Bergulirnya berita bahwa Gama Pramudia adalah anak kandung dari Prabu Mangkunegara sudah tidak dapat dielakkan lagi.
Semua media berita mengulas dan mengupas habis berita itu. Masih menjadi trending topik Headline bertajuk, BATALKAN PRABU MANGKUNEGARA SEBAGAI CALON WALI KOTA".
Arbia mengelengkan kepala beberapa kali, melihat berita hari ini begitu dasyat. Ada rasa iba menyeruak ke dadanya tatkala matanya bertemu dengan lelaki tua itu kemarin siang di rumah sakit.
Seolah ada beban berat di sana. Yah! Tentu saja. Dengar terbongkarnya semua rahasia yang mereka simpan selama 26 tahun ini, pasti berpengaruh terhadap pemilihan calon wali kota.
Prabu Mangkunegara mencalonkan diri sebagai wali kota beserta wakilnya. Tetapi karena kasus ini tiba-tiba mencuat pencalonannya ditangguhkan. Bisa terancam dibatalkan.
Keluarga besarnya ricuh, istrinya tidak terima sama sekali dengan pengakuan suaminya di depan publik. Apalagi putrinya
Siapaksh dia? Temukan jawabannya di sini. Hsi pembaca yang budimsn, terima kadih sudah mau mdmbaca, jangan lupa mampir di karyaku yang lsin@Sang Kapten dan Fatamorgana. Terima kasih😊
Semua orang menoleh kearah suara itu berasal. Wanita cantik dengan tinggi badan yang proporsional. Dia ramah dengan senyumnya yang memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi. Axelle dan Arbi saling berpandangan, sedang Arka hanya tak acuh dengan perkenalan wanita itu. Kenalkan, nama Saya Cathrine, mulai saat ini Saya yang akan mengawal ke mana pun Pak Gama pergi." Seketika Gama yang mendengar kata-kata wanita itupun mengerutkan dahi. "Siapa yang menyuruhmu bertindak lancang begitu? Kamu mau menjadi pengawal pribadiku, atas perintah siapa?" "Atas perintah Saya! Kenapa kamu keberatan?" Apa-apan ini? Gama dan ibunya dan semua yang ada di ruangan itu kembali menoleh ke arah suara yang tiba-tiba sudah muncul di belakang wanita yang namanya Catrine itu. Prabu Mangkunegara tidak bisa menutupi keterkejutannya mengetahui siapa yang datang. Bagaimana bisa perempuan yang tak lain Sintia, istrinya bisa mengetahui keberadaan Gama
Axelle dan Kai memulai penyelidikan. Kalau benar, apa yang mereka pikirkan, bahwa Cathrine Rachel maryam adala mata-mata yang dikirim oleh bandar mafia sekaligus target operasi tim kepolisian, itu tandanya, Axelle dan pasukannya harus siap bertempur lagi dengan musuh. Kapten muda itu sudah mulai menjalankan penyelidikikannya melau sahabatnya Gama Pramudia. Penyelidikan ini internal sekali. Hanya diantara Kai dan dirinya. Belum waktunya ini dipublikasikan, termasuk Arbia Siquilla. Siang ini, Axelle sengaja berkunjung ke rumah Gama Pramudia. Tepat di dalam pemikirannya. Selain dijaga keamanan, Cathrine Rachel Maryam rupanya juga ada di sana dan Axelle yakin, wanita itu tinggal di pavilium sebelah rumah Gama. "Tumben, kamu datang ke sini. Pasti punya maksud, ya?" Axelle menoleh dan menyuguhkan sahabatnya dengan senyum misterius. Kembali dia fokus sama ikan-ikan yang di piara Gama, di sebuah akuarium berbentuk kubus. "Aku mau n
Arka menatap wanita cantik itu. Serasa ingin mencakar dan menendang jauh rasanya saat ini yang dirasakan oleh hatinya. "Tidak akan ada pernikahan antara kamu dan Aku. Titik!" Intonasi suara itu sudah cukup jelas menggambarkan sebuah penolakan keras. Setelah itu pemuda tampan itu berlalu tanpa menoleh lagi. Arbia mengejar bayangan sang kakak sebelum menghilang bersama mobilnya. Zakaria Lawalata menghela napas kecewa. Dia tak habis pikir, kenapa putranya begitu keras menolak perjodohan ini. "Maafkan dia, Burhan. Jiwanya masih labil. Masih kekanak-kanakan." "Santai saja, Zakaria. Kita para orang tua tidak ada masalah. Toh mereka yang muda yang menjalaninya. Biarkan mereka yang menentukan mau arah yang bagaimana hubungan mereka nanti." timpal Burhan ayah dari Cathrine bijaksana. Dan mereka saling tersenyum bahagia. Sedang Cathrine hanya menatap kosong ke depan. Ada yang hilang yang ia rasakan dengan penolakan Arka. Laki-l
Arka dan Arbia sudah sampai di salah satu hotel ternama di pusat kota. Malam ini, di hotel tersebut akan diadakan malam amal. Tamu undangan sudah membludak memenuhi hotel bintang tersebut. Awak media sudah berdiri ngantri di lobi hotel. Mereka akan diizinkan masuk setelah puncak acara. Hanya reporter tertentu yang di izinkan merekam dan meliput acara tersebut. Termasuk Arbia. Gadis itu sudah menyiapkan camera pengintai yang ia taruh di tempat yang memang sudah di tentukan kemarin ketika diadakan rapat bersama tim dadakan yang dipimpin Axelle. Sedang tim pasukan Axelle yang ditugaskan mengawal dan mengamankan selama acara berlangsung sudah berada ditempat beberapa jam sebelum undangan hadir. Kali ini tim Axelle bergabung dengan tim komandan Li. Seperti yang sudah direncanakan, Axelle masuk ke hotel tempat acara yang sebentar lagi akan dimulai. Acara malam amal yang diadakan oleh salah satu pejabat dari jajaran pemerintah yaitu bapak Burhan Sant
Ruangan yang lumayan pengap itu tak membuat Axelle meleleh dengan introgasi seniornya. Dia tetap profesional menjalani pemeriksaan. "Bagaimana bisa hasil tes urinemu positif, Axelle?" Pertanyaan itu membuat Axelle nanar sesaat. "Aku dijebak, Kop?" jawabnya singkat. "Kenapa, sampai kecolongan? Bagaimana dengan tim kamu, tak adakah persiapan extra?" "Semua sudah sesuai rencana, tapi ternyata kita kecolongan. Ada penyusup masuk yang tidak terdetek sama kita." "Aku berharap tim kamu ada yang menemukan bukti ketidak pemilikan kamu dengan barang laknat itu." "Siap, Kop! Insya Alloh, tim Saya akan segera menemukan bukti!" "Apa, Kamu butuh pengacara?" "Sepertinya, Kop. Nanti, Saya akan menghubungi pengacara papa." Senior polisi itu mengangguk tegas. Paham dengan kondisi anak didiknya yang terkena musibah itu. Pemeriksaan berlangsung 30 menit, tanpa jendala. Karena memang Axelle sudah tahu prosedurnya seperti apa
"Itu papa, Kak!" seru Arbia yang kemudian mulut mungil itu sudah ditutup oleh Arka dengan kedua tangannya. "Kecilin suara kamu, Bi! Mau kamu! Kita ketahuan?" Arbia menggeleng dengan bibir sudah maju satu centi. "Apa nggak sebaiknya kita ke sana, Kak?" Arka menatap adiknya sambil mendelik. "Kamu mau dicurigai mereka? Terutama Cathrine." Arbia hanya mendengus. "Tapikan, Kak. Papa di sana?" "Arbi! Kita nggak tahu kenapa papa ada di sana. Mungkin lebih baik kalau kira telpon Gama. Karena dia juga di sana. Apapun yang terjadi kita akan tanggung resikonya!" Arbia mengangguk setuju dengan apa yang dikatakam kakanya. Beberapa saat lamanya, panggilan Arka nggak diangkat oleh Gama. Dicoba lagi Arka menekan nomer yang sama. Begitu lagi- begitu lagi. Ada rasa curiga tiba-tiba menguar dari dada Arka. Apa benar sahabat karib Axelle ini tega mengkhianati kekasih adiknya ini. Motifnya apa? Dan juga di sana ada Celine yang datang bersam
"Papa, harus baringan, agar nggak pusing." Arka menuntun papanya untuk berbaring di sofa. Laki-laki tua itu menuruti perintah putranya. Kegelisahan itu masih menggelayut di pikirannya. Dan itu ternyata dirasakan oleh Arka. "Apa ada yang menjadi pikiran, Papa?" tanyanya perlahan, setelah memberikan segelas air putih untuk papanya. Zakaria berkali-kali menghela napas panjang. "Katakanlah, Pa. Agar tidak menjadi beban di dada Papa," Zakaria menatap anak laki satu-satunya itu. Diamatinya raut wajah yang mulai nampak dewasa itu. "Sepertinya, Papa sudah melakukan kesalahan besar, Arka," Arka mengernyitkan kening mendengar pernyataan papanya. Namun laki-laki tua itu tak melanjutkan ucapannya. "Kesalahan apa, Pa?" tanyanya akhirnya karena sang ayah tak kunjung bicara. "Apa karena Papa tadi barusan bertemu dengan om Burhan? Apa Papa merasa masuk dalam jebakan?" Betapa terkejutnya Zakaria mendengar semua pertanyaan Arka.
