Semoga banyak yang suka sama ceritanya ya....
Dirasakannya tubuhnya gemetaran karena hal mengerikan yang dilihatnya. "Lelaki tua yang cerewet," decaknya, mundur dan berbalik pergi seraya menarik Abigail bersamanya. "Lepaskan aku!!!" Desis Abigail, ketakutan, tetapi lelaki itu sama sekali tidak mendengarnya bahkan menoleh. "Lepaskan!!!" DOOORRRR! Abigail mengatupkan bibir, berlindung di balik bahu saat Lucca menembak seseorang di kejauhan yang tepat sasaran dan beberapa tembakan lagi ke arah lain. Sepertinya pengawal Erick masih beberapa yang bertahan. "Aaahhh—" Abigail tersentak kaget saat Lucca mendorongnya hingga menabrak mobil merah, mencekal lehernya di sana hingga punggungnya terdesak dengan Lucca yang berjarak begitu dekat dengannya. Sepertinya sudah dini hari karena malam semakin dingin dan di sekitar mereka sepi juga gelap, entah dimana. "Kau tidak seharusnya berhasil kabur malam itu" desisnya. "Kau menemukan barang milikku dan aku menyelamatkanmu dari lelaki tua itu." "Tolong lepaskan aku," pinta Abigail. "Apa k
Abigail mengangkat dagunya, mengusap air matanya, berjalan semakin ke dalam bandara di antara banyaknya orang yang berseliweran dan yang pasti Thita juga Letisha sudah tidak terlihat lagi di belakang. Sebelum mencapai bagian imigrasi, lengannya di tarik membuatnya menoleh kaget dan menemukan The Black Rose berdiri di sampingnya.Tanpa mengatakan apapun, Lucca menariknya pergi ke arah lain, setengah menyeret Abigail yang berusaha menyeimbangkan langkah seraya mempertahankan koper yang digeretnya, mencoba menguatkan hati. Sampai di landasan pesawat di mana ada pesawat pribadi yang siap terbang, Lucca melepas cekalannya dan berbalik menghadapnya."Wanita selalu saja menggunakan air mata agar terlihat lemah dan butuh dikasihani. Kau pikir, aku tidak tahu arti tatapan kesedihanmu tadi," desisnya. Abigail bergeming di tempatnya saat Lucca maju dan menghunuskan mata hijau miliknya. "Apa itu satu-satunya senjata yang kalian miliki agar dikasihani?" Abigail mengerutkan kening, tidak terlalu me
Mansion mewah bergaya Italia itu berdiri di pinggir tebing teluk Napoli. Begitu megah tapi juga menakutkan. Memiliki banyak paviliun yang berdiri di bagian barat dan selatan terpisah dari rumah utama yang tengah di pandangi Abigail setelah keluar dari mobil. Maskulin, misterius, menakutkan tapi mempesona. Seperti gambaran pemiliknya, The Black Rose. "Kau sekarang adalah budakku." Abigail menoleh saat Lucca berjalan mengampirinya. "Melakukan apapun yang aku perintahkan tanpa terkecuali dan bantahan. Jangan sekali-kali menangis di depanku untuk meminta belas kasihan. Ini adalah harga yang harus kau bayar karena telah berhasil lolos dariku dan membebaskanmu dari lelaki tua itu." "Sampai kapan?" tanya Abi. Lucca menarik sudut bibirnya, menyeringai, memandangi lekat Abi yang bergeming. "Sampai aku yang membebaskanmu." Memajukan kepalanya dan berbisik di telinganya. "Tapi itu tidak akan terjadi." Abigail memalingkan wajah, menjauhkan kepalanya dari Lucca. "Bawa dia ke tempatnya," perint
Abigail memang bukan wanita perawan lagi. Thomas mendapatkan kesempatan emas itu setelah berusaha meyakinkannya kalau mereka akan selalu bersama dan saling mencintai. Betapa picik dan bodohnya keputusan itu saat ini. Menyerahkan sesuatu yang begitu berharga untuk lelaki yang tidak pantas menerimanya. Namun, di luar dari pada itu, Abigail akan berpikir ratusan kali untuk menjadi budak nafsu seperti Bellatrix dan empat wanita lainnya. Terjebak di mansion mewah, meski mendapatkan apapun yang mereka inginkan tapi harus memuaskan napsu tuannya yang memiliki perangai mengerikan. Sampai mati, Abi tidak akan menukar harga dirinya untuk diberikan ke Lucca. Tidak peduli dia akan menjadi pembantu di mansion seumur hidupnya. Meskipun dari ekspresi Bellatrix, menjadi pemuas nafsu The Black Rose seperti sebuah kebanggaan. Dilihat dari betapa congkaknya dia bisa mengalahkan empat wanita lainnya malam ini. Abigail tidak bisa menemukan di mana bagusnya menjadi pelacur ketua mafia yang tidak perlu d
"Dia mau kemana?" gumamnya, lebih untuk dirinya sendiri sembari memperhatikan Bella yang melenggang santai ke arah mansion bagian selatan, bukannya ke kamar pribadi Lucca. Tidak malu saat tubuhnya diperhatikan setiap bodyguard Lucca yang tersebar di sekitar area mansion. "Tentu saja pergi melayani Tuan Lucca." Abigail tersentak kaget, menoleh dan mendapati Serafine ikut memandangi Bella yang semakin menjauh di sampingnya. "Bukankah dia salah jalan?" tanya Abi, tidak mengerti. Serafine menghadapnya, "Tidak. Dia tahu harus pergi ke mana. Satu kamar besar yang berada di sana merupakan tempat Tuan Lucca menikmati pelacurnya." "Kamarnya—" "Tuan Lucca tidak memperbolehkan siapapun masuk. Kau seharusnya paham kalimat itu." Abigail mengangguk, meski heran. "Oke baiklah. Area itu terlarang." Abigail kembali melihat kejauhan. "Semua lelaki yang dia lewati seperti menelanjanginya dengan tatapan." "Jangan hiraukan itu. Tuan Lucca bahkan tidak peduli karena Bella hanya pelacurnya. Lagipula
Pukul satu malam, Abigail menyeret kakinya melangkah menjauhi kamar yang dia huni bersama para pelacur itu. Rambutnya tergerai, jubah tidur yang menutup seluruh tubuhnya, bersentuhan dengan lantai marmer, berjalan di antara temaramnya bangunan. Membiarkan sinar bulan di kejauhan menuntunnya entah kemana. Anehnya, tidak terlihat penjaga di mana pun membuat Abi mengeryit heran. Kemana mereka semua? Sampailah dia di dekat jalan setapak, di balik bayang-bayang kebun bunga yang tertata rapi, jauh dari kamarnya berada. Abigail terdiam sejenak, merasakan semilir angin berhembus, dingin yang pekat memaksanya untuk kembali ke kamar dan berlindung di balik selimut hangatnya, namun tubuhnya seakan memiliki pikiran sendiri. Abigail berjalan memasuki area taman bunga yang tingginya mencapai lebih dari tubuhnya sendiri, memiliki beberapa belokan dengan ruas jalan yang bisa dijadikan pilihan hingga membawanya berputar dan sampai ke area tengah di mana ada air mancur dengan hiasan patung wanita bers
Seharusnya tidak ada yang perlu dicemaskan Abigail. Toh, pertemuannya dengan Lucca hanya sebatas mimpi. Meskipun ada sebagian dari dirinya yang merasa kalau itu nyata. Abigail mencoba mengelak karena tidak ada alasan bagi Lucca untuk melakukannya. Abigail masih ingat jelas perkataan Lucca kalau dia tidak tertarik pada tubuhnya. Lagipula, semalam dia pasti sedang bersenang-senang dengan pelacurnya yang entah akan seperti apa bentuk tempat tidur di ruangan itu pagi ini. Abigail bergidik mengenyahkan bayangan dalam kepalanya. Pikiran-pikiran tidak menentu itu membuat Abigail memilih sebisanya tidak berinteraksi dengan Lucca. Cara aman supaya dia sedikit tenang menjalani kesehariannya seraya memikirkan cara melarikan diri, jika memungkinkan. Tapi, bayangan ciuman Lucca masih tertinggal dalam ingatannya yang samar. "Apa kau baru saja berciuman dengan seseorang sampai memegangi bibirmu seperti itu?" Abigail tersentak kaget, menurunkan tangan yang tidak disadarinya berada di bibir dan men
Tempat di dalam mimpinya memang nyata. Abigail berdiri di depan patung wanita bersayap yang di sekitarnya terdapat bunga mawar hitam yang merekah sempurna. Meski hitam tapi terlihat berkilau akibat terpaan cahaya matahari yang membuatnya begitu cantik. Abigail menelan salivanya, mengedarkan pandangan dengan tatapan nanar, hingga tanpa sadar meraba bibirnya. Sial! Apa ciuman itu nyata? "Apa yang kau lakukan di sini?" Abigail tersentak, berbalik dan berhadapan dengan Serafine yang berdiri tidak jauh darinya. "Kau tidak seharusnya berada di sini." Abigail berniat pergi, tidak mau mencari gara-gara. Untung saja bukan Lucca yang memergokinya sedang terkesima dengan hitamnya kelopak mawar miliknya. Seperti mimpinya tadi malam. "Aku sedang dalam perjalanan ke kamar untuk membangunkan Bellatrix tapi aku tidak sengaja melihat labirin ini hingga membawaku kemari." Serafine mendekat, berdiri beberapa meter darinya dengan tatapan menyelidik, "Tidak perlu, Dia sudah kembali ke kamarnya
Perlahan matanya terbuka, retinanya mencoba menyesuaikan dengan sekitar hingga perlahan semua panca indranya mulai berfungsi kembali. Dadanya terasa panas dan di perutnya terasa sakit. Lucca mengerjapkan mata dan menyadari jika dia sedang berada di sebuah ruangan. "Thanks God." Bisikan lembut itu membelai indra pendengarnya. Suara seseorang yang akan dia respon dan dengar di manapun dia berada. Nada suaranya terdengar sarat dengan kekhawatiran dan juga kelegaan. Sentuhan tangannya membuat Lucca perlahan mencari keberadaan istrinya yang berada tepat di sampingnya. Menatap dengan lembut meski nampak merah akibat dari menangis. "Kau membuatku hampir jantungan," ocehnya, mengelus permukaan telapak tangannya dengan tangannya sendiri. "Aku sampai tidak bisa melakukan apapun dengan benar." Lucca tersenyum, untuk satu-satunya wanita yang bisa melihat senyumannya di dunia ini. "Aku berhasil membunuhnya." Kenyataan bahwa dia sendiri yang sudah membunuh Ravel membuat Lucca sangat puas. Lela
Entah kenapa, Lucca tidak terlalu suka mendengar kata-kata itu meskipun benar kalau Serafine hanya pengawalnya. Tapi dia lebih dari itu. Bagi Lucca sendiri, dia sudah seperti sosok teman yang sudah lama sekali menemaninya melakukan banyak kejahatan. Kesetiaan wanita itu padanya membuat Lucca kagum. Meskipun tidak pernah mengatakannya ataupun memikirkannya, keberadaan wanita itu begitu berarti. Bukan dalam arti berarti seperti Abigail yang dia cintai tapi perasaan lain yang sulit sekali dia jelaskan. Tapi dia tidak akan memberikan orang kepercayaanya itu untuk Mike yang pastinya akan menjualnya nanti dengan harga tinggi. "Dia sudah tidak bersamaku. Jadi, kalau kau tidak menginginkan hal yang lain dan tetap bersikeras seperti ini. Aku akan pakai cara kasar untuk membuka mulutmu itu!!" Lucca menghunuskan tatapan membunuhnya membuat Mike nampak terlihat waspada. "Kalau begitu lupakan tentang Ravel Brigton." Tidak ada rasa takut sedikitpun dalam suara Mike yang wajahnya nampak serius. "
Washington DC, New YorkMike Lawson bukanlah orang yang bisa ditemui dengan mudah. Memiliki beberapa club yang tersebar di negara bagian Amerika dan memiliki jaringan prostitusi skala besar untuk kalangan elit. Mike Lawson jelas tidak akan mudah diintimidasi tapi bukan Lucca Alonzo namanya jika dia tidak bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkannya."Wah, ini pertama kalinya kita bertemu." Mike yang duduk di sofa mewah di dalam ruangan di salah satu club malamnya tertawa ketika melihatnya masuk, tanpa undangan tentunya. Seseorang berkulit hitam yang sukses membesarkan namanya di Amerika karena kemampuan bisnisnya. "Aku jadi penasaran, apa yang diinginkan seorang Lucca Alonzo dariku." Tatapannya tidak memperlihatkan jika dia takut. "Seorang wanita perawan seksi yang bisa diperlakukan sesuka hati?"Lucca berhenti beberapa meter darinya, memberi jarak dan berdiri dengan santai tapi waspada."Hanya satu hal, aku ingin tahu di mana bajingan Ravel Brigton bersembunyi saat ini.""Ravel--" M
"Kau mau main-main dengan Lucca Alonzo,hmm?""Ti-dak-- Erggh."Lelaki yang berada di bawah kakinya mengerang tertahan saat Lucca semakin menekan kepalanya ke lantai. Duduk di kursi dalam ruang tertutup yang gelap, hanya di sinari cahaya matahari yang menembus melalui satu-satunya ventilasi udara yang ada di sana. Mengelus permukaan pistol di tangannya, tidak peduli lelaki di bawah kakinya sudah tergeletak tidak berdaya."To-long--" ucapnya terbata. "Le-pas-kan a-ku."Lucca mengalihkan tatapan ke bawah, tersenyum miring penuh nafsu membunuh."Melepasmu?" Lucca tertawa sarkas. "Kau pikir bisa lolos setelah memata-matai keluargaku. Kau jangan bermimpi!!""A-ku ti-dak--"BUKK!"Uhuukk..Uhuuukk..."Satu hantaman kaki Lucca di punggungnya membuat lelaki itu langsung batuk darah. Lucca berdiri, mendorong tubuh di lantai itu agar terlentang menghadapnya. Satu matanya sudah buta tertembus timah panas, lengan tangannya bengkok dan darah keluar dari sela hidung dan bibirnya. Dihunuskannya mata p
"Baguslah kalau kau suka. Lucia juga sepertinya senang sekali."Abigail mengangguk, mengelus pipi bayi perempuannya yang tertawa melihatnya."Tapi kenapa tiba-tiba kita kemari? Aku tidak ingat kau pernah bilang akan membawaku ke sini."Lucca tersenyum miring, begitu mencurigakan. "Nanti kau juga akan tahu."Abigail menyimpitkan mata, "Kau menyembunyikan sesuatu ya?"Lucca tersenyum, "Tentu saja tidak."Abigail mendesah, kembali memalingkan wajah ke depan menikmati leindahan yang terhampar di depannya. Yacht membawa mereka berkeliling kota dari sungai dan Abigail sudah tidak sabar untuk menjelajah di sekitar kota dengan berjalan kaki. Kota impian yang seperti negeri dongeng. Membuat siapapun betah berada di sini meski Swiss mendapat predikat kota yang mahal."Aku membawamu ke sini sesuai permintaanmu," ujar Lucca membuat Abigail langusng menoleh dengan wajah bingung."Aku?""Ya." Lucca mencium pipi Lucia. "Aku hanya mengabulkannya saja seperti jin dalam dongeng."Abigail tertawa, "Oh,
Air laut membasahi baju renangnya, pelukannya semakin menguat, tatapannya lurus ke depan dan rasa kebebasan itu semakin menguat. Untuk sedetik saja dia ingin melupakan hal-hal yang mengganggu pikirannya. Saat ini hanya ada mereka berdua, hanya dua manusia biasa yang memimpikan kebebasan yang sama. Just Abigail dan Lucca. Tanpa nama Alonzo di belakangnya. "Berteriaklah Abi!" Teriak Lucca, melakukan beberapa kali manuver ke sana kemari. Abigail perlahan melebarkan senyumannya, mulai menikmati sampai akhirnya berteriak kencang dan suaranya diterbangkan angin laut. Hingga mereka berteriak dan tertawa bersama. Beginikah rasanya kebebasan itu? Mesin perlahan memelan, riak air yang terciprat tidak sekencang sebelumnya, hingga jetski bergerak pelan mengikuti arus di lautan. Mereka berada jauh dari bibir pantai tapi bisa melihat sosok kecil di kejauhan. "Kau senang?" Lucca memegang lengannya dengan satu tangannya. Abi menyandarkan dagunya di bahu Lucca."Rasanya menyenangkan." "Lucia ya
"Abi, kau siap?"Abigail menyambut uluran tangan Lucca yang menunggu di dermaga di mana ada jetski yang akan mereka gunakan berada."Hmm, entahlah." Abigail melihat ke arah lautan luas yang terbentang di depannya. "Rasanya sudah lama sekali aku tidak pernah melakukan ini."Lucca menatapnya dalam, penuh arti. Menarik tubuh mereka merapat dan mengelus pipinya."Aku selalu membuatmu kesulitan ya hingga kau sepertinya lupa bagaimana caranya bahagia seperti orang-orang lainnya."Perkataan Lucca tidak salah. Berurusan dengannya membuat hidup Abigail tidak lagi mudah seperti dulu."Sebelum bertemu denganmu, aku tidak perlu mewaspadai apapun yang ada disekitarku," ucapnya jujur. "Melewati banyak kejadian mengerikan yang mempertaruhkan nyawa membuatku tidak lagi bisa menikmati hal-hal yang dulu membuatku bahagia.""Kau seharusnya membenciku karena membuat hidupmu seperti itu," lirih Lucca, tatapan bersalahnya membuat Abigail tidak bisa memalingkan wajah. Memandangi mata hijaunya, menatap bayan
Abigail tertawa dan Lucca bahagia melihat senyuman itu. Sesuatu yang menjadi motivasinya, penyemangatnya juga alasan eksistensinya di dunia ini. Sama seperti dia yang tidak bisa membayangkan Serafine sehidup semati dengan seseorang, wanita itu pasti juga tidak membayangkan jika dia akan berada di titik ini.Lucca menarik Abigail ke depan tubuhnya, memeluknya dari belakang dan menatap kejauhan. Mereka masih berada di Paris dan besok sore akan pulang dan berlayar menggunakan kapal pesiar ke Spanyol."Apa yang akan kau lakukan jika bertemu kembali dengan adik tirimu?"Pertanyaan Abigail menyentaknya sesaat. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya sebelum ini karena dia memang tidak peduli pada wanita itu. Hanya Aldrick satu-satunya yang mungkin akan mencari wanita itu hingga keujung dunia karena lelaki itu menyukai adik tirinya yang dia bela bahkan dengan tubuhnya sendiri yang tidak peduli sekalipun Lucca melubangi jantungnya dengan senjata api. Bukan alibi untuk tidak saling menya
Dua bulan kemudian, "Bukankah semua baik-baik saja sekarang?" Lucca yang sedang bermain dengan Lucia diatas tempat tidur mereka di dalam kapal pesiar mewah yang sedang melaju di tengah Samudra menuju ke Spanyol mengalihkan tatapannya ke Abigail. "Tidak. Selama Ravel masih bersembunyi, dia masih menjadi ancaman." Abigail terdiam sesaat, "Aku takut dengan hal yang dia rencanakan di belakang kita selama membiarkan kita bahagia saat ini." "Aku akan menangkapnya. Tenang saja, sayang." Lucca menepuk-nepuk pelan paha Lucua. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun." Abigail diam, tersenyum saat Lucca mengelus pipinya lembut. Perasaan takut itu tidak hilang karena Ravel yang menjadi sumber masalah belum berhasil tertangkap. Lucca beberapa kali hampir berhasil menangkapnya namun selalu gagal karena kelicikan lelaki itu. Abigail tidak akan pernah tenang meski beberapa bulan ini, tidak ada hal mengerikan yang terjadi. "Aku rindu Shine," desah Abigail. "Kau bisa menemuinya nanti. Aku janj