Rupanya, Panglima Braja Sena sudah tidak berdaya lagi setelah perutnya robek oleh sabetan pedang pusaka Naga Geni. Wajahnya tampak pucat, darah segar pun terus keluar dari lukanya tersebut. Hingga pada akhirnya, pria bertubuh kekar itu langsung terkulai lemas dan tewas seketika di hadapan puluhan prajuritnya.Setelah berhasil membinasakan Panglima Braja Sena, Ramandika tampak lebih agresif lagi dalam menghadapi gempuran para prajurit kerajaan yang sudah mulai melakukan serangan terhadap dirinya.Para prajurit itu sangat ganas dalam melakukan serangan-serangan mereka. Pergerakan mereka teramat cepat dan sulit dideteksi, sehingga Ramandika pun mulai terdesak hampir dibuat jatuh oleh serangan para prajurit itu.Para prajurit itu telah menganggap Ramandika sebagai seorang penjahat besar yang wajib dilenyapkan, karena sudah membunuh seorang pemimpin tertinggi dalam induk angkatan perang kerajaan Gurusetra."Bunuh saja dia!" seru salah seorang prajurit sambil meloncati ke arah Ramandika yan
Secara diam-diam, ternyata Kuwu Sangkan sudah berada di istana kerajaan Gurusetra bersama istri dan kedua putranya. Ia telah meminta perlindungan kepada sang raja atas ancaman Ramandika.Meskipun ia hanya seorang kuwu, namun raja sangat percaya terhadap Kuwu Sangkan. Sehingga raja pun memberikan izin bagi sang kuwu dan keluarganya untuk tinggal di istana. Selain itu, raja pun berhutang budi kepada Kuwu Sangkan, karena di masa lalu pernah menyelamatkan sang raja dari teror para pemberontak."Aku banyak berhutang budi kepadamu, jadi kau dan keluargamu boleh tinggal di istana ini sampai batas tak ditentukan!" tegas Baginda Raja Tundara."Terima kasih banyak, Baginda," ucap Kuwu Sangkan sambil menjura."Mahapatih Mahesa sudah menugaskan Senapati Rindakala agar segera mencari keberadaan Ramandika. Dia harus segera ditangkap dalam keadaan hidup atau mati!" ujar Baginda Raja Tundara, "Aku tidak ingin para pemberontak seperti Ramandika bebas berkeliaran di tanah Gurusetra," sambungnya."Hamba
Sementara itu, prajurit yang satunya lagi masih bersusah-payah untuk bangkit. Ia mengalami luka yang sangat parah, sehingga sudah tidak dapat lagi melanjutkan pertarungannya melawan kedua pendekar Gurahmana.Di saat prajurit itu tengah bertarung sengit melawan Dastara dan Luja. Telah datang seorang prajurit lagi, ia segera melompat dari pelana kudanya dan langsung menghampiri kawannya yang sudah terluka parah."Sebaiknya kau jangan terlalu banyak bergerak!" kata prajurit yang baru tiba itu mengarah kepada kawannya yang terluka parah, "Jika kau terlalu banyak bergerak, maka racun di tubuhmu akan menjalar dengan cepat," sambungnya sambil membantu kawannya untuk menepi.Prajurit itu hanya mengangguk dan langsung mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk mengeluarkan racun-racun yang sudah merasuk ke dalam tubuhnya.Prajurit yang satunya lagi masih terus bertarung melawan Dastara dan Luja. Entah berapa puluh jurus sudah ia keluarkan dalam menghadapi kelinuhungan jurus yang dimiliki oleh
Setibanya di perkebunan milik Mendiang Sondaka, Ramandika menghentikan laju kudanya. Demikian pula dengan Sena, ia segera menghentikan laju kudanya tepat di samping kuda yang ditunggangi Ramandika."Ada apa, Ramandika?" tanya Sena meluruskan pandangannya ke arah Ramandika."Tidak ada apa-apa. Aku hanya teringat masa lalu saja," jawab Ramandika lirih, "Perkebunan ini milik Paman Sondaka, dia adalah orang terkaya di desa ini. Tapi naas, dia dan keluarganya tewas dibantai oleh orang-orang Kuwu Sangkan," sambungnya sambil menarik napas dalam-dalam.Terbayang lagi masa-masa kelam yang terjadi di desa tersebut, Sondaka, Ramudya, Rawinta, dan Ki Durga. Mereka telah tewas akibat kekejaman Kuwu Sangkan dan anak buahnya. Bahkan, tetua adat pun turut menjadi korban kebiadaban mereka.'Aku akan merasa bersalah jika tidak dapat membayar lunas kekejaman Kuwu Sangkan terhadap orang-orang yang selama ini sudah baik kepadaku,' batin Ramandika.Setelah terdiam beberapa saat, Ramandika pun kembali melan
Melihat pemandangan seperti itu, kedua anak buah Randipati langsung menghentikan serangan mereka terhadap Sena. Mereka surut beberapa langkah.Mereka hanya diam tak berdaya menyaksikan kekuatan yang sudah ditunjukkan oleh Ramandika, sehingga pemimpin mereka jatuh hanya dalam hitungan menit saja. Namun, itu hanya berlangsung sesaat saja. Kedua orang itu kembali maju dan langsung melakukan serangan lagi terhadap Ramandika dan Sena."Aku harus memanfaatkan situasi ini, dua orang ini harus mati di tanganku,' desis Sena.Namun, hal itu urung dilakukannya. Karena pada saat bersamaan, Ramandika sudah berhasil menjatuhkan salah seorang dari kedua orang tersebut."Ramandika! Biarkan aku saja yang akan membinasakan manusia pengkhianat ini!" teriak Sena sambil melakukan serangan terhadap satu orang anak buah Randipati yang masih bertahan.Ramandika hanya tersenyum sambil mengangguk. Kemudian, ia langsung menepi memberi kesempatan kepada Sena untuk bertarung dengan lawannya itu.Tanpa terduga, Ra
Lasmina tampak geram melihat sikap sombong Mahapatih Mahesa yang berdiri angkuh di hadapannya."Aku tidak takut kepadamu, Mahapatih. Meskipun kau memiliki kedudukan tinggi di kerajaan ini, aku tidak akan pernah mau tunduk!" tegas Lasmina.Tanpa mereka sadari, secara diam-diam Ramandika sudah berada di tempat tersebut. Ia bersembunyi di balik pohon besar yang tidak jauh dari tempat keberadaan Lasmina dan para prajurit kerajaan."Ternyata Lasmina ada di sini, sedang apa dia?" gumam Ramandika sambil terus mengawasi Lasmina yang sedang berdebat dengan Mahapatih Mahesa.Awalnya Ramandika hanya tersenyum saja melihat sikap Lasmina yang sangat berani berhadapan dengan seorang mahapatih. Namun, tiba-tiba saja rasa cemas menggelayut dalam pikirannya. Sehingga tumbuh pikiran untuk segera membawa Lasmina pergi dari tempat tersebut."Bahaya sekali jika aku membiarkan Lasmina bertarung dengan Mahapatih Mahesa, dia bukan lawan yang seimbang. Aku harus membawa pergi Lasmina dari tempat ini," desis R
Lasmina tampak tersipu ketika Ramandika terus memandanginya. Sejatinya, ia memang ingin sekali mengatakan isi hatinya kepada pria tampan itu. Tapi, belum ada keberanian yang cukup baginya untuk mengungkapkan semua perasaannya itu. "Apakah malam ini kita akan menginap di sini?" tanya Lasmina mengalihkan pembicaraan. "Terserah kau saja! Kalau mau di sini, aku akan menemanimu. Tapi, kalau kau mau pulang silakan saja!" jawab Ramandika lirih. Lasmina menarik napas dalam-dalam, bola matanya menerawang jauh menembus kegelapan malam dan lebatnya pepohonan yang ada di pinggir bukit tersebut. "Aku mau pulang saja, besok siang aku ke tempatmu. Aku takut kuda kesayanganku ada yang mencuri," kata gadis cantik itu. "Baiklah, aku tunggu besok!" desis Ramandika tak henti-hentinya memandangi wajah Lasmina. Dengan demikian, Lasmina pun bangkit dan langsung pamit kepada Ramandika, "Aku pulang sekarang," kata Lasmina lirih. "Hati-hati!" kata Ramandika sambil tersenyum-senyum menatap wajah Lasmina.
