Angin bertiup kencang dari arah laut. Dahan-dahan pohon maple bergoyang karena terapannya. Menjadikan daun-daun kemerahan yang berguguran dan jatuh ke tanah.Jarum jam besar yang terpampang di atas gedung kejaksaan menunjuk ke angka sepuluh pagi.Persidangan kasus berat yang melibatkan Marquez de Fortman pun sedang berlangsung.Di tengah ruangan sidang tampak Marquez yang duduk di kursi pesakitan. Sedang deretan meja dan kursi di sekelilingnya diduduki oleh para jaksa penuntut dan pengacara.Orang-orang yang ingin menyaksikan jalannya sidang sudah duduk tertib pada kursi yang sudah dipersiapkan. Wajah mereka tampak penasaran dan tak sabaran menunggu keputusan sidang.Marisa, wanita itu duduk di kursi depan bersama puluhan hadirin lainnya. Kedua tangannya diletakkan pada tas branded yang berada di pangkuan. Wajahnya yang memakai make up tebal tampak tenang-tenang saja.Sesekali ia melirik ke arah pria tampan berpakaian stelan jas hitam yang duduk di seberangnya. Aaron de Fortman, laki
Teluk Alexandria tampak tenang menjelang petang. Burung-burung camar terbang rendah di antara nyiur yang melambai-lambai.Sinar jingga di ufuk barat nyaris menghilang saat mobil-mobil mewah melaju dengan kecepatan standar memasuki mansion Keluarga Fortman."Tuan Muda sudah kembali. Mungkin Anda akan segera diminta untuk meninggalkan mansion ini."Marisa yang sedang berdiri di tepi teras balkon kamar dibuat terkejut saat seorang asisten menemuinya. Dia diminta berkemas dan segera meninggalkan rumah mewah ini?Batang rokok yang terjepit di antara kedua jarinya masih cukup panjang dan mengepulkan asap tipis. Dia tak sudi jika harus diusir dari rumah ini."Katakan pada mereka jika aku tak mau pergi.""Tapi kau harus pergi sekarang juga!"Deg!Suara bass itu membuat nafasnya tercekat di tenggorokan. Marisa yang sedang merokok jadi terbatuk-batuk. Dengan tidak yakin ia segera memutar tubuhnya guna menemukan wajah pria yang bicara.Aaron?Sepasang matanya terbelalak lebar saat melihat sosok
Mansion Keluarga Fortman malam hari.Suara monitor Electrokardiogram (EKG) menyambut indera pendengaran saat langkah sepasang tunggkai jenjang yang dipasangi heels warna merah memasuki sebuah kamar.Tuan Besar Fortman, pria itu masih terbaring di tengah ranjang pasien. Sudah nyaris sepuluh tahun ia koma. Tepatnya saat Pusat Kejiwaan menyatakan jika putranya-Aaron de Fortman-tidak waras.Semangat untuk kembali pulih tentu masih ada. Namun, Marisa yang licik sengaja menghambat semua itu. Dengan terbaring koma seperti ini, dia akan lebih mudah mengendalikan Tuan Fortman dan semua aset kekayaannya.Suara ketukan ujung hak heels menyentuh lantai marmer di ruangan memecah kesunyian dan mendominasi suara monitor yang merekam aktivitas jantung pasien di kamar itu.Marisa menaikan sudut bibirnya melihat kondisi Tuan Fortman yang tak berdaya. Pria itu hanya bertahan dengan beragam alat medis."Kau mungkin akan mati jika mendengar kabar yang akan aku sampaikan padamu, Sayang."Wanita itu bicara
Hari mulai siang saat Jeremy melajukan super car warna biru metalik menuju pusat kota. Aaron yang duduk di sampingnya tampak menikmati perjalalan.Akhirnya semua sudah selesai. Marquez sudah di tahan dan akan segera di eksekusi mati. Lantas, apa rencananya selanjutnya?Apalagi?Tentu saja melamar Miranda. Kemudian mereka menikah dan tinggal di penthouse bersama. Hari-hari akan terasa jauh lebih indah pastinya.Aaron mengulas senyum seraya membayangkan semua hal yang indah yang akan segera ia lalui bersama Miranda. Jeremy tak sengaja melihat senyuman di wajah Tuan Muda Fortman segera berdehem. Dan saat manik-manik biru terang Aaron melirik ke arahnya, Jeremy menyambut dengan senyuman hangat."Saya sangat senang karena kini Anda sudah kembali memimpin perusahaan. Seluruh kota sedang menanti Anda, Tuan Muda. Anda sudah menjadi idola mereka."Aaron tersenyum mendengar ucapan Jeremy. "Kau sangat pandai dalam bicara, Jeremy. Mana mungkin aku menjadi idola? Aku bahkan baru keluar dari ruan
Hari berikutnya di Pusat Kejiwaan San Alexandria. Miranda yang masih bertugas di rumah sakit tampak sedang melakukan pemeriksaan rutin pada para pasien. Sang ayah-Edward Poster-meminta Miranda untuk tetap bertugas di rumah sakit.Mengingat banyak kasus yang terjadi. Edward masih menyelidik tentang kasus perdangangan organ manusia yang kemungkinan dilakukan di ruamh sakit jiwa miliknya.Namun sampai saat ini mereka belum dapat bukti untuk menangkap para oknum rumah sakit yang terlibat."Aku dengar, Dokter Miranda akan mengambil alih rumah sakit. Lantas, bagaimana kita bisa beroperasi lagi?""SSttttt ... Kau bisa diam tidak? Bisa gawat kalau sampai ada yang dengar, tahu!"Dua orang petugas rumah sakit tampak sedang berada di suatu ruangan. Itu kamar mayat. Di mana ada beberapa mayat yang tak diketahui idetisanya atau tak diambil oleh pihak keluarga pasien.Namun, yang lebih gawat di Pusat Kejiwaan San Alexandria ini, para dokter yang berkomplot dengan oknum perdagangan manusia justru m
Malam merangkak larut. Bar mulai sepi saat manik-manik Marquez melirik ke arah laki-laki yang sedang duduk bersandar di sofa. Matanya menyipit dengan lengkungan samar yang terbit di bibirnya.Bagus!Aaron sepertinya sudah mabuk berat. Mungkin ini waktu yang tepat untuk segera menjalnakan rencananya.Marquez berangsur bangkit. Ia segera mendekati laki-laki dengan stelan jas hitam yang masih bersandar di sofa. Aaron tampak tertidur dengan pulas.Sial! Miranda harus pulang lebih awal karena dapat telepon dari rumah sakit. Jika tidak, mungkin dia bisa eksekusi mereka berdua malam ini juga."Tuan, apa Anda butuh bantuan?"Marquez yang sedang memapah Aaron keluar dari bar dibuat terkejut saat seorang pria menawarkan bantuan. Sambil memegangi Aaron, matanya melirik ke arah pria itu.Seorang petugas bar. Masih muda dan tampak menatap dengan curiga padanya."Apa yang kau lihat?" Marquez menanggapi dengan wajah kesal tatapan sang petugas.Pria itu menggeleng. "Maafkan saya, Tuan. Namun wajah An
"Istirahatlah, Tuan Muda."Dengan hati-hati Jeremy membantu Aaron merebahkan tubuhnya ke tengah ranjang. Dia juga membuka satu per satu pantofel hitam yang pria itu kenakan.Dan saat Jeremy mau meningglkan kamar Aaron, tiba-tiba saja benda pipih yang tersimpan di saku celana berdering.Panggilan dari Dokter Miranda?"Hallo?"Sambil berdiri di samping ranjang Aaron, Jeremy menerima panggilan itu.Miranda baru saja tiba di unit apartemennya. Sambil membuka pintu ia tampak sedang menghubungi seseorang