"Oh ya, Sayang kamu bilang tadi ada lingerie diskon di Mall. Kamu pasti takut kehabisan kan? Ayuk biar aku antar." Mas Dareen, tiba-tiba ikut bangkit, lalu meraih tanganku.
Kontan saja aku menatap bingung, wajahnya lalu jemarinya yang tertaut dengan jemariku erat. Aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiran Mas Dareen. Apa dia ingin menyelamatkanku dari kebingungan menjawab pertanyaan Nenek? Atau dia sengaja mengejek?
Ah, seenggaknya kalau memang mau bantu, ya jangan nyebut lingerie lah. Kan bisa bilang mau beli sabun, odol kek, skincare. Ck. Emang aja, otak dia mesum.
"Kalau begitu, kami permisi dulu, Pa, Pi, Ma, Nek." Pria itu berpamitan dengan sopannya. Tersenyum pada semua orang, lalu tersenyum padaku.
Sementara aku, hanya bisa melongo mendengar alasannya yang tak masuk akal. Untuk apa aku berburu lingerie diskonan? Lalu pasrah mengikutinya meninggalkan meja makan ke kamar kami.
Aku berusaha melepas genggaman tangan suami mesumku itu, tapi ia tak membiarkannya, dan malah menggenggam lebih erat, hingg kami terus bergandengan sampai ke dalam kamar
Saat akan masuk tak sengaja netraku menangkap bayangan Mas Dewa masuk ke kamarnya. Dan Qinara menyambut dengan pakaian yang ... ah, mengesalkan. Kenapa aku harus melihat ini?
Untungnya hanya sebentar aku menatapnya, karena Mas Dareen menarik tanganku cepat masuk ke dalam kamar.
"Udah sandiwaranya. Udah di kamar. Gak ada yang lihat!" ucapku kesal. Kali ini kutarik tanganku kuat-kuat agar genggamannya lepas.
"Siapa bilang sandiwara?" seloroh Mas Dareen.
"Hah?"
"Ya, siapa bilang sandiwara? Aku serius." Pria itu mengulang ucapannya.
Duh, apa dia sudah jatuh cinta padaku? Dan ingin rumah tangga kami berjalan normal seperti pasangan pada umumnya?
Entah, kenapa aku jadi berdebar begini? Jadi ingat saat Mas Dewa dulu kali pertama menyatakan cinta padaku.
Ah, ini tak boleh dibiarkan. Aku belum tahu apa yang menjadi motif Mas Dareen mau menikahiku?
Jangan-jangan pernikahan ini cuma ajang taruhan antar orang tajir, atau ajang balas dendam keluarganya pada keluargaku seperti di novel "Bilik Lain Rumah Suamiku?" atau ada alasan lain yang lebih mengerikan ....
"Bukan sandiwara?" ceplosku lirih.
Mas Dareen mencebik. "Tak percaya?"
Pria itu merogoh ponselnya dalam saku.
Lah, kok gak sekalian membelah dadanya biar dramastis seperti di film-film? Dia kan paling bisa bucinin perempuan.
"Nih, lagi diskon kan?" Mas Dareen memperlihatkan gambar sebuah iklan dengan toko diskon besar-besaran.
"Ap-apa? Jadi yang Mas maksud bukan sandiwara adalah diskon to-ko i-ini?" Aku sampai terbata mengucapnya.
"Hem?" Pria itu menarik kepala dengan alis tertaut menatap padaku.
"Kamu pikir apa?" Pria itu meneleng memikirkan sesuatu. "Oohhh ...." Mulutnya kemudian ber-o panjang.
Lalu terkekeh seperti tengah mengejekku.
Ya Tuhan, ini memalukan sekali. Ketahuan deh, kalau aku besar kepala.
"Jadi apa yang kamu pikirkan?" tanyanya menggodaku.
Ah, pria ini beneran gak peka. Orang sudah malu, malah masih digoda. Merasa kesal, kuinjak kakinya lalu berjalan menjauh.
"Bodo!" ucapku yang kehilangan kata-kata.
"Auh!" Mas Dareen kini mengaduh kesakitan.
Rasakan itu!
Aku memang tak bisa balik mengejeknya, tapi aku bisa membuatnya merasakan sakit! Huh!
"Ah, sudahlah. Aku tak akan membalas dan memaafkanmu kali ini. Ada hal penting yang harus kita lakukan. Tak enak pada pandangan orang-orang yang sudah terlanjur mendengar rencana kita jalan berburu lingerie." Pria itu akhirnya berdiri tegak. Sambil meringis menahan sakitnya.
Sementara aku duduk di sisi ranjang dengan kesal, menyilang tangan di dada.
"Cepat bersiap! Kita harus pergi. Mumpung aku ambil cuti dari Papi. Kamu tahu kan cuti buat pria gila kerja seperti Papi bukan hal mudah."
"Apa lagi kali ini? Aku tak mau ke mana-mana!" rajukku.
"Yah, mau gimana, aku juga malas sebenarnya. Enakan juga tidur begini di kamar. Apalagi pengantin baru gini." Mas Dareen tiba-tiba membanting tubuhnya ke ranjang persis di belakangku sampai aku menoleh padanya.
"Euh ... pasti menyenangkan rasanya," ucapnya sembari memandang mesum ke arahku.
Ya Allah, ini orang! Jangan-jangan otaknya udah traveling ke mana-mana! Oh tidak!
"Oke-oke. Ayok kita pergi!" Aku segera bangkit. Mengacaukan pikirannya yang iya-iya.
Mas Dareen tersenyum penuh kemenangan. Sementara aku hanya bisa mendengkus kesal, pasrah dan selalu kalah darinya. Ya Tuhan, kapan aku menang menghadapi pria semenyebalkan dia?
Setelah bersiap, memakai pakaian tertutup. Setelan gamis motif bunga besar warna dusty ungu, dan khimar warna senada. Pakaian yang dulu pernah dibelikan Mas Dewa.
Aku terpaksa memakai pakaian ini. Karena sebelum akad, lemari
ku sudah kukosongkan dan hanya berisi pakaian yang calon suamiku belikan. Hem, aku tak bisa menolak kala itu, karena Mas Dewa pasti ingin memperlihatkan pada Mama kalau dia juga bisa membelikan pakaian dan perhiasan bagus untuk puterinya, walau dia bukan seorang Presdir.
Mas Dareen yang sedari tadi tampak bermalas-malasan di atas ranjang, segera bangkit kala melihatku mendekat.
Ia seolah terpana melihatku. Ck. Tapi aku tak terpengaruh dengan tatapannya kali ini.
Yang ada udah sempet baper, malah diejek.
"Waw ... aku sangat ingin berkomentar tentang ini, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen. Jadi biarkan netizen saja yang berkomentar," ucapnya dengan tatapan takjub.
Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri menahan memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!
Bersambung
"Waw ... aku sangat ingin berkomentar, Kalila. Tapi ... aku sadar bahwa berkomentar mengenai seseorang adalah hak netizen," ucapnya dengan tatapan takjub.Dasar buaya! Entah, itu pujian atau dia menahan diri memujiku kali ini. Tapi yang jelas, bukannya aku senang mendengar ucapannya. Tapi ... malah pengen ngakak!Aku tergelak menahan tawa, tapi tak lama tawa itu pecah juga."Hahaha."Aku bahkan sampai lupa kalau saat ini tengah berduka. Pernikahan dengan orang yang kucintai telah gagal.Kalau dipikir, Mas Dareen selalu mengalihkan perhatianku tanpa sadar. Saat di meja makan dan tadi saat melihat pasangan pengkhianat itu terlihat mesra, di bibir kamar mereka."Ck. Sudah kuduga kamu akan tertawa seperti ini. Mana ada wanita yang bisa menolak pesona seorang Dareen?" Pria itu bangkit dari ranjang."Wokeh! Ayo kita lanjutkan
Pesan itu datang dari nomor Mas Dewa. [Kalila, semua belum terlambat untuk kita. Mumpung kamu ada di luar rumah. Katakan sekarang ada di mana? Aku akan menjelaskan semua kesalahpahaman ini] Dahiku mengerut. Menjelaskan semuanya? Jadi dia meminta kesempatan lagi. Padahal sebelum ini aku sudah keukeh untuk tidak meladeninya. Sepertinya bicara sekali akan cukup. Dia tak akan mengangguku lagi setelah ini. Tapi ... bagaimana kalau malah aku terpengaruh? "Ada apa, mukanya anyep gitu?" seloroh Mas Dareen. Rupanya diam-diam dia memperhatikanku. "Ahm, nggak, Mas." Aku menggeleng. Tak ingin dia tahu dan ikut campur. "Pesan dari siapa? Rentenir?" "Ish ngadi-ngadi! Emang ngapain rentenir
"Aku juga tahu alasanmu kenapa tiba-tiba menikahi Kalila." Ucapan terakhir Mas Dewa membuat mataku sontak menyipit ke arahnya. Dia tahu? Benarkah?Sementara Mas Dareen terlihat diam, menatap pria itu. Lebih tepatnya terlihat tenang. Entah, apa yang ada dalam pikirannya sekarang?"Oya?" Mas Dareen manggut-manggut kemudian."Huft." Pria itu meniup pelan udara dari mulutnya. Lalu berbalik tubuh menatapku.Sadar ia akan bicara padaku, aku pun menghadap Mas Dareen hingga kami saling tatap."Katakan padaku, kamu ingin bicara padanya?" tanya Mas Dareen, menatapku dalam.Aku menggeleng. Meski aslinya sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang Mas Dewa lakukan sampai Qinara bisa hamil? Kenapa dia bisa tiba-tiba menjalin hubungan dengan Qinara, dan sejak kapan?"Aku ulangi lagi." Mas Dareen masih menautkan tatapannya padaku. Tak berali
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku," ucapku kemudian.Tak a
"Dareen?" Mas Dewa mengucap tak suka pada kehadiran suamiku.Mungkin apa yang ingin disampaikan adalah mengenai Mas Dareen juga. Atau ada sesuatu yang ingin dia sampaikan padaku saja, tanpa mau didengar oleh orang lain.Suamiku justru tersenyum ia seolah tak peduli pada reaksi Mas Dewa yang tak bersahabat itu."Maaf jika kamu tak suka, mana bisa sebagai suami kubiarkan istriku bicara berduaan dengan pria lain?""Ck. Sial," decak Mas Dewa. Ya Tuhan, nyaris saja tak pernah kudengar mengumpat selama aku mengenalnya."Kalau aku membawanya ke atas masuk kamar baru kamu boleh ikut. Kami hanya bicara, di tempat ramai pula. Kenapa kamu harus turut serta?" protesnya lagi."Apa?" Mas Dareen menatap pria itu.Senyumnya memudar."Ehm. Ya. Benar. Biarkan Mas Dareen bergabung. Dia suamiku,"
"Ap-apa yang ...?" Ucapanku bahkan tertahan sambil memegangi bibir bekas Mas Dareen menciumnya.Ingin marah, tapi ada Mas Dewa di sini. Sangat aneh kalau aku marah dicium oleh pria yang dari kemarin sengaja kubuat tameng untuk memanas-manasi mantanku.Aku juga tak mau pernikahanku dianggap pura-pura olehnya.Tapi ....Kalau nggak marah, Mas Dareen akan merasa besar kepala karena aku membiarkannya menciumku begitu saja. Dan besok-besok pasti diulangi. Oh tidak!Ish, kenapa juga harus menciumku? Sikapnya membuatku bingung!"Pandai sekali kamu mencuri start, Dareen. Cuih!" Mas Dewa mengucap sinis. Aku tahu kini dia benar-benar terbakar!Pria itu pasti tak menyangka kalau aku akan berciuman di depannya. Sesuatu yang mematahkan pikiran Mas Dewa, bahwa aku tak mungkin bermesraan dengan suamiku karena pernikahan kami hanya pura-pura."Ah, sudahlah. Terserah kalian mau ngapain apa pedulik
"Dareen ....""Ya, Nek?""Kamu tahu kan aku tak pernah minta apa pun pada keluargamu?" Wanita yang matanya tengah dipenuhi kaca-kaca itu, tiba-tiba mengungkit masalah pengorbanan.Sesuatu masalah yang besar sedang menimpa keluarga ini. Puteri sulung mereka harusnya menikah. Namun, adiknya tiba-tiba datang mengatakan hamil anak mempelai pria. Tentu saja orang tua mereka bukan hanya malu, tapi juga syok berat.Setelah tadi Nenek terjatuh di depan semua orang, aku segera membopongnya ke mari. Ke kamarnya.Benar yang Nenek katakan, banyak hal yang Papi tawarkan. Namun, Nenek selalu saja menolaknya."Nenek tahu kamu pria baik, karena selama ini kita dekat," katanya lagi.Aku tak menjawab. Entah, apa kemauan Nenek kali ini?"Setahu Nenek kamu tak pernah menjalin hubungan dengan gadis, Dareen." Wanita mengingatkanku pada kebiasaan.Bagaimana aku bisa menjalin hubungan dengan para gadis?Aku terlalu sibuk mengurus perusah
Papi mengerlingkan mata. Seolah tengah mengingatkanku sesuatu, sebuah perjanjian dengannya ... bahwa aku harus memberinya seorang anak tahun ini. Kalau tidak ... bukan hanya dipekerjakan jadi Office Boy perusahaan atau dibuang di kali Ciliwung.Ah, itu mah bukan hukuman, masih terlalu mudah untuk kulalui. Yang terburuk adalah ketika Papi akan menikahkanku dengan gadis pilihannya dan memintaku menyerah pada Kalila.Sebenarnya orang tua itu tidak tahu, siapa gadis yang selama ini aku incar. Namun, dia tahu bahwa aku menunggu seseorang. Ah, andai Papi tahu ... Kalila adalah cinta pertamaku.Seseorang yang seringkali mengusik hati ini kala kali pertama menjejakkan kaki di Indonesia. Dan ... perasaanku justru terjaga karena kesibukan.Rasa yang tetap terjaga, karena aku intens melihatnya setiap kali mengunjungi Nenek. Bisa kurasakan debar cinta, meski hanya menatap Kalila dari kejauhan.Lalu keputusanku kemarin, yang mengatakan akan menikahi Kalila dan
“Nenek … Nenek … Nenek …” tak hanya Kalila, satu pasukan dikerahkan mencari keberadaan sang nenek.Satu perumahan ditelusuri. Dari rumah ke rumah yang kebanyakan sepi karena menjelang siang hari. Langkah kaki yang berlari kecil seiring keringat yang mengalir di sekujur tubuh. Semakin lama kaki terasa berat melangkah.Kecuali Kalila yang pasca melahirkan, dia hanya berjalan santai menyusuri gang rumahnya saja, sementara yang lain berjalan ke arah gang sebelah. Gang demi gang ditelusuri Qinara, dewa dan Dareen. Pastinya capek dan sangat melelahkan.Entah terlintas begitu saja di kepala Kalila, pikiran tentang seseorang yang tinggal di depan perumahannya. Kontan wanita berhijab ceruty itu mendekati suaminya yang hanya tiga meter darinya.“Mas, bisa bawa mobil? Antarin aku ke depan sekarang,’ titah wanita itu.“Buat apa?” tanya
Rasa kantuk menghadang membuat Kalila tak kuat membuka lebar kelopak matanya. Kedua matanya terasa berat sekali, dua lengannya terasa lemas seolah hawa dingin menyerang tubuhnya hingga rasanya ingin sekali rebahan. Malam yang melelahkan hingga akhirnya wanita itu memejamkan mata sesaat.“Kalila! Kalila!” Seorang wanita yang tak asing memanggilnya.“Eh …” Kalila membuka mata dengan lilir melihat siapa wanita yang menepuknya sedari tadi.“Bayimu! Zubair” Mama menepuk lengannya berkali-kali dengan menautkan dua alisnya.Mendengar nama bayinya langsung melebarkan mata sempurna. Ingat kalau dirinya tengah menyusui putranya hingga tidur tertunduk. Tak menyadari Zubair di pangkuannya.“Zubair!” Kontan Kalila menegakkan tubuhnya sembari kepalanya menunduk untuk melihat putranya.Ternyata Zubair ketindihan tubuh b
“Duh, kenapa gak diangkat lagi. Astaghfirullah … sabarkan yaa Allah.” Kalila melipat dua bibirnya sembari memainkan dua jempol tangannya. Terlihat kecemasan di raut wajahnya.Jam dinding menunjukkan jam 5 lebih di sore hari menjelang maghrib. Angin sepoi-sepoi menembus jendela kamar wanita itu.Bayi Zubair yang sedari tadi terlelap, tiba-tiba saja menangis begitu saja. Kalila spontan terhenyak dari lamunannya. Tak tega mengdengar bayinya yang bersuara lebih kencang. Dia akhirnya mendekati box bayi, menggendongnya perlahan. Wanita itu merebahkan bokongnya sembari memangku lembut sang bayi yang akhirnya terdia. Mengeluarkan jusur jitu asi favorit putranya.“Kemana kabar abamu sayang,” gumam Kalila sembari mengecup kening putranya.Sejak tadi malam hingga sekarang Dareen susah dihubungi. Lebih tepatnya jarang menghubungi Kalila hingga sekarang. Terakhir kabar dari Dareen h
Dareen berbalik arah dan meraih handuk yang menggantung di samping kamar mandi. Digulung-gulungnya ke telapak tangan kanannya. Kemudian pria itu berbalik arah. Dan dengan cepat mendorong kuat lengan kiri wanita itu hingga menabrak dinding.Ini satu-satu cara agar menyentuhnya tanpa tersentuh. Dareen sangat memahami bahwa haramnya menyentuh yang bukan mahramnya. Bahkan Hadost riwayat Thobroruni menjelaskan kalau ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.“Argh!” Wanita blesteran merintih kesakitan kala lengannya mendapat tekanan kuat dari sang pria di depannya.Mata elang pria itu menyorot tajam seolah kemarahan berkobar di sepasang netranya. Sementara Clara menelan saliva sembari membalas tatapan Dareen dengan berani meski masih terlihat aura ketakutan di matanya.Pandangan Dareen beralih pada tangan kanan wanita di hadapannya itu tengah merogoh sesuatu. Pria i
“Mari kita mulai. Mana kontrak baru kalian. Aku mau baca. Hem.” Mr. Richard menaikkan dua alisnya.Dareen melirik Dewa, mengkodenya untuk menaruh berkas map yang sedari tadi dibawanya.Meja makan yang awalnya penuh dengan piring dan gelas, kini kosong melompong. Pelayan wanita itu sebelumnya telah sepenuhnya membereskannya. Wajar, Dewa segera menunjukkan berkas itu tanpa sungkan.Dareen menyandarkan punggungnya sambil menyilangkan dua tangannya ke dada. “Silahkan. Nyambi ngopi juga bisa. Saya panggilkan, Hahaha …” Pria itu mencoba berkelakar mencairkan suasana. Dia tersenyum percaya diri.Begitulah Dareen cara meyakinkan lawan mainnya. Kata-katanya yang seolah membuatnya tebar pesona, sikap percaya dirinya juga turut jadi daya tarik yang tentu menjadi poin penting dalam berbisnis. Karakter pria yang satu ini memang kharismatik.“Hihihi … Mas Dareen itu yang kusuka darimu.” Clara terkekeh sembari men
“Mana anaknya daddy?” Wajah Dareen terlihat jelas di layar ponsel Kalila.“Lama-lama jadi sugar daddy? Udah ah! Aba aja oke, lebih alim. ” Kalila membujuk dengan mengedipkan mata genit.“Oppa gimana?” Pria itu mengedikkan dua alisnya. “Oppa Dareen Sarange … hahaha …” Dia bertingkah cute dengan suara dimiripin emak-emak yang kesemsem sama actor korea.“ Hahahaha … Mas ihh.” Kalila terpingkal-pingkal dengan tingkah konyol suaminya.Video call yang dari beberapa menit lalu, pagi ini hanya membahas panggilan nama orangtua untuk Kalila dan Dareen.“Appa Amma gimana?” Kalila mengedikkan alisnya sembari melayangkan senyuman manis.“Aa … Aa …” Suara bayi terdengar bangun dari arah belakang wanita itu. kontan Kalila terhenyak dan menoleh ke belakang.“Masya Allah, anaknya jawab tuh.” Mata Dareen berbinar kala Kalil
Dareen kembali ke kamar pasien, mendekati istrinya dengan wajah lesu.“Sayang.” Pria itu duduk di sisi ranjang. Dia menatap lekat istrinya seolah mimikirkan rangkaian kata yang akan diucap. Pria itu merengkuh tubuh Kalila yang ada di sampingnya. Bibirnya mendekat ke telinga wanita itu, “Maaf sayang, aku harus pergi sore ini ke Prancis.”“A-apa?” Kalila segera menarik kepalanya menjauh. Melepas pelukan suaminya.“Perusahaan sedang genting. Mr. Richard menuntut royalty yang tak masuk akal. Aku dan Dewa harus ke sana, membujuknya dan menyutujui kontrak baru.” Dareen kembali melingkarkan lengan ke leher Kalila, memeluk erat, membuat istrinya bersandar di bahunya. Membujuk istrinya untuk meridhoi kepergiannya.“Mr. Richard? Papanya Angela?” Kalila menarik kepalanya. Namun kembali pasrah, tak kuat melepasnya.Dareen perlahan melonggarkan lengannya lalu mengusap kedua lengan istrinya. Di tatapnya
“Masalah perusahaan, apa sudah ada perkembangan? Ku dengar proyek sebelumnya banyak kerugian.” Dewa memulai membuka topik. Pria itu mengaduk gelas cappuchino di depannya sembari menunduk. Pembahasan ini juga terasa berat baginya.Sadar kalau yang ia bahas ini termasuk proyek yang pernah dirusaknya karena suruhan Angela. Sebenanya bisa saja Dewa tak mengikuti Angela. Namun ambisi yang menginginkan posisi yang sama seperti Dareen membuatnya pasrah dan mengikuti kemauan Angela kala itu.Tentunya jelas membawa trouble bagi perusahaan Biantara Group. Berawal Property Hyatt memakai kualitas rendah yang dipesannya dari perusahaan itu. Hingga akhirnya hotel yang di bangun atas kerjasama itu mengalami keretakan hebat.Kini Property Hyatt menuntut mendekor ulang. Padahal jelas tidak bisa karena sudah ada beberapa tamu yang masih check in di sana. Pihak Biantara ingin segera mengosongkan wilayah itu karena berbahaya. Namun Mr. Richard tak bergeming dan tetap ke
“Jatahku mana, sayang?” tanya Dewa sembari langkahnya kian mendekat.Seketika itu tangan Qinara berhenti menata kue-kue yang sedari tadi berserakan di atas meja. Rencana kue-kue itu mau di taruh di toples dan dimasukkan dalam kantung kresek. Wanita itu tertohok, matanya membulat sempurna.‘Kenapa Mas Dewa minta, di saat situasi begini?’Melihat Qinara yang masih terbebani dengan kakaknya yang akan melahirkan. Entah hingga sekarang belum tahu apa yang terjadi dengan Kalila dan bayinya. Tersadar, ponsel wanita itu masih tertancap erat di usb dalam mobil. Belum lagi, tujuan mereka ke sini untuk membawa bekal untuk Kalila dan Dareen yang pastinya akan meningap di rumah sakit beberapa hari di tempat kedua bumil itu sering kontrol kehamilan. Wajar, penasaran Qinara semakin di ubun-ubun karena tak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada kakaknya di sana.“Maksudnya?” Qinara menerka maksud Dewa. Perasaan gugup kala menatap dua ma