Entah bagaimana ke dua orang itu mendapatkan camera penginta itu. Yang pasti saat ini Gama dan Celine sudah berada di tahanan, di mana mereka membezuk Axelle yang ditahan oleh polisi karena kepemilikan barang bukti dan hasil tes yang positif. Ketika mereka berdua sudah sampai di sana, terlihat sudah ada pengacara dan Arbia yang sangat setia mendampingi kekasihnya. Gama langsung menyerahkan data USB itu pada Axelle yang selanjutnya diserahkan pada pengacaranya. "Maafkan Aku, Celine. Aku sudah curiga denganmu." suara Arbia diantara kesedihan wajahnya yang menyaksikan sang kekasih tampak kurus dan tak terurus. "Arbi! Aku tetap sahabatmu yang dulu. Meski diantara kita pernah ada yang terluka. Tapi Aku salut denganmu. Kamu gadis yang hebat." ucapnya sambari merangkul sahabatnya itu. "Jangan lagi ada perpecahan lagi, ya? Aku nggak mau kehilanganmu lagi." Akhirnya buliran bening itu teruarai dari mata Celine dan semakin memeluk erat sahabatny
Arbia mendesah sekilas melihat notif pesan yang sudah dia baca. Ada rasa enggan tiba-tiba menghinggapi hatinya. Entah kenapa semenjak kejadian demi kejadian ini, dia hanya ingin fokus pada kekasihnya saja. Disimpannya kembali benda pipih itu ke dalam sakunya lalu kendala berjalan di samping Axelle untuk kembali ke mobilnya. Axelle pun dengan sigap memeluk pinggang Arbia dan membawanya langsung pulang ke apartemennta. Tragedi demi tragedi sudah bantak di lewatinya. Dia ingina itu segera semua berakhir di pelaminan. Tak ingin dipisahkan lagi dengan kekasih yang teramat dia cintai itu. Mungkin dalam beberapa hari ini Axelle akan menyuruh Sang Ayah untuk melamarkan dirinya ke orang tua Arbia. Berharap kali ini tidak ada kendala sedikit pun. Selalu berdoa agar Tuhan selalu memberikan jalan keluar dan kesehatan. "Kita harus secepatnya menikah, Sayang." Arbia terpana mendengar ucapan Axelle barusan. Ketidak percayaannya mampu membuat seperti orang te
Plak! Plak! Tamparan keras itu mendarat tepat di wajah mulus Aa-Ri. Gadis cantik berwajah Korea itu tak menyangka semua perbuatannya akan tertangkap basah. Bahkan oleh kamera cctv. Saat ini ayahnya sedang murka besar dan tak sedikit pun memberi pembelaan apalagi jaminan kepada putri tunggalnya itu. Komandan Li menyerahkan putri satu-satunya kepada pihak polisi yang berada di bawah naungannya. Harga diri dan kehormatan sebgai komansan hancur seketika dan terancam akan turun jabatan dan di mutasi ke tempat lain. Permintaan maaf berkali-kali diucapkan oleh pihak Komandan Li dan keluarga. Arbia dengan lapang dada tapi Axelle masih bungkam seputar permintaan maaf Komandan Li yang diumumkan lewat media berita. Demikian juga denga Zakaria Lawalata Laki-laki tua itu sampai detik ini belum buka suara mengenai konferensi pers yang di gelar oleh Komandan Li dan keluarganya sebagai bentuk perminta maafan atas terjadin
