Pria itu mengangkat daguku dengan jemarinya, hingga tatapan kami bertemu. Bisa kurasakan kehangatan di kedalaman dua manik mata pekat Mas Dareen.
Perasaan apa ini? Padahal baru ini kami sedekat sekarang.
Segera kutepis perasaan aneh itu. Aku tak boleh terperdaya pada buaya ini! Jelas saja dia bisa membuatku nyaman untuk sesaat, dia kan play boy!
"Apa kamu ingin membalas mereka?" tanya Mas Dareen menatapku dalam.
Kulempar tangannya menjauh dengan kasar.
"Udah deh, jangan modus!" Kuseka mataku yang basah lalu meninggalkannya menjauh.
"Hem. Ya sudah. Aku kan cuma menawarkan diri." Pria itu manggut-manggut.
Kan ... begitu santainya dia menanggapi situasiku. Apa namanya kalau gak modus!
"Lagian, udah aku kasih selimut juga kan? Pakae alasan gak ada penghangat!" ucapku kesal. "Jangan lupa! Mas sudah janji gak akan nyentuh aku! Itu kenapa aku mau menikah sama kamu!"
Buaya seperti dia tak boleh diberi kesempatan apalagi dilelembutin, jadi genderuwo ntar!
"Ck. Siapa suruh percaya?" Mas Dareen memiringkan senyum mengejek.
"Apa?!"
"Hem. Kamu bener-benar galak, La!" Pria itu membanting tubuhnya ke ranjang pengantin yang dipenuhi bunga melati.
"Heh! Sekarang kamu mau ngapain, Mas?!" Mataku melotot. Enak saja malah rebahan di kasurku.
Ah, ini orang. Suasana hatiku sedang sedih dan kacau malah dipancing dengan kemarahan seperti ini.
"Tidur. Capek! Oya, nyalain lagi gih, tapenya. Adekmu Qinara emang gak waras. Aku takut terpengaruh, dan menerkam apa saja yang ada di sekitarku!" ucapnya sambil memejam.
Aku mendesah. Mendengar nama Qinara, lututku rasanya kembali lemas. Kekesalan dan kesedihan dalam hati, membuatku tak punya kekuatan dan bersemangat untuk mengusir Mas Dareen. Memintanya menjauh karena kami tak mungkin berada dalam satu ranjang.
Kulangkahkan kaki mendekati tape dan kembali menyalakannya. Benar juga katanya. Bukan hanya membuat sakit memikirkan sepasang pengantin baru di kamar sebelah. Namun, lebih dari itu bisa meracuni pikiran kotor pria yang berbaring di atas ranjangku. Ah, tak akan kubiarkan itu.
Usai menyalakan musik, aku beringsut hingga menyandar dinding. Melipat kedua kaki, dan menumpu kepala di atasnya. Menatap pria yang tampaknya begitu kelelahan pulas di atas ranjangku.
"Senang menjadi kamu, Mas. Tak mencintai, tak mesti melepaskan sesuatu yang paling berharga dalam hidupmu, tak punya luka hati dan tak perlu merasakan sakitnya cemburu sepertiku," lirihku. Wanita yang iri melihat posisi manusia lain.
Kuseka air mata yang jatuh lagi ke pipi. Yah, aku terus menangis meski kutahan dan tak ada suara. Sampai tubuh ini tak mampu lagi menahan lelah diikuti mata yang semakin berat ... suara musik yang mengalun lembut dari tape terdengar sayup, dan aku tertidur.
Keesokan paginya, suara gemericik air membawaku pada kesadaran. Saat mengerjap, kudapati diriku berada di atas ranjang. Lalu berusaha mengingat semua yang terjadi semalam. Dan ingat bagaimana Mas Dareen merebahkan tubuh di ranjang.
Kenapa aku ada di sini? Kenapa dia mandi?
"Apa yang terjadi? Kenapa aku ada di atas ranjang dan ...." Segera kusibak selimut yang menutupi tubuh, takut kalau-kalau buaya itu berhasil modus saat aku kehilangan kesadaran.
"Huh!" Aku membuang napas lega! Pakaianku masih utuh. Melekat rapi di tempatnya.
"Kamu sudah bangun, Sayang." Mas Dareen keluar dari kamar mandi. Pria itu tengah mengeringkan rambut dengan handuk kecil, dan hanya mengenakan celana pendek tanpa memakai pakaian atas. Ck. Sudah semaunya sendiri di kamarku.
"Kamu ngapain Mas?"
"Hem?" Pria itu mengerutkan kening ke arahku. "Mandi. Kamu gak tau dan belom pernah lihat mandinya pria ganteng?"
Mulai deh ... nyesel aku tanya!
"Iya, aku tau. Aku gak buta! Maksudku kenapa pake keramas segala?! Nanti mereka bisa mikir yang nggak-nggak!" protesku.
"Timbang keramas doang. Omes aja yang mikir gitu. Termasuk kamu."
"Hiss!" Aku mencebik sebal. Mau gak omes gimana? Semua orang tahu, ini kan malam pertama kami.
"Sudah ah, aku mau ke masjid. Biar Papa mertua dan Papiku makin sayang," ucapnya merasa membuang banyak waktu. Sudah kuduga, dia benar-benar pencari perhatian. Apa sebenarnya tujuanmu menikahiku Mas?
Dia pasti keceplosan menyebut papa dan papinya.
"Kamu buruan mandi. Ngapain ngelamun gitu? Ya Allah itu iler." Pria itu menghardikku.
Kontan saja kuseka mulut. Takut jika ada iler beneran.
Btw, aku juga belum membahas kenapa bisa tidur di atas ranjang. Kok agak saru, ya. Aku malu Mas Dareen menganggapku wanita dengan otak mesum. Tapi kalau gak tanya, gimana kalau dia apa-apain aku, terus mengulangi lagi besok-besok?
Argh, aku jadi frustasi sendiri menghadapi pria ini.
"Hem? Masih gak mau bangun? Nunggu aku yang gendong dan mandiin?"
"Hiss." Aku mendesis dan lekas bangkit.
____________
Waktu sarapan telah tiba. Tadinya aku enggan keluar, karena harus berhadapan dengan Qinara dan Mas Dewa. Tapi Mama tak membiarkanku untuk itu.
Namun, setelah sampai di meja makan, hanya ada Nenek, Mama, Papa dan Papi mertua.
Hah? Kenapa Papi ada di sini? Apa dia ke sini untuk mengawasi Mas Dareen? Pantas saja dia begitu bersemangat pagi ini. Sebenarnya apa sih tujuan dia memanfaatkan kesialanku?
Mama tampak sibuk menata makanan, dibantu Mbak-mbak yang bekerja di rumah kami.
Aku pun segera mengambil duduk di seberang Papa.
"Selamat pagi. Wah, pagi ini cerah sekali," ucap Papinya Mas Dareen. Seolah tak terjadi apa-apa sebelum ini. Padahal baru kemarin rumah ini diterpa badai besar.
Di waktu yang sama Mas Dewa pun datang. Duduk di seberang bersebalahan dengan Papa. Aku pura-pura tak melihatnya. Meski hatiku masih berdebar hebat ketika sosok itu masuk ruangan pertama kali.
Kenapa rambutnya tak basah? Hemh. Dia pasti mengeringkannya karena tak ingin digoda. Dasar kadal!
"Jadi Dareen masih di masjid?" tanya pria paruh baya itu.
Aku mengangguk kecil menanggapinya. "Iya."
"Hem. Syukurlah. Aku tahu dia akan jadi pria baik setelah menikah." Lelaki itu menyebut begitu saja. "Apalagi bertemu gadis berkepribadian baik seperti Kalila," pujinya.
Aku hanya tersenyum. Lagi-lagi harus dengan menghindari tatapan Mas Dewa yang sedari tadi diarahkan padaku. Apa dia tak takut, kalau Mama atau pun Papa memergokinya?
Detik kemudian, kedatangan seseorang mencuri perhatian kami yang berada di meja makan.
Pak Rano, salah seorang satpam kami. Entah ada keperluan apa.
"Mas Dewa ini ponsel ketinggalan. Takut kalau ada yang penting, jadi saya antar ke sini."
"Hem? Kok ponselnya di Bapak?" tanya Papa.
"Ehm, iya. Tadi malam Mas Dewa tidur di post. Hehe. Nemenin saya katanya," jawab Pak satpam.
Apa? Dia tak tidur di kamar bareng Qinara? Apa itu artinya ... suara-suara aneh dari kamar sebelah cuma akal-akalan Qinara? Atau ada hal lain yang terjadi pada perempuan yang katanya dihamili Mas Dewa itu?
Ah, jangan-jangan benar kata Mas Dareen, aku saja yang kelewat omes!
Bersambung
Hehe kasian Dewa udah disuuszonin. Baca detail dan ikut kuisnya di WAG. 😍
"Ehm, iya. Tadi malam Mas Dewa tidur di post. Hehe. Nemenin saya katanya," jawab Pak satpam.Apa? Dia tak tidur di kamar bareng Qinara? Apa itu artinya ... suara-suara aneh dari kamar sebelah cuma akal-akalan Qinara? Atau ada hal lain yang terjadi pada perempuan yang katanya dihamili Mas Dewa itu?Aku yang terkejut, menatap Mas Dewa untuk melihat ekspresi pria itu. Lagi, Mas Dewa pun menatapku. Ada sebuah protes dalam tatapannya. Seolah tak terima aku menuduhnya yang tidak-tidak, seolah-olah dia tahu apa yang aku pikirkan tentangnya.Apa dia sebenarnya memang tak pernah menyentuh Qinara? Apa semalam ... Qinara sengaja memanas-manasiku agar aku sepenuhnya melepaskan Mas Dewa? Kalau begitu ... aku sudah melakukan kesalahan besar pada pria, yang namanya masih memenuhi ruang hatiku itu.Ah, nggak! Aku gak boleh lemah.Dosa dia itu guede lho! Hamilin anak orang. Dan lebih menyak
"Melihat bagaimana stamina Kalila, aku bahkan yakin dia bisa melahirkan lebih banyak dari itu." Mas Dareen menatap ke arahku. Lebih tepat menatap bagian kepala hingga kaki, hingga membuatku kikuk sendiri.Mataku menyipit ke arah Mas Dareen. Ingin sekali mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu sudah keterlaluan. Namun, justru akulah yang terkesan keterlaluan di depan semua orang. Dia kan sekarang suamiku, wajar jika bercanda demikian.'Tapi ... Apa maksud pria mesum itu sekarang? Apa dia ingin mengatakan pada semua orang bahwa kami sudah melakukannya? Dasar gila! Nggak secepat itu juga kale, Mas!'"Kamu lagi ngapain, Mas?" tanyaku dengan nada heran. Pria itu seolah tak mau berkedip menatap ke wajahku sekarang."Menatap masa depan. Gak boleh?" Mas Dareen mengangkat kedua alisnya.Aku mendesis. Tersenyum masam. Kalau cewek lain bolehlah klepek-klepek dibucinin. Tapi
"Oh ya, Sayang kamu bilang tadi ada lingerie diskon di Mall. Kamu pasti takut kehabisan kan? Ayuk biar aku antar." Mas Dareen, tiba-tiba ikut bangkit, lalu meraih tanganku.Kontan saja aku menatap bingung, wajahnya lalu jemarinya yang tertaut dengan jemariku erat. Aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran Mas Dareen. Apa dia ingin menyelamatkanku dari kebingungan menjawab pertanyaan Nenek? Atau dia sengaja mengejek?Ah, seenggaknya kalau memang mau bantu, ya jangan nyebut lingerie lah. Kan bisa bilang mau beli sabun, odol kek, skincare. Ck. Emang aja, otak dia mesum."Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa, Pi, Ma, Nek." Pria itu berpamitan dengan sopannya. Tersenyum pada semua orang, lalu tersenyum padaku.Sementara aku, hanya bisa melongo mendengar alasannya yang tak masuk akal. Untuk apa aku berburu lingerie diskonan? Lalu pasrah mengikutinya meninggalkan meja makan ke kamar kami.
"Waw ... aku sangat ingin berkomentar, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen," ucapnya dengan tatapan takjub.Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!Aku tergelak menahan tawa, tapi tak lama tawa itu pecah juga."Hahaha."Aku bahkan sampai lupa kalau saat ini tengah berduka. Pernikahan dengan orang yang kucintai telah gagal.Kalau dipikir, Mas Dareen selalu mengalihkan perhatianku tanpa sadar. Saat di meja makan dan tadi saat melihat pasangan pengkhianat itu terlihat mesra, di bibir kamar mereka."Ck. Sudah kuduga kamu akan tertawa seperti ini. Mana ada wanita yang bisa menolak pesona seorang Dareen?" Pria itu bangkit dari ranjang."Wokeh! Ayo kita lanjutkan
Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa. [Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini] Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini. Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh? "Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. "Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur. "Pesan dari siapa? Rentenir?" "Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir
"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Lebih tepatnya terlihat tenang. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?"Oya?" Mas Dareen manggut-manggut kemudian."Huft." Pria itu meniup pelan udara dari mulutnya. Lalu berbalik tubuh menatapku.Sadar ia akan bicara padaku, aku pun menghadap Mas Dareen hingga kami saling tatap."Katakan padaku, kamu ingin bicara padanya?" tanya Mas Dareen, menatapku dalam.Aku menggeleng. Meski aslinya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang Mas Dewa lakukan sampai Qinara bisa hamil? Kenapa dia bisa tiba-tiba menjalin hubungan dengan Qinara, dan sejak kapan?"Aku ulangi lagi." Mas Dareen masih menautkan tatapannya padaku. Tak berali
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku," ucapku kemudian.Tak a
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku,"
“Nenek … Nenek … Nenek …” tak hanya Kalila, satu pasukan dikerahkan mencari keberadaan sang nenek.Satu perumahan ditelusuri. Dari rumah ke rumah yang kebanyakan sepi karena menjelang siang hari. Langkah kaki yang berlari kecil seiring keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Semakin lama kaki terasa berat melangkah.Kecuali Kalila yang pasca melahirkan, dia hanya berjalan santai menyusuri gang rumahnya saja, sementara yang lain berjalan ke arah gang sebelah. Gang demi gang ditelusuri Qinara, dewa dan Dareen. Pastinya capek dan sangat melelahkan.Entah terlintas begitu saja di kepala Kalila, pikiran tentang seseorang yang tinggal di depan perumahannya. Kontan wanita berhijab ceruty itu mendekati suaminya yang hanya tiga meter darinya.“Mas, bisa bawa mobil? Antarin aku ke depan sekarang,’ titah wanita itu.“Buat apa?” tanya
Rasa kantuk menghadang membuat Kalila tak kuat membuka lebar kelopak matanya. Kedua matanya terasa berat sekali, dua lengannya terasa lemas seolah hawa dingin menyerang tubuhnya hingga rasanya ingin sekali rebahan. Malam yang melelahkan hingga akhirnya wanita itu memejamkan mata sesaat.“Kalila! Kalila!” Seorang wanita yang tak asing memanggilnya.“Eh …” Kalila membuka mata dengan lilir melihat siapa wanita yang menepuknya sedari tadi.“Bayimu! Zubair” Mama menepuk lengannya berkali-kali dengan menautkan dua alisnya.Mendengar nama bayinya langsung melebarkan mata sempurna. Ingat kalau dirinya tengah menyusui putranya hingga tidur tertunduk. Tak menyadari Zubair di pangkuannya.“Zubair!” Kontan Kalila menegakkan tubuhnya sembari kepalanya menunduk untuk melihat putranya.Ternyata Zubair ketindihan tubuh b
“Duh, kenapa gak diangkat lagi. Astaghfirullah … sabarkan yaa Allah.” Kalila melipat dua bibirnya sembari memainkan dua jempol tangannya. Terlihat kecemasan di raut wajahnya.Jam dinding menunjukkan jam 5 lebih di sore hari menjelang maghrib. Angin sepoi-sepoi menembus jendela kamar wanita itu.Bayi Zubair yang sedari tadi terlelap, tiba-tiba saja menangis begitu saja. Kalila spontan terhenyak dari lamunannya. Tak tega mengdengar bayinya yang bersuara lebih kencang. Dia akhirnya mendekati box bayi, menggendongnya perlahan. Wanita itu merebahkan bokongnya sembari memangku lembut sang bayi yang akhirnya terdia. Mengeluarkan jusur jitu asi favorit putranya.“Kemana kabar abamu sayang,” gumam Kalila sembari mengecup kening putranya.Sejak tadi malam hingga sekarang Dareen susah dihubungi. Lebih tepatnya jarang menghubungi Kalila hingga sekarang. Terakhir kabar dari Dareen h
Dareen berbalik arah dan meraih handuk yang menggantung di samping kamar mandi. Digulung-gulungnya ke telapak tangan kanannya. Kemudian pria itu berbalik arah. Dan dengan cepat mendorong kuat lengan kiri wanita itu hingga menabrak dinding.Ini satu-satu cara agar menyentuhnya tanpa tersentuh. Dareen sangat memahami bahwa haramnya menyentuh yang bukan mahramnya. Bahkan Hadost riwayat Thobroruni menjelaskan kalau ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.“Argh!” Wanita blesteran merintih kesakitan kala lengannya mendapat tekanan kuat dari sang pria di depannya.Mata elang pria itu menyorot tajam seolah kemarahan berkobar di sepasang netranya. Sementara Clara menelan saliva sembari membalas tatapan Dareen dengan berani meski masih terlihat aura ketakutan di matanya.Pandangan Dareen beralih pada tangan kanan wanita di hadapannya itu tengah merogoh sesuatu. Pria i
“Mari kita mulai. Mana kontrak baru kalian. Aku mau baca. Hem.” Mr. Richard menaikkan dua alisnya.Dareen melirik Dewa, mengkodenya untuk menaruh berkas map yang sedari tadi dibawanya.Meja makan yang awalnya penuh dengan piring dan gelas, kini kosong melompong. Pelayan wanita itu sebelumnya telah sepenuhnya membereskannya. Wajar, Dewa segera menunjukkan berkas itu tanpa sungkan.Dareen menyandarkan punggungnya sambil menyilangkan dua tangannya ke dada. “Silahkan. Nyambi ngopi juga bisa. Saya panggilkan, Hahaha …” Pria itu mencoba berkelakar mencairkan suasana. Dia tersenyum percaya diri.Begitulah Dareen cara meyakinkan lawan mainnya. Kata-katanya yang seolah membuatnya tebar pesona, sikap percaya dirinya juga turut jadi daya tarik yang tentu menjadi poin penting dalam berbisnis. Karakter pria yang satu ini memang kharismatik.“Hihihi … Mas Dareen itu yang kusuka darimu.” Clara terkekeh sembari men
“Mana anaknya daddy?” Wajah Dareen terlihat jelas di layar ponsel Kalila.“Lama-lama jadi sugar daddy? Udah ah! Aba aja oke, lebih alim. ” Kalila membujuk dengan mengedipkan mata genit.“Oppa gimana?” Pria itu mengedikkan dua alisnya. “Oppa Dareen Sarange … hahaha …” Dia bertingkah cute dengan suara dimiripin emak-emak yang kesemsem sama actor korea.“ Hahahaha … Mas ihh.” Kalila terpingkal-pingkal dengan tingkah konyol suaminya.Video call yang dari beberapa menit lalu, pagi ini hanya membahas panggilan nama orangtua untuk Kalila dan Dareen.“Appa Amma gimana?” Kalila mengedikkan alisnya sembari melayangkan senyuman manis.“Aa … Aa …” Suara bayi terdengar bangun dari arah belakang wanita itu. kontan Kalila terhenyak dan menoleh ke belakang.“Masya Allah, anaknya jawab tuh.” Mata Dareen berbinar kala Kalil
Dareen kembali ke kamar pasien, mendekati istrinya dengan wajah lesu.“Sayang.” Pria itu duduk di sisi ranjang. Dia menatap lekat istrinya seolah mimikirkan rangkaian kata yang akan diucap. Pria itu merengkuh tubuh Kalila yang ada di sampingnya. Bibirnya mendekat ke telinga wanita itu, “Maaf sayang, aku harus pergi sore ini ke Prancis.”“A-apa?” Kalila segera menarik kepalanya menjauh. Melepas pelukan suaminya.“Perusahaan sedang genting. Mr. Richard menuntut royalty yang tak masuk akal. Aku dan Dewa harus ke sana, membujuknya dan menyutujui kontrak baru.” Dareen kembali melingkarkan lengan ke leher Kalila, memeluk erat, membuat istrinya bersandar di bahunya. Membujuk istrinya untuk meridhoi kepergiannya.“Mr. Richard? Papanya Angela?” Kalila menarik kepalanya. Namun kembali pasrah, tak kuat melepasnya.Dareen perlahan melonggarkan lengannya lalu mengusap kedua lengan istrinya. Di tatapnya
“Masalah perusahaan, apa sudah ada perkembangan? Ku dengar proyek sebelumnya banyak kerugian.” Dewa memulai membuka topik. Pria itu mengaduk gelas cappuchino di depannya sembari menunduk. Pembahasan ini juga terasa berat baginya.Sadar kalau yang ia bahas ini termasuk proyek yang pernah dirusaknya karena suruhan Angela. Sebenanya bisa saja Dewa tak mengikuti Angela. Namun ambisi yang menginginkan posisi yang sama seperti Dareen membuatnya pasrah dan mengikuti kemauan Angela kala itu.Tentunya jelas membawa trouble bagi perusahaan Biantara Group. Berawal Property Hyatt memakai kualitas rendah yang dipesannya dari perusahaan itu. Hingga akhirnya hotel yang di bangun atas kerjasama itu mengalami keretakan hebat.Kini Property Hyatt menuntut mendekor ulang. Padahal jelas tidak bisa karena sudah ada beberapa tamu yang masih check in di sana. Pihak Biantara ingin segera mengosongkan wilayah itu karena berbahaya. Namun Mr. Richard tak bergeming dan tetap ke
“Jatahku mana, sayang?” tanya Dewa sembari langkahnya kian mendekat.Seketika itu tangan Qinara berhenti menata kue-kue yang sedari tadi berserakan di atas meja. Rencana kue-kue itu mau di taruh di toples dan dimasukkan dalam kantung kresek. Wanita itu tertohok, matanya membulat sempurna.‘Kenapa Mas Dewa minta, di saat situasi begini?’Melihat Qinara yang masih terbebani dengan kakaknya yang akan melahirkan. Entah hingga sekarang belum tahu apa yang terjadi dengan Kalila dan bayinya. Tersadar, ponsel wanita itu masih tertancap erat di usb dalam mobil. Belum lagi, tujuan mereka ke sini untuk membawa bekal untuk Kalila dan Dareen yang pastinya akan meningap di rumah sakit beberapa hari di tempat kedua bumil itu sering kontrol kehamilan. Wajar, penasaran Qinara semakin di ubun-ubun karena tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada kakaknya di sana.“Maksudnya?” Qinara menerka maksud Dewa. Perasaan gugup kala menatap dua ma