Mas Arman panik, entah berapa lama dia tinggalkan anak-anak sehingga tiba-tiba ia begitu gugup dan panik. "Saya sungguh minta maaf, tapi saya harus pergi sekarang karena anak-anak pasti sudah sejak tadi menunggu," ujarnya."Jadi kalau ajak mereka kemari, kau suruh main sendiri dan kau menguntit kami?""Bukan begitu, tadi aku... anu, ta-tadi, aku cari minum.""Jika hanya cari minum Kenapa kau mengikuti kami?""Permisi Aku benar-benar harus pergi!" Ujarnya sambil mengangkat kedua tangannya, berusaha untuk menenangkan dan ingin kabur dari kami. "Ayah! Ayah ke mana aja sih?!" Tiba-tiba Inayah dan Dika datang dari arah berlawanan, kedua anakku itu nampak sangat marah terhadap ayah mereka. "Dika, Inayah!""Bunda!" Anak-anak menghambur padaku dan memelukku. Inayah sampai menangis dan terlihat kesal sekali pada ayahnya. "Anak anak, ayah minta maaf.""Untuk apa Ayah mengajak kami jalan-jalan Kalau kami ditinggalkan!""Tadi ayah beli minum, lalu sesaat pikiran ayah blank, Ayah kebingungan d
Keesokan hari setelah pertunangan yang indah.Kicau burung di ambang jendela terdengar merdu, seirama dengan cahaya mentari yang terlihat lebih cerah, bunga-bunga hadiah dan dekorasi di kamar belum dilepaskan meski sebenarnya itu bukan pesta pernikahan. Aku tersadar dari tidur dengan senyum di bibir, senyum mengembang memandang cincin berlian 4 karat melingkar di jari, kilaunya terlihat bening menyilaukan mata. Aku tercengang dengan hidupku tapi mungkin aku pantas mendapatkannya. Aku tahu aku bukan orang yang suci, beberapa kesuksesanku kudapatkan dengan sedikit kelicikan, aku curang sejak Arman menyakitiku tapi aku merasa perlu melakukan itu demi mempertahankan kestabilan hidup dan ekonomi kami. "Mba, ada yang cari tuh," ucap meli anak tetangga kami, Dia membantu orang tuaku untuk beres-beres karangan bunga dan kado pesta. Gadis itu membangunkan ke perlahan dan menyuruhku untuk segera turun melihat tamu yang datang. "Siapa?""Tamu yang tak diundang.""Kok?""Mas Arman." Gadis itu
Sembari mengetik laporan pekerjaan di komputer, pikiran ini tidak tenang dan menerawang, fokusku mengambang pada beberapa hal yang meresahkan hati. Kupikir aku telah berhasil menyingkirkan Arman dari hidupku, menyingkir sejauh-jauh mungkin. Ternyata dia tidak menyerah dan terus berusaha kembali untuk membuktikan dirinya bahwa ia bisa mengalahkanku. (Aku akan bekerja dengan baik, Bu Kepala.)Kucengkeram jemariku saat membaca pesannya, rasanya ingin kujambak dan kurendam kepalanya ke dalam tong air, kuceburkan sampai ia tidak bisa bernapas lagi dan meninggal. Saking geramnya hati ini. (Kalau begitu saya tunggu dedikasimu dengan baik.)(Bersikap baiklah Ibu kepala, karena bukti-bukti masih ada di tanganku, dan kalau aku kesal semua itu bisa kukirimkan ke calon mertuamu!)(Berhentilah mengancamku dengan alasan yang sama, sadarkah bawa pesan-pesan ini bisa kusimpan dan ku teruskan ke kantor polisi?)(Maka kau dan aku akan mendekam di penjara. Kita akan habiskan masa muda dan waktu-waktu
Aku kembali ke ruanganku dengan segala kegelisahan hati. Kucoba untuk menghubungi Arman dan meminta dia untuk pergi sesegera mungkin,tapi pesanku hanya centang satu. Entah pria bodoh itu masih berkeliaran di gedung berlantai 20 ini ataukah dia sudah pergi, yang jelas jika Mas Reynaldi bertemu dengannya maka dia akan dipukuli habis-habisan. "Bu, Apa Anda dengar sesuatu?""Ada apa?""Bu, terjadi keributan di basement, ini rahasia yang harus saya sampaikan kepada anda," ujar asisten pribadiku."Keributan apa?""Sepertinya Tuan Renaldi, sedang memberi seseorang pelajaran.""Hah!" Aku langsung terbangun dari posisiku dan bergegas menyusul ke lantai paling dasar gedung ini. Kunaiki lift yang segera menuju ke lantai bawah, sepanjang turun aku terus gelisah, tak sabar, telapak kakiku rasanya berdenyut kencang, seolah lift itu berjalan di tempatnya. Aku ingin segera sampai ke sana dan melerai tunanganku itu dari kemarahannya. Sesampainya di ruang parkir, suasana terlihat lengang dengan mobi
