Untung, rencana ibuku untuk mengajak kami makan malam bersama Om Anton dibatalkan karena Ibu kerja lembur hari ini—tadi pagi setelah atasannya menelpon, Ibu buru-buru keluar rumah dengan wajah kesal. Ya ... sebuah kebetulan yang luar biasa. Jadi aku bisa menuruti permintaan Adib makan malam di rumahku.
Aku menyarankan adik-adikku untuk menonton televisi selagi aku memasak makanan, dan Adib yang menjadi pahlawan hari ini, menemaniku di dapur—Ando sangat menyukainya.
Kalau saja aku tahu Adib akan membayar semua belanjaanku, semestinya aku ambil juga roti tawar permintaan Ando. Ya ... walau terdengar sedikit tidak tahu malu, toh pada akhirnya aku malu juga tadi.
Aku dan ibuku selalu berusaha untuk tidak membicarakan keadaan ekonomi keluarga kami di depan Ando. Entah kenapa dia pintar sekali, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya belum dia mengerti. Suatu hari Ibu pernah membicarakan tentang meminjam uang untuk membiayai kuliahku, dan saat itu ibuku benar-benar terlihat frustasi. Wajah kecil Ando terlihat cemas ketika melihat tingkah Ibu, dan sejak saat itu, aku dan ibuku hanya akan membicarakan uang ketika dia sudah tertidur.
Aku menyalakan kompor dan meletakkan panci berisi air di atasnya. Adib yang duduk di kursi meja makan, terus memandangiku. Tentu saja tidak akan sakit dipandang seseorang, tapi dalam kasus ini, pandangan itu terasa meresahkan.
Aku harus membuka pembicaraan agar suasananya menjadi lebih hidup. "Bagaimana kau tahu mereka menyukai Cha-Cha?" Tentu saja itu pertanyaan yang payah.
“Normalnya, semua anak kecil menyukai Cha-Cha. Kau tidak perlu menanyakan itu,” jawabnya sambil bersandar di kursi.
Tentu saja aku tahu itu, dan entah kenapa aku menanyakannya.
Aku berdiri di depan kompor sambil menunggu air mendidih, dan ... Adib, oh ya ... aku sedikit curiga dengannya. Sepertinya dia tetap menguntitku. Pikiran ini terbentuk sejak aku bertemu dengannya di swalayan, dan yang aku khawatirkan; sepanjang hari ini dia mengikutiku, yang berarti, dia ada di belakangku saat aku menjemput Edit di prasekolah, lalu saat aku ke sekolah dasar untuk menjemput Ando. Tapi ... dia tidak mungkin melakukannya, kan?
Aku pikir—berharap—bahwa aku tidak akan bertemu lagi dengannya di luar kampus, setelah perbincangan kami kemarin.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" sekonyong-konyong dia bertanya.
Aku melirik Adib dan memutuskan lebih baik bertanya langsung kepadanya. “Kau tidak mengikutiku, kan?”
Adib menatapku, kedua lengannya dilipat di depan dada. Dia tidak membenarkan pertanyaanku, tapi tidak juga menyangkalnya.
“Maksudku, kau bilang tadi di swalayan sedang belanja, tapi kau jelas tidak membeli apa-apa." Aku berhenti, tiba-tiba tergoda untuk bertanya tentang; “Kau mengikuti juga, saat aku ke sekolah adik-adikku?” Terdengar seperti menuding, tapi harus aku tanyakan, karena dia tahu aku menjemput adik-adikku. Adib di dalam kamar saat Ibu memintaku untuk mengantar adik-adik sekolah.
Sejenak, aku melirik ke arah ruang keluarga untuk memastikan adik-adikku masih asik menonton televisi. Aku tidak ingin mereka mendengar percakapanku dengan Adib. Apalagi sekarang Ando sudah menyukainya. "Tolong hentikan,” kataku setelahnya.
Masih tanpa ekspresi, Adib berkata, "Aku tidak melakukan apa-apa."
Aku tidak mempercayai ucapannya. “Aku satu-satunya orang yang terlibat dalam hal ini. Aku. Adik-adikku tidak ada hubungannya dengan ini, dan jika kau mengancam mereka … ” Aku berhenti, karena tidak punya apa-apa untuk mengancamnya. Aku juga tidak bisa membuat ancaman seperti akan melaporkannya ke polisi, karena itu hanya akan membuatnya marah kepadaku.
