Alana mencoba mengingatnya kembali. Suaranya memang persis seperti suara atasannya, tapi nomor yang digunakan memang berbeda. Saat itu, ia tidak berpikir dengan jernih, dan segera mengambil tindakan karena telepon dadakan. “Aku tahu aku salah, maafkan aku,” ucap Alana dengan sungguh-sungguh. Alden terdiam, keningnya mengkerut memperhatikan gadis itu. Dia masih tidak habis pikir dengan Alana. Ketika Alana menyampaikan rencananya, dia terlihat sangat tegas dengan keseriusannya. Namun, ketika dia terlalu ceroboh untuk hal-hal sepele seperti ini. Alden mengembuskan napas kasar, dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia tidak mau membahas masalah itu lagi, dan fokus pada tujuannya yang sekarang. Dering ponsel Alana memecahkan keheningan yang ada di antara mereka. Gadis itu menjawab teleponnya, sementara Alden hanya diam mendengarkan. “Baiklah, aku mengerti,” ucap Alana sebelum memutuskan sambungan teleponnya.
“Aku akan ikut,” ucap Alana dengan santai. Alden mengerutkan keningnya semakin dalam, wajahnya semakin jelek saat melihat Alana yang berjalan mendekat kea rah Frey. Ia mendengus kesal karena wanita itu mengindahkan perintahnya. “Aku tidak mengizinkanmu untuk ikut,” kata Alden dengan serius. “Tapi, aku mau,” sahut Alana tanpa rasa bersalah. Alden mendengus kesal, dan tak lagi menyahutinya. Sementara itu, Frey yang melihat kedua orang yang saling sahut itu hanya diam dalam kebingungannya. Sejak kapan mereka menjadi dekat begitu? Bosnya yang terkenal dingin dan bicara seadanya kecuali terhadap istrinya saja bisa berbicara banyak. Sekarang kenapa dia terlihat begitu peduli dengan Alana? Setelah semua persiapan telah selesai, mereka semua keluar dari markas menuju ke tempat persembunyian organisasi rahasia itu. Alden menarik Alana yang hendak naik ke mobil Frey, dan membawa gadis itu ke mobilnya.
Alana mendorong tubuh Alden, dan berbalik pergi dengan wajahnya yang memerah seperti tomat matang. Ia mengeram kesal karena ulah Alden yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Bruk! “Nah, sudah kubilang jangan ceroboh!” ucap Alden yang melihat gadis itu terjatuh di depannya. Alana mencebik kesal. Bukannya membantu, Alden malah berjalan lebih dulu meninggalkannya. Dengan tertatih, ia menyusul pria kejam itu. Keduanya meninggalkan gedung tua yang sudah berantakan itu. Mobil Alden melaju di jalanan yang cukup sepi. Ia mengantarkan wanita yang sedang bersamanya itu. Hanya ada keheningan yang menyelimuti keduanya. Alden yang sedang fokus di jalanan, dan Alana hanya diam memandangi jalanan dari jendela mobil. Angin malam yang begitu sejuk, membuatnya suasana semakin terasa hening dan damai. Sesekali Alana menghela napas panjang. Alden yang menyadari hal itu, melirik Alana sekilas. Dari ekor
“Siapa dia?” tanya Alden. Alana memutar bola matanya dengan malas. Ia mendengus, “Dia targetmu!” jawab dengan sedikit kesal. Alden menganggukkan kepalanya tanpa minat, dan kembali fokus pada ponselnya. Hal itu membuat Alana membulatkan matanya tak percaya. Bisa-bisanya Alden terlihat biasa saja, padahal mereka punya kesempatan saat ini. Lagipula tadi Alden mengajaknya keluar untuk melakukan misi, tapi kenapa sekarang dia malah diam saja?Alana menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Sebenarnya, dia tak boleh terlalu kaget. Alden memang terkenal dengan sikap dingin dan tak terbaca.“Baiklah, kita perlu merencanakan pendekatan yang matang,” ujar Alana, mencoba memimpin situasi.Mereka duduk di sebuah sudut kafe, berdiskusi sambil memeriksa data-data yang mereka miliki. Alden masih terlihat serius, matanya fokus pada layar ponselnya.Alana mencoba untuk memikirkan setiap kemungkinan, mempertimbangkan setiap langkah yang harus dia
“Aku membutuhkannya malam ini, pastikan kau membawanya dengan baik, Nona.” Alden berkata pada wanita yang mendatanginya itu dengan senyuman manisnya. Siapa saja yang melihat senyuman itu, sudah pasti akan terpana. Sama halnya seperti wanita yang sedang bersamanya itu, dia langsung menyangupi keinginan Alden. Alden beranjak dari duduknya, dan mengedipkan matanya sebelah sebelum meninggalkan wanita suruhannya itu. Ia keluar meninggalkan club dengan smirik menyeramkan di wajahnya. Mobilnya perlahan melaju meninggalkan tempatnya berada barusan. Meski dibilang kejam, ia akan tetap melakukan untuk mencapai balas dendamnya. Selama ini ia sudah berada dalam keterpurukan karena sebuah pengkhianatan. Sekarang, sudah saatnya untuk ia bangkit dan mengambil semua yang telah menjadi miliknya. Alden tidak kembali ke markasnya, dia memilih untuk pulang ke rumah. Begitu tiba di kediamannya, dia pergi ke sebuah ruangan. Tempat itu
“Warna rambutmu membuat mataku sakit,” kata Alden sebelum meninggalkan meja makan dan Alana yang sedang tercengang. “Apa kau bilang, hah?” Suara teriakan Alana sama sekali tidak digubris oleh Alden. Pria itu dengan santai kembali ke ruang tamu, dan membaringkan tubuhnya di sofa. Matanya dipejamkan, dengan otaknya yang terus memikirkan cara untuk segera menyalurkan balas dendamnya itu. Sementara itu, Alana yang sedang membereskan piring kotor di dapur terus mengomel karena ulah Alden. Pria itu selalu saja mengomentarinya, bahkan hal yang tidak perlu diurus olehnya. “Apanya yang buruk? Ini sangat bagus!” gumamnya dengan kesal. Setelah membereskan piring kotor, Alana keluar dengan wajah jeleknya. Tentu saja di masih kesal dengan pria yang tiba-tiba masuk ke rumahnya tanpa izin dan datang dengan komentar buruknya itu. “Aishh...” Suara Alana tertahan saat melihat Alden yang sudah tertidur di so
Alden mengucapkan kata-kata itu dengan mantap, tatapannya tajam seperti mata elang yang siap menerkam mangsanya. Frey tercengang sejenak, tidak mengira Alden akan memberikan balasan sepadan.“Tuan memang selalu tahu cara membalas, apakah tidak lelah?” goda Frey dengan senyum mengejek.Alden hanya tersenyum tipis, “Jika itu membuatmu bahagia, mengapa tidak?”Keduanya saling menatap dengan tatapan tajam, tetapi di balik itu, terdapat penghargaan satu sama lain atas kekuatan yang dimiliki masing-masing.Setelah terdiam beberapa saat, Alden beranjak dari duduknya. Ia menghela napas pelan, dan meminta Frey untuk memanggil dua orang anak buahnya.“Memangnya kau mau kemana, Tuan?” tanya Frey sembari mengikuti langkah Alden yang menuju ruang kamar di dalam club itu. Alden tidak menjawabnya, dan terus berjalan hingga berhenti di depan sebuah kamar bernomor 204. Kamar itu adalah tempat dia meminta wanita suruhannya untuk menunggu. “Kau tunggu di sini,” ucap Alden meningg
Wanita itu meringis kesakitan, tetapi tidak ada belas kasihan di mata Alden. Dia telah memasuki dunia yang penuh dengan bahaya, dan dia tahu bahwa tidak ada tempat untuk penyesalan.Anak buah Alden dengan sigap menahan wanita itu, memastikan dia tidak bisa melarikan diri. Mereka menundukkan wanita itu dengan keadaan kacau di depan Alden, menunggu perintah selanjutnya.“Apa yang seharusnya kita lakukan, Tuan?” tanya salah satu dari mereka, suaranya penuh dengan ketegasan.Alden memandang wanita itu dengan dingin. Dia harus membuat keputusan, menimang apa yang akan dilakukan untuk wanita itu bisa membuka mulutnya.“Jadikan saja di budak,” usul Frey dengan santai membuat wanita itu mendelikkan matanya terkejut.Alis Alden terangkat sebelah, seolah usulan Frey itu sangat berguna. Tatapan matanya yang dingin menatap wanita yang menggeleng lemah di hadapannya itu. Dia terlihat sangat memohon untuk tidak menyetujuinya.Tapi, Alden bukanlah pria yang bisa berbaik hati pada musuhnya. Demi bala
Alden terdiam sejenak, meresapi kata-kata Zane dengan serius. Tidak hanya Zane yang mengingatkannya pada tanggung jawabnya terhadap Alana, tetapi juga hatinya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan."Aku tidak akan mengecewakannya," ujar Alden dengan mantap, meskipun terasa seperti dia lebih mencoba meyakinkan dirinya sendiri daripada Zane.Zane hanya mengangguk sekali lagi, ekspresinya tetap serius dan agak ragu. Keduanya saling bertukar pandang sebentar, sebelum akhirnya Zane berbalik dan meninggalkan ruangan.Alden duduk kembali di tempatnya, membiarkan kata-kata Zane meresap dalam pikirannya. Dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan Alana saat ini.Dengan perasaan yang membara, Alden bangkit dari kursinya dengan langkah-langkah mantap. Wajahnya memancarkan kemarahan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan orang yang telah menyentuh Alana dengan kasar itu lepas begitu saja.Langkah Alden yang cepat menuntunnya keluar dari ruangan. Dengan pandangan tajam,
