Indonesia, Januari 2032
Tik! Tik! Tik!
Denting jarum jam berdetak menandakan waktu terus berlalu. Dua orang pria mengendap-endap mencari jalan keluar. Berpindah tempat dari satu ruangan ke ruangan lainnya.
"Oh, Tuhan ... ini Apartement apa Labirin?!" rengek Shuura pada mantan teman satu sel tahanannya, Cakra Axellen.
"Berisik, Shui! Menggerutu tidak akan menyelesaikan apa pun."
Cakra menegur dengan tatapan mata terpokus menjelajahi sekitar. Hanya ada ruang kosong dan perabotan seadanya. Bahkan sendari awal berkeliling, tidak ada satu pun kaca jendela.
"Dimengerti! Tapi kita sudah berada di sini lebih dari satu jam. Apa menurutmu mereka mempermainkan kita?" tanya Shuura mengeluh. Tidak heran ketika bangun dari tidur, ia ditempatkan di ruangan asing.
"Entah, aku tidak tahu," jawab Cakra. "Tapi isi perjanjiannya jelas bukan seperti itu."
Pria berparas tampan tersebut membuka pintu berwarna hitam, berharap tidak lagi berakhir di ruangan sama. Namun, harapan itu pupus ketika dua pintu lain kembali menyambutnya. Cakra menghela napas, beralih melihat ke arah Shuura yang menyandar di sisi meja.
"Tidakkah ini aneh?" Shuura kembali berargument. "Jika mengikuti kesepakatan, seharusnya kita menjadi anggota pasukan ASTRA, bukan?"
"Apakah semudah itu?" Cakra balik bertanya. Intonasi suaranya terkesan datar, acuh tak acuh.
"Maksudmu?" tanya Shuura tak mengerti.
Sebelum menjawab, Cakra menarik napas panjang. "Kamu tahu, Shui? Kebanyakan dari mereka berasal dari kalangan atas. Menurutmu sampah masyarakat seperti kita memiliki kesempatan?!"
Shuura termenung. Dalam hati membenarkan pendapat Cakra. "Kalau begitu, kenapa mereka menyelamatkan kita?"
"Entahlah."
Sorot mata Cakra menerawang jauh. Raut wajahnya pun turut menegang. Sontak hal itu membuat Shuura berkeringat dingin. Dengan cemas, ia bertanya. "Apa mereka akan mengumpankan kita pada Zombie?!"
"Bisa jadi."
"Hei! Kenapa kamu santai sekali? Kita bisa mati!"
Shuura merengek, merasa gemas sendiri dengan sikap pesimis pria berusia 25 tahun di depannya. Sungguh, pria yang tidak memiliki gairah hidup.
"Lah, memang seharusnya kita sudah mati, bukan?!"
Dengan entengnya Cakra membalas seakan tidak memiliki beban. Memang tidak diragukan lagi. Baik Cakra maupun Amar Shuura merupakan narapidana hukuman mati.
Dua hari lalu, mereka akan dieksekusi. Namun, ada salah satu Agen yang mengaku dari pihak pemerintahan menawarkan kerja sama. Hukuman mereka akan dibebaskan jika mengikuti ujian bertahan hidup dari Zombie. Sayangnya, Agen tersebut tidak menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan. Mereka hanya dibius dan berakhir di bangunan megah ini.
"Iya, sih. Tapi ... Arrggghhh!" Shuura berteriak frustrasi, menatap sebal rekannya. "Berbicara dengan manusia insecure sepertimu benar-benar menyebalkan."
Cakra tidak ambil pusing dengan keluhan Shuura. Memang dirinya seperti ini. Lagi pula jika bukan atas desakan si pirang, Cakra tidak akan pernah menandatangani kesepakatan tempo hari. Tidak ingin larut dalam penyesalan, Cakra berniat membuka pintu berikutnya. Namun ....
CKLEK!
"Hei, ada orang di sini?"
... pintu tersebut telah terbuka oleh tiga pria asing. Dengan sigap Cakra dan Shuura bersikap waspada.
***
Beberapa saat kemudian ....
"Jadi begitu ...."
Cakra menompang dagu setelah mendengar penjelasan dari tiga narapidana lain. Kini mereka berlima tengah duduk melingkar di sebuah meja, membahas strategi dalam menyelesaikan tantangan ini.
Siapa sangka jika kebebasan mereka hanyalah untuk menjadi budak permainan.
"Apa tadi? Kita harus keluar dari gedung ini sebelum meledak?!"
Shuura mengulangi penjelasan dari mulut Fattah Sanjaya. Sorot matanya terbelalak, mengantarkan teror ketakutan. Meski belum sepenuhnya percaya akan kebenaran itu, tetapi Shuura tetap merasa cemas.
"Ya, begitulah."
Fattah membalas tanpa sedikitpun niatan untuk menyembunyikan informasi. Toh, dalam situasi ini mereka harus bekerja sama. Tidak ada salahnya berbagi clue atau pengetahuan yang diketahui.
"Oh My God ... Dan kapan itu?" erang Shuura semakin panik.
"Sebelum matahari terbit."
"Mati sudah! Kita akan terpanggang hidup-hidup."
Shuura tertunduk putus asa. Pasalnya saat menjelajahi gedung bersama Cakra, mereka sudah berusaha mencari jalan keluar. Namun, nihil. Yang ditemui hanya pintu-pintu penuh misteri.
"Masih sempat. Kita memiliki waktu sekitar tiga jam lagi."
Fattah memberi penghiburan. Nada optimisnya terdengar penuh keyakinan. Lantas, pemuda bergaya rambut undercut itu bangkit berdiri diikuti dua rekannya yang lain, Amru Shunra dan Ken Rayyan.
Bukannya bertambah semangat, Shuura justru menelungkupkan wajah di meja. "Jangan memberi harapan palsu. Kita bahkan tidak memiliki petunjuk."
"Ada!" seru Cakra membuat seluruh perhatian tertuju padanya.
"Sebelum pingsan aku mendengar salah satu sipir mengatakan, jika ingin selamat pergilah ke titik pusat!"
Cakra berdiri berhadapan dengan Fattah yang memasang mimik wajah serius. Shuura pun terpaksa ikut beranjak. Tidak mungkin jika ia hanya duduk sendirian. Shuura tidak mau menjadi beban, apalagi sampai ditinggalkan.
"Menurutmu itu kuncinya?" tanya Fattah bertopang dagu.
"Mungkin ...." Cakra menaikan bahu, terkesan main-main. "Tapi tidak ada salahnya dicoba. Ayo, berkeliling!"
"Benar. Aku setuju denganmu, Cakra." Rayyan memberikan pendapat. Di sisi lain, Amru tidak ikut berkomentar, tatapan matanya terpokus pada pria pirang di samping Cakra.
"Tunggu! Apa kita harus berpencar?" Shuura bertanya was-was, takut ditinggal sendiri.
"Tidak perlu," tolak Fattah.
"Lah, kenapa? Bukankah itu akan mempercepat pencarian?" protes Rayyan beradu argument.
"Benar. Tapi terlalu beresiko. Ada kemungkinan kita akan terpisah." Fattah lalu melirik pria bermanik kecoklatan. "Bukan begitu, Cakra?"
"Iya."
Mereka berlima pun sepakat untuk menyusuri bangunan gedung terbelangkai, berharap menemukan jalan keluar menuju kebebasan.
***
Satu jam berlalu ....
Cakra masih sibuk menggeledah seisi ruangan, membuka satu-persatu pintu hitam dengan sesekali direcoki oleh pria pirang di sampingnya.
"Kamu yakin kita bisa menemukan titik pusat itu, Cakra?" tanya Shuura.
"Mau sampai kapan kamu bertanya tentang itu terus, Shui?!"
Cakra mengembuskan napas bosan, merasa lelah sendiri menghadapi sikap cerewet partnernya. Di sisi lain, Fattah dan kedua temannya sibuk mengobrak-abrik sisi ruangan bagian Barat, mencari petunjuk sekecil apa pun.
"Sampai kamu waras."
Mendengar balasan laknat dari lawan bicara, Cakra berbalik menatap datar si pria bermata ocean blue yang masih mempertahankan ekspresi horornya.
Meng-hadeh ....
"Kalau kamu lupa, aku tidak pernah menjadi gila sepertimu, Shui," balas Cakra sarkasme.
Shuura sendiri tidak tersinggung, justru mendekatkan diri pada Cakra dan berbisik sambil melirik curiga kelompok Fattah. "Serius, kamu yakin mereka bisa dipercaya?"
"Kenapa tidak?" Cakra menyilangkan tangan di dada. "Mereka sepertinya orang baik."
"Cukup baik untuk menjadi narapidana," cibir Shuura.
"Tidak berbeda jauh dengan kita, Shui."
