Semakin jauh meninggalkan jantung kota kembang, udara semakin terasa dingin. Halimun nampak masih menutup kawasan yang banyak menghasilkan berbagai jenis sayuran dan buah-buahan. Hamparan kebun teh dan petak-petak berbagai jenis tanaman sayuran membuat mata terasa segar. Pot dengan berbagai jenis bunga berjejer sepanjang jalan. Terutama tanaman kaktus yang beragam bentuk terlihat begitu manis. Apa lagi strawberry yang siap panen membuat siapapun yang melihatnya akan tergoda. Kalau ia punya banyak waktu mungkin sudah berhenti untuk membeli oleh-oleh buat sang Bunda. Namun saat ini ada yang lebih penting, menemui wanita yang semalam telah membuatnya hampir gila. Semalam, saat pulang dari kedai, Milan merasa malam yang begitu panjang. Sekitar tengah malam ia terbangun karena mimpi buruk dan mendapati tubuhnya bermandikan keringat. Setelah itu ia tak bisa lagi memejamkan mata. Wanita penjual sate itu terus membayangi di pelupuk mata. Bila dibandingkan dengan wanita-wanita yang
Jarak keduanya semakin dekat. Indah yang tadi begitu beringas perlahan menunduk seiring butiran bening yang menyusuri pipinya. Ia benar-benar tak sanggup menatap mata teduh pria di depannya. Melihat bahu Indah yang berguncang karena menahan isak, Milan pun merengkuh tubuh Indah ke dalam pelukannya. Tak perduli dengan kedua orang tua Indah yang berada di ambang pintu. Tangis Indah seketika pecah di dada bidang pria yang yang sedang memeluknya. Kedua orang tua Indah saling tatap. Mereka benar-benar tak mengerti. Pak Indra yang menarik nafas lega memberi isyarat pada istrinya untuk memberi ruang pada Indah dan Milan."Menangis lah. Keluarkan semua unek-unek yang ada di hatimu. Akang bersedia menjadi pendengar." Milan berbisik di telinga Indah yang kini mulai tenang. "Maaf!" Indah menengadahkan wajahnya yang basah bahkan di sudut mata matanya masih terus keluar air mata."Minta maaf untuk apa?" Milan mengusap air mata Indah dengan telunjuknya."Baju Akang basah." Indah merenggangkan
"Euis tahu, penderitaan Teteh lebih kelam dari apa yang pernah Euis alami. Apa Teteh ngga mau merasakan bahagia?" Euis mengembangkan telapak tangan Ibunya dan menautkan jemarinya."Bahagia? Apa masih ada kebahagiaan untuk seorang pendosa seperti Teteh?" tanya Indah."Tak ada manusia yang luput dari dosa, Teh. Soal besar kecilnya dosa seseorang itu hanya Allah yang berhak menilai.""Kamu tidak tahu siapa Teteh yang sebenarnya. Makanya bisa bicara seperti itu." Indah menyandarkan bahunya pada bahu Euis. Perlahan menarik nafas sambil berpikir apa Euis masih mau memanggil Teteh saat tahu semuanya."Siapa bilang Euis ngga tahu tentang Teteh? Sekarang lebih baik Teteh banyak istirahat. Jangan mikirin kedai dulu. Ingat pesan Om Milan." "Om Milan? Teteh jadi malu. Kemarin dia yang berusaha keras menenangkan Teteh. Entah kenapa tiba-tiba Teteh jadi ngga bisa mengendalikan diri." Wajah Indah mendadak bersemu merah."Ngga apa-apa, Teh. Kadang kita butuh orang untuk berbagi. Sudah saatnya juga