Frey mengangguk patuh pada perintah Alden, menyeret pria tua itu menjauh dari kerumunan. Sedangkan Alden, dengan Alana yang masih tidak berdaya di pelukannya, bergerak cepat menuju kendaraannya.Saat mereka menjauhi tempat itu, Alden merasa beban yang mengendap di dadanya semakin berat. Dia tak bisa menerima bahwa Alana telah menjadi target musuh-musuhnya. Namun, dalam keadaan genting seperti ini, dia harus memprioritaskan keselamatan Alana di atas segalanya.Setelah meletakkan Alana di dalam mobilnya, Alden segera memacu kendaraannya menjauh dari tempat itu. Pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran dan pertanyaan tentang siapa di balik serangan itu, dan bagaimana mereka bisa menemukan solusinya.Sementara itu, Frey beserta orang-orangnya mulai melakukan penyerangan balik. Dia memang sudah mendapatkan informasi terkait mobil Alden yang dikejar oleh orang hingga berakhir di sebuah desa itu.Suara pukulan dan tembakan salih sahut di tengah kesunyian malam. Entah sudah berapa banyak korba
Namun, sebelum Alden bisa bereaksi, seseorang menarik tangannya dari belakang. Frey telah tiba di tempat kejadian dengan ekspresi serius di wajahnya."Tuan, kita harus pergi sekarang!" seru Frey sambil menarik Alden menjauh dari kerumunan. Alden mengangguk singkat, masih terkejut dengan kejadian yang baru saja terjadi.Dia segera mengikuti Frey, meninggalkan keributan di belakang. "Ada apa, Frey? Siapa mereka semua?" tanya Alden begitu mereka jauh dari kerumunan.Frey menghela napas. "Aku akan jelaskan semuanya di perjalanan. Tapi sekarang, kita harus cepat pergi dari sini."“Baiklah, kita jemput Alana dulu,” ucap Alden yang kemudian berlari menuju ke gubuk tua tempat mereka singgah di sana.Frey juga mengikutinya dari belakang sambil sesekali dia memerhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Dia juga menatap kepergian pria bertopeng itu mulai menjauh dari keributan yang telah terjadi.“Sial!”Frey sedikit terkejut saat Alden keluar dengan marah-marah. Raut waja
Alana berbaring di atas tempat tidur yang beralaskan tikar. Sementara Alden tidur di lantai yang juga beralaskan tikar.Dibandingkan kata rumah, ini lebih disebut sebagai gubuk yang sudah terbengkalai. Tapi, apa boleh buat. Mereka berdua tidak punya pilihan selain beristirahat di sana.Hari semakin gelap, dan mereka belum bisa menghubungi orang lain termasuk Frey. Alden masih memikirkan cara untuk segera keluar dari desa itu, agar tidak mengganggu warga jika mereka ketahuan berada di sana.“Alden,” panggil Alana dengan suara yang pelan.Gadis itu sama sekali tidak bisa menutup matanya. Dia memandangi langit-langit kamar yang sudah reyot itu.“Ada apa?” tanya Alden.“Aku penasaran dengan temanmu itu. Kenapa dia memakai topeng aneh?” tanya Alana tanpa basa-basi.Ya, sejak tadi Alana terus kepikiran tentang teman Alden itu. Terlihat pria itu tak berbicara dengannya, dia juga memakai topeng yang membuatnya terlihat mencurigakan.“Kenapa kau bertanya tentang dia, hem?” Alden kembali bertan
Alden merasakan adrenalinnya meningkat saat situasi semakin tegang. Meskipun ia cemas dengan tindakan Alana yang terlalu berani, namun juga mengagumi keberaniannya.“Baiklah, tapi sebaiknya kau cepat,” ujar Alden sambil menekan tombol untuk membuka atap mobilnya. Suara peluru semakin keras saat menembus bodi mobil.Alana tidak membuang waktu. Begitu atap mobil terbuka, ia segera menarik pelatuk senjata api yang dipegangnya.Dor!“Cepat, kita harus keluar dari sini!” seru Alana, mata Alden memandanginya dengan campuran kekaguman dan ketegangan. Tanpa ragu, Alden menuruti perintahnya, memacu mobil dengan cepat meninggalkan tempat kejadian.Mobil mereka melaju dengan cepat, melewati jalanan yang semakin sepi dan sunyi. Sementara Alana masih berpegang teguh pada senjatanya, siap menghadapi segala kemungkinan di sepanjang perjalanan.Alden, sementara itu, berusaha mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berdegup kencang. Dia merenung tentang keberanian Alana, bagaimana wanita itu tib
Dia melangkah keluar dari ruangannya dengan langkah yang tegas. Pikirannya dipenuhi dengan keputusan untuk menegaskan batas-batas pribadinya, tanpa campur tangan dari siapapun, termasuk Sophia.Dalam perjalanan keluar dari kantor, Alden memikirkan rencana untuk menyelesaikan masalah ini. Dia tidak akan membiarkan campur tangan dari luar mengganggu hubungannya dengan Alana. Kepercayaan dan kebebasan adalah harga yang mahal baginya, dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya.Alden pergi ingin menemui Alana. Dia juga tak sempat memberitahu gadis itu karena perasaannya yang benar-benar dibuat kesal oleh ucapan Sophia.Saat Alden tiba di kafe, dia melihat Alana masih duduk di sana dengan Zane. Dia menemui mereka dengan langkah mantap, wajahnya terlihat serius namun terkontrol."Alana," panggil Alden, membuat Alana dan Zane menoleh ke arahnya.Alana merasa kaget melihat Alden datang, terutama setelah percakapan singkat dengan Sophia yang masih membekas di pikirannya. Namun, dia me
Dalam hati, Alana merasa frustrasi dengan pertemuan tersebut. Meskipun dia yakin dengan keputusannya untuk mempertahankan kemandiriannya, namun sikap Sophia membuatnya merasa kesal. Dia tidak suka jika ada orang yang berusaha mengatur hidupnya atau meragukan kemampuannya untuk membuat keputusan sendiri."Sialan! Dia pikir aku tidak tahu siapa dirinya, heh? Menyebalkan!" desis Alana dalam hati, menyesali percakapan yang baru saja terjadi. Meskipun dia berusaha memaklumi kekhawatiran Sophia, tapi cara Sophia menyampaikan pesannya membuatnya merasa tersinggung.Dengan wajah yang tegang, Alana mengambil tegukan panjang dari kopi hangatnya, berusaha menenangkan diri. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tegar menghadapi situasi ini.Dering ponselnya, menglihkan perhatian Alana. Dia menghela napas panjang, sebelum menjawab telepon tersebut. “Aku sedang di kafe,” jawab Alana singkat.Namun, belum selesai dia berbicara, telepon itu lebih dulu terputus. Alana berdecak sebal, t
“Apa yang sebenarnya kalian ributkan?” Alden bertanya disaat dia sedang berdua dengan Frey. Mendengar alasan kedua eldernya itu tak membuat sepenuhnya percaya. Alden tahu betul bagaimana sosok Frey selama bekerja dengannya.Frey menatap Alden dengan tatapan yang penuh pertanggungjawaban. Dia merasa tegang menyadari bahwa dia harus memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Alden.“Tuan, ini bukanlah masalah besar. Kami hanya memiliki perbedaan pendapat kecil yang berujung pada pertengkaran. Itu sudah selesai dan tidak akan mengganggu kinerja kami di masa mendatang,” jawab Frey dengan suara yang berusaha tenang.Alden menyimak penjelasan Frey dengan cermat, tetapi ada keraguan yang masih menghantui pikirannya. Dia tahu betul bagaimana dinamika kerja di dalam organisasinya, dan dia tidak akan percaya begitu saja tanpa memastikan semuanya benar-benar terselesaikan.“Apa sekarang kau menutupi sesuatu dariku, Frey?” Alden kembali mendesak.Frey menelan sal
Alana menatap pria paruh baya itu dengan sikap tegas, tidak gentar meski dihadapkan pada intimidasi."Rasa terima kasih? Bagi apa? Bagi apa kamu memaksaku masuk ke dalam situasi yang bahaya? Kau harusnya tahu,aku tidak akan membiarkan siapapun memperlakukan diriku dengan semena-mena, termasuk kamu!"Pria paruh baya itu menahan kemarahannya, menyadari bahwa Alana tidak akan mundur begitu saja. Namun, ekspresi wajahnya masih penuh dengan ketidaksenangan."Ini bukan masalah terima kasih, Alana. Ini tentang keselamatanmu juga. Alden tidak akan selalu ada untuk melindungimu."Alana menahan napasnya sejenak, menimbang kata-kata pria itu dengan hati-hati. "Aku tahu bagaimana mengurus diriku sendiri, dan aku juga tahu kapan harus meminta bantuan. Jadi, jangan membuat kamu menjadi alasan mengapa aku harus bersyukur."Dengan tatapan tajam, Alana meninggalkan pria paruh baya itu sendirian dengan pikirannya. Dia tidak akan membiarkan dirinya dipermainkan atau dikuasai oleh siapapun, bahkan dalam