Dominic menyipitkan matanya. Bergerak maju dengan kondisi tubuhnya yang masih lemah . Dia mencoba mendekati gadis berwajah Korea itu. Jarak itu cuma 5 centi dari tempatnya berdiri. Dia ingat betul sekarang siapa gadis Korea itu. Gadis yang sudah membuatnya menggendong Arbia waktu itu. Ketika Arbia merasa dikhianati Axelle. "Jadi ini rupanya, biang kerok dari semua musibah yang sudah terjadi," gumam Domimic. Beberapa kali pria itu mengangkat jameta ponselnt dan mencoba merekam pembicaraan gadis itu dengan orang yang ada di sebdrang telpon. [Apa dia mati?] [Sebentar lagi dia pasti mati. Alu sudah pastikan reporter muda itu tewas kehabisan darah. Kalau tidak ginjal sebelah kanannya pasti sudah rusak kena nelagiku.] [Bagaimana dengam calon suaminya, Sang Kapten? Apa dia baik-baik saja?] [Iya, Mom. Thanks more, atas dukungannya Nanti Aa-Ri kanati lahi. Nye om. Love you.] Klik! Pembicaraan itu sudah selesai. Dominic han
Oh! Mata Arbia mendelik dengan tubuh terhuyung bertumpu pada westafel toilet rumah sakit. Dia mersdakan ada hawa dingin yang mengalir di sebelah dada kirinya. Matanya seperti menggelap kepalanya berkunang dan wajah perlahan memucat. Darah segar mengalir berurutan dari dada kirinya turun merambat lalu menetes ke lantai toliet. Tbuhnya seketika tumbang dan ambruk ke lantai yang dipijaknya. Tetsungkur dengan mrmrgangi bagian dadanya sebelah kiri yang masih tertancap pisau. Darah itu mengalir terus. Ada sebentuk seringai dari sosok lain yang sedari tadi sudah menyakdikan kesakiran Arbia. Sosok bercadar hitam itu hanya membuang muka melihat Arbia tertelungkup dengan darah terus mengalir dari luka tusuknya. Tanpa ada niatmenolong sosok bercadar hitam itu meninggalkan toilet wanita itu dengan cepat. Beberapa menit kemudian sosok itu sudah menghilang. Sedang di ruang intensif, Axelle baru bisa membuka matanya. Melihat satu-satu orang yang mengelilingi
Arbia berlari di samping pembaringan pasien yang di dorong oleh suster itu. Air matanya berhamburan seakan berlomba untuk mencari jalan keluar di matanya. "Mbak Arbia di sini saja. Biar kami dan dokter yang menanganinya," ucap perawat itu sambil membuka pintu operasi dan membawa Axelle ke dalam ruang operasi. Gadis itu seketika berhenti di depan pintu ruang operasi. Dari arah lift Arka dan keluarga Axelle juga papa dan mamanya datang. Dengan tangis pilu Amber menjatuhkan tubuh kecilnya ke pelukan Sang Ayah. Zakaria Lawalata yang melihat putrinya dalam kondisi putu asa mendekapnya sangat erat sekali. Soepomo Hadiningrat dan istrinya pun hadir. Lelaki Tua itu mondar-mandir dengan kegelisahan yang luar biasa. Dia meminta Kaifan menjelaskan kronologi yang terjadi. Dengan suara bergetar dan bibir bergetar Kaifan selaku wakil dari Kapten menjelaskan sedatail mungkin. Tubuh Soepomo terhuyung dan hampir saja jatuh kakau tidak
"Arbia!" Teriakan itu membuat Dominic dan Arbia terkejut. Gadis itu berjengkit kaget melihat Axelle yang sudah di depan pintu. Berdiri dengan wajah merah padam menyeramkan. Tangannya mengepal siap melayangkan tinju. Arbia srgera melompat turun tak mempedulikan kondisi Dominic yang jesakitan akibat kakinya menginjak paha Dominic. "Apa-apaan kamu. Di ruang pasien tidur satu ranjang. Dia siapa? Kamu siapa?" Meledak sudah amarah Axelle. Hatinya kalut dibakar cemburu yang membabi buta. "Pantas nggak yang kamu lakukan?" tanya Axelle dengan tinggi. Arbia hanya menunduk dan menggeleng. Sedang Dominic merasa ulu hatinya berdenyut sakit mana kala melihat Arbia di sentak oleh Axelle. Tapi Dominic tidak bisa berbuat apa-apa. Mana kala Axelle menarik dengan kuat tangan Arbia untuk menjauhi ruang rawat inapnya. Hanya dengan mengandalkan anak buahnya sekarang dia ingin melacak informasi setiap detik tentang Arbia yang sedang di hakimi oleh Axel