lewat sambungan ponsel."Syukurlah jika Aaron sudah tiba di penthouse. Aku mencemaskannya."Jeremy mengangguk. Ia lantas menoleh ke arah laki-laki yang sedang terbaring di tengah ranjang."Tuan Muda mabuk berat. Saya baru saja membawanya ke kamar."Miranda sedikit kaget. "Oh ya ampun! Kenapa dia banyak minum?"Jeremy mengusap wajahnya lalu menjawab, "Apa Anda bertemu dengan Nacos di bar?"Mendengar pertanyaan Jeremy lewat panggilan ponelnya, Miranda sedikit mengernyit. "Ya, kami bertemu den
Sinar jingga baru saja terbit dari ufuk timur. Miranda berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Kamar Ester yang sedang ia tuju."Dia tak mau makan apa pun sejak kemarin. Hanya diam saja seperti ini."Seorang perawat menjelaskan kondisi pasien saat Miranda bertanya. Matanya tertuju pada gadis belia dengan stelan biru muda yang tampak sedang duduk di sudut kamar sambil mendekap kedua lututnya.Miranda membuang nafas panjang. "Bisa tinggalkan kami berdua?""Baik, Dokter."Perawat segera pergi setelah diminta oleh Miranda. Dengan langkah yang pelan, Miranda segera menghampiri gadis belia di sudut kamar. Ester diam saja saat ia berjongkok di samping gadis itu."Hei, apa kau tidak ingin jalan-jalan ke taman? Aku bisa temani jika kau mau."Miranda berusaha berinteraksi dengan pasien. Dia teresenyum saat tatapan kosong Ester terangkat ke wajahnya."Si-siapa kau?! Pergi! Jangan dekati aku!"Ester mengamuk. Dengan ketakutan dia mengusir Miranda."Hei, jangan takut. Aku dokter di rumah sakit ini
Bruk!Pintu sebuah super car dibuka dengan cepat. Tergesa-gesa tangan seorang pria mengeluarkan seonggok tubuh wanita yang tampak tidak sadarkan diri.Miranda Foster, nyaris dua jam ia pingsan setelah benturan benda tumpul menghantam tengkuk lehernya dari arah belakang.Tak banyak hal yan g ia ingat. Kecuali percakapan terakhirnya dengan Jeremy lewat sambungan ponsel."Dengar, tetaplah di dalam kamar sampai kami tiba!"Begitu yang dikatakan oleh Jeremy. Namun, saat ia hendak menoleh untuk melihat ke arah pintu satu pukulan keras lebih dulu merenggut kewarasannya. Miranda jatuh pingsan seketika."Sayang, aku tahu ini sangat gila. Namun, asal kau tahu jika aku memang cowok yang menyukai banyak hal ekstrim, seperti menculik calon istri orang begini. Hahaha!"Pria itu tertawa begitu lantang saat berhasil mengeluarkan tubuh Miranda dari dalam mobil. Dengan kedua tangan ia menggendong wanita itu memasuki sebuah kastil.Di sisi lain, Aaron tampak sedang mengemudikan super car miliknya tak te
Hari mulai malam. Jeremy dan Luca tampak berjalan setengah berlari menuju mobil dinas di pelataran markas. Miranda dalam bahaya saat ini. Jeremy harus segera menghubungi Aaron. Ia dan Luca segera menuju gedung apartemen di mana Miranda tinggal."Apa?"Aaron bangkit dari sofa. Benda pipih dalam genggaman didekatkan ke telinga kanan. Wajah pria itu tampak diliputi rasa cemas. Sedang pendar matanya dipenuh amarah yang siap diledakan.Apa yang terjadi?Siapa yang menelepon Aaron?Mari kita cari tahu bersama.Hari mulai sore saat Marquez mendatangi unit apartemen Miranda. Pria itu datang dengan maksud yang buruk. Marquez ingin menculik Miranda.Namun saat ia tiba di gedung apartemen, Marquez melihat dua orang pria yang sedang berjalan di lobi gedung. Sepertinya Aaron yang menugaskan mereka untuk mengantar Miranda pulang setelah menghadiri pemakaman Tuan Fortman.Marquez yang licik tentu tak ingin Jeremy sampai melihatnya. Maka dia pun segera bersembunyi ke balik dinding dan baru muncul s
