Mansion Keluarga Fortman pukul sepuluh malam.Berita penangkapan Marquez sudah gencar di seluruh kota. Hal itu sampai ke telinga Marisa. Dia baru saja kembali dari Pusat Kejiwaan, dan kabar penangkapan sang putra nyaris membuatnya gila.Prang!"Aku tak mau dengar apa-apa lagi! Cepat cari Nacos lalu seret dia ke hadapanku!"Setelah melempar gelas anggur dalam genggaman, Marisa mengamuk dengan mencekik dua orang pelayan. Para bodyguard amat ketakutan melihatnya. Mereka segera menghubungi Dokter Toni."Tenanglah, Nyonya! Anda tidak perlu cemas! Tim Satuan Khusus ada di pihak Anda. Kurang dari dua jam mereka akan segera menyeret Nacos ke sini. Percayalah!"Dokter Toni yang pandai menjilat segera mencari simpatik Marisa. Setelah memberinya suntikan penenang, ia segera menghubungi seseorang lewat panggilan ponselnya."Cepat amankan Edoardo! Jangan sampai Tuan Muda Fortman dan antek-anteknya tahu tentang kesaksiannya!"["Baik, Tuan!"]Setelah panggilan terputus, Dokter Toni mengangguk puas
Burung malam sudah bersuara menandakan malam yang nyaris habis. Lekuk tubuh yang indah tanpa sehelai benang berada dalam dekapan kedua tangan yang kekar dengan gambar tato di setiap jarinya. Tato itu berupa huruf Romawi dipadukan adzab Rusia. Entah apa artinya. Sambil bergelung dalam selimut putih yang membalut tubuh mereka berdua, mata Miranda mengamati jari-jemari Aaron. "Apa yang kau pandangi?" Ia sedikit dibuat terkejut saat tiba-tiba saja suara bass itu terdengar. Sedikit serak dan cederung sarat dengan intonasi yang pelan dan berat. "Kau belum tidur?" Aaron menyunggingkan senyum manis di wajah yang bagai pahatan ahli seni profesional itu. Ia membuat wanita dalam pelukannya takjub sampai tak bersuara lagi. "Aku tidak bisa tertidur dan membiarkan dirimu tetap terjaga," ucapnya setelah mengusap dan mengecup pada pucuk kepala Miranda. Kembali ia menyematkan senyum manis di bibirnya yang tipis dan padat. Miranda menanggapi dengan senyuman dan nafas yang dibuang berat. "
Angin bertiup kencang dari arah laut. Dahan-dahan pohon maple bergoyang karena terapannya. Menjadikan daun-daun kemerahan yang berguguran dan jatuh ke tanah.Jarum jam besar yang terpampang di atas gedung kejaksaan menunjuk ke angka sepuluh pagi.Persidangan kasus berat yang melibatkan Marquez de Fortman pun sedang berlangsung.Di tengah ruangan sidang tampak Marquez yang duduk di kursi pesakitan. Sedang deretan meja dan kursi di sekelilingnya diduduki oleh para jaksa penuntut dan pengacara.Orang-orang yang ingin menyaksikan jalannya sidang sudah duduk tertib pada kursi yang sudah dipersiapkan. Wajah mereka tampak penasaran dan tak sabaran menunggu keputusan sidang.Marisa, wanita itu duduk di kursi depan bersama puluhan hadirin lainnya. Kedua tangannya diletakkan pada tas branded yang berada di pangkuan. Wajahnya yang memakai make up tebal tampak tenang-tenang saja.Sesekali ia melirik ke arah pria tampan berpakaian stelan jas hitam yang duduk di seberangnya. Aaron de Fortman, laki
Teluk Alexandria tampak tenang menjelang petang. Burung-burung camar terbang rendah di antara nyiur yang melambai-lambai.Sinar jingga di ufuk barat nyaris menghilang saat mobil-mobil mewah melaju dengan kecepatan standar memasuki mansion Keluarga Fortman."Tuan Muda sudah kembali. Mungkin Anda akan segera diminta untuk meninggalkan mansion ini."Marisa yang sedang berdiri di tepi teras balkon kamar dibuat terkejut saat seorang asisten menemuinya. Dia diminta berkemas dan segera meninggalkan rumah mewah ini?Batang rokok yang terjepit di antara kedua jarinya masih cukup panjang dan mengepulkan asap tipis. Dia tak sudi jika harus diusir dari rumah ini."Katakan pada mereka jika aku tak mau pergi.""Tapi kau harus pergi sekarang juga!"Deg!Suara bass itu membuat nafasnya tercekat di tenggorokan. Marisa yang sedang merokok jadi terbatuk-batuk. Dengan tidak yakin ia segera memutar tubuhnya guna menemukan wajah pria yang bicara.Aaron?Sepasang matanya terbelalak lebar saat melihat sosok
