Arbia duduk memghadap Praditia yang sudsh ldbih dulu duduk dan memandangnya penih dengan perasaan. Sedangkan Ratu Prameswari yang berlalu dengan perasaan dongkol dan kesal tiba-tiba mengeluarkan ultimatum mengejutkan.
"Kalau bisa, jangan biarkan dia keluar hidup-hidup. Dia itu hanya penyakit yang mengganggu!" ucapmya tandas dan tegas entah sama siapa dan yang pasti titahnya itu diiyakan olen si penerima nelpon.
"Arbi," suara itu lebih mirip orang memanggil untuk curhat.
"Iya, Pak," jawab Arbi polos tanpa sedikitpun menaruh curiga atau berkesan untuk tahu sebenarnya apa maksud Praditia ingin menemuinya.
Praditia mrmandang ragu sejenak lantas menatap dalam-dalam perempuan muda yang pernah membuatnya mabok kepayang itu.
"Bapak, ada yang mau disampaokan sama, Saya?" tamyanya kemudia karena menunggu Praditia melanjutkan ucapannya begitu lama.
"Aku--" sejenak Praditia ragu.
"Lanjutkan, Pak. Apa Bapak di lapas ada masalah? Kalau memamg ada m
"Arbi, hati-hati sama Ratu," ucapan Praditia masih membekas di telinga Arbia Siquilla.Pagi ini dia pergi ke perusahaan Penerbit milik Praditia Wicaksana. Untuk sementara Arbia mengambil alih perusahaan yang tergabung dengan perusahaannya sendiri yang didirikan sendiri bersama Arka Abianta, kakak angkatnya."Arbi, dimana?" Via note dari kakaknya Arka."Di kantor penerbit, kak," balasnya dengan cepat lalu menyimpan berkas ke laci.Agak capek juga gadis itu merapikan file, karena semenjak Praditia tersandung kasus dan masuk buy, keadaan kantor berubah drastis. Banyak karyawan kantor yang keluar tanpa mempertanggung jawabkan pekerjaannya."Mbak Arbi, mau dibikinim minuman dingin?" tanya OB dengan ramah. Arbia hanya tersenyum lantas mengangguk.Hari cepat berlalu, siang sudah merambah sore. Seharian duduk di kursi panas membuat Arbia ngerasa seperti diduk menjadi pesakitan."Mbak Arbi, pulang ya?" Suara karyawan yang mas
Laki-laki itu memandang tubuh sintal Arbia Siquilla yang sudah tak sadarkan diri. Neberapa kali menelan salivanya untuk membadahi kerongkongannya yang tiba-tiba mengering saat melihat tubuh berbody goal itu dengan indahnya terhampar di hadapannya. Hatinya goyah untuk tetap setia pada satu wanita yang sudah lama ia sematkan di dalam relung jiwanya yang paling dalam.Baru saja dia mau melepas jas kebesarannya terdengar ponsel genggamnya berbunyi."Hallo," suaranya datar mengawali pembicaraan itu."Lenyapkan dia dari hadapanku, Aku nggak mau lihat lagi wajahnya muncul di depan Praditia lagi. Kalau perlu bunuh dia! Dan hilangkan mayatnya di sungai!"Wajah laki-laki itu menegang sesaat mendengar titah dari si penelpon."Sadis banget. Masa cantik dan sexy begini suruh bunuh, inikan aset. Sendainya Aku nggak punya dia, mungkin Aku tak akan pernah melakukan ini padamu, Nona Arbia." Dengus laki-laki itu sambil menjauhkan badannya dari ranjang tempat A
Sebenarnya Christ tidak tahu harus membawa Arbia kemana, harusnya memang tadi dia menyerahkan Arbia pada polisi. Kelar urusannya.Paling banter dia masuk jeruji besi"Christ kita mau kemana?" tanya wanita tua itu."Christ juga bingung, Bi," jawan Christ dari balik jok. Dia duduk di jok belakang dengan memangku separuh badan Arbia yang pingsan."Apa sebaiknya saya menyerahkan diri pada polisi, Bi. Tapi bibi langsung pergi, ya?" ucap Christ dari jok belakang."Spa kamu yakin Christ? Bagaimana dengan Felysia?""Nanti Christ minta tolong sama polisi, Bi untuk menyelamatkan Fely,"Setelah berdiskusi sebentar, akhirnya mereka berpisah di persimpangan jalan. Christ menggendong tubuh kecil Arbia ke pinggir jalan. Berharap polisi yang mengejarnya segera datang."Jangan bergerak! Tangan taruh di belskang kepala, jatuhkan senjata!" Christ tersentak tapi oatuh dengan titah dari Axelle.Dengan teliti Axelle memeriksa Christ.
