“Jeeng…. Ada di rumah, nggak? Aku mampir sebentar, yaaa. Ada tawaran pekerjaan, niih. Bayarannya gedee. Kerjanya cuma seneng-seneeng. Boleh, yaa?”
Tante Clarrisa mengiyakan. Ia sedang tidak ada pekerjaan. Acara televisi tidak menarik. Yang menelepon adalah Jeng Ries salah satu teman arisan sosialita Tante Clarrisa.
Tak perlu waktu lama untuk Jeng Ries sampai di rumah. Dengan gaya centil wanita paruh baya itu masuk. Menyapa Tante Clarrisa sambil cipika-cipiki.
“Sehat, kan, Jeeng?”
Tante Clarrisa mempersilakan tamunya duduk. “Duitnya banyak, nggak?”
Tawa centil Jeng Ries membahana. “Langsung to the point aja, sih, Jeng? BU alias Butuh Uang banget, ya?”
Tante Clarrisa tahu sekali tentang ‘pekerjaan sampingan’ Jeng Ries. Wanita paruh baya yang centil itu punya banyak sekali ‘klien’. Kliennya bapak-bapak kesepian yang membutuhkan teman-teman. Mereka punya kriteri
Jessie tidak mau melambai supaya Om Wisman mudah menemukannya. Supir pribadi bos besar itulah yang kemudian menemui pimpinannya.“Sendiri saja?” tanya Om Wisman. “Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput perempuan itu terlebih dulu?”‘Perempuan itu’.Jessie berdiri tak jauh dari mereka. Ia bisa mendengar sebutan yang disematkan Om Wisman padanya.‘Perempuan itu’. Betapa Jessie tidak dianggap oleh laki-laki itu. Betapa murahnya harga diri Jessie hingga hanya diberi sebutan ‘perempuan itu’. Kenapa laki-laki tua itu tidak menyebut nama? Toh, ia punya nama.‘Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput Jessie terlebih dulu?’Seandainya perkataan Om Wisman barusan diganti menjadi demikian, tentu hati Jessie tak akan terluka. Tapi ya sudahlah. Toh kehadirannya menjadi pendamping Om Wisman, kan, hanya sekadar sebagai jaminan utang Tante Clarrisa.“Saya sudah menjemput Nona Jessie, Tuan Wisman,” jawab Pak Supir.Pak Supir saja mengerti tata kram
“Aku cuma ingin kopi, Jess…,” pinta Om Wisman setiba mereka di apartemen. Laki-laki itu mandi membersihkan diri hingga badanya yang letih kembali segar. “Oh iya, aku juga ingin toast. Setangkup,ya. Tambahkan sedikit butter di antaranya.” “Oke,” jawab Jessie singkat. Gadis itu sudah hapal makanan kesukaan Om Wisman. Ia juga sudah hapal setiap inci apartemen laki-laki itu. Om Wisman punya rumah pribadi tapi ia lebih senang membawa gadis-gadis yang dipacarinya ke apartemen. Lingkungan apartemen lebih individualis. Orang-orangnya tidak peduli pada penghuni lain. Siapa pun yang dibawa masuk juga bodo amat. Terlebih apartemen yang dipilih Om Wisman tergolong apartemen mewah dan mahal. Semakin mewah, semakin individual orang-orangnya. Toast yang garing dan renyah dioles dengan sedikit butter. Terdengar kemericik samar dan cipratan kecil-kecil dari butter yang dioles ke roti panggang buatan Jessie. Sarapan yang kesiangan dan segelas kopi disajikan di meja di hadapan
“Aku capek hidup miskin…,” keluh Jessie dalam perjalanan pulang setelah siaran. Suasana jalanan yang lengang dan sepi membuatnya mudah menganalisa apa yang terjadi dalam hidupnya. “Seperti sudah saatnya buat aku untuk berbenah. Nggak bisa begini terus.”Jessie tetap menjalani pekerjaannya sebagai penyiar dengan baik. Bambang terus memandunya dengan sabar. Siaran Tengah Malam di hari-hari berikutnya berjalan dengan lancar. Jessie hanya perlu berpura-pura tidak melihat Reni. Penyiar sekaligus karyawan senior yang mukanya sengak. Padahal aslinya rapuh. Sampai-sampai rela merengek cinta dan perhatian yang lebih dari Bambang.Semalam Jessie sudah menghubungi Mommy. Ia mengirim pesan singkat: ‘Mom, ketemuan, yuk? Aku ingin menerima tawaran Mommy.’Pesan sesingkat itu namun telah dipikir dengan begitu serius. Jessie takut ia semakin terlarut dalam kisaran asmara dengan Om Wisman. Semakin ia menikmati gelora cinta bos besar par