"Terus?"
“Aku yakin kau sedang mengikutiku. Aku sudah berjanji, kan, kepadamu, dan kau bisa mempercayaiku.”
Dua sampai tiga detik Adib terdiam sambil menunduk. Kemudian, tanpa menatapku dia berkata, “Ya, aku mengikutimu. Sebenarnya aku percaya kepadamu, tapi ... entah. Aku hanya ingin tetap mengamatimu.”
Aku menggeleng dan berkata dengan kesal, “Kalau kau seperti itu, aku merasa seperti sedang diancam!”
Dia tersenyum geli seolah aku sedang bercanda. “Lalu, apa yang harus aku lakukan agar kau tidak merasa terancam?”
“Tinggalkan aku! Jangan mengikutiku lagi!”
Dia menatapku, tapi aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. “Itu yang kau inginkan?”
Mataku melotot. "Iya!"
Untuk sesaat, dia tidak berkata apa-apa, hanya duduk dengan tangan masih disilangkan. Setelah beberapa saat, dia berdiri, lalu melangkah menuju ruang keluarga.
Aku tidak tahu apa yang sedang dia rencanakan, dan saat langkah Adib sampai di pintu depan, membuka pintu dan keluar, aku merasa bingung.
Ando berlari masuk ke dapur dan betanya, “Kak, kok, Kak Adib pergi?”
Aku terdiam sambil menatap wajah kecil Ando. “Dia ada perlu,” jawabku tidak yakin.
"Kak Adib enggak jadi makan sama kita?”
“Ya.” Aku mengangguk, dan bagian terburuk dari semua ini; entah kenapa aku merasa bersalah.
***
Aku duduk di kelas sebelum mata kuliah dimulai. Sambil sesekali melirik ke pintu masuk, aku cukup cemas menunggu siapa yang akan duduk di sampingku; Adib atau Riko?
Ternyata Riko masuk lebih dulu. Entah kenapa, mengingat tingkahnya yang pengecut dua hari lalu, bukannya merasa lega karena kemungkinan besar dia duduk di kursi sebelahku, malah aku merasa kecewa. Dan yang membuat aku semakin kecewa dengannya; saat dia berjalan melewati mejaku tanpa menyapa atau—bahkan—tanpa melihatku. Apa-apaan orang itu!
Adib masuk tepat sebelum jam mata kuliah dimulai. Dia duduk di sampingku, tapi tidak melihat ke arahku sama sekali, justru aku yang berkali-kali meliriknya. Karena dia, aku sampai tidak bisa tidur semalam. Kejadian di dapur adalah penyebabnya. Aku benar-benar merasa bersalah sudah mengucapkan hal yang ... seperti mengusirnya? Ya, seperti mengusirnya.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya dia sama sekali tidak mengganggu adik-adikku, bahkan Ando menyukainya karena menganggap dia baik. Adib juga tidak pernah mengatakan secara jelas kenapa mengikutiku, dan kenapa dia mau? Lalu saat aku menginginkannya untuk pergi, mengapa dia menurutinya jika tujuannya memang ingin menggangguku?
Aku benar-benar merasa sudah menyakiti perasaannya—memang, itu terdengar konyol—dan sepertinya dia marah kepadaku. Tidak ada interaksi antara kami di dalam kelas, sampai kelas selesai.
Rasanya seperti kelas terpanjang yang pernah ada.
Tak lama setelah dosen keluar kelas, Adib mengambil tas kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan kelas. Sebenaranya itu bukan masalah, tapi entah mengapa dengan cepat aku berdiri dan berjalan cepat mencoba menyusulnya.
“Dib?!”
Dia melambat, menoleh ke belakang sambil mengernyit.
Saat aku melihat wajahnya seperti itu, dia terlihat sangat imut, tetapi tentu saja tidak pantas mengingat dia seorang penjahat, jadi aku harus menyingkirkan pikiran itu. Dan aku merasa malu saat dia menatapku dengan bingung.
Namun dia berhenti. Aku pikir dia akan mengabaikanku, atau mungkin ... karena aku menyimpan rahasianya?
Aku berhenti seketika saat jarakku dengannya sekitar tiga meter lalu tersenyum sedikit canggung. Adib hanya menatapku, padahal aku berharap dia bicara sesuatu.
“Kau marah?” tanyaku kepadanya dan aku tahu itu konyol sekali.
“Marah? Marah kenapa?”
Oh Tuhan ... aku malu sekali. Namun sudah terlanjur basah. “Aku minta maaf soal yang kemarin.”
Lagi-lagi dia hanya menatapku, tanpa tanggapan apa pun.
“Aku hanya … aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Tapi a-aku berpikir, kemarin kau akan menyakitiku dan adik-adikku. Jadi, aku—“
Mata Adib menyapu sekitar, lalu dia mencengkeram lenganku dan menarikku ke ruang kelas terdekat. Gelap, tidak ada mata kuliah di kelas itu. Setelah masuk, dia menyenderkanku ke tembok, lalu menutup pintu. Dari posisi ini, orang dari luar tidak ada yang bisa melihat kami.
“Kau ingin mengatakan semua itu keras-keras agar semua orang tau?” tanyanya.
"Maaf," bisikku. Entah kenapa aku tidak merasakan takut seperti sebelumnya dan, di dalam kelas yang kosong ini, Adib berdiri teralu dekat denganku ... jantungku berdebar-debar.
Mata cokelat tuanya menatapku lekat-lekat, dan setelah beberapa detik, dia berkata, “Aku tidak mengikuti untuk menyakitimu.”
Aku menelan ludah. “Lalu, kenapa?” tanyaku kemudian.
Dia mengangkat bahu. “Aku hanya ingin tahu kegiatanmu.”
Masih terdengar tidak normal dan serampangan. "Kenapa?" tanyaku lagi, dan aku memberanikan diri untuk membalas tatapannya.
Lagi-lagi dia mengangkat bahu, tapi tidak mengatakan apa pun. Pandangannya yang begitu tajam tak tergoyahkan, tapi ada sesuatu di mata cokelatnya yang hangat, sesuatu yang tak terduga dan aku merasakannya ... sedih. Hal itu menyentuhku, kerentanan yang aku rasakan. Aku mencoba mengingatkan diriku sendiri tentang kejahatan yang dia lakukan di malam itu agar tidak terpengaruh dengan tatapannya, tapi tidak bisa. Saat ini, aku tidak takut kepada Adib.
Aku tertarik kepadanya.
Dan aku pikir dia juga tertarik kepadaku.
Adib menghembuskan napas dan melangkah mundur menjauh dariku. Entah kenapa aku tidak ingin dia menjauh—itu gila, tapi ...
Saat aku mengambil satu langkah ke depan, dia kembali mendekat, tangannya menekan dinding, tangan yang lain merangkul pinggulku.
Dia membuatku terdesak di dinding. Jantungku berdegup lebih kencang dan pikiranku berpacu, mencoba mengartikan semuanya—tangannya di pinggulku. Dia sangat dekat, sangat-sangat dekat.
Dan kemudian: "Bolehkah aku menciummu?"
Mendengar itu aku terkejut. Aku harus berbicara, tapi tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat. Dan bodohnya, aku mengangguk.
Adib mencondongkan tubuh ragu-ragu, seolah memberiku waktu untuk berubah pikiran, dan kemudian, bibirnya menyentuh bibirku. Awalnya itu hanya sebuah kecupan yang lebih lembut dan hangat dari yang aku harapkan. Jari-jarinya mengelus pinggulku dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Lidah Adib menyapu bibir bawahku dan secara natural, aku membuka bibirku. Yang terjadi selanjutnya, lidahnya masuk ke dalam mulut, dan astaga ... nikmat sekali, kepalaku seakan dipenuhi dengan adrenalin. Aku memeluknya, menariknya lebih dekat, dan dia menurut, semakin menghimpitku ke dinding. Saat lidah kami menemukan ritme yang pas, dia mengepal tangan di rambutku dan desahan tak berdaya keluar dari mulutku.
Dia menciumku seperti dia akan melahapku, dan sejujurnya, aku ingin dia melakukan itu.
Tanganku meluncur ke perutnya—aku tak tahu bagaimana atau mengapa, tapi itu terjadi. Dengan hasrat yang memenuhiku, memicu setiap sentuhan lidahnya di lidahku, aku berbohong jika mengatakan tidak ingin merobek kemejanya. Aku membayangkan dia membaringkanku di salah satu meja, berdiri di antara dua kakiku ...
Whoa, whoa, whoa. Aku melepas ciuman itu. Aku merasa sedikit bingung, bingung dengan nafsu yang aku rasakan. Aku tidak pernah seperti itu sebelumnya. Lagi pula, aku tidak pernah dicium sehebat itu.
Aku bersandar di dinding, mencoba mengatur napas.
Saat sihir yang dilakukan mulutnya kepadaku hilang, sekonyong-konyong aku merasa malu. Bukan hanya karena aku membiarkan dia menciumku, tapi karena beberapa detik yang lalu, aku ingin dia melakukan lebih dari itu. Ini bukan aku.
Dan astaga ... sekarang apa yang dia pikirkan tentangku?
“Aku harus pergi,” kataku, karena aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Pergi?” tanyanya, tapi tampaknya dia biasa-biasa saja. Seperti tidak ada yang sudah terjadi.
Mataku bertemu sekilas dengan matanya, tapi kemudian aku menunduk, sedikit canggung. “Aku biasanya tidak … ”
Dia mengangguk, lalu menatapku. Aku pikir.
“Maksudku, aku tidak pernah … ”
Bibirnya sedikit melengkung dan dia mengangguk lagi.
Melangkah menjauh dari dinding dan ke samping, aku bergerak mengelilinginya menuju pintu. "Aku harus pergi."
Dia tidak menjawab dan aku tidak melihat ke belakang saat bergegas keluar dari ruang kelas dan menelusuri lorong yang sekarang kosong. Aku berharap dia tidak mengikuti.
Rencananya aku akan pulang ke rumah setelah semua kelas selesai. Aku tidak ingin bertemu Adib setelah kejadian kemarin, untung saja hari ini tidak ada kelas Bahasa Inggris—satu-satunya mata kuliah yang aku dan dia sekelas. Jadi ketika aku keluar kampus dan melihatnya sedang menunggu di depan kampus, itu adalah hal yang sangat mengejutkan.Dia duduk di dalam sedan merah dengan pandangan yang mengawasi, aku ingin bersembunyi, tapi lebih dulu dia membunyikan klakson.Adib menghidupkan mobil ketika langkahku sudah dekat.“Na,” dia menyapa dan untuk pertama kalinya memanggil namaku—Irina. Entah kenapa aku merasa tersanjung."Hei, Dib," balasku sambil melangkah mendekatinya.“Kau seperti terburu-buru. Ada apa?”Aku berhenti di depan jendela mobil pengemudi, menatapnya beberapa saat, dan bertanya, “Dan kau, ngapain di sini? Kau menungguku dan memanggilku dengan nama. Semua or
Aku mengenakan celana denim biru ketat dan rencananya akan memakai sepatu Converse hitam ber-lis putih, tapi sepertinya aku tidak bisa menemukan atasan yang tepat."Bukan yang itu juga," gumamku, lalu dengan kasar menggeser gantungan plastik di tiang di lemariku.Ada ketukan di pintu depan dan sontak aku terkejut, lalu meraih kemeja putih dan melepas gantungannya. “Biar aku saja yang buka pintu!” aku berteriak, dan berharap ibuku mendengarnya.Aku berhenti sejenak di meja rias untuk bercermin dengan cepat dan keluar dari kamar. Pintu kamar menutup di belakangku tepat saat ibuku membuka pintu depan, padahal aku sudah berusaha menghentikannya.Aku menghela napas, mengangkat tali tas kecil di pundakku dan menuju Adib yang berdiri di luar.“Aku ibunya Irina,” kata ibuku dengan senyum yang sangat antusias.Adib mengangguk, tangan dikeluarkan dari dalam saku lalu diangkat seti
Aku berhasil mengakhiri ‘kencan’ dengan sukses: tidak ada masalah, tidak ada rasa menyesal, dan aku tidak membiarkan Adib menciumku.Dia ingin menciumku, aku bisa melihatnya, tapi aku tidak ingin memberikannya—walau ingin. Itu terlalu beresiko untukku dan ketidakjelasan hubungan kami ... ya, itu juga salah satu alasannya.Aku buru-buru masuk rumah saat mobil yang dikemudikan Adib berhenti, menutup pintu depan dan bersandar, semua berjalan lancar tapi entah kenapa aku tidak merasa senang.Malam ini harusnya menjadi malam yang ‘normal’. Aku sudah beberapa kali makan malam dengan pria, dan tidak ada bedanya dengan malam ini. Namun sesuatu yang ‘lain’ tentang Adib secara tak terduga datang, dan hal itu membuatku ingin mengenalnya lebih dalam bahkan, ada sedikit perasaan bahwa aku menginginkannya. Secara fisik, itu akan sangat logis—aku manusia, dan dia pria yang sangat tampan—tapi aku takut menginginkan dia di level lain.
“Tadi saat sedang menuju kampus, aku melihat pacarmu sedang berbicara dengan cewek lain. Mereka terlihat akrab.”Aku mendongak saat Rini meletakkan piringnya di atas meja kantin. “Maksudnya?”“Maksudku, Adib.” Dia meminum Teh Botol. “Aku melihatnya tadi, ya ... hanya ingin memberitahumu saja,” katanya kemudian.“Cewek lain ... siapa?” tanyaku sambil mengernyit.“Entah, aku tidak mengenalnya. Tapi dia cantik, seperti artis FTV.” Lalu dengan lagak kasihan yang dramatis, dia berkata, “Aku ikut perihatin. Semoga kau lekas mendapatkan pria lain yang bisa kau ajak ke pestaku.”Aku memutar bola mata dan melanjutkan menyantap makananku—mie ayam sepuluh ribu. Rini bicara lagi—dengan sinis yang sudah pasti—dan masih tentang Adib yang dia lihat sedang berbicara dengan cewek yang entah siapa.Lama-lama aku bosan juga mendengar ocehannya. Jadi aku celingak-celinguk menatap kant
Aku sedang dalam perjalan menuju kampus, dan kali ini aku yang melihat Adib sedang bersama Artis FTV. Kulitnya terlihat lebih gelap dari Adib—Jawa? Aku tidak bisa menebaknya dari jarakku sekarang, tetapi aku tahu dia cantik ... dan sedang tertawa sambil memukul pelan tangan Adib. Adib balas tersenyum, lalu mereka berjalan memasuki kampus.Apa yang aku lihat membuat kakiku tidak bisa digerakkan. Pikiranku meminta untuk mengikuti mereka, mendekat, dan pura-pura menyapa. Wanita itu mungkin hanya temannya, dan tidak ada yang aneh, kan, kalau Adib mengajaknya ke kampus untuk memperkenalkannya kepadaku?Tapi tubuhku sepertinya tidak menyukai kemungkinan itu. Kakiku tetap sulit digerakkan, pandanganku menatap gerbang yang baru saja mereka lewati, berdua. Hari ini mungkin aku tidak akan melihat Adib di kampus sampai kelas bahasa Inggris, dan semua itu membuatku merasa tidak nyaman.Aku lega saat Adib memasuki kelas sebelum bel, tetapi
Adel mengemudi selama hampir dua puluh menit dari kampus sampai toko kue milik Mutiara. Dia diam saja selama di perjalanan. Hal itu membuatku gugup. Namun ketika mobilnya berhenti dan kami melangkah menuju toko kue bercat hijau ..."Ini dia!" katanya ceria. Aku jadi tidak bisa menebak seperti apa dia sebenarnya, dan aku tidak bisa berhenti memikirkan siapa Adel: wanita yang diizinkan Adib mengenal semua orang yang tidak boleh aku kenal.Bel mungil emas yang tergantung di pintu berdentang saat Adel membukanya dan melangkah ke dalam. Seorang wanita berambut hitam, mungkin berusia akhir dua puluhan, mendongak dan tersenyum. Dari tatapannya, jelas dia mengenal Adel.“Kue Oreo?” tanya wanita itu yang aku tebak dia adalah Mutiara.“Wah! Siapa kau sebenarnya? Peramal? Kenapa kau tahu apa yang aku inginkan?” canda Adel, dan kedua wanita itu tertawa. Lalu dia merangkulku seperti seorang sahabat. “Ini temanku. Aku tidak tahu
Rini benar-benar mengadakan ‘Pesta Amerikanya’, dan aku tidak pergi, walau tadi dia memaksaku untuk datang.Sebaliknya, aku justru pergi ke bioskop bersama Adib. Ibuku tidak senang, karena sebelumnya dia mengharapkanku menjaga adik-adikku di rumah, jadi ... ya, dia harus membawa adik-adikku ke acara makan malamnya bersama Om Anton. Itu berarti ... untuk beberapa waktu, malam ini rumahku kosong. Dan aku memutuskan setelah selesai nonton, aku mengajak Adib untuk ke rumahku.Adib berdiri dengan sabar saat aku mengambil kunci rumah dari dalam tas dan menggemerincingkan kunci itu setelah mengeluarkannya. “Aku beritahu; ini yang disebut kunci. Benda ini yang harus kau pakai saat ingin memasuki rumah.”Dia tersenyum geli, melangkah ke belakangku dan melingkarkan lengan di pinggangku. Aku merinding saat bibirnya menyentuh tengkukku. Hal itu membuatku membuka pintu dengan cepat, melangkah terburu-buru, dan tersandung keset. Untun
Biasanya aku sangat membenci hari Senin, tetapi saat aku berdiri di depan pagar Sekolah Dasar—dipenuhi orang tua murid menunggu anak-anak mereka, aku berharap Ando masuk ke kelas sehingga aku bisa bergegas ke toko roti untuk hari pertamaku bekerja.Aku memutuskan untuk bolos kuliah hari ini. Pekerjaan ini membuatku menjadi sangat bersemangat. Aku sudah membicarakan ke Adib tentang ini kemarin, dan dia memperbolehkannya. Lagian, aku tidak ingin melihat wajah Rini. Temanku itu pasti marah karena aku tidak datang ke Pesta Amerikanya.Aku tidak bisa menahan senyum, bertanya-tanya akan seperti apa nanti. Ini adalah pekerjaan pertamaku, dan aku juga mendapatkan kesempatan untuk menjalin hubungan baik dengan salah satu saudara Adib—Mutiara.Saat Ando sudah memasuki kelasnya, aku memutar tubuh dan hampir menabrak seorang pria yang sejak tadi—sepertinya—berdiri di belakangku.“Oh, maaf,” katanya—padahal aku yang sala
Aku menaiki tiga anak tangga di beranda, lalu melangkah memasuki pintu utama rumah baru kami, menuju ruang tamu.“Kau tahu, rumah ini memiliki kunci yang bagus. Tidak mudah diduplikat. Jadi kalau kau menguncinya dari dalam, aku tidak akan bisa masuk,” canda Adib dan aku tertawa. Tentu saja itu mengingatkanku saat dia menerobos masuk ke dalam rumahku dan berbaring di ranjangku jam tiga dini hari."Aku suka karpetnya," kataku padanya. "Itu terlihat lembut.""Dan jika kita menggunakan kunci ini di kamar juga, itu akan menjadi masalah bagiku ketika kau sedang merajuk,” candanya lagi.Aku berputar untuk melihatnya yang sejak tadi berdiri di belakangku, meletakkan tangan di pinggulnya, dan memberinya tatapan sebal. “Ini rumah pertama kita. Biarkan aku menikmati ini. Berhenti bercanda tentang kunci.”Dia memutar matanya, tetapi dia tersenyum. Aku menikmati kelembutan dalam dirinya sekali lagi—sudah lama se
Begitu kata-kata itu keluar, aku merasa bingung sendiri, bertanya-tanya apa yang baru saja aku putuskan.Aku hanya bisa melihat sekilas kemenangannya—dia memadamkan kilauan di matanya sebelum dia membuatku takut. Rekam jejaknya pada saat ini tidak memberikan rekomendasi apa-apa, dan aku bisa saja menggali kuburanku sendiri sekarang alih-alih terowongan pelarian.Dengan bijak, dia tidak memberi aku waktu lagi untuk memikirkannya. Begitu tangannya menyelinap di bawah kain tipis rok, menangkup pantatku dan menarikku ke arahnya, semua kemampuan untuk berpikir mengalir keluar dari diriku. Mengetahui semua yang sebelumnya dia lakukan kepadaku, seharusnya membuatnya tidak menarik di mataku, tidak menggairahkan, menjijikkan—tetapi entah bagaimana itu hanya membuatku mengetahui dia menginginkanku, meskipun hanya untuk sebuah permainan yang anehnya mendebarkan.Aqmal menundukkan kepalanya ke belahan dada yang tumpah keluar dari korset. Saat b
Mulutku menjadi kering dan pikiranku berpacu. Pestanya digrebek—dan apa yang akan terjadi sekarang? Aku akan dibawa ke kantor polisi, diintrogasi, tidak tahu bagaimana dan apa yang harus aku katakan, Aqmal dan Adib akan ditangkap—ini benar-benar bencana.Kemudian si Perut Buncit menempelkan jari ke bibirnya, menandakan aku harus diam.Sudah terlambat untuk memperingatkan mereka. Sudah terlambat untuk memberi tahu Aqmal … aku bahkan tidak tahu apa yang bisa aku katakan padanya, karena semua ini pasti tentang dia.Polisi akan menangkapnya.Seharusnya aku merasa lega karena Aqmal akan ditangkap, tetapi entah kenapa aku tidak merasakan itu.Perut Buncit mengambil satu langkah ke depan dan aku mundur ke belakang beberapa langkah dengan cepat, dia bergerak masuk melewati pintu. Aqmal memandangnya, tetapi biasa-biasa saja. Apakah Aqmal tidak tahu kalau itu polisi?"Itu dia, kau bajingan pe
Adib duduk di tepi tempat tidur, mengamati Adel menggulung rambutku.Tidak ada yang berbicara. Terkadang Adel, ketika dia harus menyuruhku memiringkan atau tidak menggerakkan kepalaku, tetapi Adib dan aku sama-sama diam.Akhirnya selesai, dia mengambil hair spray dan menyemprot rambutku.“Apakah kau perlu ada di pertandingan itu?" tanya Adib, dengan perasaan kesal.Aku agak menyesal tidak menerima tawaran Aqmal untuk membuat Adib sibuk. Mungkin seharusnya aku memintanya, meskipun aku tetap akan memberi tahu Adib tentang ini. Tidak membantu siapa pun untuk membuatnya duduk di sini, menonton Adel mendandaniku atas perintah Aqmal, tidak ada dari kami yang tahu persis apa yang akan aku alami nanti, karena kami semua sadar apa pun bisa terjadi.Adel mengerti situasi di kamar ini, jadi dia tidak mengatakan apa-apa sebagai tanggapan.“Ayo ambil pakaiannya. Di mana kau meletakkannya?
Walau aku sudah keluar dari kamar Aqmal dan kembali ke kamar Adib, aku tetap tidak bisa merasa aman selama berada di rumah. Aku masih memikirkan kemungkinan adanya kamera tersembunyi sepanjang waktu, karena tidak ada yang terlihat di kamar Adib, yang berarti ada yang tersembunyi. Adib tidak menyentuhku lagi, dia memberiku waktu agar menyembuhkan memar yang ditinggalkan Aqmal di tubuhku.Hari-hariku cukup aman, aku pergi ke kampus, toko roti, dan bersembunyi di kamar Adib. Aku tidak bertemu Aqmal sampai hari ini, saat makan malam di Rabu malam.Asih datang untuk memberitahu Aqmal ingin menemuiku di ruang kerjanya sebelum makan malam. Dia membawa tas pakaian, tetapi aku tidak membukanya.“Bagaimana jika aku tidak ingin bertemu denganya?” Aku bertanya. Aku tidak tahu akan seperti apa reaksinya ketika bertemu lagi denganku setelah beberapa hari, dan entah apa yang ingin dia bicarakan hingga memanggilku ke ruang kerjanya. Aku benar-benar
