"Axelle!" teriak Arbi dari dalam teras.
Seketika itu Axelle berbalik arah kembali kehalaman rumah Arbia. Tapi alangkah kagetnya Axelle melihat ada seekor ular uang ukurannya lumayan besar tengah melilit pagar rumah Arbia.
"Axelle," panggil gadis itu.
"Tenang, Bi. Kamu jangan bergerak agar ularnya nggak berbalok ke arah kamu,"
Sesaat Axelle bingung, mau bagaimana mengusir itu ullar. Tapi mau nggak mau dia memang harus manggil pawang ular.
Dalam itungan jam ular itu dapat ďitaklukkan oleh seorang pawang ular yang difatanglan oleh Axelle.
"Itu siapa yang bawa ular ke rumah? Bisanya sangat beracum itu," ucap pawang ular itu sebelum dia meninggalkan rumah Arbia Suquilla.
Axelle hanya menarik napas panjang mendengar pawang ular itu. Dan itu artinya masih ada yang mengincar nyawanya juga nyawa Arbia. Kemungkinan saja ada juga yang mengincar nyawa Praditia Wicaksana.
"Kamu baik-baik sajakan, Sayang?" tanya kapten mu
"Lakukan sekarang!" Suntik yang memang sudah disiapkan untuk Praditia itu menembus kulit kuning gading Praditia. "Arka, msafkan Aku," batinnya berontak. Ingin rasanya dia berontal dan melepsskan injeksi itu dari dalam kulitnya, seperti yang Arka tadi bilang. "Jangan mau di suntik. Kalau toh sudah di suntik, pura-puralah tertidur, tapi hapalinlah setiap inci tempatnya," itu pessn Arka sebelum keluar ruangan. Karena Arka tahu orang-orang yang memasuki ruangannya adalah dokter gadungan, semua anak buah Handoko. Dan itu memang sudah menjadi rencana utama Axelle dan Arka. Setelah semua beres dan rapi, mereka membawa tubuh pingsan Praditia ke luar dari ruangan mewah itu. Kebetulan di luar ruangan tiba-tiba sudah tidak ada orang yang bertugas. "Cepat! Masuk ke dalam lift," titah dokter gadungam itu. Dan beberapa suster yang ternyata juga anak buah Handoko Triwibawa. Dengan cepat semua anak buah Handoko langsung bergerak. Mereka juga tak
Boom ...! Nom molotof ddngan kekuatan kecil itu terlempar oleh tangan mungil Arbia Siquilla. Semua mata membelalak, megejang karena keterkejutan. Bukan hanya Praditia Wicaksana, Handoko Triwibowo pun terduduk lemas menerima semburan bom kecil itu. Jantungnya seketika akut hingga dia dengan mudahnya ditangkap oleh Gam Pramudia. Axelle Narendra menelan salivanya berulang kali melihat kenyataan gadis kecilnya bisa bermain-main dengan sejata berbahaya. Tidak sekalipun lelaki perkasa itu membayangkan tubuh kecil Arbia itu punya otak briliant dan jenius hingga akhirnya membawa bom ke tempat persembunyian Handoko. Lima menit sebelum bom itu sengaja diledakkan Arbia, dia sudah mengirim pesan pada sang kekasih untuk segera menyerbu ke dalam ruangan di mana Praditia di tangkap dan hampir disiksa dengan sadis kalau saja bom itu nggak sengaja dilempar. "Pak Praditia tidal apa-apakan?" tanyanya setelah di menghampiri pria yang dulu pernah ia kagumi dan
Zakaria Lawalata merosot ke lantai mana kala membuka kain kafan itu. Tangisnya tersedu seakan bentuk pelampiasan yang ada di dadanya. Menangis tersedu seperti anak kecil, membuatnya meninggalkan rasa malu sebagai orang yang sudah tua.Arka menubruk ayahnya, derai air mata pun sudah membanjiri pipinyaHening, sepi bahkan terdiam. Axelle yang sudah menyadari dari awal masa seperti ini akan datang tak kalah merosotnya di lantai. Pandangannya kosong, hampa tak ada bentuk kehidupan di mata kapten muda ini.Semua sudah hilang. Masa bahagianya sudah terenggut. Air mata rasanya sudah enggan meleleh. Semua yang hadir di ruangan itu tak mengeluarkan ekspresi apapun selain tatapan hampa dan kosong serta air mata yang dari tadi tak berhenti."Keluarga Arbia Siquilla," suara panggilan dari perawat itu menghenyakan seluruh penghuni yang ada di ruangan unit gawat darurat itu."Saya, Sus. Saya kakaknya Arbi," Perawat itu hanya tersenyum tipis melihat jejak a
"Papa," panggilan itu terdengar jelas di telinga Zakaria Lawalata dan Axelle. Meteka berdua menoleh serempak.Alangkah terkejutnya bsik Axelle dan Zakaria melihat siapa yang sedang ada di kurdi roda dan seseorang sudah berdiri di belakangnya. Arka dengan derai air mata sudah berdiri di belakang kursi roda dan mendorongnya ke arah 2 laki-laki berbeda umur itu."Arbi!" Lengkingan itu begitu menggema di lorong rumah sakit. Tapi Zakaria tidak peduli. Dia langsung menubruk gadis muda yang sudah duduk di kursi rodanya."Benarksh ini kamu, Nak? Benarkah kamu masih hidup? Ini tidak mimpikan, kamu benar-benar masih ada di sinikan?" Bertubi-tubi kalimat demi kalimat bernada pertanyaan itu meluncur dari mulut orang tua satu itu. Dipeluknya putri semata sayangnya itu dengan kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Belum lagi laki-laki tampan, tegap dan perkasa yang ada di samping Zakaria, terduduk dengan berlutut, menderu dengan isakan yang ter
