnya itu sudah sadarkan diri segera menarik Marissa keluar ruangan."Lepaskan, Tan," pinta Marissa karena merasa lengannya masih di cengkeraman oleh sang suami. Spontan pria itu melepaskan lengan istrinya dan mundur selangkah. "Papa tak ingat apa pun," lanjutnya memberi bocoran."Apa maksudmu tidak ingat?" desak Tristan lagi."Artinya kamu selamat, Tan." Marissa menjawab dengan nada ketus. "Papa tak lagi ingat apa yang terjadi sebelum dia jatuh pingsan tadi, jadi dia tak tahu apa yang terjadi padamu dan apa yang kamu lakukan di belakangku," jelas Marissa secara utuh.Tristan tak memberikan reaksi apa pun, dia memilih diam tanpa kata dan tak ada yang bisa dia lakukan. Mengakui semua pada Marissa juga bukan jalan keluar karena selama ini dia masih menganggap apa yang istrinya katakan tidak benar adanya.Melihat suaminya yang sama sekali tak melakukan apa
Marissa dan Naren duduk sembari menikmati makan siang mereka. Walau selera makan keduanya hanya sekitar tiga puluh persen, mereka terpaksa makan untuk mengusir perut keroncongan yang mereka rasakan. Naren masih menahan untuk mengatakan alasan yang Tristan gunakan untuk mempertahankan Marissa dan Marissa tidak lagi mengejar jawaban Naren karena merasa Tristan mempertahankan hubungan keduanya hanya karena nama baik semata."Aku tidak yakin jika Tristan melakukan semua ini dengan alasan yang dia kemukakan padaku," ujar Naren."Sungguh, aku tak ingin tahu alasan apa pun itu," balas Marissa."Kenyataannya memang aku tidak bisa mengatakan padamu, ini sebuah hal yang tak boleh bocor keluar. Aku tidak tahu sampai kapan kamu akan Tristan pertahanan, sehingga kamu pun tak berhak tahu atas ini semua," batin Naren.Marissa masih berusaha untuk tak peduli dengan apa yang dia rasakan. Baginya sekarang, Naren lebih dari cukup. Hingga dalam keheningan mereka berd
Tristan terkejut dengan kalimat yang Tuan Baruna ucapkan, dia tak percaya ayahnya mengucapkan kalimat itu. Baginya, dia akan tetap menjadi orang yang sama sekali tak dianggap oleh pria yang selama ini jauh darinya itu. "Aku menyadari jika kamu adalah putraku bukan karena cintaku pada mendiang ibumu, kamu putraku karena kamu jauh lebih mirip denganku daripada Naren," jelas Tuan Baruna. Tuan Baruna selama ini merasa harus mengakui Tristan karena sumpahnya pada mendiang sang istri. Dia terbebani akan sebuah kenyataan yang mengharuskan dirinya memilih mempertahankan Tristan untuk kebahagiaan sang istri. Namun, melihat segala yang terjadi selama sang istri meninggal, sekalipun pria itu bukan darah dagingnya, Tuan Baruna merasa Tristan memiliki banyak sekali persamaan dengan dirinya. Sekian lama Tuan Baruna memilih menghindar, tapi kenyataannya tetap tak bisa. "Maafkan Papa, Tan. Karena Papa kamu memiliki masa lalu yang begitu sulit," ujar pria itu.
Naren ke rumah sakit, dia tak ingin Tristan pulang dengan segala kemarahan dan ketidakterimaannya tentang apa yang terjadi. Pria itu tak bisa dicegah melakukan apa pun yang terjadi. Naren harus melindungi Marissa seperti nalurinya saat ini. Mobil melesat dengan cukup kencang ke rumah sakit. Semantara Marissa di rumah menunggu dengan penuh kegelisahan. Dia tak habis pikir jika ayah mertuanya sebenarnya mengetahui apa yang terjadi. "Naren," panggil Tristan saat pria itu turun dari mobilnya. Naren bergegas menghampiri adiknya, mereka berdiri saling berhadapan saat ini. "Kalian berbohong padaku?" desak Tristan. "Tidak, Tan. Sungguh tak ada kebohongan yang kami lakukan. Papa bangun dan tak ingat apa pun tadi," jelas Naren. "Bohong, Naren. Papa ingat semuanya dan bahkan dia mengetahui lebih dari yang aku pikirkan," jelas Tristan. "Apa?" Naren nampak khawatir. "Papa tahu hubunganku dengan Naomi dan dia ingin kami menyuda
Mobil Marissa sampai di halaman keluarga Baruna. Dia merasa jantungnya berdegup kencang, hanya saja dia kemudian teringat apa yang Naren katakan. Dia hanya perlu pulang seperti biasanya layaknya yang Naren katakan sebelum mereka berpisah. "Tenang, Rissa. Semua baik-baik saja," ujarnya dalam hati dan Marissa segera membuka pintu utama rumah itu. "Bagaimana pestamu, Rissa? Apa menyenangkan?" tanya Tristan begitu wanita itu masuk rumah. Marissa terkejut, dia tak menyangka jika suaminya menunggunya di balik pintu. Pertanyaan itu bagai serangan mendadak saat Rissa tak siap. "Sudah pulang, Nak?" sapa Tuan Baruna memecah kecanggungan. "Suamimu mengatakan jika kamu menginap di rumah temanmu untuk merayakan pesta," jelasnya kemudian. "Ah, i-itu. I-iya, Pa. Ada pesta di rumah temanku, teman dekatku," ujarnya ragu dan terbata.Hal itu cukup membuat Tristan terkecoh, dia merasa ada yang Marissa sembunyikan. Sesuatu terasa janggal dan tak bisa diterima oleh nalarnya. "Masuk dan istirahatlah
"Pa," panggil Naren lembut. Dia segera menyadari jika ayah kandungnya itu mengetahui sesuatu. "Bawa Marissa pulang sekarang atau aku akan menyuruh Tristan menjemput istrinya," ancam pria paruh baya yang baru saja pulih dari sakitnya itu. "Tunggu, Pa. Aku tak mengerti dengan apa yang Papa katakan." Naren mengulur waktu. "Kamu putraku, Naren. Kamu bukan pria bodoh yang harus dijelaskan sesuatunya dengan detail. Ikuti apa yang Papa katakan atau Papa yang akan bertindak!" sahut Tuan Baruna menggertak sang putra. Panggilan telepon itu berakhir tanpa ada negosiasi dan penjelasan detail. Walau mengerti arah pembicaraan ayahnya, tapi Naren belum ingin percaya. Otaknya berpikir menuju hubungan yang sudah terendus oleh sang ayah, tapi hatinya masih tak bisa menerima apa yang terjadi. Cintanya pada Marissa terlalu besar untuk dikorbankan dan dilepaskan. Marissa adalah satu-satunya yang bisa membuat Maren bahagia. Dia seperti memiliki dunia seisinya saat Marissa berada di sisinya seperti saa
"Kenapa kamu marah, Tan? Aku tak pernah memintamu pulang saat kamu sedang di luar. Aku bahkan tidak melakukan ancaman apa pun," ujar Marissa yang mendengar suaminya mengamuk."Rissa, kamu tahu bagaimana hubungan kita setelah Papa sakit? Kamu harus menjaga itu," balas Tristan."Aku tidak berjanji apa pun tentang itu, ini hanya kesepakatan sepihak yang terus kamu gaungkan dan kamu paksakan padaku, Tan. Jadi, jangan mengatur apa yang aku inginkan," jelas Marissa sengaja membuat suasana menjadi panas.Tristan semakin hilang kendali, dia meninju cermin meja rias istrinya dan sedetik kemudian terdengar suara kaca yang pecah."Lakukan apa yang kamu inginkan, itu hanya akan membuatku semakin liar," imbuh Marissa dan dia memutuskan sambungan telepon itu."Rissa! Tunggu, Rissa," kata Tristan yang sia-sia karena Marissa sudah lebih dahulu mematikan sambungan teleponnya.Pria itu sudah tak waras lagi, dia baru saja merasa khawatir pada apa yang akan terjadi pada ayahnya jika mengetahui hubunganny
Permintaan Naren itu agaknya cukup membuat Marissa lega. Pria itu melonggarkan apa yang dia inginka darinya. Kali ini bukan saja tentang apa yang seharusnya terjadi, tapi juga tentang apa yang menjadi ego Naren."Bagus dia menyadari ini semua," batin Marissa."Aku tak boleh serakah, aku tidak bisa kehilanganmu dengan alasan apa pun. Aku harus mengikuti alur yang kamu inginkan," monolog hati Naren berbicara.Mereka berdua jauh lebih nyaman saat ini. Tak bisa dipungkiri jika apa yang dilakukan Naren membuat Marissa menjadi semakin dihargai. Walau latar belakang hubungan mereka sama sekali tak bisa ditorelir tapi tak ada yang bisa Marissa lakukan selain menurut dengan apa yang Naren inginkan.Malam semakin larut, dua pasangan yang saling mengkhianati itu tak lagi ingat bagaimana mereka berdua berdiri saling memunggungi. Marissa menganggap apa yang dia lakukan adalah sebuah pembalasan walau pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan keinginan untuk seng
Di sisi lain, Tristan dalam perjalanan menemui Naomi. Dia juga harus berbagi waktu dengan wanita itu setelah beberapa hari menghabiskan waktu bersama Marissa. Tak ada yang bisa dilakukan selain tetap menuruti apa yang wanita itu inginkan agar semua menjadi mudah baginya. Walau selama ini Marissa sudah mengetahui apa yang terjadi pada dirinya dan Naomi, tapi Tristan sudah terlanjur berjanji jika dia akan menyudahi segalanya."Selamat datang, Sayang." Naomi menyambut kekasihnya dengan nada manja nan romantis.Kemudian mereka berdua masuk rumah dan segera menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan makan bersama dan menghabiskan malam dengan bercanda serta mengobrol hangat seperti layaknya pasangan yang ingin saling menumpahkan segala isi hatinya."Aku sudah siapkan yang special untukmu," kata Naomi."Special?" tanya Tristan.Begitu melihat meja makan yang tersaji banyak sekali makanan, Tristan lagi-lagi merasa takjub. Wanita itu memang