Hembusan angin lewat lewat ventilasi jendela membuat Indah terbangun dari tidurnya. Perlahan ia menarik selimut sampai ke bagian dada. Hujan yang turun sejak siang membuat udara semakin dingin. Euis tampak tidur pulas di sampingnya. Bu Diah dan Pak Indra sejak tadi pagi pamit ke rumah lama. Berhubung hujan deras mereka tidak pulang ke rumah Indah. Jarum jam dinding kuno di kamar Indah menunjuk di angka dua. Masih terlalu malam untuk memulai pagi. Beberapa kali Indah menguap, setiap kali habis minum obat ia selalu tak bisa menahan rasa kantuk. Perlahan Indah memiringkan tubuhnya menghadap Euis yang sedang mendengkur. Arhhhhh!Ampun!Indah yang baru terlelap sambil memeluk tubuh Euis kembali terjaga. Suara-suara penuh kesakitan itu begitu dekat di telinga. Bahkan terasa hangat seperti nafas yang sengaja ditiupkan di belakangq punggungnya. Indahhhh! Indah menajamkan pendengarannya. Suara serak dan berat yang memanggil namanya begitu dekat. Tengkuk Indah terasa menebal. Bul
"Tapi apa, Dok? Apa ada yang salah dengan nama saya?" Indah menatap lekat wajah Milan yang sedang mengamati namanya dengan wajah serius."Maksud Akang, namamu akan lebih bagus kalau digabung dengan nama Akang." Kali ini Milan berhasil membuat wajah Indah seperti kepiting rebus. "Pak Dokter kalau bercanda suka oper dosis." Indah mencoba mengimbangi candaan Milan."Oper dosis istilah kedokteran bermakna orang yang berlebihan mengkonsumsi suatu obat. Sementara Akang, belum minum obat tapi sudah oper dosis.""Ishh, Akang ini becanda terus. Kasihan pasien yang lain nunggu giliran." "Pekerjaan Akang ini paling enak. Jarang ada pasien. Jadi kita punya banyak waktu untuk ngobrol.""Tapi Indah ke sini kan mau berobat.""Kamu itu ngga sakit. Apa lagi kalau setiap hari bersama Akang." Mata teduh Milan menatap wajah Indah. "Akang sendiri tahu apa penyakit Indah. Untuk itu datang ke psikiater." Indah benar-benar bingung mau mulai dari mana karena dokter yang ia temui sudah tahu segalanya."Begi
Indah mengerutkan kening. Dia tanya apa, yang dijawab apa. Tapi ia akui bersama Milan yang suka bicara ngasal dan ngga nyambung membuat Indah lebih sering tersenyum. Bertahun-tahun hidup dalam ketegangan sampai lupa cara tersenyum. Setiap hari ketakutan selalu menyergap apa lagi kalau Danang di rumah dan ibunya sedang pergi. Mau tidak mau harus melayani nafsu bejadnya.Faiz, pria yang pertama kali mengajarkan ia tersenyum. Dengan lelucon konyolnya dan puisi-puisi yang membuat angannya melambung. "Neng, kalau si Jalu sudah besar dan montok kita jual. Uangnya kita pakai untuk jalan-jalan ke kampung bambu. Kita menyewa penginapan di sana,'' ucap Faiz saat mereka sedang menikmati terang bulan di teras rumah.Ternyata ucapan Faiz malam itu tak pernah bisa terpenuhi sampai sekarang. Setelah itu ia menghilang selama tiga hari tiga malam dan kembali dalam keadaan tak bernyawa. Hidupnya seakan berakhir saat itu juga. Tak ada gairah hidup karena sang pelita telah padam menyisakan gulita yang pe
"Maksud Akang, yes kita makan," jawab Milan sambil menatap tangan Indah yang melingkar di pinggangnya.Indah mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang terletak di pinggir danau. Saung-saung kecil yang unik mengelilingi danau kecil sehingga sangat indah. "Kamu ternyata romantis juga, ya. Pinter memilih tempat," ucap Milan begitu mereka duduk sambil menunggu pesanan datang."Sssttt, makanan sudah datang. Ngegombalnya nanti lagi." Indah menyilang kan telunjuk di bibirnya."Bener, ya, nanti lagi." Milan tersenyum jail.Gurame bakar, ulukutek leunca, sambal terasi, lalapan, nasi liwet dan beberapa makan khas kuliner sunda begitu menggugah selera. Namun saat Indah sedang asik menikmati makan ...."Kenapa, Ndah?" Milan menatap Indah yang sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya."Kok, di makanan Indah ada cincinnya?" Indah mengamati benda mengkilap berupa cincin."Wahh, kamu beruntung." Milan seolah tak perduli dengan keheranan Indah. Ia asik dengan makanannya."Jangan