Kalang kabut. Yah, hanya satu kata itu yang bisa menggambarkan situasi di ruangan kamar Arbia saat ini, mana kala ada seseorang yang sudah berdiri di depan pintu bergeming menyaksikan perbuatan mereka. "Bi, makan dulu, Nak," ucapan itu masih terniang beberapa detik yang lalu. "Mama," Arbia seketika meloncat dari pangkuan Axelle dan berjalan memghampiri mamanya dengan wajah menunduk. Wanita anggun itu menayap putrinya dengan tatapan tajam mengena di hati membuat Axelle yang sedetik kemudian juga menjadi sasaran tatapan itu menelan salivanya. "Kalian segera ke meja makan, ya," ucap wanita itu dengan sikap tak acuh dan tatapan dingin. Seketika Axelle mengangguk dan merasakan kecanggungan yang diciptakan oleh sikap mamanya Arbi. Sesaat dia memandang gadis pujaannya itu dengan tatapan yak mengerti. "Kenapa begitu menatapku?" "Nggak enak sama, Tante?" Jawab Axelle meraup wajahnya yang tiba-tiba keruh. "Hem, nggak apa-ap
Arbia duduk memghadap Praditia yang sudsh ldbih dulu duduk dan memandangnya penih dengan perasaan. Sedangkan Ratu Prameswari yang berlalu dengan perasaan dongkol dan kesal tiba-tiba mengeluarkan ultimatum mengejutkan."Kalau bisa, jangan biarkan dia keluar hidup-hidup. Dia itu hanya penyakit yang mengganggu!" ucapmya tandas dan tegas entah sama siapa dan yang pasti titahnya itu diiyakan olen si penerima nelpon."Arbi," suara itu lebih mirip orang memanggil untuk curhat."Iya, Pak," jawab Arbi polos tanpa sedikitpun menaruh curiga atau berkesan untuk tahu sebenarnya apa maksud Praditia ingin menemuinya.Praditia mrmandang ragu sejenak lantas menatap dalam-dalam perempuan muda yang pernah membuatnya mabok kepayang itu."Bapak, ada yang mau disampaokan sama, Saya?" tamyanya kemudia karena menunggu Praditia melanjutkan ucapannya begitu lama."Aku--" sejenak Praditia ragu."Lanjutkan, Pak. Apa Bapak di lapas ada masalah? Kalau memamg ada m
"Arbi, hati-hati sama Ratu," ucapan Praditia masih membekas di telinga Arbia Siquilla.Pagi ini dia pergi ke perusahaan Penerbit milik Praditia Wicaksana. Untuk sementara Arbia mengambil alih perusahaan yang tergabung dengan perusahaannya sendiri yang didirikan sendiri bersama Arka Abianta, kakak angkatnya."Arbi, dimana?" Via note dari kakaknya Arka."Di kantor penerbit, kak," balasnya dengan cepat lalu menyimpan berkas ke laci.Agak capek juga gadis itu merapikan file, karena semenjak Praditia tersandung kasus dan masuk buy, keadaan kantor berubah drastis. Banyak karyawan kantor yang keluar tanpa mempertanggung jawabkan pekerjaannya."Mbak Arbi, mau dibikinim minuman dingin?" tanya OB dengan ramah. Arbia hanya tersenyum lantas mengangguk.Hari cepat berlalu, siang sudah merambah sore. Seharian duduk di kursi panas membuat Arbia ngerasa seperti diduk menjadi pesakitan."Mbak Arbi, pulang ya?" Suara karyawan yang mas
Laki-laki itu memandang tubuh sintal Arbia Siquilla yang sudah tak sadarkan diri. Neberapa kali menelan salivanya untuk membadahi kerongkongannya yang tiba-tiba mengering saat melihat tubuh berbody goal itu dengan indahnya terhampar di hadapannya. Hatinya goyah untuk tetap setia pada satu wanita yang sudah lama ia sematkan di dalam relung jiwanya yang paling dalam.Baru saja dia mau melepas jas kebesarannya terdengar ponsel genggamnya berbunyi."Hallo," suaranya datar mengawali pembicaraan itu."Lenyapkan dia dari hadapanku, Aku nggak mau lihat lagi wajahnya muncul di depan Praditia lagi. Kalau perlu bunuh dia! Dan hilangkan mayatnya di sungai!"Wajah laki-laki itu menegang sesaat mendengar titah dari si penelpon."Sadis banget. Masa cantik dan sexy begini suruh bunuh, inikan aset. Sendainya Aku nggak punya dia, mungkin Aku tak akan pernah melakukan ini padamu, Nona Arbia." Dengus laki-laki itu sambil menjauhkan badannya dari ranjang tempat A
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin