Jari lentik Lisa berhenti menggeser layar ponsel. Matanya menumbuk sebuah postingan dari akun Instagram Alfin. Sebuah video sederhana. Sepertinya rekaman dari screen-recording ponsel. Lisa mencoba menaikkan volume ponselnya.
“Satu lagu sudah hadir menemani kamu di acara STM malam ini. Mau lagu berikutnya, nggak? Boleh, loh, kalau mau rikues ke sini. Nomornya masih sama: 08195xx8xx9xx7. Sekarang kita baca satu pesan yang sudah masuk. Dari siapa, niih? Ohh, Alfin. Hai, Alfin selamat malam….”
Lisa mengerenyitkan kening. Matanya membaca narasi singkat di caption postingan Instagram Alfin.
‘Ternyata seperti ini rasanya. Rasanya namamu dipanggil oleh penyiar favoritmu. Penyiar favorit yang setiap saat setiap waktu memutar lagu-lagu cinta dan rindu yang sendu. Aku menyukai Penyiar Radio ini. Tapi, ia masih enggan menerima cintaku. Aku kudu bagaimana?’
Hati Lisa panas. Ia tahu betul siapa penyiar yang dimaksud dalam postingan Instagram Alfin. Siapa lagi kalau bukan s
Pak Burhan mencari kesungguhan di ucapan Lisa. “Kamu serius dengan permintaanmu, Lisa?” tanyanya. “Aku membeli radio itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Alfin. Gadis itu melamar kerja di tempatku juga tidak membawa-bawa Alfin. Lalu, kenapa sekarang aku harus repot-repot memecat gadis itu?”Lisa mengerang panjang. “Soalnya, gadis itu caper banget sama Alfin, Ooom…! Aku sama Alfin nggak bersama lagi pasti gara-gara gadis itu! Gadis gembel yang pura-pura menderita cuma demi mendapat simpati Alfin! Kalau bukan cewek gampangan, apa lagi namanya si gembel itu, Oomm…!?”Tookk…! Tokk…! Tookk…!Percakapan antara Lisa dan Pak Burhan terhenti. Seseorang mengetuk pintu ruang privat.“Pasti mengantar makanan. Masuk!” perintah Pak Burhan.Chef dan asistennya membuka pintu. Reaksi mereka biasa saja melihat ada Lisa berada di dalam ruangan. Berdua hanya dengan Pak Burhan.Chef menata makanan sesuai pesanan. Ia menjelaskan satu demi satu menu yang telah d
Hari ini ada kabar melegakan untuk Jessie. Kepulangan Om Wisman ditunda. Masih ada kepentingan bisnis dadakan yang harus diselesaikan. Kemungkinan besar esok atau lusa laki-laki itu baru akan sampai Indonesia.Jessie mengembus napas lega. Ia mulai memikirkan kemungkinan menerima tawaran Mommy. Ia ingin mengelola bisnis yang dipercayakan padanya supaya mendapat gaji lebih besar. Ia ingin segera bebas dari cengkeraman aki-aki tua bernama Wisman.Om Wisman membebaskan Jessie punya pacar. Bahkan, jika Jessie mau menikah pun laki-laki itu fine-fine saja. Ia membebaskan Jessie untuk memiliki pasangan hidup. Hanya saja, syaratnya, setiap saat Wisman ingin dilayani, Jessie harus siap muncul dan menyanggupi.Bagian syarat itu yang mengganjal hidup Jessie. Ia ingin bebas. Mau pacaran, kek. Mau menikah, kek. Mau apa saja, ia ingin bebas tanpa perlu ada khawatir sewaktu-waktu Om Wisman menghubunginya.Jessie bukan kacung! Ia tak sudi diperlakukan rendah seperti itu. Ia j
“Sembilan tujuh koma enam FM. Radio Siul, radionya kawula muda. Sapa sobat pendengar. Hiburan. Lagu-lagu lawas. Lagu mancanegara hits. Bersama aku, Jessie, kita ketemu lagi diii… eSSTeeeEeeM! Siaran Tengah Malam! Sebelum kita ngobrol-ngobrol panjang lebar pluus baca-bacain rikues dan salam dari kamu, nikmati dulu, yuk, emmm… satu lagu dari… ehh… emmm…. Yak, Justine Belieber dengan satu hits-nya yang kondang – tapi bukan kondangan, hehe, garing, ya? Okeh. Satu lagu hits mancanegara; Nyummy-Nyummy dari Justine Belieber spesial buat kamuuu…. Stay tune, jangan ke mana-mana, enjoy STM. Siaraann Tengaaah Malaamm…!”Bambang bekerja sigap. Ia segera menekan tombol play. Lagu Nyummy-Nyummy dari Justine Belieber segera berkumandang.Jessie mengembus napas lega. Bambang mengacungkan dua jempolnya ke udara. Berhasil – yeaay!Jessie lega berhasil membuka Siaran Tengah Malam kali ini dengan lumayan… berhasil. Yaa, lumayan bisa dibilang berhasil-lah. Bisa dibilang lumayan karena