Begitulah awal mula kedekatan Vanya dan Milan. Seorang ayah tentu saja ingin melihat putrinya menikah dengan orang yang baik dan itu ada pada diri Milan. Namun pada akhirnya ia tidak bisa memaksakan kehendak. Masalah pun datang dan semakin rumit ketika bisnisnya mulai tercium pihak kepolisian karena salah satu anak buahnya yang bernama Danang ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa di belakang rumah istri mudanya. Satu-satunya orang yang memegang rahasiahnya adalah Lilis yang berhasil ditangkap polisi. Sekali saja wanita itu membuka mulut maka semua kejahatannya akan terbongkar. Lukman beberapa kali mengunjungi Lilis di penjara. Namun hanya ancaman yang ia dapatkan."Sumpah! Bukan saya pelakunya. Tolong keluarkan saya dari sini atau kejahatan Bapak akan terbongkar di persidangan nanti!" Lilis menatap tajam wajah Lukman."Kamu jangan coba-coba mengancam saya tanpa bukti!" Lukman menekan suaranya."Justru bukti kuatnya ada pada wanita penjual sate itu. Dialah yang telah memut
"Aku benci Ayah dan juga wanita kampung itu. Aku hanya minta kebahagiaan bersama Milan. Mengapa begitu sulit!" Vanya menatap wajah ayahnya dengan mata berapi-api."Cinta tidak bisa di paksakan. Dokter Milan tidak mencintaimu!" ucap Lukman lembut."Mengapa, Yah? Apa aku kurang cantik, kurang pintar atau karena aku anak seorang pembunuh?" Vanya menyapukan tangan pada meja rias hingga semua barang yang ada di atasnya berjatuhan ke lantai.Melihat putrinya tak bisa mengontrol diri, Lukman meninggalkan kamar dan menguncinya dari luar. Ini bukan kali pertama Vanya bertingkah dan menanyakan hal yang sama. Bukan tak punya jawaban tapi percumah menjelaskan alasan apapun pada putrinya.Lukman meraih foto dalam pigura yang ada di meja kecil dekat tempat tidurnya. "Ning, maafkan Abang yang tak bisa menjadi ibu yang baik bagi putri kita. Aku hanya seorang Ayah yang egois." Sambil merebahkan tubuh, Lukman menyadarkan kepala pada ujung tempat tidur dengan mengganjal menggunakan bantal.Sambil meng
"Bang, diminum dulu kopinya." Ini kesekian kalinya Kemuning menawarkan kopi pada Lukman yang masih terlihat shock.Perlahan Lukman menatap wajah gadis ayu yang duduk di atas tikar pandan. Ada seulas senyum di bibir tipisnya yang mampu mengalihkan dunianya. Dunia yang baru saja ia lihat. Dunia mengerikan sepanjang hidupnya dan dunia itu ada di gudang belakang rumah Kemuning.Suara mesin listrik yang memisahkan kepala dari leher si preman dan suara kucuran darah yang jatuh pada tampung ember yang berada di bawah meja. Lukman seperti sedang menonton film triller. Tapi ini nyata di depan matanya. "Kemuning sedang membuatkan kopi untukmu. Pergilah. Kalau lehermu tak ingin seperti si gendut ini, jangan coba-coba sama putriku. Paham!" ucap Ki Codet sambil mencuci tangannya yang berlumur darah mengunakan air ember. Begitu Lukman masuk ke dalam rumah, tubuhnya terasa lemah perasaan mual berusaha ia tahan karena tak enak hati dengan Kemuning yang sedang menyeduh kopi. Dengan tangan yang ma
Gudang yang di maksud oleh Ki Codet terletak di belakang rumah. Lukman merasa heran karena bangunan gudang terlihat lebih kokoh dari pada rumah utama.Ki Codet membuka gembok yang terkunci. Cahaya lampu lima Watt langsung menyambut kedatangan Lukman yang mendorong gerobak masuk ke dalam ruangan tersebut. Tak ada yang aneh saat Lukman mengedarkan pandangannya pada ruangan yang di sebut gudang oleh Ki Codet. Hanya beberapa karung yang isinya barang-barang bekas seperti botol bekas air mineral.Terlihat Ki Codet menggeser lemari kayu yang berada di sudut ruangan. Ternyata ada pintu lagi di belakang lemari itu. "Anak muda, apa kamu mau berdiri terus di sana. Ayo, bantu mengangkat daging besar ini sebelum dia sadar.""B-bukannya dia sudah mati?" Lukman tergagap."Kita lihat saja nanti." jawab Ki Codet sambil mendorong pintu yang tadi tertutup lemari. Begitu pintu terbuka, Lukman langsung menutup hidung. Bau amis bercampur bau busuk menyeruak terbawa udara dari dalam ruangan. Perut Lukma
Lukman yang sejak tadi ketakutan sekarang merasa seluruh bulu kuduknya berdiri. Apa lagi saat mendengar suara burung hantu di antara rimbunnya pohon-pohon bakau. Gemuruh air sungai menambah suasana kian mencekam. "Mengapa kamu masih berdiri di sana? Ayo bantu aku mengangkat daging besar ini. Kita harus segara pergi sebelum hujan turun." Pria tersebut memandang gulungan awan hitam di langit yang seakan hendak menelan sang rembulan.Lukman yang sedang berpikir untuk kabur akhirnya tak punya pilihan lain. Setelah melinting celana jeans dan membuka jaket almamaternya ia pun menghampiri pria yang ternyata memiliki tanda codet di bagian pipinya. "Kamu anak kedokteran, toh?""I-iya." Lukman menjawab singkat. Ia bergidik saat beradu pandang dengan tatapan dingin pria tersebut."Berat juga tubuh codot yang kamu lumpuhkan. Kamu hebat. Biasanya aku mengambil korban si codot yang sering dilempar ke sungai ini. Tentunya setelah dipakai memuaskan nafsu syahwatnya. Tapi daging mereka tidak e
Mendengar cerita sahabat masa kecilnya, Lukman merasa semakin bersalah karena tak bisa menjaganya. Bagaimana bisa Tuhan membiarkan orang sebaik Diah menderita seperti ini. Andai waktu bisa diputar kembali dirinya ingin seperti dulu lagi. "Begitu juga dengan aku. Sejak kalian pindah aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Sempat hampir menyerah namun aku ingat kata-kata mu. Jangan menyerah. Hingga akhirnya aku bisa seperti ini." Lukman menahan suaranya agar jangan sampai terdengar rapuh."Tapi aku salut padamu, Man." Diah mengusap bening haru di sudut matanya."Kalau boleh tahu, putrimu sakit apa? Yah, walau aku tahu masalah orang-orang yang datang ke psikiater...." Lukman bicara dengan hati-hati. "Aku tak akan pernah bisa menyembunyikan apapun dari kamu, Man. Halnya dengan keadaan keluargaku. Baru saja aku merasakan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dengan orang-orang sakit jiwa." Diah menarik nafas dalam. "Maafkan aku. Tidak bermaksud membuka kisah lama mu. Aku turut
Milan mengambil foto yang bolong di bagian wajahnya. Mengamati dengan seksama mencari jejak si pengirim namun tak menemukan apa pun yang bisa dijadikan petunjuk. Yang membuat ia heran, di dalam kotak tersebut ada beberapa foto saat sedang di tempat wisata kampung bambu bersama Indah. Sambil mengatur nafas, Milan menyandarkan kepalanya ke belakang sandaran kursi. Ia tak habis pikir apa maksud orang yang mengirim teror tersebut. Selama ini dia tak pernah merasa punya musuh. Sambil memijit pelipis yang terasa sakit, Milan meraih ponsel yang berada di atas meja. Sebuah pesan masuk dari pak Indra membuat pria yang masih memakai seragam kerja itu terlonjak dan langsung keluar dari kamarnya."Baru saja sampe rumah sudah mau pergi lagi!" Bu Dian menegur putranya yang meraih kunci mobil dari atas meja. "Ian mau ke rumah Indah dulu, Bu." "Kalau mau ke rumah Indah Ibu setuju banget. Nginep juga ngga apa-apa!" Wajah Bu Dian berubah sumringah."Nanti nginep nya kalau sudah halal." Milan men
"Cieee .... yang dilamar Ayang!" Euis menggoda Indah yang memperlihatkan cincin di jari manisnya."Ini cincin dapat dari makanan tadi waktu di kampung bambu," jawab Indah sambil mencubit pipi adiknya."Mana ada cincin di makanan?" Euis mengeringkan matanya."Beneran, Is. Kalau ngga percaya tanya saja sama Kang Milan!""Euis ngga percaya. Teteh itu di kerjain sama Kang Milan!""Yee, Euis ngga percaya. Kata Kang Milan, ada temanya yang makan di sana terus dapat hadiah cincin.""Coba Euis lihat cincinnya." Euis menatap Indah yang langsung melepaskan cincin dari jari manisnya.Dengan seksama Euis memperhatikan cincin milik kakaknya. "Tuh, kan, Teteh ngga percaya sama Euis!""Maksud Euis?" Indah, Bu Diah dan Pak Indra menatap Euis yang sedang senyum-senyum."Tuh, masa iya cincin hadiah ada namanya." Euis memperlihatkan tulisan yang berada di bagian dalam cincin."Iya, Sayang. Tuh ada tulisan Indah & Milan." Bu Diah mendekatkan cincin pada Indah."Berarti Indah dikerjain Kang Milan, ya, Bu
Begitulah awal mula kedekatan Vanya dan Milan. Seorang ayah tentu saja ingin melihat putrinya menikah dengan orang yang baik dan itu ada pada diri Milan. Namun pada akhirnya ia tidak bisa memaksakan kehendak. Masalah pun datang dan semakin rumit ketika bisnisnya mulai tercium pihak kepolisian karena salah satu anak buahnya yang bernama Danang ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa di belakang rumah istri mudanya. Satu-satunya orang yang memegang rahasiahnya adalah Lilis yang berhasil ditangkap polisi. Sekali saja wanita itu membuka mulut maka semua kejahatannya akan terbongkar. Lukman beberapa kali mengunjungi Lilis di penjara. Namun hanya ancaman yang ia dapatkan."Sumpah! Bukan saya pelakunya. Tolong keluarkan saya dari sini atau kejahatan Bapak akan terbongkar di persidangan nanti!" Lilis menatap tajam wajah Lukman."Kamu jangan coba-coba mengancam saya tanpa bukti!" Lukman menekan suaranya."Justru bukti kuatnya ada pada wanita penjual sate itu. Dialah yang telah memut
"Maksud Akang, yes kita makan," jawab Milan sambil menatap tangan Indah yang melingkar di pinggangnya.Indah mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran yang terletak di pinggir danau. Saung-saung kecil yang unik mengelilingi danau kecil sehingga sangat indah. "Kamu ternyata romantis juga, ya. Pinter memilih tempat," ucap Milan begitu mereka duduk sambil menunggu pesanan datang."Sssttt, makanan sudah datang. Ngegombalnya nanti lagi." Indah menyilang kan telunjuk di bibirnya."Bener, ya, nanti lagi." Milan tersenyum jail.Gurame bakar, ulukutek leunca, sambal terasi, lalapan, nasi liwet dan beberapa makan khas kuliner sunda begitu menggugah selera. Namun saat Indah sedang asik menikmati makan ...."Kenapa, Ndah?" Milan menatap Indah yang sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam mulutnya."Kok, di makanan Indah ada cincinnya?" Indah mengamati benda mengkilap berupa cincin."Wahh, kamu beruntung." Milan seolah tak perduli dengan keheranan Indah. Ia asik dengan makanannya."Jangan