Mendengar teriakan Gurma, Randu Setya dan Gilimana sedikit bisa bernapas lega. Karena mereka percaya bahwa kedatangan Ramandika bukan berniat jahat, maka mereka pun langsung keluar dari persembunyiannya dan langsung menghampiri Gurma dan Ramandika yang sudah menunggu.Ramandika hanya tersenyum-senyum saja melihat sikap Randu Setya dan Gilimana yang baru keluar dari persembunyian mereka."Aku kagum terhadap keberanian kalian. Kalian adalah orang-orang terbaik yang sudah dibuang oleh pihak kerajaan!" tegas Ramandika berkata di hadapan Gurma dan kawan-kawannya.Mendengar perkataan Ramandika, mereka saling berpandangan. Dengan penuh rasa penasaran Gurma pun bertanya, "Mohon maaf, Pendekar. Selain mengajak kami bergabung, apakah kau akan menjamin keselamatan kami?""Ya, itu sudah pasti. Aku tahu, kalian saat ini dalam kondisi terancam, jika kalian berhasil ditangkap oleh pihak kerajaan, sudah dapat dipastikan bahwa kalian akan mendapatkan hukuman mati. Oleh sebab itu, aku siap melindungi k
Beberapa hari kemudian ....Ramandika dan Senapati Sena langsung kembali ke istana bersama lima ratus prajurit yang baru saja selesai melaksanakan tugas mereka—menumpas kelompok pendekar sayap timur.Setibanya di istana, Ratu Rinjani dan Lasmina menyambut hangat kedatangan Ramandika dan pasukannya."Syukurlah, Kakang bersama para prajurit dalam kondisi baik-baik saja," kata Ratu Rinjani sambil tersenyum lebar.Begitu juga dengan Lasmina, meskipun kapasitas dirinya hanya sebagai istri kedua Ramandika. Namun, Lasmina tak kalah mesra dari sang ratu dalam menyambut kedatangan suaminya itu."Ada kabar baik untuk Kakang," kata Lasmina sambil tersenyum-senyum.Ramandika mengerutkan kening sambil memandangi wajah istri keduanya itu. "Kabar baik apa, Nyimas?" tanya Ramandika penasaran.Lasmina masih tersenyum-senyum, kemudian dia menoleh ke arah Ratu Rinjani. "Kanda Ratu saja yang menyampaikan kabar baik ini!" pinta Lasmina.Ratu Rinjani tersenyum lebar, dia mengatur napas sejenak sebelum meny
Mendengar pertanyaan pendekar itu, Panglima Dumaya tampak geram sekali. "Apakah kau ingin mati konyol? Silakan saja jika kau ingin tetap di sini! Aku dan yang lain akan segera meninggalkan tempat ini," pungkas Panglima Dumaya. Demikian juga dengan para pendekar lainnya, mereka sudah merubah haluan. Mereka sudah jera dan tidak mau lagi bertempur melawan pasukan kerajaan Gurusetra Jaya. Para pendekar itu sadar dengan kondisi kekurangan mereka. "Ayo, mundur!" teriak Panglima Dumaya. Dengan demikian, maka para pendekar itu langsung mundur meninggalkan arena pertempuran. Panglima Dumaya tidak ingin anak buahnya berguguran terlalu banyak, karena dia sadar dengan jumlah pasukannya yang semakin berkurang saja. "Kurang ajar!" geram Silaka, "kalian pengecut!" sambungnya berteriak keras. Namun, Panglima Dumaya dan para pendekar lainnya tidak mengindahkan teriakan Silaka. Demikianlah, maka Silaka langsung memerintahkan anak buahnya yang masih bertahan untuk beralih ke arah timur demi menghin
Panglima Birnaka dan para prajuritnya hanya mengangguk sambil menjura hormat kepada sang perdana menteri."Nanti aku dan Senapati Sena akan menyusul kalian," kata Ramandika, "aku sarankan, kalian jangan melakukan serangan hari ini. Lebih baik lakukan serangan besok saja, untuk hari ini kalian cukup memantau pergerakan mereka," sambungnya."Baik, Gusti," jawab Panglima Birnaka menjura kepada sang perdana menteri."Setelah kalian tiba di tengah hutan Jati, kalian harus mencari tempat yang aman untuk mendirikan perkemahan. Pastikan tempat tersebut aman dan jauh dari markas para pendekar dari kelompok sayap timur!" kata Ramandika."Hamba akan menyampaikan saran ini kepada semua prajurit." Panglima Birnaka berkata sambil menjura penuh rasa hormat kepada sang perdana menteri Setelah mendapatkan pencerahan dari Ramandika, Panglima Birnaka dan pasukannya langsung bergerak memasuki hutan Jati yang menjadi sarang para pendekar dari kelompok sayap timur.Pasukan yang dipimpin oleh Panglima Birn
Pagi harinya, di beberapa desa yang ada di wilayah kepatihan Putra Jaya, tampak geger dengan hilangnya beberapa orang tokoh masyarakat dan para pemuda.Orang-orang yang merasa kehilangan anggota keluarganya langsung mendatangi para prajurit yang bertugas di wilayah kademangan Jati Darma. Mereka melaporkan bahwa anggota keluarga mereka sudah hilang secara misterius.Tentu, kejadian tersebut kembali menghebohkan dan merubah suasana dan kondisi yang semula aman menjadi kembali genting. Para penduduk pun mulai takut keluar rumah pada malam hari, bahkan di siang hari pun aktivitas penduduk mulai surut, mereka tak lagi pergi ke ladang atau ke tempat-tempat lain yang jauh dari pemukiman, karena mereka takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.Senapati Sena tampak geram sekali dengan peristiwa tersebut, ia sudah menduga bahwa itu murni perbuatan kelompok pendekar sayap timur pimpinan Panglima Dumaya. Namun, semua harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu sebelum mengambil ke
Para penduduk itu terus berbincang-bincang sambil menikmati waktu, hingga pada akhirnya perbincangan mereka bergeser ke hal lain yang bersangkutan dengan kelompok pendekar sayap timur."Apakah kalian percaya jika Panglima Amerya dari kelompok pendekar sayap timur itu sudah tewas?" timpal seorang pria paruh baya bertanya kepada semua yang ada di tempat tersebut.Seorang pria yang mengenakan ikat kepala merah segera menjawab pertanyaan pria paruh baya itu, "Menurut kabar yang aku dengar dari ki kuwu, kabar kematian Panglima Amerya itu memang benar. Dia sudah tewas di tangan Panglima Gurma.""Baguslah kalau memang kabar itu benar, itu tandanya kita akan aman. Walau bagaimanapun, Panglima Amerya adalah otak di balik semua kekacauan di wilayah ini."Beberapa tanggapan telah muncul di antara para penduduk kadipaten Dembaga Pura dan juga dari pihak kelompok pendekar sayap timur. Ada yang percaya bahwa Panglima Gurma telah membunuh Panglima Amerya, adapula yang beranggapan bahwa Panglima Amer
Beberapa orang dari kelompok pendekar sayap timur, saat itu sudah berada di dalam hutan yang ada di pinggiran desa Sengkolo di wilayah kadipaten Dembaga Pura—kepatihan Putra Jaya.Para sandera yang beberapa hari terakhir mereka tawan, hari itu sudah mereka lepaskan. Namun, mereka masih menahan belasan orang yang merupakan para pejabat penting dari beberapa kademangan yang ada di wilayah kadipaten Dembaga Pura.Setibanya di kepatihan Putra Jaya, Perdana Menteri Ramandika bersama para prajuritnya langsung bergabung dengan pasukan yang sudah lebih dulu tiba di wilayah tersebut.Kehadiran sang perdana menteri tentu disambut hangat oleh rakyat yang ada di daerah tersebut, bahkan sang patih pun turut menyambut kedatangan Perdana Menteri Ramandika bersama pasukannya."Aku tidak melihat para pejabat kadipaten Dembaga Pura, di mana mereka?" tanya Ramandika kepada Patih Karmala."Mohon maaf, Gusti Perdana Menteri. Hamba belum mengetahui informasi lebih lanjut tentang keberadaan Adipati Tunaraka
Sebulan setelah berdirinya kerajaan Gurusetra Jaya. Tiba-tiba saja, penduduk yang ada di perbatasan wilayah kerajaan Gurusetra Jaya diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Mereka adalah kelompok pendekar sayap timur yang masih bertahan di wilayah tersebut, dan mereka masih loyal terhadap pihak pemerintah kerajaan Gurusetra pimpinan Prabu Mahesa.Meski posisi mereka sudah terhimpit oleh pasukan kerajaan Gurusetra Jaya, namun mereka masih berusaha menganggu dan memberikan teror-teror terhadap pihak kerajaan Gurusetra Jaya dan rakyat kerajaan tersebut.Ada banyak penduduk di wilayah tersebut yang dibantai dan diculik oleh para pendekar jahat dari kelompok sayap timur. Bahkan, mereka disiksa habis-habisan oleh para pendekar itu. Hanya sedikit orang yang berhasil kabur menyelamatkan diri.Radisa dan Janeja merasa kecolongan dengan adanya peristiwa tersebut. Mereka baru mengetahuinya setelah mendapat kabar dari salah seorang penduduk yang berhasil lolos dari cengkraman para pendekar say
Keesokan harinya ....Ramandika sudah memerintahkan beberapa orang prajurit untuk menjemput kedua istrinya. Lasmina yang berada di desa Singkur dan Rinjani di bukit Sancang."Semua anggota kelompok kita harus semuanya ikut ke sini! Mulai hari ini kita akan membangun wilayah kepatihan ini secara mandiri, karena wilayah ini secara resmi sudah terpisah dari wilayah Gurusetra," kata Ramandika di sela pembicaraannya dengan Radisa dan Janeja yang ia beri tugas untuk menjemput kedua istrinya dan juga semua anggota kelompok Halimun yang masih ada di desa Singkur dan bukit Sancang."Baik, Ketua. Kami akan segera bersiap untuk berangkat ke sana," kata Radisa sambil merangkapkan kedua telapak tangannya. Begitu juga yang dilakukan oleh Janeja, bersikap penuh hormat terhadap Ramandika.Setelah itu, mereka bangkit dan bersiap untuk segera berangkat ke desa Singkur dan bukit Sancang. Radisa dan Janeja langsung berbagi tugas."Aku dan para prajuritku akan menjemput Nyimas Raden Rinjani, dan kau bersa
Dengan penuh rasa percaya diri, Panglima Darsaka dan ratusan prajurit yang masih bertahan, langsung melangkah mendekati pasukan Halimun, mereka kembali melakukan perlawanan. Sudah tidak ada pilihan lain lagi, selain melawan untuk mempertahankan diri.Para prajurit kelompok Halimun telah menggenggam senjata mereka masing-masing, dan bersiap menyambut serangan dari pasukan kerajaan Gurusetra yang jumlahnya sudah semakin berkurang.Pada saat itu, Ramandika terpaksa harus membunuh Patih Amukaraga, karena dia tak mau bertekuk lutut. Sejatinya, Ramandika tak berniat melakukan tindakan seperti itu, namun Patih Amukaraga yang terus melakukan serangan berbahaya terhadap dirinya, sehingga Ramandika memutuskan untuk membinasakan sang patih.Sorak sorai para prajurit Halimun terdengar bergemuruh, mereka merayakan kemenangan. Seiring dengan tewasnya Patih Amukaraga di tangan Ramandika—pemimpin mereka. Selain itu, Panglima Darsaka dan para prajuritnya pun sudah berhasil ditangkap dalam keadaan hidu