Mansion Keluarga Fortman malam hari.Suara monitor Electrokardiogram (EKG) menyambut indera pendengaran saat langkah sepasang tunggkai jenjang yang dipasangi heels warna merah memasuki sebuah kamar.Tuan Besar Fortman, pria itu masih terbaring di tengah ranjang pasien. Sudah nyaris sepuluh tahun ia koma. Tepatnya saat Pusat Kejiwaan menyatakan jika putranya-Aaron de Fortman-tidak waras.Semangat untuk kembali pulih tentu masih ada. Namun, Marisa yang licik sengaja menghambat semua itu. Dengan terbaring koma seperti ini, dia akan lebih mudah mengendalikan Tuan Fortman dan semua aset kekayaannya.Suara ketukan ujung hak heels menyentuh lantai marmer di ruangan memecah kesunyian dan mendominasi suara monitor yang merekam aktivitas jantung pasien di kamar itu.Marisa menaikan sudut bibirnya melihat kondisi Tuan Fortman yang tak berdaya. Pria itu hanya bertahan dengan beragam alat medis."Kau mungkin akan mati jika mendengar kabar yang akan aku sampaikan padamu, Sayang."Wanita itu bicara
Hari mulai siang saat Jeremy melajukan super car warna biru metalik menuju pusat kota. Aaron yang duduk di sampingnya tampak menikmati perjalalan.Akhirnya semua sudah selesai. Marquez sudah di tahan dan akan segera di eksekusi mati. Lantas, apa rencananya selanjutnya?Apalagi?Tentu saja melamar Miranda. Kemudian mereka menikah dan tinggal di penthouse bersama. Hari-hari akan terasa jauh lebih indah pastinya.Aaron mengulas senyum seraya membayangkan semua hal yang indah yang akan segera ia lalui bersama Miranda. Jeremy tak sengaja melihat senyuman di wajah Tuan Muda Fortman segera berdehem. Dan saat manik-manik biru terang Aaron melirik ke arahnya, Jeremy menyambut dengan senyuman hangat."Saya sangat senang karena kini Anda sudah kembali memimpin perusahaan. Seluruh kota sedang menanti Anda, Tuan Muda. Anda sudah menjadi idola mereka."Aaron tersenyum mendengar ucapan Jeremy. "Kau sangat pandai dalam bicara, Jeremy. Mana mungkin aku menjadi idola? Aku bahkan baru keluar dari ruan
Hari berikutnya di Pusat Kejiwaan San Alexandria. Miranda yang masih bertugas di rumah sakit tampak sedang melakukan pemeriksaan rutin pada para pasien. Sang ayah-Edward Poster-meminta Miranda untuk tetap bertugas di rumah sakit.Mengingat banyak kasus yang terjadi. Edward masih menyelidik tentang kasus perdangangan organ manusia yang kemungkinan dilakukan di ruamh sakit jiwa miliknya.Namun sampai saat ini mereka belum dapat bukti untuk menangkap para oknum rumah sakit yang terlibat."Aku dengar, Dokter Miranda akan mengambil alih rumah sakit. Lantas, bagaimana kita bisa beroperasi lagi?""SSttttt ... Kau bisa diam tidak? Bisa gawat kalau sampai ada yang dengar, tahu!"Dua orang petugas rumah sakit tampak sedang berada di suatu ruangan. Itu kamar mayat. Di mana ada beberapa mayat yang tak diketahui idetisanya atau tak diambil oleh pihak keluarga pasien.Namun, yang lebih gawat di Pusat Kejiwaan San Alexandria ini, para dokter yang berkomplot dengan oknum perdagangan manusia justru m
Malam merangkak larut. Bar mulai sepi saat manik-manik Marquez melirik ke arah laki-laki yang sedang duduk bersandar di sofa. Matanya menyipit dengan lengkungan samar yang terbit di bibirnya.Bagus!Aaron sepertinya sudah mabuk berat. Mungkin ini waktu yang tepat untuk segera menjalnakan rencananya.Marquez berangsur bangkit. Ia segera mendekati laki-laki dengan stelan jas hitam yang masih bersandar di sofa. Aaron tampak tertidur dengan pulas.Sial! Miranda harus pulang lebih awal karena dapat telepon dari rumah sakit. Jika tidak, mungkin dia bisa eksekusi mereka berdua malam ini juga."Tuan, apa Anda butuh bantuan?"Marquez yang sedang memapah Aaron keluar dari bar dibuat terkejut saat seorang pria menawarkan bantuan. Sambil memegangi Aaron, matanya melirik ke arah pria itu.Seorang petugas bar. Masih muda dan tampak menatap dengan curiga padanya."Apa yang kau lihat?" Marquez menanggapi dengan wajah kesal tatapan sang petugas.Pria itu menggeleng. "Maafkan saya, Tuan. Namun wajah An
