Wanita itu berusaha mendorongnya hingga tubuhnya hampir keluar dari pagar besi. Dipegangnya pagar kapal dengan erat agar tidak terjatuh ke laut lepas. "Kau pikir aku akan memberitahumu!!!" Tawanya menggema. Dorongannya makin kuat. "Tidak akan!!" "Kau harus memberitahuku!!" Wanita itu mendorong senjatanya di dagu Abigail kemudian berdesis di depannya. "Kau mau tahu apa yang terjadi padanya?" Abigail diam, mencengkram besinya kuat. "Meskipun hatinya terluka karena terpaksa pergi, tapi dia juga bahagia. Dia mendapatkan apa yang dia usahakan selama ini. Alasan yang mengharuskannya pergi sejauh-jauhnya dari Lucca." Abigail mengeryit, wanita itu tersenyum miring sebelum menghembuskan mimpi buruk. "Keturunan Alonzo." DOORR!! Abigail membeku saat itu juga. Tidak menyadari wanita itu menjatuhkan senjatanya dan meluruh jatuh ke bawah setelah mendapatkan luka tembak di punggung. Semua hal yang berada di sekitarnya seperti terhenti. Shock. Tanpa sadar air matanya merebak untuk alasan yang
Abigail berdiri serupa bayangan.Dihadapannya, terlihat begitu dekat namun nyatanya terbentang jarak tak kasatmata yang mencekik pernapasannya, berdiri sosok Lucca Alonzo. Ada perbedaan yang begitu kentara meski yang terlihat di matanya hanya punggung tegap Lucca yang selama ini selalu berdiri tegak menjadi perisainya. Laki-laki itu nampak sedang mendekap sesuatu di dadanya. Napasnya tercekat kala air matanya lebih dulu meluruh jatuh tanpa alasan dengan mulut yang terkatup rapat tanpa daya. Nampaknya, dirinya tidak bisa membuat Lucca berpaling dari sesuatu yang sedang fokus dia curahkan perhatiannya.Kenapa hatinya terasa begitu sakit padahal dia begitu merindukan sosok itu?"Lucca....." suaranya melebur bersama angin dingin, seperti tidak benar-benar diucapkan namun ajaibnya lelaki itu menoleh ke belakang. Abigail sontak mundur dengan pekikan pelan juga hati perih kala melihat suaminya sepenuhnya berbalik menghadapnya hingga bisa memperlihatkan dengan jelas apa yang sejak awal dipan
"Demi Tuhan, aku akan membumihanguskan sekutu mereka sampai ke akar-akarnya kalau berani menjualmu di luar sana,” Ucap Lucca penuh dengan bara amarah meski begitu lembut di telinganya. "Aku bersumpah akan melakukan hal itu saat dalam perjalanan menyusulmu. Apa kau tahu betapa kalutnya aku beberapa minggu ini?" Abigail memeluk Lucca sebagai jawaban, isakannya mulai mereda saat tiba-tiba tubuhnya terangkat, menatap manik mata The Black Rose yang menghanyutkan. "Syukurlah, aku berhasil mendapatkanmu lagi." Keningnya dikecup dengan sangat lembut sembari berjalan membawanya ke arah sofa coklat tidak jauh dari perapian dan mendudukkannya di sana. Lucca ikut duduk di sampingnya, menuangkan teh yang tersaji di atas meja. Abigail berniat menyambut cangkir itu namun Lucca menjauhkan tangannya, mengesampingkan rambut Abigail dan membantu meminumkan teh yang dipegangnya. Abigail menyesapnya, seketika memberi perasaan hangat juga nyaman di tenggorokan dan meminumnya sampai habis membuat Lucca t
Rhea menangis di depannya saat mereka sampai di dermaga. Raut wajahnya lebih ceria, tidak lagi pucat dan matanya berbinar."Sampaikan salamku untuk putrimu," ucap Abigail. "Nanti jika aku kembali ke Napoli, aku akan mencari kalian.""Ada toko roti di dekat dermaga, sebutkan saja namaku. Mereka akan menunjukkan di mana rumahku."Abigail mengangguk, Rhea mulai menangis."Ini keajaiban. Aku benar-benar merasa beruntung. Kau menolong kami semua.""Tidak!!" Abigail menggelengkan kepala. "Aku tidak melakukan apapun.""Suamimu yang melakukannya dan aku tetap berhutang budi padamu. Terima kasih Abigail."Abi tersenyum, menggenggam tangan Rhea dengan mata berkaca-kaca, "Selalu ada harapan di kondisi tersulit sekalipun jadi kau tidak boleh menyerah. Apalagi kau memiliki seorang putri yang harus kau lindungi. Ingat perkataanku baik-baik."Rhea mengangguk, "Aku tidak akan seperti itu lagi. Kau membantuku untuk percaya."Abigail tersenyum, menatap Rhea yang bahagia sampai Lucca merangkul bahunya.
