Aku kembali ke ruanganku dengan segala kegelisahan hati. Kucoba untuk menghubungi Arman dan meminta dia untuk pergi sesegera mungkin,tapi pesanku hanya centang satu. Entah pria bodoh itu masih berkeliaran di gedung berlantai 20 ini ataukah dia sudah pergi, yang jelas jika Mas Reynaldi bertemu dengannya maka dia akan dipukuli habis-habisan. "Bu, Apa Anda dengar sesuatu?""Ada apa?""Bu, terjadi keributan di basement, ini rahasia yang harus saya sampaikan kepada anda," ujar asisten pribadiku."Keributan apa?""Sepertinya Tuan Renaldi, sedang memberi seseorang pelajaran.""Hah!" Aku langsung terbangun dari posisiku dan bergegas menyusul ke lantai paling dasar gedung ini. Kunaiki lift yang segera menuju ke lantai bawah, sepanjang turun aku terus gelisah, tak sabar, telapak kakiku rasanya berdenyut kencang, seolah lift itu berjalan di tempatnya. Aku ingin segera sampai ke sana dan melerai tunanganku itu dari kemarahannya. Sesampainya di ruang parkir, suasana terlihat lengang dengan mobi
Entah apa kabar Arman setelah kejadian pemukulan di kantor Mas Renaldi, setelah hari itu aku sakit, sakit selama 5 hari karena syok. Sama sakit calon suamiku tidak banyak fokus pada pekerjaannya, dia lebih banyak menyempatkan waktu untuk merawat diri ini, untuk mengantar jemput anak-anak dan memasakkan makanan. Kupikir pria itu terlalu baik untukku, dia terlampau tulus dan rela mengambil resiko yang akan membuatnya di penjara demi melindungi kami. Dia terpaksa memukuli Arman demi melindungiku dari ancaman lelaki itu. Membebaskan diri ini dari pemerasan dia harus melakukan dosa besar.Saat satu sisi orang menilainya kejam, di sini aku malah kasihan padanya. Karena perbuatanku, dua orang lelaki harus bertaruh hidup masing-masing. Satu orang berjuang agar aku tetap berada di sisinya dan yang satu lagi berjuang menyingkirkan masa laluku. Seharusnya aku beruntung dicintai sedemikian rupa tapi kadang sikap merasa di atas angin membuatku lupa diri. "Mas Terima kasih ya sudah merawatku dal
"Kenapa arman ada di sini!" tanya calon suamiku dengan wajah penuh kemarahan. Dia merangkul diri ini erat, sementara Arman tersungkur di depan kami. "Dia datang, dia menyelinap masuk dan ....""Apa yang dia lakukan, Apa dia mau menyentuhmu? Kenapa kau hanya mengenakan handuk!""Aku tadinya mau mandi, tapi terkejut dengan dia yang tiba-tiba sudah ada di dalam rumah." aku menjawab dengan perasaan campur aduk. "Kemana orang orang? Kenapa kau sendirian?""Mereka pergi ke acara Tante yang ada di luar kota," balasku sambil meredakan gemetar dan degupan jantungku. "Bagaimana kalau aku tidak datang, Apa yang akan terjadi padamu," balas pria itu sambil kembali merangkul diri ini dan segera menyuruhku ke kamar untuk mengenakan pakaianku sendiri. "Pergilah, pakai bajumu," ucapnya. Jika aku ke kamar, maka aku harus melewati Arman yang sedang tersungkur pingsan. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku dan khawatir kalau dia tiba-tiba sadar dan menarik diri ini. Setelah selesai membersihkan diri dan g
Setelah menghadapi malam panjang yang penuh ketakutan akibat kedatangan Arman sore kemarin, kini aku harus menghadapi panggilan dari calon mertua yang entah apa yang akan dibicarakannya. Dia memerintahkanku untuk datang ke rumahnya dengan nada yang tegas dan aku tidak boleh mengelak. Rasanya tak nyaman sekali harus menghadapi penghakiman, sementara aku tidak bersalah. Aku tidak pernah mengundang Arman dan aku terpaksa melawan setiap ancamannya. "Sepertinya aku akan dimarahi oleh mertuaku," ucapku pada Vina saat dia mengantarkan berkas laporan anak anak lapangan."Kenapa Bu?""Hmm, rumit.""Hidup itu kan sederhana Bu, kalau masalah besar bisa dikecilkan ngapain harus pusing." "Memang mau dikecilkan tapi caranya bagaimana?""Hadapi saja, toh, mau lari dari kenyataan juga lari ke mana?""Benar juga." Gadis itu tersenyum mendengarku menggumam lalu ia kembali ke meja kerjanya. *Pukul 03.00 sore aku keluar dari kantor meninggalkan tower berlantai 15 itu lalu meluncur ke rumah mertua,
"Sebenarnya aku tak mau punya menantu dari keluarga sembarangan. Aku ingin pendamping anakku berasal dari keluarga yang sepadan dan bisnisnya sama dengan kami. Aku tahu aku punya kriteria aku sendiri tapi aku tidak bisa memaksakan kehendak pada anakku."Wajah ini memanas karena rasa malu dan tidak enak, lebih malu dari hal-hal menyesakkan yang pernah kurasakan dalam hidup ini. Bola mata ini mulai berkaca-kaca, sedih dan merasa buruk bercampur jadi satu, aku benar-benar menyesal atas perbuatanku. "Aku ingin anakku bahagia meski besar keinginan untuk mempertahankan bisnis keluarga dan membuatnya makin sukses lagi. Aku sangat benci penghianat, terutama penghianat yang mencuri, tapi ironisnya, kini aku harus berdampingan dengan hal itu.""Tapi jika Mami tidak setuju, tidak mengapa. Saya pun menyadari bahwa semua ini terjadi karena kesalahan saya. Saya menyesal sekali, Mi. Saya malu! Ingin rasanya memutar waktu agar tidak melakukan itu tapi saat itu posisi saya terhimpit.""Ya, ya, apapun
*Udara sore berhembus dengan sejuk setelah hujan siang tadi, menuju perjalanan pulang kubuka sedikit jendela mobil yang mengantarku meluncur, setelah menghabiskan sebagian besar hari di kantor."Pak antar saya ke rumah lama." "Apa Ibu mau tidur di sana?""Tidak Pak, cuma mau ambil barang.""Oh baik Bu." Sopir memutar kemudi, kalau berbelok di bundaran menuju Jalan melati. Lima menit kemudian mobil itu berhenti tepat di depan rumahku yang lama, rumah yang diberikan Arman padaku sebagai kompensasi perceraian. Kuputar kunci lalu perlahan kudorong pintunya, bunyi berderak engsel pintu menimbulkan suasana seperti rumah horor, tapi aku menepis pikiran itu. Seminggu sekali tidur di sini tidak akan membuat rumahku terlihat suram dan menyedihkan. Lagi pula aku sering membersihkan dan merawatnya.Kubuka laci bufet yang bersandar di dinding, ada cermin besar di atasnya, di mana Mas Arman sering berkaca sebelum berjalan ke kantornya. Dia selalu membenari dasinya di sana dan bertanya padaku
"Aku harus bagaimana Hanifah?!" Wanita itu kembali berteriak sebelum aku sempat menutup pintu, dia menangis di depan pintu teras dan meluncur jatuh, tergugu dengan tangisan lemah di hadapanku. "Bagaimana apanya?""Hidupku dan anakku! Aku mungkin bisa bertahan kelaparan tapi bagaimana dengan anakku. Gara-gara kau aku tidak dapatkan pekerjaan dan kami kesulitan!""Kau bisa gunakan kecantikanmu!" "Kau ingin aku jadi pelacur?""Bukankah selama ini itulah profesimu?""Hanifah! Ucapanmu keterlaluan!" bentaknya. "Aku heran dua orang penghianat datang mengadu padaku dan minta solusi untuk kehidupan mereka. Bukankah yang hancur ke hidup kalian berdua adalah diri kalian sendiri? Kenapa harus aku yang bertanggung jawab.""Semua ini bermula darimu dan kau pula yang harus memperbaikinya!"Aku tergelak mendengar perkataannya, sambil tertawa hanya bisa kugelengkan kepala atas beraninya wanita itu memerintahkanku memperbaiki hidupnya. "Yang Kau dapatkan sekarang adalah hasil perbuatan yang kau
Seperti biasa, rutinitas kantor selalu penuh dengan kesibukan, pikiran yang harus fokus, ketegangan dan beda pendapat. Rapat anggaran dan rencana kerja, presentasi dan hitung dana, semuanya kulakukan sepenuh hati dan berusaha kuberikan yang terbaik. Bekerja dari jam 07.00 pagi sampai 05.00 sore sebenarnya cukup melelahkan, pikiran penat, badan pun pegal. Kaki juga sakit karena harus mengenakan sepatu hak tinggi dan berjalan dari ruang ke ruang, menemui banyak orang, memastikan bahwa tugas para staf dan bawahanku sesuai dengan harapan. Sebenarnya tanggung jawabku besar tapi aku menanggapinya dengan santai."Enak ya Bu, kerja santai aja, mau libur juga nggak masalah, toh ibu juga calon istri Bos," ujar seorang staf dari manager karyawan.Aku tidak tersinggung dengan ucapannya malah kutanggapi itu sambil tertawa. "Hubungan pribadi tidak bisa dicampur dengan hubungan profesional. Saya tetap bekerja dan bertanggung jawab sebab calon suami dan mertuaku akan memarahiku. Mungkin saya tida