Brak!"Apa ini?!"Tuan Hernandez yang sedang berada di ruang kerja dibuat terkejut saat seseorang melempar selembar surat kabar ke depannya. Dihentikan aktifitas tangannya pada tumpukan berkas di meja. Matanya terangkat ke wajah orang yang sedang berdiri di depan meja.Tuan Dakosta sedang menatap dengan penuh tanya dan heran. Apa yang membuat rekannya itu tampak marah?Tuan Hernandez kembali menurunkan pandangan. Kali ini selembar surat kabar di depannya yang ia lihat. Matanya terbelalak lebar saat melihat gambar yang terpampang pada halaman depan surat kabar."Kau berbohong padaku dan Laura? Ternyata laki-laki itu bukan putramu, melainkan seorang pewaris keluarga Fortman? Aaron de Fortman! Namanya ditulis dengan font hitam yang tebal di situ."Tuan Hernandez menelan ludah kasar melihat kemarahan di wajah Tuan Dakosta. Maka segera ia meraih surat kabar di depannya.'Aaron de Fortman, dia menghilang selama satu bulan. Pihak kepolisian akhinya menghentikan pencarian.'Begitu tulisan ya
Angin bertiup cukup kencang petang itu. Dahan-dahan maple bergesekan halus karena embusan angin. Satu per satu daun-daunnya berjatuhan ke tanah berbatu.Kelab malam di pusat kota tampak ramai sore itu. Eve terlihat berdiri di depan seorang wanita paruh baya yang berpenampilan glamour.Madan Julie, wanita berusia 50 tahun itu pemilik tunggal kelab di mana Eve bekerja setiap harinya. Bukan hanya sebuah kelab biasa yang menyajikan minuman, wanita dan musik. Akan tetapi, Kelab Madam Julie juga menyediakan pria bayaran yang disiapkan untuk para wanita kesepian.Sudah dua tahun Eve bekerja di tempat kotor itu. Tadinya dia hanya bekerja sebagai bartender. Namun suatu hari ia mendatangi Madam Julie untuk meminjam uang.Saat itu kondisi Eli sedang kritis di rumah sakit. Adik perempuannya akan menjalani proses operasi, tapi dia tidak punya cukup uang yang diminta oleh pihak rumah sakit.'Kau datang ke orang yang tepat. Aku bisa berikan sejumlah uang yang kau butuhkan, tapi ...'Wanita itu berk
Rumah kecil di bawah kolong jembatan menjelang sore. Suara pecahan kaca memecah keheningan. Miranda yang sedang termenung dibuat tersentak. Segera ia melirik ke arah belakang.Apa yang terjadi di dalam rumah?Apa Eli sudah bangun?Tak ada jawaban untuk pertanyaan di benaknya itu. Hanya tirai dengan motif bunga daisy yang melambai karena embusan angin, itu yang dia lihat."Di mana kakakmu?!"Plaak!Brug!Prang!Astaga, apa yang terjadi?Kenapa ribut-ribut begitu?Miranda segera beranjak dari bangku kayu yang ia duduki. Dengan langkah yang cepat ia menerobos tirai motif daisy. Hatinya mencemaskan Eli. Dan saat langkahnya tiba di dalam rumah, Miranda terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Tiga orang laki-laki dengan tampang preman sedang mengintimidasi Eli."Di mana kakakmu atau aku akan menculikmu lalu aku jual ke seorang muncikari?!"Laki-laki bertubuh kekar dengan gambar tato ular naga di lengan kiri sedang menjambak rambut Eli. Dia menodong wajah gadis cilik itu dengan ujung revolv
Mansion Keluarga Fortman menjelang siang. Para penjaga tampak berdiri di sepanjang teras menuju pelataran. Dua mobil dinas baru saja menepi. Dengan sigap mereka segera maju dan menyambut seorang pria yang baru saja keluar dar mobil.Marquez de Fortman, sambil menghembuskan asap cerutunya ia menatap bangunan megah di depannya saat ini. Tak ada yang berubah dari bangunan tiga lantai dengan cat dindingnya yang putih itu.Semuanya masih tampak sama seperti dua puluh tahun yang lalu, saat Marisa membawanya ke rumah ini. Persis seperti saat ini ia lakukan, dia berdiri di pelataran sambil memandangi ibunya berciuman dengan seorang pria.Itu kali pertama ia melihat Tuan Fortman.Anthony de Fortman, dia bukan hanya seorang pebisnis tapi juga pohon uang dan peti-peti harta karun yang selama ini dia cari. Begitu kata ibunya.'Mulai saat ini, kita akan tinggal di rumah ini.'Marisa berbisik seiring lirih angin yang bertiup sore itu. Bersamaan dengan gugurnya daun-daun maple, ia melihat seorang a
Sore hari yang cerah. Sinar jingga dari ufuk timur tampak begitu memukau. Cahayanya menerpa ladang bunga daisy yang terhampar luas di sekitar pegunungan Salvador."Kau tahu, Dave. Aku selalu ingin bertemu denganmu. Aku selalu menunggu saat seperti ini. Kau mungkin tidak bisa mengira seperti apa perasaan bahagia yang aku rasakan saat ini."Dave melirik ke arah gadis cantik di sampingnya. Dia dan Laura sedang berjalan-jalan di sekitar pegunungan. Mendengar semua perkataan Laura, dia merasa sedikit tak nyaman.Laura tersenyum manis menanggapi tatapan Dave. Apa yang dirinya katakan memang benar. Dia sangat senang bisa bertemu lagi dengan teman kecil sekaligus cinta pertamanya itu."Laura, aku tidak bisa mengingat apa pun saat ini. Andaikan aku bisa mengingat semuanya, mungkin rasanya akan sangat bahagia seperti mu."Dave bicara dengan suara yang lembut dan manik mata yang dipalingkan dari tatapan Laura. Ladang bunga daisy yang sedang berkembang. Mereka saling bersentuhan saat angin menerp
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Jadi, kau bekerja sebagai pria bayaran?"Miranda geleng-geleng sambil tersenyum remeh. Dia dan Eve sedang berada di suatu kafe yang cukup jauh dari area pemakaman.Miranda yang mengajak Eve meninggalkan lokasi terjadinya kebakaran mobil. Kemunculan beberapa mobil polisi membuatnya sangat panik. Dia tak mau sampai mereka melihatnya.Eve tampak kesal melihat sikap Miranda menilainya. Dia memang bekerja sebagai gigolo, tapi dia bukan laki-laki murahan seperti yang wanita itu pikirkan."Aku butuh uang untuk pengobatan adikku."Senyuman di wajah itu memudar kala mendengar ucapan Eve. Miranda mengangkat kedua matanya menatap wajah pria di depannya. Eve memasang wajah jengah. Ia lantas melanjutkan, "Adikku baru berusia delapan tahun. Dia mengidap kanker otak.""Apa?" Miranda sangat terkejut. Eve hanya menagguk pelan menanggapi."Hm, maafkan aku." Miranda berkata lagi. Ia merasa tak enak hati pada Eve.Pria itu tersenyum tipis. "Maaf untuk apa? Orang sepertiku sudah terbiasa direndahkan."
"Tuan Foster memiliki aset kekayaan sekitar 780 Triliun dolar. Diantaranya tiga pulau di Provinsi Salvador dan sepuluh rumah sakit di San Alexandria Baru. Selebihnya beberapa perusahaan yang bergerak di bidang properti dan Farmasi. Juga beberapa bungalow di Swedia Baru."Marisa dan Marquez saling pandang mendengar penuturan Louis tentang kekayaan Tuan Foster. Gila! Harta sebanyak itu, entah bagaimana cara mengelolanya.Melihat tampang dua orang di depannya itu, Louis tersenyum tipis lalu melanjutkan, "Setelah Tuan Foster tiada, mungkin semua aset kekayaannya akan disumbangkan ke panti-panti sosial karena tak ada yang mengelola.""Apa?"Marisa dan Marquez terkejut bersamaan mendengar ucapan Louis. Warisan sebanyak itu mau disumbangkan? Enak saja!"Hei, bukankah Tuan Foster masih punya seorang pawaris?" Marisa segera mengajukan pertanyaan yang memang sudah bersarang di benaknya dan juga Marquez. Dia tak sabaran menunggu tanggapan Louis. Dia harus segera tahu siapa pewaris Tuan Foster.
Eve berusaha memecahkan kaca depan mobil dengan sebuah batu yang cukup besar. Usahanya tak sia-sia. Kaca mobil pecah setelah ia menghantam dengan batu tersebut."Cepat keluar!"Pria itu berteriak sambil mengulurkan tangan pada wanita yang masih terjebak di dalam mobil. Miranda menatapnya dengan sendu. Eve tak peduli. Setelah ia berhasil menggapai lengan wanita itu, dia langsung menarik Miranda keluar dari mobil.Duar!Ledakan besar membuat Eve dan Miranda terpental cukup jauh. Keduanya berguling-guling di rerumputan. "Kau baik-baik saja?" Eve bertanya pada wanita yang berada di bawahnya saat ini. Matanya mengincar wajah cantik yang juga sedang menatapnya. Ini pertemuan mereka kedua kalinya. Eve terpana akan kecantikan Miranda."Menyingkirlah!"Perkataan Miranda sungguh di luar perkiraan. Dengan kasar wanita itu menepis Eve darinya. Miranda bergegas bangkit dan segera melihat ke arah semak-semak di mana mobil Luca berada.Oh, tidak!Off-road putih itu sudah dilahap oleh api. Mirand