Misi dilakukan oleh Axelle dan Christ yang dikawal ole Gama Pramudia juga wakil kapten Kaifan. Gedung menjulang, apartemen Amanda berada di wilayah komplek elite. Ke-4 pahlawan itu turun dari mobilnya dan mengatur rencana sebaik mungki. Berada di tengah-tebgsh komple mewah, Apartement Amanda sangat strategis dan berada dekat dengsn jalan raya juga pertokoan untuk mrnjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Malsm itu, Axelle duduk di lobi dengan wajah dihalagi oleh surat media kabar. Sedabg di belakang punggungnya sezrorang yabg sedari tadi menguap terus tampak sesekali mentabdarkan kepalanya di punggung sofa. Di lain te.pat Christ sudah menyusut ke salah satu kamar apartemen. "House keeping!" serunya dari luar kamar dan tak lama kemudian ada sesrorang yang membukakan pintu intuknya. "House keeping, Pak," ucapnya sambil menunduk hormat. "Baik, jangan lama-lama, ya. Bis mau datang. Dia nggak suka kalsu tempatnya masih berantakan sewaktu b
Axelle dan Christ menjatuhkan diri ke lantai mendengar suara tembakan itu. Sedang anak buah Tiger Wong berhamburan keluar mencari si penembak jitu dengan senapan laras panjang itu.Tiger Wong terhempas ke lantai dengan oeluru menembus kulit dadanya dan hampir menyerempet pelipis kanannya. Darah seketika mencair di lantai itu."Dasar kalian para oemuda brengsek. Licik, msinnnya di belakang!" Masih bisa ngiceh aja si ketua mafia.Axelle bangun di susul Christ dan meringkus Tiger Wong yang sudah tak berdaya. Darah segar yang mengalir dari dada kirinya membuatnya gelap meski matanya masih terbuka.Gama da Kaifan si penembak jitu terlihat sigap menangani anak buah Tiger Wong. Srketika Apartemen itu riuh dan rame. Semua petugas keamanan apartemen diturunkan untuk ikut menangkap anak buah Tiger Wong. Apartemen yang mewah menjadi tempat komplotan para mafia beserta pimpinannya."Kerja bagus Kai," Axelle mengacungkan jempol kanannya sebelum berlalu tu
Dari keterangan Gamma Pramudia tentang kasus yang melanda adik tirinya, saat ini sedang dilakukan pengusutan dan penyelidikan. "Dia menginginkan perusahaanmu," siang itu ketika jam bezuk sedikit terlambat Axelle menemui Praditia Wicaksana. Pria yang umurnya terpaut beberapa tahun dengan kapten muda itu hanya mengangguk bahkan tidak kaget sama sekali. "Semenjak kapan kamu mengetahuinya?" tanya Axelle merasa salut dengan sikap pria tampan berwajsh axetik itu. "Dari awal. Hanya saja Aku belum yskin. Aku kira dia bekerja sama dengan Cathrine ternyata dia bekerja sama dengan mafia itu." "Apa kamu mengensl Tiger Wong?" Praditia Wicaksana menatap Axelle tanpa ragu. "Kekasih gelap Ratu Prameswari," jawaban itu dirasa membuat sang kapten itu terhenyak. "Jadi___ "Ratu Prameswari selama ini bekerja untuk forum mereka. Aku juga baru mengetahuinya akhir-akhir ini, itupun lewat orang-orang yang masih bisa dipercaya." Da
Arbia menatap kagum makanan yang begitu banyak di meja makan. Matanya mengerjab-ngerjab terpana dengan bawaan Axelle. Juga rangkaian bunga yang begitu indah dan begitu banyak jenisnya. "Banyak sekali makanan hari ini ,Sayang," ucapnya ceria dengan mimik muka bak bayi. Lucu dan menggemaskan. "Selamat universarry, Sayang," bisiknya mesra di telinga sang kekasih. Gadis itu menggeliat geli dan bersemu merah. Ada hasrat yang tiba-tiba menggelira di dada Arbia padahal baru beberapa menit yang lalu ranjang panasnya bederit dengan desahan dan lenguhan juga jeritan terpekik. Akhirnya Arbia pun pasrah ketika bibir tipisnya itu di lumat kembali oleh sang kekasihnya. Beberapa detik terjadi paut memagut di meja makan itu. Setelah itu Arbia membuka mata lalu dengan sendu menatap kekasihnya itu. "Kenapa, mau lagi?" tanya Axelle sambil membungkuk lagi dan membenamkan kembali bibir kokohnya. Bahkan desahan disertai lenguhan Arbia membuat pria jantan itu menang
Pelukan hangat itu diterima oleh Praditia Wicaksana. Laki-laki yang sudah setengah abad itu menepuk pundak pria berumur 28 tahun itu. Sedang wanita yang ada di sampingnya memberikan pelukan hangat sebagai seorang ibu. "Selamat atas kebebasanmu, Nak." ucapnya denganbahasa kalbunya membuat pria itu mengembangkan kelopak matanya dan ada cairan yang meleleh dari sudut matanya. Sedang di ujung seberang seorang laki-laki gagah ddngan segam kebesarannya menyilangkan tanganny di depan dada menatapnya dengan gagah. Tak luput di sebelahnya seorang gadiz dengan body goal berdiri dengan cantik dan anggunya juga mengangguk hormat padanya. Arbia Siquilla, gadis yang selalu dikaguminya hinhga dia terobsesi tetap terlihat menawan di sebelsh laki-laki gagah yang selama ini selalu jadi gunjingan para kaum hawa. Ada yang kurang. Arka Abianta, pria yang hampir seumuran dengannya itu menghilsng. Kerja dinas ke luar kota menggantilan papanya. Kebebasan bers
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin