“Sudah kubilang, jangan ditinggali sendirian. Kamu keman saja, heh?” “Berhentilah kamu mengomel, kepalaku pusing!” Dua orang itu terus saja berdebat selama perjalanan. Ah, tidak. Hanya wanita saja yang mengomel, dan sesekali Frey menyahutinya ketika mulai jengah. Setelah mendapat kabar jika mobil Alden di serang oleh orang tak dikenal, Frey langsung meninggalkan kediaman Alden. Hal yang membuatnya menyesal adalah menuruti keinginan Jessica yang ingin ikut dengannya. Sekarang dia berkhir dengan mendengar ocehan Jessica yang tak kunjung berhenti. Rasa kepalanya ingin pecah saja. Padahal sekarang sangat genting, tapi wanita itu masih bisa mengomel padanya. Tak lama mereka tiba di tempat mobil Alden berhenti. Di sana sudah tak ada orang lagi, selain mobil hitam milik Alden yang tertinggal. Keduanya turun dari mobil mencari keberadaan Alden, tapi tak ada satu pun orang. Benar-benar sunyi, dan mencengkam kar
“Mau tidur sendiri atau kutiduri?”Ucapan Alden membuat mata Alana melotot. Dengan cepat dia menggelengkan kepalanya, dan meminta Alden untuk segera keluar.Detaknya jatungnya sangat cepat. Alden mengendongnya, dan membawanya ke dalam kamar. Pikirannya sungguh tidak bisa diajak kompromi saat ini.Alden yang melihat wajah Alana memerah seperti buah tomat masak pun hanya terkekeh. Dia tak lagi menggodanya, dan meninggalkan Alana sendirian di dalam kamar itu.Alden melangkahkan kakinya turun. Di bawah sudah ada Frey dan juga Jessica yang memang megikutinya sejak dari rumah sakit tadi.“Kenapa kau membawa wanita itu ke sini, Alden?” tanya Jessica yang tak bisa menahan dirinya lagi.Frey yang mendengar pertanyaan itu hanya menggelengkan kepalanya. Sejak tadi ia sudah berusaha untuk menahan Jessica tidak bertanya ataupun melakukan sesuatu yang aneh selama Alana masih bersama Alden.Tapi rupanya, Jessica tak bisa menahan dirinya lagi. Dia bahkan langsung bertanya saat Alden baru saja turun m
Srak! “Shit!” Alden mengumpat, sembari menghindari serangan tiba-tiba ke arahnya itu. Beruntung dia menghindar dengan tepat waktu, sehingga pisau itu melesat mengenai bunga-bunganya. “Siapa kamu, hah?” Brak! Alden mendoronganya dengan cepat hingga orang itu terkunci di dinding. Penampilannya sangat mirip dengan orang-orang yang menyerangnya tadi. Baju serba hitam, dan dia menutup wajahnya. Orang itu berontak, mencoba melepaskan diri dari kuncian Alden. Alden yang geram semakin menekan tangannya. “Kau pikir bisa membuntutiku sampai ke sini, heh? Sampah!” desisnya, mata Alden berkilat penuh kebencian.Orang itu mencoba berkata sesuatu, tetapi Alden hanya merespon dengan ketegasan, "Aku tidak tahan dengan permainan kotor seperti ini. Siapa yang mengirimmu?"Wajah orang itu tetap tertutup, dan dia tetap diam. Alden mulai kehilangan kesabaran. Dengan satu gerakan tiba-tiba, Alden melepaskan ceng
Malam berlalu begitu saja, dan Alden masih berada di ruang kerjanya. Semalaman dia mencari informasi tentang Roger. Di sekitarnya, hanya suara ketikan keyboard dan layar monitor yang menyala, menciptakan suasana yang hening dan tegang.Dengan mata yang semakin lelah, Alden terus menyelusuri setiap jejak yang dapat membawanya kepada Roger. Dia membuka berbagai dokumen, memeriksa catatan, dan mengikuti setiap petunjuk yang mungkin membawanya pada keberadaan pria itu.Waktu terus berlalu, tetapi tekad Alden tetap tak tergoyahkan. Seiring dengan waktu yang terus berjalan, Alden mulai menemukan beberapa informasi yang dapat membentuk gambaran tentang siapa Roger sebenarnya dan apa hubungannya dengan David. “Lagi-lagi mereka,” gumam Alden.Saat matahari mulai terbit, Alden duduk dengan rasa puas dan pengetahuan baru. Dia menemukan jejak Roger dan hubungannya dengan David, dan langkah berikutnya telah tergambar dalam pikirannya.“Baiklah, jika itu kalian mau!”
“Kurasa aku tahu ini,” gumamnya pelan. Pandangan matanya fokus pada gambar-gambar yang menarik perhatiannya.Alden menatapnya dengan harap. "Siapa dia, Alana? Apa kau pernah berhubungan dengannya sebelumnya?"Alana mengangguk, wajahnya memperlihatkan ekspresi campuran antara kejutan dan keprihatinan. "Namanya Roger. Kami pernah bekerja bersama dalam suatu proyek beberapa tahun yang lalu. Tapi, aku tidak tahu dia terlibat dalam hal-hal seperti ini."Alden terdiam mendengar penjelasan Alana. Dia sedikit mengerutkan keningnya, dan menghela napas panjang.Entah apa yang sedang dia rencankan saat ini. Alden mengetuk jari-jemarinya di atas meja kerjanya. “Apa kau tahu dia ada di sini sekarang?” tanya Alden lagi setelah lama terdiam. “Tidak. Aku tidak tahu jika dia sudah ada di negara ini bahkan di kota ini. Yang aku tahu, setahun lalu Roger sudah kembali ke Belanda,” jawab Alana. Alden berdecak malas. Dia sungguh tidak tahu masalah apa yang sedang dihadap
Alana menghela napas panjangnya, dan menyandarkan tubuhnya di kursi yang di dudukinya. Hampir sejam dia mencari informasi tentang Roger yang tiba-tiba muncul dan menyerang Alden. Ia menggertakkan giginya, merasa geram dengan apa yang sudah ditemuinya. Semua hal yang telah terjadi, benar-benar diluar dugaannya. David, pria itu ternyata bukan orang sembarangan. Sosok Roger yang berpengaruh saja bisa ditaklukan menjadi bawahannya. Bagaimana dengan orang lain? Entah apa tujuanya mengincar Alden saat ini, ia belum menemukan jawabannya. Untuk sementara, masih ada orang-orang yang melindungi David, sehingga pria itu dengan santai tak menampakkan dirinya. “Aku tidak percaya tidak bisa mendapatkanmu, David. Sekalipun atasanku adalah orangmu juga, aku tidak akan sungkan lagi,” gumam Alana. Gadis itu mengetuk jari-jemarinya di atas meja, sambil memikirkan sesuatu. Sesekali ia menghela napas panjangnya, disaat kepalanya teras
Alden segera memberikan perintah kepada Frey untuk mencari tahu lebih lanjut tentang sosok perempuan yang baru saja keluar dari markas Roger. Frey mengangguk patuh dan segera melangkah pergi, menenteng senjatanya dengan sikap waspada.Sementara itu, Alden masih memperhatikan dengan seksama. Perempuan itu terlihat agak tertutup, membungkuk rendah saat melintasi area yang cukup terang. Meskipun wajahnya tidak terlalu terlihat jelas, Alden merasa ada sesuatu yang tidak biasa dari gerak-geriknya."Tuan, kami akan segera mencari tahu," ucap Frey sambil meninggalkan Alden yang masih tetap fokus memantau markas Roger.Alden merasakan ketegangan yang semakin memuncak. Sosok perempuan itu mungkin memiliki keterkaitan dengan Roger, dan Alden ingin tahu lebih banyak. Ia memutuskan untuk bersabar menunggu laporan dari Frey.Beberapa saat kemudian, Frey kembali dengan informasi yang berhasil didapatnya. "Tuan, itu adalah Asira, seorang wanita yang sering terlihat berada di lingkungan markas Roger.
Brak! Pintu dibuka kasar oleh Alden, membuat wanita yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Matanya membulat melihat Alden yang berjalan ke arahnya dengan sebuah pistol."Siapa kau?" tanya Alden dengan suara tegas, matanya menyapu ruangan dengan cermat, memastikan tak ada ancaman tersembunyi.Wanita itu, yang sekarang terlihat cemas, mencoba mengumpulkan ketenangannya. "Apa yang kau cari di sini? Aku sudah memberitahumu semuanya," ucapnya dengan nada yang mencoba menunjukkan keberanian.Alden hanya menatapnya dengan tajam, tanpa memberikan jawaban. Dia tahu bahwa situasi ini memerlukan kehati-hatian ekstra. Ruangan itu tampak biasa saja, tetapi Alden tidak begitu saja percaya pada penampilan."Percuma kau mencoba menyembunyikan sesuatu. Aku tahu ada sesuatu di sini," ucap Alden, tetap memegang pistolnya dengan mantap.Wanita itu menggigit bibirnya, mencoba menemukan cara untuk keluar dari situasi yang semakin tegang ini. Namun, Alden tidak memberi kesempatan
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam