"Cari siapa ya, Pak?"
Bi Marsih mengurungkan niatnya menutup pagar rumah sehabis maghrib saat melihat sebuah mobil berhenti di jalanan depan rumah dan seorang lelaki gagah berpenampilan rapiturun dari mobil menghampirinya. "Ini rumah ibu Metta?" tanya lelaki itu. "Benar, bapak ini?" "Ibu Mettanya ada? Saya temannya," kata lelaki itu kemudian. "Oh, ada Pak. Silahkan masuk. Oya, nama bapak siapa?" "Fabian, Bik." "Oh ya baik. Silahkan di tunggu dulu ya, Pak. Saya panggilkan bu Mettanya." "Terima kasih, Bik." Bi Marsih pun membuka pintu pagar kembali untuk mempersilahkan tamunya menunggu di teras. Sementara wanita itu bergagas ke dalam rumah untuk menemui majikannya. "Ada tamu di luar, bu," lapornya pada Metta yang sedang mengambil gelas untuk membuat teh di dapurnya. &Bimo memasukkan motornya ke dalam rumah kecilnya yang sederhana. Sudah beberapa hari ini Bimo menempati rumah yang dibelinya dengan harga lumayan murah itu dari seorang kenalannya.Rumah ibunya yang akhirnya dijual oleh Norma pada ketua RT di tempat tinggal ibunya dulu, uangnya telah dibaginya untuk dia dan dua kakak perempuannya.Dengan uang itu, Nani kini membuka warung kelontong dan warung makan kecil-kecilan di rumahnya. Sementara itu, Norma sudah beberapa minggu tak ada kabar. Dari ketiganya memang hanya Norma yang sepertinya masih belum punya tujuan pasti apa yang akan dilakukan setelah menjual rumah ibunya.Setelah menidurkan Tiara di kasurnya, Bimo pun ke belakang untuk membersihkan diri. Rasa lelahnya kali ini bukan saja karena berjualan di pinggir jalan semalaman, tapi juga rasa sesal yang seolah menghimpitnya dari sejak dia bertemu dengan Metta dan anaknya di tempatnya jualan tadi.
SATU BULAN KEMUDIAN ... "... Untuk mempersingkat waktu, kita mulai saja acara kita malam hari ini dan marilah kita sambut direktur utama kita yang baru sebagai penerus kerajaan Wiguna Coorporation, ibu Amanda Wiguna dan direktur pelaksana bapak Fabian Prasetya. ..." Tepuk tangan pun riuh rendah menyambut dua pimpinan baru mereka.Pesta pelantikan Amanda sebagai direktur utama sekaligus pewaris perusahaan menggantikan ayahnya, sementara Fabian sebagai direktur pelaksana berlangsung sangat meriah. Metta dan teman-temannya juga termasuk tamu yang diundang secara khusus malam itu.Usai acara, Metta yang selama beberapa hari ini sering sulit memejamkan mata karena selalu teringat dengan nasib anak semata wayang Linda yang kini berada dalam asuhan Bimo pun tak segera kembali ke rumahnya. Wanita yang kini terlihat lebih cantik dan anggun itu mengemudikan mobilnya menuju ke tempat mantan suaminya berjualan.Se
Nani berlari-lari kecil menuju rumah adik lelakinya setelah turun dari motor. Tangannya sebelah menenteng secarik kertas yang digulung. "Bim! Bimo!" teriaknya sambil terus berjalan memasuki rumah. "Ada apa, Nan? Kok teriak-teriak gitu?" Norma muncul dari arah dapur menyambutnya. "Mbak, Bimo mana?" tanyanya. "Sedang ke pasar, belanja. Ada apa sih?" tanya kakak perempuannya dengan keheranan. Nani menarik nafas panjang sebelum akhirnya mendudukkan diri di lantai rumah Bimo yang sempit itu. "Mbak Norma lagi ngapain sih? Sibuk?" Kepalanya langsung melongok ke arah dapur yang terlihat berantakan. "Enggak. Cuma lagi bikin adonan buat jualan nanti malam. Ada apa sih, Nan? Kamu sendiri nggak jualan, kok malah ngeluyur ke mari?" selidik kakaknya. "Jualan lah, mbak. Kalau nggak jualan mau makan apa anak-anakku? Udah selesai aku masak. Mas Dito sekarang lagi aku suruh nungguin dulu warungnya. Gara-gara ini nih aku ke mari!" Nani menepuk-nepuk kertas yang se
Malam itu Bimo, Norma, Nani dan suaminya sudah bersiap untuk pergi ke pesta pernikahan Metta. Bimo telah menyewa sebuah mobil untuk membawa rombongan itu ke sana. Saat akhirnya mereka berangkat, Norma tiba-tiba menyuruh Bimo untuk membelokkan mobil ke arah yang tak seharusnya. "Lhoh, jalannya itu ke arah sana mbak, kok minta belok?" tanya Bimo keheranan. "Udah belok dulu, sebentar aja kok, Bim. Nggak lama," sahut Norma. Nani juga jadi mengerutkan dahi melihat tingkah kakak sulungnya itu. "Mau kemana dulu sih kita memangnya, Mbak?" tanyanya kemudian dari kursi belakang. "Udaah jangan pada cerewet. Nanti juga tau." Lagi-lagi norma menyuruh adik-adiknya untuk diam.&n
Usai hari pernikahan, Fabian memboyong Metta ke sebuah rumah besar nan mewah. Rupanya lelaki itu sudah menyiapkan sebuah istana untuk sang istri. Metta bahkan belum pernah menginjakkan kaki di rumah semegah itu sebelumnya, selain rumah sahabatnya yang sekarang jadi adik iparnya, Amanda. Bik Marsih yang ikut diboyong Metta ke rumah barunya sampai terbengong kala mobil yang membawa mereka memasuki gerbang yang baru saja dibukakan oleh seorang satpam. Halaman yang luas dengan taman indah, air mancur di tengah-tengah halaman, persis seperti rumah-rumah yang hanya pernah dilihatnya di dalam tayangan sinetron di televisi lokal. Berulang kali wanita baya itu berdecak kagum. Tak jauh beda dengan bik Marsih, Ibas pun nampak seperti sedang dibawa jalan-jalan ke nengeri dongeng. "Ini ru
Kehidupan Metta bersama Fabian masih sangat hangat sebagai sepasang pengantin baru walaupun ini adalah pernikahan kedua bagi keduanya.Di hari-hari awal pernikahan mereka, Metta bahkan sedikit kaget karena ternyata keseharian Fabian agak jauh dari bayangannya. Fabian yang seorang pengusaha, dalam bayangan Metta adalah orang yang sangat sibuk dan mungkin tak akan bisa memiliki banyak waktu untuk dirinya dan Ibas. Namun ternyata, dugaan Metta keliru. Fabian bahkan jauh lebih perhatian dibanding dulu saat dirinya menjalani awal pernikahannya dengan Bimo.Fabian sangat jauh berbeda dengan Bimo. Rupanya statusnya sebagai pengusaha sukses tak lantas membuatnya menomorduakan keluarga. Metta dan Ibas tetap menjadi prioritas utama bagi pria itu saat ini.Hari demi hari mereka lalui dengan kehangatan sebuah keluarga. Mungkin kegagalan keduanya dalam pernikahan sebelumnya menjadi pelajaran ya
"Titip Ibas ya, Mas. Minggu siang nanti kita jemput," ucap Metta saat akhirnya dia dan suaminya berpamitan pada Bimo."Jangan siang, Ma. Sore aja," sahut Ibas. Metta agak melebarkan mata pada anak lelakinya mendengar itu. Namun bibirnya tetap saja harus menampakkan senyum."Kalau Ibas pulangnya kesorean nanti gak cukup istirahatnya, Sayang. Kan senin sudah harus masuk sekolah lagi. Mama jemput siang aja ya?""Iya deh kalau gitu, Ma.""Jangan khawatir, Met. Bimo nggak akan pergi kemana-mana kok hari ini. Nanti biar aku sendiri aja yang jualan. Biar Ibas bisa puas maen sama papanya." Norma seolah tahu kekhawatiran Metta."Iya, Met. Jangan khawatir. Ibas akan baik-baik saja di sini," lanjut Bimo."Ya udah. Makasih ya, mbak Norma, Mas Bimo. Kami pamit dulu kalau gitu. Ibas baik-baik ya. Jangan rewel dan ngrepoti
"Kamu serius, Bim?" Norma membelalakkan mata usai mendengar cerita adiknya."Serius, Mbak. Aku juga kaget tadi waktu dia mengatakan itu."Norma menggeleng-gelangkan kepalanya dan berkali-kali berdecak."Kok ada ya Bim, orang sebaik pak Fabian itu. Metta benar-benar wanita yang sangat beruntung bisa jadi istri lelaki seperti itu. Trus ... trus, kamu jawab apa waktu dia nawarin itu? Kamu menerimanya kan?""Aku belum mengatakan apa-apa, Mbak. Aku masih bingung. Aku sudah lama sekali nggak kerja kantoran. Aku nggak yakin aku masih bisa.""Jadi kamu nolak tawaran pak Fabian? Ya ampun Bimoooo. Kamu itu gimana sih?""Belum, Mbak. Aku belum bilang menolak. Aku bilang masih bingung. Tapi besok kalau aku bersedia, aku disuruh datang langsung ke kantornya."