Abigail tidak punya daya bahkan sekedar untuk duduk. Tubuhnya hanya bisa terbaring dengan posisi terbalik dan membenamkan wajahnya di antara selimut yang berantakan. Suaminya tidak bisa dihentikan begitu saja, selalu ingin dan ingin lagi. Abigail hanya bisa pasrah menerima kebringasan Lucca yang seperti tidak kenal lelah. "Dokter akan memeriksamu sekembalinya kita ke Napoli. Aku tidak merasa nyaman memakai benda itu terus menerus." Benda yang dimaksud adalah beberapa kondom yang dipakai Lucca seharian ini saat mereka bercumbu. Abigail membuka mata, melihat Lucca tanpa sehelai benang pun berdiri menghisap rokok yang hampir habis sembari menatap ke arah luar dari sela gorden yang menghalangi sinar matahari masuk. "Juga untuk memeriksa kesehatanmu." "Lucca..." "Hmm." "Kenapa kau takut sekali aku akan hamil? Apa kau tidak suka?" Lucca terdiam sesaat,mematikan rokoknya, menghabiskan segelas wine dan berjalan ke arahnya. Diusapnya belakang kepalanya dengan lembut, "Kau tidak perlu m
Lucca menendang pintu mobil, keluar sembari menarik Abigail namun langkahnya terhenti saat melihat siapa musuh yang menyerang secara terang-terangan dan menodongkan senjata mereka dalam jarak dekat membuat Lucca dan anak buahnya tidak bisa betindak gegabah. "Bajingan!!!" Umpat Lucca. "Kau seharusnya belum keluar dari penjara, Ravel Brigton!!" Laki-laki tampan yang menghisap cerutu itu tertawa membahana. "Suprise," ucapnya sok akrab. "Baguslah kalau aku bisa mengejutkan The Black Rose saat dalam perjalanannya untuk honeymoon," ejeknya membuat Lucca menggeram marah, Abigail membeku melihat lelaki yang berdiri angkuh tidak jauh di depannya dari balik punggung Lucca. Tersentak saat laki-laki itu menatapnya. "Hai Abi. Kita bertemu lagi. Ternyata kau ya istrinya Lucca." Ravel berdecak, menggelengkan kepala nampak geli. "Seharusnya aku bawa saja kau saat bertemu di kapal kemarin." "Kubunuh kau jika menyentuhnya," desis Lucca. Ravel Brigton, dari namanya saja dia sudah tahu jika laki-l
Tidak ada satupun yang bisa menduga bagaimana takdir itu bekerja. Seperti Abigail yang tidak habis pikir dengan nasibnya saat ini.Abigail masih belum sepenuhnya percaya saat takdir menuntunnya kembali ke rumah. Duduk diam di dalam pesawat yang membawanya pulang bertemu keluarga yang paling dia rindukan. Bertemu dengan adiknya, Shine juga Mamanya.Sebelum ini, rasanya begitu sulit untuk pulang, bahkan membayangkannya saja terasa menyakitkan. Tidak tahu apakah tragedi penculikan itu patut disyukuri atau tidak.Abigail memandangi kumpulan awan di luar. Air matanya merebak tanpa bisa dia tahan. Wajah Shine dan Mamanya mengabur, berganti dengan seraut wajah tampan bermata hijau yang penuh tipu daya dan seksi. Begitu kuat melumpuhkan tapi juga lembut menghanyutkan. Tangannya bertaut di depan bibir, memejamkan matanya sesaat membiarkan saja air mata tanpa isakannya merebak kemudian berdoa sepenuh hati.Sungguh-sungguh berdoa untuk suaminya yang entah bagaimana kondisinya saat ini. Abigail d
Abigail mengerjap, mencoba mencerna perkataan Aldrick. "Sepertinya kau sangat mengenalnya."Aldrick tersenyum miring, "Aku memang mengenalnya dengan baik bahkan setelah bertahun-tahun kami tidak saling menyapa."Abigail mengaitkan rambutnya ke belakang telinga, melirik sekilas Serafine yang duduk sembari memejamkan mata beberapa kursi dari tempat mereka dan menatap Aldrick serius."Aku masih belum sepenuhnya bisa mempercayai Lucca. Bagiku dia masih tetap penuh misteri sekalipun kami suami istri. Rasanya masih banyak hal yang dia sembunyikan." Sesuatu mencekat tenggorokannya. "Aku tidak tahu apapun tentangnya.""Itu hanya caranya untuk melindungimu."Abigail mengeryit, "Aku tidak mengerti."Aldrick ikut memajukan tubuhnya, "Kau masa depannya. Dia memilih mengubur semua masa lalu hidupnya yang tidak mengenakan dari pada menceritakanya.""Kenapa? Setidaknya—""Baginya semua itu percuma, Abi," sela Aldrick, Abi bungkam. "Tidak ada gunanya. Menceritakan kepedihannya padamu tidak akan membu