Miranda baru saja selesai mandi saat terdengar suara bel pintu yang ditekan oleh seseorang. Sedikit heran dan cemas, sambil mengeringkan rambut dengan handuk Miranda berjalan menuju pintu. Ya Tuhan, siapa yang datang di saat yang tidak tepat begini? Apakah Aaron? Ah, tidak mungkin. Bukankah pria itu sedang berada di mansion saat ini? Lantas siapa yang datang? Miranda hanya bisa menerka-nerka dalam hati tentang tamu yang sedang berdiri di luar pintu unit apartemennya saat ini. Ting tong! Deg! Oh, tidak! Orang itu terus saja menekan bel pintu. Seolah dia sudah tak sabar ingin masuk. Jantung Miranda berdegup kencang disertai rasa takut dan cemas yang sedang memenuhi jiwanya. Satu jam sudah Jeremy dan Luca meninggalkan unit apartemen. Kini ia hanya seorang diri di sini. Jeremy dan Aaron pernah mengatakan jika akan banyak hal yang mungkin terjadi saat ia sedang sendirian. Marisa tidak mungkin akan diam saja dan menerima kematian putranya, bukan? Wanita jahat itu pasti a
Hari mulai siang, namun sinar jingga sang mentari seolah enggan untuk terbit saat ini. Langit tampak mendung dengan angin yang lumayan kencang.Orang-orang masih berkumpul di pemakaman. Dari dalam mobil, sepasang iris biru terang mengamati punggung mereka.Anthony de Fortman, kematiannya menggemparkan warga San Alexandria Baru. Bersamaan dengan kasus berlapis yang menjerat Marquez.Semua orang berpikir jika kematian Tuan Fortman pasti ada hubungannya dengan eksekusi mati yang menewaskan anak tirinya, Marquez.Beberapa jurnalis mulai merancang cerita untuk artikel terbaru mereka. Sementara para Awak Media sibuk mengumpulkan informasi tentang kematian klan bangsawan, Anthony de Fortman tersebut."Aaron ..."Miranda berkata dengan pelan setelah menutup pintu mobil. Dengan mata telanjang ia pandangi punggung seorang laki-laki yang masih berdiri di samping makan Tuan Fortman.Aaron de Fortman, dia pasti sangat terpukul atas kematian sang ayah. Mengapa berita duka ini harus sampai ke teling
"Kau suka gaunnya?"Suara bass itu mengembalikan kesadaran Miranda dari fantasinya. Hampir lima menit ia berdiri di depan cermin dan memandangi siluetnya.Sedang pria yang bertanya tak lain adalah Aaron. Pria itu tersenyum manis saat manik-manik hijau Miranda menangkap bayangan dirinya di cermin."Kau yang pilih gaun ini, mana mungkin aku tak menyukainya."Wanita itu berkata dengan malu-malu. Miranda menunduk sambil tersenyum usai bicara. Pipinya bersemu merah akibat tatapan lembut Aaron.Pria yang sedang duduk di sofa itu lantas bangkit. Bahu lebar dalam balutan Tuxedo hitam itu menuju pada wanita yang masih berdiri di depan cermin.Miranda Foster, sehelai gaun pengantin warna putih tampak begitu elegan membalut tubuhnya yang proposional. Tiara dari berlian menghias kepalanya dengan begitu indah.Aaron tersenyum kagum melihat calon mempelai pengantinnya. Dia seperti sedang melihat Jesica saat ini. Akan tetapi, dia tak boleh mengungkapkan perasaan itu. Miranda mungkin tidak akan suka.