"Arbia!" teriak Axelle yang melihat gadis itu memeluk seorang pria dengan luka sabetan yang begitu dalam. "Tolong! Tolong dia," ucapnya sambil meratap pilu. Axelle mengabaikan sesaat perasaan posesifnya, hatinya lebih berperikemanusiaan untuk menolong korban tawuran. "Flower satu, dua, ganti. Butuh pertolongan pertama, tolong segera dikirim ambulans. Di jalan Besar Raya, ganti," Axelle masih terus mengupayakan pertolongan pertama untuk Dominic. Sambil menunggu ambulans datang kapten muda itu melepas baju kebesarannya lalu menyobek kaos dalaman putihnya untuk diikatlan dibagian luka Dominic. Berharap cara itu bisa sedikit menghambat darah agar tidak keluar. Axelle segera berlari ke arah Ambulans ketika mendenģgar sirine itu datang. Dengan brankar yang sudah disiapkan dibaringkannya tubuh Dominic yang sudah bersimbah darah. Keterkejutan tampak dari wajah Axelle ketika melihat Arbia ikut masauk dalam ambulans itu. Dia seolah mengabaikan pria tamp
Dominic dalan sepersekian detik membeku mendengar suara Arbia yang sudah bergetar. Ada kristal bening yang sudah meleleh tanpa di minta. Dominic menggeretakkan giginya melihat gadis kesayangannya menggulirkan kristal bening di pipi tirusnya. Sekilas tadi dilihatnya kapten muda itu berlari mengejar gadis yang ada di pelukannya. Sedang di belakangnta seorang gadis berwajah Korea menyusul. "Sedang apa mereka? Kejar-kejaran petak umpet? Dasar laki-laki brengsek! Nggak cukup apa punya satu aja?" Wajah Dominic menggelap melihat pria yang berstatus calon tunangan Arbia itu sepertinya punya wanita simpanan. "Cih! Dasar laki-laki brengsek!" Tak henti-hentinya Pria bule itu memaki Axelle. Dengan kecepatan tinggi dia mengemudikan mobil sportnya pergi meninggalkan gedung kepolisian itu. Axelle berhenti tepat ketika Arbia menghilang bersama mobil yang membawanya pergi. "Kapten! Apa Arbia diculik lagi?" tanya Kaifan yang sudah berada di belakang tempatnya b
"Siap, Kapten! Laksanakan!" Axelle memimpin apel pagi itu. Ada gurat kelelahan di wajahnya karena semalaman kerja lembur di ranjang. Setelah selesai memimpin apel pagi kapten muda itu langsung ke ruang kerjanya. Fokus membuat laporan tentang kegiatan bulan. Bulan besok mu gkin diaxakan sibuk dengan mengurus acara pertunanganya dengan Arbia. Makannya kerjaan harus segera di selesaikan cepat-cepat agar tak terbengkelai. "Masuk!" titahnya setelah mendengar ketukan 3 kali di pintu ruangannya. Bahkan matanya pun tak di arah pada tamunya. "Axelle." Barulah setelah mendengar namanya disebut pria tampan itu mendongakkan wajahnya. Hatinya seakan mencelos mengetahui siapa yang sudah ada di hadapannya. Sedikit menyesal, kenapa tadi dia langsung mempersilakan masuk begitu saja tamu yang mengetuk pintu ruang kerjanya. "Aa-Ri! Kok kamu datang ke sini?" tanya gugup melihat gadis keturunan Korea itu. "Nggak usah gugup, Axelle. Aku ke sin