Adib memelukku selama sisa malam itu. Aku berpikir seseorang akan datang memanggilku atas perintah Aqmal—setidaknya salah satu dari dari orang-orang Bramantyo yang dekat denganku—semalam, tetapi itu tidak terjadi. Aku tertidur beberapa saat sebelum matahari terbit, dan aku masih kelelahan saat mendengar alarm di ponsel Adib berdering.Aku menunggu dia mematikannya, tetapi setelah satu menit, aku berguling dan melihat dia tidak ada di sana. Aku meraih untuk mematikan benda sialan itu dari diriku, menggosok pelipisku saat kepalaku berdenyut. Ini akan menjadi hari yang melelahkan lagi.Putri membawakanku sarapan, yang biasanya tidak dilakukannya, jadi kurasa salah satu dari Adib atau Aqmal pasti menyuruhnya. Aku tidak tanya yang mana. Aku tidak peduli.Aku tidak mencari siapa pun untuk mengantarkanku ke kampus. Ada cukup waktu untuk berjalan dan aku bisa merasakan udara segar.Jarakku dengan kampus mungkin sudah seteng
Aku tidak bangun dari tempat tidur untuk melakukan lebih dari mandi atau buang air kecil sampai hari Minggu, bahkan aku tidak keluar kamar. Aqmal menyuruhku sarapan, meskipun itu membuatku mual, dan aku akan tinggal di sini lebih lama dalam cangkang kecilku yang mati, hanya saja dia tidak mengizinkanku.Menggantungkan tas pakaian baru di kaki tempat tidur, dia berkata, "Waktunya bangun.""Untuk apa?"“Ini hari makan malam keluarga. Kau wajib ikut.”"Aku harus ikut?”Dia hanya tersenyum.Sesungguhnya aku tidak siap untuk neraka ini, tetapi aku memaksa diri untuk mandi dan berpakaian. Baju baru itu berwarna putih dan tanpa lengan, berleher tinggi, dan agak ketat. Menatap diriku di cermin kamar mandi Aqmal, aku mempertimbangkan ironi bahwa dia mendandaniku dengan pakaian putih sekarang karena aku telah dinodai hingga tidak bisa dibersihkan lagi.Untuk sepatu, dia memba
Aku tidak tahu harus pergi ke mana setelah Aqmal selesai denganku.Dia turun dari tempat tidur, membersihkan dirinya, lalu berpakaian. Aku tidak bergerak. Kengerian telah menelanku. Aku tidak tahu ke mana akan pergi setelah ini.Apa yang akan terjadi padaku?Apakah aku harus kembali ke kamar Adib?Seperti kata Aqmal sebelumnya; apakah Adib benar-benar sudah tahu apa yang sudah terjadi? Apa yang diketahui Adib?Ya Tuhan. Adib.Menelan gumpalan di tenggorokanku, aku mencoba untuk mematikan perasaan takutku. Aku tidak bisa memproses semuanya sekarang, yang aku butuh sekarang … ketiadaan.Setelah selesai, Aqmal terlihat sebagus yang dia lakukan di meja makan saat sarapan, semuanya, dia mengenakan setelan mahalnya. Tidak ada yang bisa tahu ada monster di dalam dirinya. Monster yang sangat kejam dan bengis dan berengsek. Rambutnya sedikit lebih berantakan daripada t
Aku tidak berdaya saat Aqmal mendorongku masuk ke kamar tidurnya. Aku mencoba melepaskan diri dengan mendorongnya, tetapi dia terlalu kuat dan energiku sudah habis bahkan sebelum bertemu dengannya. Ketika dia mendorongku ke tempat tidurnya, aku mencoba untuk merangkak pergi, tetapi dia lebih cepat daripada aku.Di atas tempat tidur dia menekan kedua lenganku ke atas bantal empuk dan mengangkangi tubuhku. Matanya bersinar seperti singa yang hendak memakan kijang, seperti dia menang. Aku ingin bertanya kepadanya; apakah lega rasanya tidak harus berpura-pura baik lagi?"Lepaskan aku," ucapku sambil menangis."Oh, tentu tidak. Justru ini bagian yang menyenangkannya.” Dia memberitahuku, membungkuk untuk mencium leherku. “Tahukah kau betapa sulitnya untuk tidak berbicara saat aku menidurimu, Irina? Itu seperti penyiksaan. ""Berhenti mengatakan itu. Itu bukan seks! Itu pemerkosaan!"Sambil memutar m