“Ada apa dengan klausul nomor sepuluh?” Yudith melanjutkan meeting segera setelah selesai menunggu Rajendra mengobati luka di bibirnya. Yudith menghela nafas panjang setelah meeting selesai namun belum tercapai kesepakatan. Beberapa harus mengalami revisi dari dua belah pihak. Ternyata memang Rajendra pebisnis handal, tidak main-main nominal yang kantornya siapkan dan ditolak mentah-mentah oleh laki-laki tersebut dengan menegaskan ia tidak ingin membahas nominal di awal meeting yang bahkan belum tercapai kesepakatan. “Terima kasih obatnya?” Sebuah suara mengakhiri lamunan panjang Yudith, ia tengah di samping mobil Galuh pada jam pulang kerja. “Kenapa Bapak masih berada di sini? meeting selesai dari siang kan?” Bukan menjawab melainkan Yudith justru bertanya mengapa Rajendra masih berada di sana. “Habis mengopi tadi sama teman di seberang, mobil aku masih di sini.” Rajendra menunjuk mobilnya di ujung bangunan
Yudith mengakhiri sesi berendamnya karena air di bathup sudah mendingin. Kepalanya berat, sakit semenjak pengakuan konyol Rajendra dua hari lalu. Yudith tidak pernah lagi percaya dengan apa pun ucapan yang keluar dari mulut Rajendra. “Mama ... ke tempat papa Yuk.” Yudith memeluk mamanya dari belakang, sang mama tengah membuat puding rumput laut kegemarannya. “Mendadak sekali, kangen papa ya?” Mama membelai punggung tangan Yudith di perutnya.Yudith mengangguk. “Iya ... kemarin aku mimpi papa.” “Baiklah Sayang, setelah ini selesai dulu ya.” Mama menoleh mendaratkan kecupan pada pipi putrinya. Yudith membawa keranjang bunga di tangan kiri dan menggandeng mama dengan tangan kanan. Menyusuri jalan setapak dengan banyak batu nisan di sebelah kiri dan kanannya. Menuju satu pusara, keduanya jongkok di sana berhadapan. Mulai mengambili daun kering di atas pusara sebelum meletakan bunga di sana serta air mawar.
“Lebih baik kamu pulang sekarang,” bisik laki-laki kurang ajar yang sudah Yudith hantam dengan clutch. “Berhenti ikut campur dan enyah dari hadapan aku, kamu lama-lama seperti bakteri ya menyebar di mana-mana tidak tahu tempat.” Yudith melenggang meninggalkan tempat ia menyerahkan undangan sebelum menjadi tontonan banyak orang karena perdebatan mereka. Yudith tahu jika ia dibuntuti dan tetap melenggang anggun mencari pemilik acara. Acara tersebut bukan acara resmi seperti peresmian kantor atau sejenisnya. Melainkan acara sejenis perayaan akan sebuah pencapaian pada satu perusahaan yang bergerak dibidang komunikasi. Pemilik acara adalah rekanan almarhum papa Yudith. “Berhenti mengekori aku, astaga,” geram Yudith. “Anggap saja aku enggak ada,” tukas Rajendra. Yudith menarik nafas panjang, sungguh menyebalkan ulah Rajendra. Yudith mengambil puding buah dan membawanya ke sebuah meja di mana ia su
“Hati-hati ya Sayang, Mama akan minta Galuh selalu pantau kamu selama di Singapura.” Mama memeluk Yudith saat sang putri hendak berangkat ke bandara dengan Galuh di sampingnya.Galuh tertawa kecil. “Siap Tante, aku akan taruh Yudith di ketek aku biar selalu aman.” Yudith daratkan cubitan pada lengan Galuh yang masih saja bercanda, mamanya memang selalu cemas berlebihan saat dia harus ke luar kota atau ke luar negeri untuk keperluan pekerjaan meskipun ada yang mendampingi. Namun mereka semua tahu jika Galuh akan menemani Yudith menemui klien namun tidak mengantarnya pulang ke Jakarta. Galuh akan terbang kembali menuju Kanada untuk memboyong keluarga calon istrinya. “Mama jangan cemas, aku hanya sendirian sehari saja di sana. Enggak ada sehari malah, hanya setengah hari. Mama juga baik-baik ya selama aku di sana.” Yudith memeluk mamanya dengan senyuman lebar. Yudith lebih banyak mempelajari perusahaan rekanan selama perjalanan