Malam itu terasa benar-benar buruk. Mulut Jessie terkunci setelah membaca pesan tanpa nama pengirim. Bambang masuk ke studio dengan heran. Ia tidak mengerti mengapa rekan kerja barunya malah mematung memandangi layar laptop. Laki-laki itu melongokkan kepalanya. Ia turut membaca pesan pendek yang penuh berisi kebencian tersebut.“Oh…,” komentarnya pendek. “Nggak usah terlalu serius ditanggapi, Mbak Jessie.”Jessie ingin menyahuti Bambang tapi tak satu kata pun yang keluar. Tenggorokannya seperti tercekik. Suaranya malah terdengar mencicit kayak suara tikus kejepit got. “Ter… terus gimana, Mas?” tanyanya panik. Akhirnya suaranya keluar juga.“Kayak gini biasa aja, Mbak. Dulu, pas radio ini masih jaya, penyiar-penyiarnya kondang, beberapa kali – kalau belum boleh dibilang sering – ada pesan-pesan penuh ujaran kebencian kayak begini.” Bambang memperhatikan Jessie yang masih syok. “Nggak
“Jeeng…. Ada di rumah, nggak? Aku mampir sebentar, yaaa. Ada tawaran pekerjaan, niih. Bayarannya gedee. Kerjanya cuma seneng-seneeng. Boleh, yaa?”Tante Clarrisa mengiyakan. Ia sedang tidak ada pekerjaan. Acara televisi tidak menarik. Yang menelepon adalah Jeng Ries salah satu teman arisan sosialita Tante Clarrisa.Tak perlu waktu lama untuk Jeng Ries sampai di rumah. Dengan gaya centil wanita paruh baya itu masuk. Menyapa Tante Clarrisa sambil cipika-cipiki.“Sehat, kan, Jeeng?”Tante Clarrisa mempersilakan tamunya duduk. “Duitnya banyak, nggak?”Tawa centil Jeng Ries membahana. “Langsung to the point aja, sih, Jeng? BU alias Butuh Uang banget, ya?”Tante Clarrisa tahu sekali tentang ‘pekerjaan sampingan’ Jeng Ries. Wanita paruh baya yang centil itu punya banyak sekali ‘klien’. Kliennya bapak-bapak kesepian yang membutuhkan teman-teman. Mereka punya kriteri
Jessie tidak mau melambai supaya Om Wisman mudah menemukannya. Supir pribadi bos besar itulah yang kemudian menemui pimpinannya.“Sendiri saja?” tanya Om Wisman. “Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput perempuan itu terlebih dulu?”‘Perempuan itu’.Jessie berdiri tak jauh dari mereka. Ia bisa mendengar sebutan yang disematkan Om Wisman padanya.‘Perempuan itu’. Betapa Jessie tidak dianggap oleh laki-laki itu. Betapa murahnya harga diri Jessie hingga hanya diberi sebutan ‘perempuan itu’. Kenapa laki-laki tua itu tidak menyebut nama? Toh, ia punya nama.‘Bukannya aku sudah bilang untuk menjemput Jessie terlebih dulu?’Seandainya perkataan Om Wisman barusan diganti menjadi demikian, tentu hati Jessie tak akan terluka. Tapi ya sudahlah. Toh kehadirannya menjadi pendamping Om Wisman, kan, hanya sekadar sebagai jaminan utang Tante Clarrisa.“Saya sudah menjemput Nona Jessie, Tuan Wisman,” jawab Pak Supir.Pak Supir saja mengerti tata kram
“Aku cuma ingin kopi, Jess…,” pinta Om Wisman setiba mereka di apartemen. Laki-laki itu mandi membersihkan diri hingga badanya yang letih kembali segar. “Oh iya, aku juga ingin toast. Setangkup,ya. Tambahkan sedikit butter di antaranya.” “Oke,” jawab Jessie singkat. Gadis itu sudah hapal makanan kesukaan Om Wisman. Ia juga sudah hapal setiap inci apartemen laki-laki itu. Om Wisman punya rumah pribadi tapi ia lebih senang membawa gadis-gadis yang dipacarinya ke apartemen. Lingkungan apartemen lebih individualis. Orang-orangnya tidak peduli pada penghuni lain. Siapa pun yang dibawa masuk juga bodo amat. Terlebih apartemen yang dipilih Om Wisman tergolong apartemen mewah dan mahal. Semakin mewah, semakin individual orang-orangnya. Toast yang garing dan renyah dioles dengan sedikit butter. Terdengar kemericik samar dan cipratan kecil-kecil dari butter yang dioles ke roti panggang buatan Jessie. Sarapan yang kesiangan dan segelas kopi disajikan di meja di hadapan
“Aku capek hidup miskin…,” keluh Jessie dalam perjalanan pulang setelah siaran. Suasana jalanan yang lengang dan sepi membuatnya mudah menganalisa apa yang terjadi dalam hidupnya. “Seperti sudah saatnya buat aku untuk berbenah. Nggak bisa begini terus.”Jessie tetap menjalani pekerjaannya sebagai penyiar dengan baik. Bambang terus memandunya dengan sabar. Siaran Tengah Malam di hari-hari berikutnya berjalan dengan lancar. Jessie hanya perlu berpura-pura tidak melihat Reni. Penyiar sekaligus karyawan senior yang mukanya sengak. Padahal aslinya rapuh. Sampai-sampai rela merengek cinta dan perhatian yang lebih dari Bambang.Semalam Jessie sudah menghubungi Mommy. Ia mengirim pesan singkat: ‘Mom, ketemuan, yuk? Aku ingin menerima tawaran Mommy.’Pesan sesingkat itu namun telah dipikir dengan begitu serius. Jessie takut ia semakin terlarut dalam kisaran asmara dengan Om Wisman. Semakin ia menikmati gelora cinta bos besar par
Seeerrr….Jessie berhenti di depan pintu toilet. Ia merasakan bulu kuduknya kembali meremang. Ia belum melanjutkan ceritanya tentang patah hati. Tiba-tiba saja ia kebelet pipis. Sehingga meminta jeda pada Bambang. Bambang mengagguk oke bahwa ia setuju. Ketika Jessie melontarkan pertanyaan; sudah siap mendengarkan kisah patah hati Jessie, Bambang segera menimpalinya dengan sebuah lagu. Lagu melankolis baru dari penyanyi yang baru saja muncul di kancah dunia musik. Lady Jaijai dengan lagu barunya yang berjudul Can’t Stop Loving You.Seusai menunaikan hajat Jessie mencuci bersih tangannya. Ia juga mencuci muka agar tak mengantuk. Tak lupa mengusap tengkuknya dengan telapak tangan yang sudah dibasahi air dingin. Matanya kembali melek. Badannya terasa kembali bugar. Ia harus cepat kembali untuk memandu program Siaran Tengah Malam.Seeerrr….Sesuatu berwarna hitam berkelebat lewat pintu kaca yang berbatasan langsung dengan halaman kebun bela
Seerrrr…..Jessie baru saja keluar dari pantry. Ia telah menghabiskan segelas susu hangat. Perutnya tiba-tiba keroncongan. Lapar. Padahal seingatnya sebelum berangkat ke radio tadi ia sudah makan malam. Ah, paling gara-gara udara dingin jadi perutnya gampang sekali kosong.Seerrr….Tengkuk Jessie meremang. Bulu kuduknya merinding. Ia seperti melihat sesuatu berjalan di antara koridor ruang depan kantor. Gadis itu mencoba memeriksa bagian depan. Siapa tahu ada tamu yang kebetulan telah menunggu lama. Atau maling? Wah, semoga aja tidak. Kalau maling ia hanya akan bisa berteriak minta tolong.Ada Bambang di ruangan siaran. Tapi beneran, deh, lebih baik bukan maling. Lebih baik kalau juga bukan setan.Jessie berjalan mengendap. Ia melongokkan kepala di dinding pembatas ruangan.Ruang depan kantor lengang. Tak terlihat ada siapa-siapa di sana. Halaman depan terlihat terang oleh lampu taman. Tak banyak orang lewat di jalanan. L
Flowery-Rose Ice Cream Resto pagi itu terlihat sejuk dan asri. Karyawan yang biasanya bertugas di dapur membantu menyiram tanaman. Tanaman-tanaman hijau di halaman depan terlihat segar dan menyenangkan. Bunga-bunganya mekar dengan baik.“Selamat pagi, Pak…,” sapa si karyawan begitu melihat John berjalan masuk.John Burgundy membalas saaan itu dengan baik. “Selamat pagi.” Ia melanjutkan perjalanannya menuju ruangannya. Hari ini terasa begitu ringan dan membahagiakan bagi John. Laki-laki itu menikmati duduknya di kursi pimpinan yang empuk. Sebentar lagi ia akan cabut dari sini. Segala drama yang berhubungan dengan si Gembel dan lisa akan segera usai. Ia akan menempuh hidup baru. Mengurus perusahaan baru, dan tak lagi perlu repot-repot mengurusi hal-hal sepele seperti cinta dan sebagainya.Cklek klinting…Bel di pintu berdenting. John lupa menahan pintu agar tak kembali menutup. Saat pagi memang pintu itu dibiarkan terbu
John mematut-matut dirinya. Rambutnya telah disisir rapi. Jambangnya yang telah dicukur bersih seminggu lalu kini muncul sedikit-sedikit. Tidak apa-apa. Tidak usah dicukur bersih lagi. Malah bagus begini. Ia terlihat lebih matang dan macho. Rahangnya tegas dan terlihat menawan.Tak ada perempuan yang meragukan ketampanan John Burgundy. Hanya sayangnya satu wanita ini, Lisa, tak juga tergerak hatinya untuk mengakui bahwa John adalah yang terbaik.Malam ini, ya, malam ini keadaan telah berubah. Berbalik 180 derajat. Tentu saja hal ini karena kedermawanan hati John Burgundy. Ia memberi kabar bahwa Si Gembel bekerja di tempatnya. Ia mematuhi perintah Lisa untuk menekan Si Gembel dengan semena-mena memberinya tugas yang tak terkira – meski pada akhirnya John agak sungkan dan tersentil saat Om Wisman bertandang ke resto mereka. Ah, urusan Om Wisman dipikir nanti saja.Kini kembali pada Lisa. John berdebar tak sabar menunggu hingga ketemu dengan gadis cantik itu.
Alfin tergeragap bangun. Ia merasakan ada yang menindih dadanya. Laki-laki melongok lalu kembali merebahkan kepalanya dengan penyesalan yang sangat besar.Lisa tidur pulas. Kedua matanya terpejam erat. Kepalanya berbantalkan dada bidang Alfin. Napasnya teratur. Mereka berdua tidak mengenakan pakaian sama sekali. Tidur hanya bertutupkan selimut lebar.“Ya ampun. Apa yang telah aku perbuat?” Alfin menepuk jidatnya. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum tepar tidur karena kelelahan ‘bertempur’. “Ah, iya. Aku berniat memanas-manasi Jessie. Gadis itu harus cemburu karena aku kembali akrab dengan Lisa. Alih-alih kesal, gadis itu malah terlihat biasa saja. Ia benar-benar tidak menyukaiku sedikit pun?” gumam Alfin dengan suara serak.Tubuh Lisa semakin dekat dan merapat. Gadis itu merengek pelan – sepertinya hanya mengigau. “Kamu hebat banget, Sayang…,” gumamnya masih dengan suara parau. “Sudah lam
Alfin dan Lisa saling melepaskan diri. Napas mereka terengah-engah. Lisa mengembangkan senyum. Kepalanya sedikit keliyengan karena rasa cinta yang begitu membuncah.“Aku… aku….”Alfin merasa sedikit bingung. Kepalanya juga sedikit pusing. Pesona Lisa begitu memenuhi benak dan pikirannya. Ciuman tadi sengaja ia lakukan hanya untuk memanas-manasi Jessie. Pada mulanya rencana itu ia anggap berhasil. Namun, laki-laki itu terseret oleh pesona Lisa yang dulu pernah dicecapnya. Memori yang kembali hadir menjadi kenyataan; begitu lembut, begitu manis, begitu memabukkan.“Sudah siap memesan, Tuan?” tawar Jessie masih dengan mengembangkan senyum. Ia sudah siap dengan catatan untuk mencatat setiap permintaan Alfin.“Aku… aku….” Alfin masih puyeng. Ia memerhatikan gadis di hadapannya sekali lagi. Lisa membetulkan kembali lipstiknya. Gadis itu bahkan tak perlu merasa sungkan pada Jessie. Tenang saja ia kembali mengoleskan lipstik dan lip-tint-nya untuk membenahi solekannya yang
Alfin menjemput Lisa di coffeshop. Gadis itu mengaku baru saja selesai meeting dengan klien. Tapi melihat dari pakaiannya yang masih bau toko dan make-up-nya yang tebal – terlihat seperti baru saja dari salon.“Kita berangkat sekarang?” tawar Alfin.“Yuk!” Lisa segera bergegas pergi. Ia mencoba menggandeng tangan Alfin. Laki-laki dengan halus menyingkir hingga gandengan tangan Lisa berlalu begitu saja.“Kita naik kendaraan sendiri-sendiri, ya?”Lisa merengut. “Ih! Nggak romantis banget-lah! Masa naik kendaraan sendiri-sendiri!?”“Nanti malam aku sudah ada janji. Nggak bisa antar kamu pulang terlebih dulu. Kudu buru-buru.” Alfin menunggu dengan tidak sabar. “Gimana? Jadi, nggak?”“Oke, deh!” Lisa menyusul Alfin masih dengan cemberut. Gadis itu merasa seperti dimanfaatkan. Tapi mau bagaimana lagi? Ajakan Alfin sore ini terasa seperti hujan di gurun gersang. Lisa selalu mencoba menghubungi laki-laki itu – tapi selalu tak ada tanggapan. Lisa selalu me
Alfin memandangi foto Jessie. Itu foto mereka ketika upacara kelulusan kuliah. Mereka wefie dengan wajah ceria. Senyum yang begitu lebar. Mata yang berbinar-binar. Penolakan Jessie beberapa waktu yang lalu akhirnya membuat hubungan pertemanan mereka menjadi dingin juga renggang. Boro-boro jadian, saling kontak saja sudah tidak pernah lagi. Persahabatan mereka yang baik menjadi turun level menjadi dua orang yang bersikap seolah tidak saling kenal.Seandainya saja malam itu Alfin tidak menuruti keinginannya. Tapi ia sudah tidak tahan lagi. Keinginannya telah begitu besar untuk bisa memiliki Jessie. Alfin sudah mencoba mencari perempuan yang lain. Perempuan yang baik, perempuan yang ceria, perempuan yang cerdas dan tangkas, perempuan yang mampu menjalankan perusahaan dengan baik, bertanggung jawab dan memiliki etos kerja yang tinggi namun juga lembut dan penuh kasih sayang.Perempuan itu ada. Bahkan yang jauh lebih baik dari Jessie juga banyak. Tapi tak ada satu pun yang kl
John Burgundy menahan diri. Rahangnya mengeras. Si Gembel benar-benar mengerjainya. Gadis itu memanfaatkan keadaan dengan baik. Jangan-jangan Om Wisman hari ini datang juga karena aduan Jessie?“Hmm… ya, rasanya enak. Tentu saja,” jawab John. “Itu mengapa menu itu menjadi nomor satu di Flowery-Rose Ice Cream Resto yang sebentar lagi akan Kak Jessie manajeri.”“Hmmm… ya, ya, ya,” tanggap Jessie dengan manggut-mangut. Di dalam hatinya ia menahan geli. John Burgundy mengubah sikapnya hampir 100%. Terbersit rasa heran di dalam hatinya Jessie. Mengapa laki-laki itu seperti begitu menaruh hormat pada Om Wisman.“Kok, tidak dicoba Om es krimnya?” tanya John.“Oh?” Om Wisman yang mengikuti percakapan itu seperti tersadar. “Oh, ya, ya, ya. Aku sedang mengikuti perbicangan kalian berdua. Menarik sekali. Sepertinya Jessie mendapat banyak ilmu yang bermanfaat dari John, ya.”Om Wisman mencoba es krim rekomendasi John.John mendelik ke arah Jessie.