"Aku pergi sekarang," ujar Tristan berpamitan.Marissa tak mengindahkan apa yang suaminya katakan, dia membiarkan Tristan pergi tanpa menjawab kalimat sang suami. Bahkan Marissa tak melihat ke arah Tristan sama sekali."Kamu hanya berusaha membalasku, kan?" Tristan berlalu tanpa curiga apa pun pada Marissa yang sebenarnya juga memiliki janji dengan Naren.Pria itu keluar dengan langkah pasti tanpa kekhawatiran apa pun. Dia menganggap apa yang Marissa katakan siang hari tadi adalah sebuah kecaman saja. Dia tak tahu jika setelah kepergiannya sang istri berdandan untuk bertemu dengan Naren seperti yang sudah keduanya rencanakan sebelumnya."Malam ini aku adalah miliknya," kata Mariss sembari memoles make-up ke wajahnya.Bisa dikatakan dia sangat ragu untuk pergi, dia juga begitu malas melakukan apa pun yang berhubungan dengan Naren sebenarnya, tapi semua terpaksa dia lakukan karena Naren terus saja mengintimidasinya sehingga banyak sekali ke
Tristan dan Marissa berjalan dari tempat parkir. Mereka menuju lift untuk naik ke lantai yang menyediakan segala furnitur rumah. Beberapa langkah setelah keluar lift, Tristan menarik tangan Marissa dan menggandengnya dengan cukup erat. Dia bahkan tak perlu melihat ke arah wanita itu untuk melakukan hal tersebut. "Tan, apa ini?" Batin Marissa bermonolog bingung. Tristan tak mengatakan apa pun dan hanya berjalan menuju tempat tujuan mereka. Begitu masuk, seorang wanita datang mendekat. Dia adalah seorang seles yang menunggu kedatangan mereka berdua.. "Nyonya Marissa Baruna?" tanyanya. "Iya," balas Tristan lembut dan kemudian mereka diarahkan ke sebuah ruangan. Mereka akan bertemu dengan seorang designer yang bergelut dalam bidang furnitur. Tristan dan Marissa melihat beberapa katalog furnitur bersamaan. Mereka larut dalam diskusi panjang hingga lupa mereka berdua sedang dalam keadaan yang canggung. Sesekali Tristan nampak memperhatikan
Pagi menjelang dengan suasana hati Marissa yang masih begitu kelabu. Bukan lagi karena Naren yang tak mau dia putuskan, tapi karena rencana berbenlanja perabot dengan Tristan yang akan mereka lakukan pagi ini. Hal itu memang kesepakatan keduanya, tapi tentu saja menjadi sebuah hal yang begitu buruk saat jadi kenyataan. Bagi Marissa dia sama sekali tak bersemangat tentang itu."Selamat pagi, Sayang." Tristan menyapa Marissa dengan sangat manis begitu mengetahui wanita yang berbaring di sisinya itu sudah membuka mata.Marissa hanya membalas dengan senyum tipis tanpa arti. Walau masih tersisa banyak cinta untuk pria itu, tapi logikanya lebuh sering menolak keberadaan sang suami. Marissa masih mengedepankan akal sehatnya setelah semua yang terjadi."Aku mandi duluan," kata Marissa yang jelas tahu apa yang akan mereka berdua lakukan mulai dari pagi ini."Kenapa tidak bersama saja?" jawab Tristan. Kalimat itu menghentikan kaki Marissa yang sudah hampir
Mereka berdua tenggelam dalam suasana yang tak terkendali. Masing-masing dari mereka memliki alasan tepat untuk bertahan dan berpisah. Naren memang sudah bulat dengan keputusannya saat itu. Dia tak akan dengan mudah melepaskan Marissa dengan berjuta alasan yang wanita itu miliki hingga saat ini. "Jangan pernah mengubah apa pun jika kamu ingin selamat dariku," ujar Naren dan dia membiarkan Marissa pergi meninggalkan kamar hotel itu.Naren sengaja karena dia tahu jika Marissa dalam keadaan tertekan, walau suara dan nada bicaranya begitu mengancam tapi di dasar hati Naren masih tersimpan banyak sekali cinta dan kasih sayang untuk wanita itu. Keadaan yang Marissa ciptakan saat itu membuat Naren terpaksa mengintimidasi sang adik ipar karena dia tak mau kehilangan Marissa sedetikpun. "Aku mempertahankanmu dan aku dengan sadar harus menerima jika harus berbagi. Terkesan menjijikkan tapi aku tahu benar ini adalah yang aku inginkan," batin Naren.Dia memang tampak frustasi,