“Memangnya enggak bisa di simpan sama asisten kamu? aku bukan orang senggang yang bisa antar jas dan menemui kamu di luar seperti ini.” Yudith meletakan paper bag di meja saat baru saja sampai di lokasi pertemuannya dengan Rajendra. “Kan aku juga sudah bilang enggak perlu dikembalikan buru-buru, atau enggak usah dikembalikan sama sekali juga enggak masalah,” kilah Rajendra. “Buat apa aku simpan, ini sudah kan? aku langsung pulang saja ya?” Yudith bahkan tidak mendudukkan dirinya di kursi. “Bukan hanya kamu yang sibuk, Yudith. Berhenti terus menanduk ... kamu terlihat memaksakan diri terus marah-marah sama aku. Duduklah sebentar,” pinta Rajendra dengan suara pelan. “Memangnya aku harus berbaik-baik sama kamu? aku duduk karena sebagai ucapan terima kasih saja,” dengus Yudith. “Iya baik ... baik ... begitu juga enggak apa-apa.” Rajendra menyingkirkan paper bag ke kursi sampingnya dengan senyuman
Yudith menarik keluar map besar bertuliskan pengadilan agama, menutup laci tersebut tanpa merapikan terlebih dahulu. Membawa ke luar dari walk in closed dan duduk di tepi ranjangnya dengan satu kaki ia lipat ke atas ranjang sementara satu kaki lainnya menjuntai. “Ya Tuhan .... dia enggak bohong.” Yudith menutup mulutnya terkejut karena sertifikat yang di sebutkan Rajendra benar ada di sana. Yudith menghela nafas panjang, setidaknya tidak benar-benar hilang atau tidak sengaja terbuang. Walau bukan salahnya tapi jelas ia juga akan merasa bersalah dengan nominal sebesar itu. Yudith membuka perlahan, nama lengkapnya terpampang di sana sebagai pemilik tunggal, tidak ada nama lain di belakang namanya yang berarti hak mutlak miliknya. “Ibu ... kenapa sampai mengusulkan memberikan rumah ini sama aku, walau pakai uang anak ibu, tapi ibu tulus sekali sayang sama aku,” lirih Yudith. Yudith hendak menutup kembali sertif
“Bunuh diri?” beo Rajendra. “Iya bunuh diri karena simpanan kamu terus meneror Yudith dan kamu justru hilang di telan bumi. Yudith kurang apa sih, hah? dia jauh lebih cantik dan hebat dari pada simpanan kamu itu. Astaga, jangan ganggu Yudith kami lagi. Dia sangat menderita untuk bisa bangkit melanjutkan hidup kembali karena laki-laki berengsek seperti kamu,” seru Vanesa. “Beb sudah Beb sudah, jangan berteriak-teriak ya. Kamu bari dijahit.” Suami Vanesa membujuk sang istri agar berhenti emosi. “Sudah Nes sudah ya,” bujuk Yudith dengan ringis. “Dia harus tahu Yudh, dia harus tahu sehancur apa hidup kamu dibuatnya. Jika dia memohon maaf seumur hidupnya pun tidak akan bisa mengganti apa yang sudah kamu lewatkan itu.” Vanesa menggebu-gebu tidak memedulikan bujukan dua orang di sana. “Kamu keluar saja dulu.” Yudith menoleh pada Rajendra memintanya keluar dari dalam kamar rawat Vanesa.
Yudith hendak menarik tangan Galuh untuk mengejar dua laki-laki yang mulai tidak tampak dari pandangan matanya. Akan tetapi lengan Yudith ditahan kuat oleh sang sepupu. “Abang kita harus kejar mereka, sepertinya Xande mau melarikan diri bawa koper masuk ke bagian keberangkatan,” geram Yudith. “Aku bilang jangan sekarang, Rajendra melarang kita mendekati mereka.” Galuh berkata dengan mata juga tertuju ke arah laki-laki nun jauh dari pandangan. “Hah? bagaimana?” seru Yudith tidak dapat memahaminya. “Kita ke hotel dulu ayo. Biarkan mereka mau ke mana juga,” tegas Galuh. “Abang!” Yudith menolak tentu saja karena merasa mereka akan kehilangan jejak. “Percaya sama Abang, ayo cepat.” Galuh kini bahkan menggandeng tangan Yudith yang masih saja menolehkan kepalanya ke arah berlawanan mereka melangkah. “Percaya bagaimana? bagaimana Abang tahu kalau Rajendra melarangnya?