“Kamu menerima tawaran Mommy-mu?” tanya Om Wisman antusias.“Ya…,” jawab Jessie masih dengan menekuk muka. “Aku pengin cepat punya banyak uang.”Om Wisman terpingkal.“Buat apa banyak uang? Kenapa nggak minta aku saja? Sudah berkali-kali aku bilang, kalau butuh uang, bilang! ‘Om, minta duit yang banyak!’ Begitu kamu bilang begitu, pasti langsung aku transfer! Kamu, sih, sok-sokan idealis. Hidup menderita cuma demi mencari pengalaman. Pengalaman hidup itu bisa didapat dari mana aja! Nggak usah jadi orang miskin, orang kaya juga nggak kurang-kurang ada masalah dan kejadian yang bisa dipetik hikmahnya jadi pengalaman hidup.”“Apa, sih, Oom…?” gerutu Jessie. “Aku nyari duit buat bayar utang!""Utang apa?""Utangnya Tante Clarrisa-lah!"“Lho? Utangnya tantemu kok kamu yang harus bayar?” Om Wisman berlagak tidak tahu. “Biarin aja ta
“Aku benar-benar nggak tahu selera,” keluh Jessie dengan banyak tas belanjaan di tangan. Semuanya bermerek maha. Gacci, LuiViutong, Bilmaina, Shhyaanel, Havaenaz, dan lainnya.“Tidak masalah…,” tenang Om Wisman sembari menerima kembali kartu kreditnya. Ia mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan setengah badannya. Para petugas di butik membalas dengan penghormatan yang lebih-lebih.Om Wisman adalah pelanggan mereka yang terbaik. Setiap kali datang, gadis yang dibawanya selalu berbeda. Tak jadi masalah karena Om Wisman memborong pakaian musim terbaru dan yang terbaik.“Tidak masalah, Sayang,” ulang Om Wisman sembari mengambil rentetan tas belanjaan dari tangan Jessie. Laki-laki itu membawakannya dengan enteng saja. Tak terlihat malu karena harus menenteng tas belanjaan sementara perempuan di sebelahnya melenggang kangkung. Prinsip Om Wisman: melayani perempuan sebaik-baiknya – selama belum ada keinginan untuk
“Jatuh cinta pada orang yang salah? Baiknya lanjut atau langsung bubar tengah jalan?”Terdengar siulan Jessie membuka acara program STM-nya alias Siaran Tengah Malam. Musik backsound yang berupa instrumen dari lagu Aku Parempuan dari Razi Marthemevia mengalun lebih lambat. Mengiringi kegiatan siaran di malam yang syahdu.Sebelum memulai siaran tadi Jessie mengusulkan pada Bambang. Ia ingin menyebutkan tema obrolan malam siaran di paling depan, baru kemudian disusul musik backsoun, lalu dilanjutkan dengan opening seperti biasanya. Apakah boleh?Bambang mengerenyitkan kening. “Ayo, kita coobaaa…!”Jessie meringis gembira. Hal yang ia senang dari bekerja di Radio Siul adalah terbuka dengan setiap masukan. Bila halnya bagus dan bisa meningkatkan jumlah pendengar, mengapa tidak? Bila tidak pun ya tidak apa-apa, yang penting sudah dicoba dan diusahakan.“Yaa, mumpung pendengarnya masih sedikit, Mbak,” sahut Bambang sambil mengeset playlist lagu untuk STM mala
“Kamu sengaja mau nyindir aku, ya?”Jessie mengangkat kepala. Ia sedang berada di dalam pantry. Sekian waktu siaran di ruangan terus, kok, tiba-tiba kepengin segelas susu panas. Sekarang ia sedang menunggu rebusan airnya mendidih. Tadi ia sudah menawari Bambang. “Mau nggak sekalian dibikinin segelas kopi?”“Iya, deh. Mau. Tadi Reni katanya mau bikinin kopi tapi kok malah nggak muncul-muncul. Ketiduran mungkin, ya,” jawab Bambang. “Iya, mau, Jess. Thanks sebelumnya.”Jessie menyiapkan segelas susu panas untuknya dan segelas kopimiks panas untuk Bambang.“Iya, kan!?” rangsek Reni lagi.“Nyindir apaan??” tanya Jessie sungguh tidak mengerti. Ceret air mengeluarkan bunyi peluit. Itu artinya air di dalamnya sudah mendidih. Jessie mematikan kompor dan segera menuang aiir panas ke masing-masing cangkir. Setelah itu diaduknya rata.“Pura-pura nggak tahu lagi,” emosi R
Sudah aman. Barang-barang lama di kos Jessie sudah berpindah tangan. Lemari, kasur spring-bed, dispenser, dan lain-lain sudah ‘diadopsi’ oleh teman-teman kos yang lain. Mereka berterima kasih pada Jessie karena barang-barang itu masih bagus. Sangat bagus malahan.Ibu Kos menyesalkan keputusan Jessie pindah. “Kamu nggak bakal bisa dapat kos-kosan bagus dengan harga murah kayak di sini, Mbak!” kecamnya sembari menakut-nakuti. “Kos-kosan di tempat lain itu jelek, harganya mahal lagi. Kamu pasti akan sangat menyesal.”Jessie nyengir di dalam hati. “Iya, Bu. Maafkan saya, Bu. Tapi saya nggak kuat kalau harus harga sewa kamarnya naik tinggi banget. Nggak kuat bayar saya, Bu.”“Ya, wajar dong naik!” slepet Ibu Kos emosi. “TDL alias Tarif Dasar Listrik aja naik! Ya masaaa yaaa saya harus nombok untuk kalian-kalian yang ngekos di sini? Nombok biar kalian-kalian tetap dapat harga sewa kamar yang sama kayak sebelumnya? Yaa nanti tekor saaya!”“Iya, Bu. Maaf, Bu,” kata J
Seeerrr….Jessie berhenti di depan pintu toilet. Ia merasakan bulu kuduknya kembali meremang. Ia belum melanjutkan ceritanya tentang patah hati. Tiba-tiba saja ia kebelet pipis. Sehingga meminta jeda pada Bambang. Bambang mengagguk oke bahwa ia setuju. Ketika Jessie melontarkan pertanyaan; sudah siap mendengarkan kisah patah hati Jessie, Bambang segera menimpalinya dengan sebuah lagu. Lagu melankolis baru dari penyanyi yang baru saja muncul di kancah dunia musik. Lady Jaijai dengan lagu barunya yang berjudul Can’t Stop Loving You.Seusai menunaikan hajat Jessie mencuci bersih tangannya. Ia juga mencuci muka agar tak mengantuk. Tak lupa mengusap tengkuknya dengan telapak tangan yang sudah dibasahi air dingin. Matanya kembali melek. Badannya terasa kembali bugar. Ia harus cepat kembali untuk memandu program Siaran Tengah Malam.Seeerrr….Sesuatu berwarna hitam berkelebat lewat pintu kaca yang berbatasan langsung dengan halaman kebun bela
Seerrrr…..Jessie baru saja keluar dari pantry. Ia telah menghabiskan segelas susu hangat. Perutnya tiba-tiba keroncongan. Lapar. Padahal seingatnya sebelum berangkat ke radio tadi ia sudah makan malam. Ah, paling gara-gara udara dingin jadi perutnya gampang sekali kosong.Seerrr….Tengkuk Jessie meremang. Bulu kuduknya merinding. Ia seperti melihat sesuatu berjalan di antara koridor ruang depan kantor. Gadis itu mencoba memeriksa bagian depan. Siapa tahu ada tamu yang kebetulan telah menunggu lama. Atau maling? Wah, semoga aja tidak. Kalau maling ia hanya akan bisa berteriak minta tolong.Ada Bambang di ruangan siaran. Tapi beneran, deh, lebih baik bukan maling. Lebih baik kalau juga bukan setan.Jessie berjalan mengendap. Ia melongokkan kepala di dinding pembatas ruangan.Ruang depan kantor lengang. Tak terlihat ada siapa-siapa di sana. Halaman depan terlihat terang oleh lampu taman. Tak banyak orang lewat di jalanan. L
Flowery-Rose Ice Cream Resto pagi itu terlihat sejuk dan asri. Karyawan yang biasanya bertugas di dapur membantu menyiram tanaman. Tanaman-tanaman hijau di halaman depan terlihat segar dan menyenangkan. Bunga-bunganya mekar dengan baik.“Selamat pagi, Pak…,” sapa si karyawan begitu melihat John berjalan masuk.John Burgundy membalas saaan itu dengan baik. “Selamat pagi.” Ia melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya. Hari ini terasa begitu ringan dan membahagiakan bagi John. Laki-laki itu menikmati duduknya di kursi pimpinan yang empuk. Sebentar lagi ia akan cabut dari sini. Segala drama yang berhubungan dengan si Gembel dan lisa akan segera usai. Ia akan menempuh hidup baru. Mengurus perusahaan baru, dan tak lagi perlu repot-repot mengurusi hal-hal sepele seperti cinta dan sebagainya.Cklek klinting…Bel di pintu berdenting. John lupa menahan pintu agar tak kembali menutup. Saat pagi memang pintu itu dibiarkan terbu
John mematut-matut dirinya. Rambutnya telah disisir rapi. Jambangnya yang telah dicukur bersih seminggu lalu kini muncul sedikit-sedikit. Tidak apa-apa. Tidak usah dicukur bersih lagi. Malah bagus begini. Ia terlihat lebih matang dan macho. Rahangnya tegas dan terlihat menawan.Tak ada perempuan yang meragukan ketampanan John Burgundy. Hanya sayangnya satu wanita ini, Lisa, tak juga tergerak hatinya untuk mengakui bahwa John adalah yang terbaik.Malam ini, ya, malam ini keadaan telah berubah. Berbalik 180 derajat. Tentu saja hal ini karena kedermawanan hati John Burgundy. Ia memberi kabar bahwa Si Gembel bekerja di tempatnya. Ia mematuhi perintah Lisa untuk menekan Si Gembel dengan semena-mena memberinya tugas yang tak terkira – meski pada akhirnya John agak sungkan dan tersentil saat Om Wisman bertandang ke resto mereka. Ah, urusan Om Wisman dipikir nanti saja.Kini kembali pada Lisa. John berdebar tak sabar menunggu hingga ketemu dengan gadis cantik itu.