Mobil-mobil polisi melaju beriringan di jalan pegunungan. Mobil ambulans tampak berjalan di barisan terdepan.Setelah dieksekusi mati, Nacos yang dikira adalah Marquez rencananya akan segera dibawa ke sebuah gereja untuk proses kremasi.Di dalam mobil sebujur tubuh yang sudah kaku tampak berbaring. Di kedua sisi terlihat masing-masing dua orang polisi yang duduk di sekitar.Sementara mobil Marisa mengikuti di belakang ambulans yang membawa jenazah Nacos. Wajah paripurna itu tampak gelisah. Sekali lagi Marisa bertanya dalam hati kecilnya, apa ini sudah benar?"Selamat, Nona! Anda melahirkan bayi kembar laki-laki! Kembar yang sangat identik!"Saat mendengar penuturan seorang dokter yang menangani proses persalinan saat itu, Marisa tampak tidak senang. Tidak ada sinar dari manik matanya yang memancarkan kebahagiaan.Kenapa demikian?30 tahun yang lalu saat usianya baru 20 tahun, Marisa meninggalkan rumah dan seorang ibu yang sakit-sakitan.Menurut para dokter, ibunya tak punya harapan un
Angin bertiup cukup kencang dari arah laut. Burung-burung kecil terbang rendah di sekitar gedung kejaksaan. Kadang kala makhluk kecil bersayap itu hinggap di dahan-dahan maple yang rentan.Hari Senin di penghujung bulan Desember pada musim panas. Gedung kejaksaan tampak dipenuhi orang-orang. Mereka berkerumun di pelataran gedung. Ada juga yang nekat menerobos masuk.Tidak hanya warga sipil yang berbondong-bondong datang ke gedung kejaksaan. Para Awak Media juga tampak memadati pelataran gedung sampai ke lobi. Semuanya tampak sibuk mencari informasi.Hari ini tanggal 21 Desember, menurut keputusan pengadilan hari ini Marquez akan di eksekusi mati. Jelas semua warga kota sudah tak sabaran menunggu hari ini tiba.Kejahatan Marquez amat banyak. Pria itu pantas di hukum mati!Warga kota sangat geram saat melihat seorang pria yang baru saja keluar dari mobil polisi. Itu Marquez! Dengan bersemangat mereka segera maju ingin menghajarnya."Habisi dia!""Hukum mati dia!""Bajingan!"Ujaran ke
Restoran cepat saji yang berada tidak jauh dari Pusat Kejiwaan San Alexandria Baru tampak ramai oleh pengunjung. Dikarenakan sudah waktu jam makan siang, para pekerja restoran mulai sibuk melayani pesanan para tamu.Di antara tamu-tamu di restoran itu, tampak Aaron dan Miranda yang sedang duduk di meja VIP. Keduanya menikmati menu makan siang sambil berbincang dengan santai.Beef Pepper Rice merupakan menu klasik dari Pepper Lunch. Salah satu menu yang dipesan oleh Miranda untuk makan siangnya bersama Aaron.Potongan daging sapi dipanggang dengan bumbu lada di atas plat panas, lalu disajikan dengan nasi yang lezat. Sensasi panas dan rasa gurih yang nikmat, juga aroma yang menggugah selera.Aroma Shochu yang mencair bersama butiran es di dalam gelas menambah semaraknya makan siang mereka.Aaron teringat banyak hal tentang waktu yang ia lalu bersama Jesica dahulu. Mereka amat sering mengunjungi restoran mewah di seluruh kota. Juga menikmati aneka kuliner di setiap musim."Aku merasa ad
Sinar jingga baru saja terbit dari ufuk timur. Miranda berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Kamar Ester yang sedang ia tuju."Dia tak mau makan apa pun sejak kemarin. Hanya diam saja seperti ini."Seorang perawat menjelaskan kondisi pasien saat Miranda bertanya. Matanya tertuju pada gadis belia dengan stelan biru muda yang tampak sedang duduk di sudut kamar sambil mendekap kedua lututnya.Miranda membuang nafas panjang. "Bisa tinggalkan kami berdua?""Baik, Dokter."Perawat segera pergi setelah diminta oleh Miranda. Dengan langkah yang pelan, Miranda segera menghampiri gadis belia di sudut kamar. Ester diam saja saat ia berjongkok di samping gadis itu."Hei, apa kau tidak ingin jalan-jalan ke taman? Aku bisa temani jika kau mau."Miranda berusaha berinteraksi dengan pasien. Dia teresenyum saat tatapan kosong Ester terangkat ke wajahnya."Si-siapa kau?! Pergi! Jangan dekati aku!"Ester mengamuk. Dengan ketakutan dia mengusir Miranda."Hei, jangan takut. Aku dokter di rumah sakit ini