Entah apa kabar Arman setelah kejadian pemukulan di kantor Mas Renaldi, setelah hari itu aku sakit, sakit selama 5 hari karena syok. Sama sakit calon suamiku tidak banyak fokus pada pekerjaannya, dia lebih banyak menyempatkan waktu untuk merawat diri ini, untuk mengantar jemput anak-anak dan memasakkan makanan. Kupikir pria itu terlalu baik untukku, dia terlampau tulus dan rela mengambil resiko yang akan membuatnya di penjara demi melindungi kami. Dia terpaksa memukuli Arman demi melindungiku dari ancaman lelaki itu. Membebaskan diri ini dari pemerasan dia harus melakukan dosa besar.Saat satu sisi orang menilainya kejam, di sini aku malah kasihan padanya. Karena perbuatanku, dua orang lelaki harus bertaruh hidup masing-masing. Satu orang berjuang agar aku tetap berada di sisinya dan yang satu lagi berjuang menyingkirkan masa laluku. Seharusnya aku beruntung dicintai sedemikian rupa tapi kadang sikap merasa di atas angin membuatku lupa diri. "Mas Terima kasih ya sudah merawatku dal
"Kenapa arman ada di sini!" tanya calon suamiku dengan wajah penuh kemarahan. Dia merangkul diri ini erat, sementara Arman tersungkur di depan kami. "Dia datang, dia menyelinap masuk dan ....""Apa yang dia lakukan, Apa dia mau menyentuhmu? Kenapa kau hanya mengenakan handuk!""Aku tadinya mau mandi, tapi terkejut dengan dia yang tiba-tiba sudah ada di dalam rumah." aku menjawab dengan perasaan campur aduk. "Kemana orang orang? Kenapa kau sendirian?""Mereka pergi ke acara Tante yang ada di luar kota," balasku sambil meredakan gemetar dan degupan jantungku. "Bagaimana kalau aku tidak datang, Apa yang akan terjadi padamu," balas pria itu sambil kembali merangkul diri ini dan segera menyuruhku ke kamar untuk mengenakan pakaianku sendiri. "Pergilah, pakai bajumu," ucapnya. Jika aku ke kamar, maka aku harus melewati Arman yang sedang tersungkur pingsan. Pelan-pelan kulangkahkan kakiku dan khawatir kalau dia tiba-tiba sadar dan menarik diri ini. Setelah selesai membersihkan diri dan g
Setelah menghadapi malam panjang yang penuh ketakutan akibat kedatangan Arman sore kemarin, kini aku harus menghadapi panggilan dari calon mertua yang entah apa yang akan dibicarakannya. Dia memerintahkanku untuk datang ke rumahnya dengan nada yang tegas dan aku tidak boleh mengelak. Rasanya tak nyaman sekali harus menghadapi penghakiman, sementara aku tidak bersalah. Aku tidak pernah mengundang Arman dan aku terpaksa melawan setiap ancamannya. "Sepertinya aku akan dimarahi oleh mertuaku," ucapku pada Vina saat dia mengantarkan berkas laporan anak anak lapangan."Kenapa Bu?""Hmm, rumit.""Hidup itu kan sederhana Bu, kalau masalah besar bisa dikecilkan ngapain harus pusing." "Memang mau dikecilkan tapi caranya bagaimana?""Hadapi saja, toh, mau lari dari kenyataan juga lari ke mana?""Benar juga." Gadis itu tersenyum mendengarku menggumam lalu ia kembali ke meja kerjanya. *Pukul 03.00 sore aku keluar dari kantor meninggalkan tower berlantai 15 itu lalu meluncur ke rumah mertua,
"Sebenarnya aku tak mau punya menantu dari keluarga sembarangan. Aku ingin pendamping anakku berasal dari keluarga yang sepadan dan bisnisnya sama dengan kami. Aku tahu aku punya kriteria aku sendiri tapi aku tidak bisa memaksakan kehendak pada anakku."Wajah ini memanas karena rasa malu dan tidak enak, lebih malu dari hal-hal menyesakkan yang pernah kurasakan dalam hidup ini. Bola mata ini mulai berkaca-kaca, sedih dan merasa buruk bercampur jadi satu, aku benar-benar menyesal atas perbuatanku. "Aku ingin anakku bahagia meski besar keinginan untuk mempertahankan bisnis keluarga dan membuatnya makin sukses lagi. Aku sangat benci penghianat, terutama penghianat yang mencuri, tapi ironisnya, kini aku harus berdampingan dengan hal itu.""Tapi jika Mami tidak setuju, tidak mengapa. Saya pun menyadari bahwa semua ini terjadi karena kesalahan saya. Saya menyesal sekali, Mi. Saya malu! Ingin rasanya memutar waktu agar tidak melakukan itu tapi saat itu posisi saya terhimpit.""Ya, ya, apapun