Atha~Malam semakin larut, jalanan sangat lenggang dan sepi, apalagi jalan yang kulewati kecil dan minim penerangan, tapi aku tidak bisa memelankan lajunya, berburu dengan waktu untuk menyelamatkan Ayah, ia harus segera ditangani ketika sampai.Tangan kiriku meraih ponsel di dalam tas yang diletakkan di jok kiri, susah payah aku meraihnya, kemudi hanya di kendalikan tangan kanan, “Sedikit lagi,” pekikku pelan.‘Tiddddd!’Mobil truk dihadapanku menyorotkan lampu besarnya, mata terasa silau hingga sulit untuk melihat, aku membantingkan mobil ke arah kiri demi menghindari tabrakan.‘Brugh!’Namun karena aku tidak menyadari tebing di depanya, mobil yang kukemudikan membentur dindingnya dengan keras hingga kap mesin terbuka.‘Ah sial!’ asap menyerebung dari mesin mobil yang kupaksakan untuk kembali melaju.Aku keluar dan menyorot sekeliling dengan senter ponsel, ini sebenarnya sudah hampir dekat, tapi bagaimana aku bisa pulang? Aku harus segera menghubungi Ibu.[Hallo Bu][Iya, Tha?][Tolo
Atha~Aku sedang duduk di kursi kebesaran Ayah, melihat tumpukan berkas yang harus dipelajari, dalam sehari aku harus menelaah semuanya, rapat direksi akan digelar hari esok dan desas-desus pemberontakan sudah santer terdengar, tentu saja yang berada di depannya adalah Mamah Tantri sebagai istri sah Ayah. Aku akan berhadapan langsung dengannya, satu-satunya kelemahan ia adalah tidak memiliki keturunan dari keluarga Wijaya, sedangkan aku adalah anak sahnya, namun dari istri simpanan, Mamah Tantri pasti akan menjadikan alasan itu untuk menggeser kedudukanku.Mataku tidak bisa berhenti menatap, menelaah kejadian yang terjadi pada Ayah, seadainya aku punya bukti percobaan pembunuhan yang mereka lakukan, akan memudahkanku untuk menggantikannya di kursi ini.Pikiranku bercabang pada setiap hal, di sisi lain aku harus membutikan kelayakanku menjadi pemimpin. Mas Rival pasti maju ke depan sebagai delegasi dari pihak Mamah Tantri. Selama ini ia sudah terbiasa mengelola perusahaan besar sedan
Atha~Dear Anaku,Sudah berapa tahun kamu sekarang Nak?Jika kamu membaca surat ini, ada kemungkinan Ayah sudah tidak bersamamu lagi atau mungkin kita sudah tidak bisa berbicara.Banyak hal yang kamu tidak tahu, tidak masalah jika hatimu diliputi kebencian untuk Ayah. Terkadang rasa manisnya cinta tidak bisa terlihat dari ranumnya kulit luar, bukankah buah durian lebih manis meski durinya melukai?Atha Ivander Ravindra ....Maaf jika kamu harus besar tanpa buaian tangan Ayah. Percayalah, semua itu Ayah lakukan untuk melindungimu, dan sebagai tanda tanggung jawab Ayah padamu.Maaf jika kamu bahkan tidak bisa mengenali namamu sendiri, biarkan hanya Ayah dan Ibumu yang tahu, betapa berartinya kamu dalam hidup kami.Terimasih untuk telah menemukan surat ini, itu tandanya rasa cintamu pada Ayah masih sama seperti dulu.Meskipun banyak lelaki hebat disekeliling Ayah, kamu adalah laki-laki terbaik yang Ayah miliki.Atha Ivander Ravindra, anakku.Kamu punya kekuatan yang tidak dimiliki orang
Suasa sepi, kami semua terdiam, duduk melingkar, saling menatap dengan penuh tanya. Hari ini sengaja aku mengumpulkan mereka semua, Ayah, Ibu, Mami dan Ihsan.“Aku sudah tidak sabar untuk menggendong cucu,” celutuk Mami tiba-tiba. “Kita sepakat untuk punya cucu yang banyak ya,” respon Ibu antusias.Tidak beda dengan Ayah, wajah sumringahnya sudah lebih dulu menjawab kalau ia pun mengharapkan hal yang sama.“Sst! Mami diam dulu,” colek Ihsan pelan, seraya menempelkan telunjuknya di belahan bibir.Ayah melirik pada Ibu, mengangkat sebelah alisnya, mencoba bertanya dengan bahasa isyarat. Ibu hanya menggeleng pelan. Aku melihat mereka semua sudah tidak sabar menunggu. Hm! kuhembuskan napas kasar, semoga semua bisa mengerti dan tidak ada yang kecewa.“Sebelumnya Kirana meminta maaf pada Ayah, Ibu, dan Mami. Tidak pernah ada maksud Kiran maupun Ihsan untuk melibatkan kalian,” wajah orang tua kami seketika mengerut, mata mereka mulai fokus padaku, sudah nampak tatapan khawatir dari ke tiga
“Rahin Bu Kirana sebenarnya normal dan memiliki peluang yang cukup besar untuk bisa hamil, hanya saja dinding rahimnya kering sehingga memperngaruhi Ibu Kirana untuk sulit memiliki anak,” ujar dokter Kristin menjelaskan.Aku sangat lega mendengarnya, begitu pun lelaki yang ada di sampingku sekarang.“Keringnya itu biasanya karena apa ya dok?” tanya Ihsan antusias.Dokter Kristin tersenyum kecil, lalu menjelaskan, “Biasanya darah yang tidak keluar semua saat haid, alhasil menggumpal di dalam Rahim, sehingga mengerak dan mempengaruhi siklus haid yang tidak normal,” jelasnya lagi.“Saya akan memberikan obat untuk memperlancar darah haid keluar dan membersihkan rahim dari darah-darah yang menggumpal. Selain itu, Ibu Kirana harus menjaga pola hidup yang sehat dan jauhi stress.”“Oh iya, siap dokter,” sahut Ihsan.“Tuh sayang, kata dokter apa, kamu jangan stress biar kita cepat punya dedek bayi,” ucap Ihsan sembari mengedipkan sebelah kelopak mata.Hih! males banget lihatnya!“Baik dokter,
Cahaya jingga dari ufuk Timur menerobos kaca mobil, cahayanya menusuk masuk hingga menyilaukan mata yang terbuka, refleks tangan menurunkan penghalang cahaya di atas kepala.Akhir-akhir ini aku memang seperti jadi penggila kerja, berdiam di rumah membuatku kurang nyaman, selalu saja teringat pada Atha, lelaki yang telah mencuri sebagian jiwaku, meski ada Ishan dengan kepribadian yang hampir sama, tetap saja rasanya hampa.Satpam yang sudah berjaga di depan pintu kantor cepat menghampiri ketika melihatku turun dari mobil, aku memberikan kunci agar ia bisa memarkirkannya.Sebelum kaki benar-benar masuk kantor, mataku menatap pemandangan yang baru, seorang perempuan memakai baju sederhana dan nampak sedang hamil menghampiri seorang satpam yang berjaga.“Maaf Pak, tolong berikan ini pada Mas Irawan, ia melupakan makan siangnya,” pintanya lemah.“Baik Bu.”Seketika aku menoleh, Renata yang selalu berpakaian rapi, menor, kini hanya memakai baju biasa tanpa riasan. Apakah itu benar dia?“Re
Mamah Tantri~“Hentikan!” bentakku, saat mereka mendorong kasar. Rival mencoba melepaskan tubuhnya dari pegangan petugas, namun mereka semakin keras mencekram pundaknya.“Matikan kamera itu!” jeritku pada wartawan yang sibuk mengambil gambar kami. Bagaimana mungkin ini seperti senjata makan tuan! anak hina itu lebih licik dariku ternyata, bagaimana dia bisa lebih pintar dari Ibunya yang b*d*h!“Apakah benar, Ibu Tantri dan anaknya sebagai tersangka atas percobaan pembunuhan pada Pak Wijaya Pak, tolong beri kami sedikit penjelasan?” wartawan-wartawan nggak berguna itu terus mencerca kami dengan pertanyaan.“Sejak kapan Anda berniat untuk melakukan semua ini?” desaknya menghentikan langkahku.“Anda anaknya angkatnya dan memenginginkan semua harta Pak Wijaya?” todong wartawan mengarah pada Rival. Rival menepis alat perekam yang tepat ada di depannya dan terus berjalan.“Satu bukti sudah ada di tangan kami, selebihnya masih harus melakukan penyelidikan,” jelas salah satu pertugas polisi.
Atha~Ayah tengah terduduk bersandar dibeberapa bantal yang ditumpuk tinggi, di sampingnya ada seorang istri yang senantiasa menemani, senyum yang begitu lama tidak pernah tergurat di bibirnya, kini sedang ia pertontonkan tanpa beban.Aku masih berdiri memantung, mendengarkan lelucon garing mereka, namun begitu membuat keduanya bahagia.“Harus berapa lama lagi menunggu sampai Ayah dan Ibu menyadari keberadaraanku?” selorohku, seketika membuat keduanya kikuk.“Apakah kedatanganku mengganggu?” tanyaku lagi, menatap satu persatu dari wajah mereka yang sama-sama berubah merah.“Tidak, kemarilah,” ucap Ayah hangat.Aku melemparkan senyum, hampir lupa kapan kehangatan itu dirasakan. Menghampiri Ibu, mencium pipi kanannya, lalu mengambil punggung tangan Ayah dan menciumnya.Ibu menggeserkan satu kursi untuk tempat dudukku di samping ayah, lalu ia bergeser sedikit menjauh.“Kamu pasti kesulitan bukan?” tanya Ayah setelah melihatku menatapnya, aku rindu memandang wajah itu. Sosok ayah yang beg