Alfin tergeragap bangun. Ia merasakan ada yang menindih dadanya. Laki-laki melongok lalu kembali merebahkan kepalanya dengan penyesalan yang sangat besar.Lisa tidur pulas. Kedua matanya terpejam erat. Kepalanya berbantalkan dada bidang Alfin. Napasnya teratur. Mereka berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Tidur hanya bertutupkan selimut lebar.“Ya ampun. Apa yang telah aku perbuat?” Alfin menepuk jidatnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tepar tidur karena kelelahan ‘bertempur’. “Ah, iya. Aku berniat memanas-manasi Jessie. Gadis itu harus cemburu karena aku kembali akrab dengan Lisa. Alih-alih kesal, gadis itu malah terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak menyukaiku sedikit pun?” gumam Alfin dengan suara serak.Tubuh Lisa semakin dekat dan merapat. Gadis itu merengek pelan – sepertinya hanya mengigau. “Kamu hebat banget, Sayang…,” gumamnya masih dengan suara parau. “Sudah lam
Alfin dan Lisa saling melepaskan diri. Napas mereka terengah-engah. Lisa mengembangkan senyum. Kepalanya sedikit keliyengan karena rasa cinta yang begitu membuncah.“Aku… aku….”Alfin merasa sedikit bingung. Kepalanya juga sedikit pusing. Pesona Lisa begitu memenuhi benak dan pikirannya. Ciuman tadi sengaja ia lakukan hanya untuk memanas-manasi Jessie. Pada mulanya rencana itu ia anggap berhasil. Namun, laki-laki itu terseret oleh pesona Lisa yang dulu pernah dicecapnya. Memori yang kembali hadir menjadi kenyataan; begitu lembut, begitu manis, begitu memabukkan.“Sudah siap memesan, Tuan?” tawar Jessie masih dengan mengembangkan senyum. Ia sudah siap dengan catatan untuk mencatat setiap permintaan Alfin.“Aku… aku….” Alfin masih puyeng. Ia memerhatikan gadis di hadapannya sekali lagi. Lisa membetulkan kembali lipstiknya. Gadis itu bahkan tak perlu merasa sungkan pada Jessie. Tenang saja ia kembali mengoleskan lipstik dan lip-tint-nya untuk membenahi solekannya yang
Alfin menjemput Lisa di coffeshop. Gadis itu mengaku baru saja selesai meeting dengan klien. Tapi melihat dari pakaiannya yang masih bau toko dan make-up-nya yang tebal – terlihat seperti baru saja dari salon.“Kita berangkat sekarang?” tawar Alfin.“Yuk!” Lisa segera bergegas pergi. Ia mencoba menggandeng tangan Alfin. Laki-laki dengan halus menyingkir hingga gandengan tangan Lisa berlalu begitu saja.“Kita naik kendaraan sendiri-sendiri, ya?”Lisa merengut. “Ih! Nggak romantis banget-lah! Masa naik kendaraan sendiri-sendiri!?”“Nanti malam aku sudah ada janji. Nggak bisa antar kamu pulang terlebih dulu. Kudu buru-buru.” Alfin menunggu dengan tidak sabar. “Gimana? Jadi, nggak?”“Oke, deh!” Lisa menyusul Alfin masih dengan cemberut. Gadis itu merasa seperti dimanfaatkan. Tapi mau bagaimana lagi? Ajakan Alfin sore ini terasa seperti hujan di gurun gersang. Lisa selalu mencoba menghubungi laki-laki itu – tapi selalu tak ada tanggapan. Lisa selalu me
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.