“Ada acara dansanya,” bisik Rajendra usai menemui pemilik acara dan mengucapkan selamat, mereka duduk di salah satu kursi tamu-tamu. “Oh ya?” tanya Yudith.Rajendra mengangguk. “Mau turun nanti?” Yudith memicingkan mata dengan mengulum senyum, mengendus maksud tersembunyi laki-laki di sebelahnya. “Aku enggak mau terjadi tragedi gaun atau kaki terinjak dan jatuh di atas pasir.” Yudith menjawab dengan masih menahan senyum pada bibir merahnya.Rajendra berdecap. “Kamu pikir aku seamatir itu? jadi mau ya, indah sekali sunsetnya pasti romantis deh. Ini semacam acara pernikahan dari pada acara peresmian perusahaan ekspor.” “Antimainstream pemiliknya,” jawab Yudith lugas. “Rajendra .... “ “Iya.” Rajendra menoleh ke arah wanitanya ketika mendengar panggilan. “Aku yang enggak bisa dance,” kekeh Yudith. Rajendra meraih tangan Yudith, menggenggam lembut
“Besok kita belanja saja kebutuhan mandi kamu, menumpang mandi kok setiap hari. Harum badan kamu jadi kaya aku karena pakai sabun aku.” Yudith membawa hair dryer karena melihat rambut basah dengan harum sampo miliknya yang dipakai Rajendra. Rajendra melepas tawa, pindah duduk ke bawah sofa bersandar kaki sofa. Membiarkan rambutnya dikeringkan oleh Yudith yang duduk di sofa. “Aku seperti cium diri sendiri,” canda Yudith. “Sabun sampo kamu enak segar harumnya, jadi enggak masalah aku wangi sabun kamu. Besok pulang kerja saja ya beli sabunnya, eh tapi besok aku ada tender di Senopati pasti sampai malam. Kamu belikan saja bagaimana?” Rajendra memejamkan mata saat bisingnya hair dryer menyeruak di antara mereka. “Mana uangnya?” tanya Yudith iseng. Rajendra membalikkan badan, kembali memejamkan mata dengan melingkarkan kedua lengan pada kaki Yudith sementara sang wanita mengeringkan rambut depann
“Yudith ... sudah jam satu, aku pulang ya.” Rajendra membelai kepala Yudith dalam pelukan, keduanya meringkuk dalam kamar sang wanita yang sudah berubah warna menjadi coklat muda. Yudith tidak menjawab namun mengeratkan pelukannya, berhimpitan meringkuk di balik selimut tebal. “Besok Subuh saja pulangnya,” lirih Yudith. “Boleh memangnya menginap di sini?” Pertanyaan Rajendra dijawab anggukan dengan mata terpejamnya. “Nanti digerebek enggak? aku takut dipenggal Galuh,” tukas Rajendra. “Enggak akan, diamlah ... aku mengantuk.” Yudith menggesekkan hidung pada dada bidang Rajendra. “Baiklah ... mari tidur, benar-benar tidur.” Rajendra daratkan kecupan pada kepala Yudith sebelum turut memejamkan matanya. Yudith terlelap dengan cepat, setelah beberapa hari ia mengalami kesulitan tidur, malam ini ia benar-benar pulas bahkan tidak terbangun sekalipun hingga pagi tiba
“Berhenti melihat aku begitu, Sayang. Nanti kamu menyesal,” kekeh Rajendra.Yudith melepas tawa kecil. “Ok ... aku memilih mengizinkan kamu memanggil sayang dari pada aku nanti menyesal.” “Kenapa sih enggak mau sekali dipanggil sayang? maunya apa memang? baby? Honey? Sweety?” tanya Rajendra. “Entahlah enggak ada alasan spesifik.” Yudith menaikkan kedua bahunya acuh. “Teringat aku memanggil wanita lain ya?” terka Rajendra. Yudith menarik kedua sudut bibirnya samar, namun dapat tertangkap indra mata Rajendra dari balik kemudi. “Ya sudah aku panggil Yudith saja biar kamu enggak ingat-ingat lagi.“ Rajendra memanjangkan tangannya membelai pipi kanan Yudith dengan punggung tangannya. Yudith menahan tangan hangat tersebut, mengaitkannya sesaat sebelum ia tepuk punggung tangan Rajendra dua kali. “Ke rumah?” Tawaran Yudith yang sangat amat jarang terlepas dari bibirny
“Masa iya Bu Yudith mau ya sama laki-laki doyan sama banyak wanita begitu? cantikan juga ibu Yudith, sudah pasti kaya tujuh turunan juga.” Ucap seorang wanita berpakaian rapi dengan sepatu merah pada sudut lobi kantor. “Mungkin sudah cinta mati? Atau jangan-jangan bu Yudith kena guna-guna?” timpal wanita lainnya di depan si sepatu merah. “Ah jaman seperti sekarang masih ada guna-guna? Enggak mempan ah, apa mungkin alasan mereka dulu bercerai karena suaminya banyak wanita lain ya? tapi kalau iya, masa mau diulang sama laki-laki seperti itu?” jawab wanita sepatu merah. Yudith berdehem sekali, kedua wanita di sana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mata mereka melebar sempurna dan keduanya langsung menganggukkan kepala dengan wajah pucat pasi melihat wajah dingin atasan yang mereka gunjingkan sedari tadi. “Eh selamat siang Ibu Yudith,” sapa si sepatu merah terbata-bata. “Kalian suda
“Dek ikut aku.” Galuh menarik tangan Yudith saat berpapasan di depan resepsionis untuk segera menaiki lift khusus pemilik perusahaan. “Ada apa astaga pelan-pelan Abang, sepatu aku hari ini tujuh senti,” gerundel Yudith. Galuh tetap menarik Yudith hingga pintu lift tertutup, membuka ponselnya dan memperlihatkan sebuah gambar pada sang adik sepupu. Mata Yudith melebar saat melihat sebuah foto. Foto Rajendra tengah berbaring dengan badan atas tanpa pakaian dan selimut hanya menutupi sampai pinggang. Bukan perkara tidurnya yang menjadi masalah melainkan siapa wanita di samping Rajendra, Clara. Bukan hanya satu foto itu, melainkan ada satu lagi foto lainnya. Posisi duduk namun Rajendra tengah memeluk leher wanita di sampingnya dengan pipi di cium, Reina. “Kok bisa ada foto itu di hp Abang?” desah Yudith. “Ini dari grup kantor, Dek,” geram Galuh. “Hah? bagaimana? grup kantor yang mana? siapa yang
“Maksud kamu?” tergagap Reina bertanya dengan posisi sudah berdiri tegak di balik gaun membalut lekuk tubuhnya. “Bukankah kalian sudah bercerai? Tidak mungkin informan aku salah memberikan laporan.” Reina masih menyerukan ketidakpercayaannya. “Benar kok, informan kamu enggak salah kasih informasi. Hanya kurang lengkap saja yang dia cari tahu. Saya menemui kamu untuk bilang satu hal, kamu dan saya tidak ada hubungan apa pun lagi sejak bertahun silam. Jadi saya tegaskan jangan melakukan kebodohan berulang. Kami akan segera menikah, kamu salah memilih lawah jika masih mengusik Yudith.” Rajendra berkata dengan tatap tertuju pada wanita berambut panjang tergerai indah. “Kamu hanya bercanda seperti tahun-tahun lalu, right? Aku sangat mengenal kamu, Rajendra. Kamu hanya sedang bermain-main saja seperti sebelumnya.” Reina bersikukuh bahwa apa yang ia lihat bukanlah kebenaran.Yudith menghela nafas panjang. “Kamu selesaikan saja s
Yudith menunjukkan layar ponsel Rajendra kepada pemiliknya, sang pemilik mengerutkan kening membaca deretan pesan di sana. “Aku enggak tahu dia dapat nomor aku dari mana, blokir saja sudah.” Rajendra mengambil ponsel dari tangan Yudith akan tetapi Yudith mengelak justru meminta Rajendra membuka ponselnya. “Paswordnya tanggal lahir kamu. Balas apa saja terserah kamu,” tukas Rajendra tidak ingin repot-repot membalas sendiri. “Kamu enggak ada keinginan bilang sama dia? jelaskan sampai dia berhenti?” tanya Yudith lengkap dengan senyum tipis.Rajendra membalas tatap Yudith sesaat. “Sini, aku telepon balik.” Yudith berdiri di hadapan Rajendra dengan tatap tenang namun dalam, menunggu apa yang hendak laki-lakinya ucapan pada perempuan kegenitan bernama Reina. “Hallo Rei ... kabar baik, dapat nomor dari mana? oh ... bertemu? Boleh, besok siang ya di PIK jam makan siang. Ok.” Rajendra memutuskan pan
“Aurora cantik .... aunty datang.” Yudith berseru lantang memasuki rumah Galuh di minggu pagi pukul sembilan. “Hai aunty, aku sedang sarapan.” Mama Aurora balas menyapa hangat penuh senyuman, duduk berhadapan dengan si cantik Aurora yang duduk di babychair mengenakan bib silikon dan mulut celemotan. Aurora berseru Aunty lengkap kaki dan tangannya bergerak-gerak semangat meminta diangkat dari kursi tingginya. Yudith melepas tawa, meletakan tentengan di meja makan depan keponakan dan mamanya untuk menunduk mencium pipi gembil Aurora sebelum duduk. “Nanti ya gendongnya, makan dulu sampai habis. Nanti kita main, Aurora sama mama sehat?” Yudith mendaratkan tempel pipi pada mama si cantik seraya bertanya. “Sehat Aunty, hanya Aurora sedang tumbuh gigi sekali dua. Jadi makannya agak susah. Mamanya juga sehat, Aunty sehat? kok enggak sama om Jendra?” Mama Aurora membiarkan Yudith mengambil alih menyuapi si kecil yang masih tidak sabar ingin bangun dari baby chair. “Oh ya? geraham?” Yudith