"Iya. Tap____"
"Hei, kalian berdua! Cepat kemari!"
Teriakan tersebut berhasil membungkam pembicaraan, bergegas Cakra berbalik melihat Rayyan yang melambaikan tangan, gesture isyarat untuk mendekat. Cakra pun datang menghampiri diikuti oleh Shuura yang setengah hati.
"Ada apa?" tanya Cakra. Namun, Rayyan berdesis shuut, meminta untuk tidak bersuara.
Tidak mengerti akan situasi, tatapan Cakra jatuh pada Fattah dan Amru yang berdiri tegang di ambang pintu. Seolah menyadari kebingungannya, Fattah pun berbisik. "Ada orang lain di balik pintu ini."
"Mungkin tahanan yang lain?" tebak Cakra.
"Bisa jadi," balas Fattah.
"Lalu kenapa kalian tidak masuk?! Malah menguping di sini. Itukan perbuatan tidak baik."
Shuura Menegur. Komentar blak-blakannya menuai tatapan aneh dari yang lain. Merasa risih, ia pun melanjutkan, "Hei, jangan melihatku seperti itu! Aku-kan hanya berpendapat."
Cakra menanggapi dengan helaan napas. Sedangkan Fattah menaikan alis tinggi. Rayyan pun hanya bisa terkekeh geli. Sementara Amru menatap si pirang penuh arti dan tersenyum tipis.
"Oke, ayo kita masuk!" Setelah puas menggoda Shuura, Fattah memberi keputusan, tangannya hendak memutar gagang pintu. Namun ....
BRAK!
"Jangan bergerak atau kalian mati!"
... pintu tersebut telah terbuka oleh pria yang kini menodongkan senjata api.
Bersambung.
"Aku tanya sekali lagi! Siapa kalian?!"Pria berambut merah membentak kasar. Posisi tubuhnya siaga dengan menodongkan moncong revolver ke arah Fattah dan Amru yang mengangkat kedua tangan ke atas, isyarat tanda menyerah.Di belakang si pemilik senjata api, pria lain bertubuh gemuk memperhatikan seragam sel tahanan yang dikenakan kelompok Cakra. Mirip seperti pakaian yang mereka kenakan, bedanya terletak pada warna kain. Milik Cakra dan Shuura berwarna merah, milik kelompok Fattah berwarna hitam dan miliknya berwarna biru tua. Lantas, ia menyadari sesuatu."Tahan dulu, Varen. Sepertinya mereka sekutu kita," ujar Hanxel Diandro menghalangi niatan temannya untuk menembak musuh."Huh? Benarkah?" tanya Varen sangsi."Iya, keliatannya mereka Narapidana dari kantor lain."Jawaban itu cukup untuk membuat Varen Xaperius tenang. Ia menurunkan senjata apinya, membuat Fattah dan Amru mengembuskan napas lega. Di sisi lain, Cakra dan Shuura saling bertuka
"Oh, Tuhan ... Hanxel!" Amru bergegas menuju ke arah Hanxel, meletakan kepala pria botak itu di pangkuannya. Jeritan tadi cukup untuk membuat kelima pria lain tersadar dari trans. Dengan kecepatan kilat, Rayyan dan Fattah berjongkok memeriksa kondisi teman baru mereka. Di sisi lain, Varen mematung di tempat, menatap ngeri bekas luka tembakan di pelipis Hanxel. Reaksi sama sama terjadi pada Shuura yang bergetar hebat, tubuhnya menggigil dan berkeringat dingin. Pandangan mata tampak terpokus menatap darah segar yang mengotori seragam tahanan Amru. Menyadari kegelisahan si pirang, Cakra menggenggam tangan kanan Shuura yang terkepal kuat. "Tenanglah ... Aku berjanji semua akan baik-baik saja." Shuura tersentak, menoleh ke arah sahabatnya. "Tapi itu ____" "Tidak masalah. Aku menjagamu," sela Cakra. Keduanya saling bertukar pandangan selama beberapa detik. Sebelum akhirnya Shuura mengangguk pelan yang dibalas senyum tipis oleh Cakra. Pria be
"Apa maksudmu, Bajingan?!" Shuura mencengkram kerah seragam tahanan si pria berambut merah. "Kamu berniat mengorbankan temanku?"Varen sendiri tidak takut akan kemarahan Shuura. Dengan tenang menepis tangan si pirang pendek dan membalas. "Kenapa tidak?! Dia juga menumbalkan temanku.""Tapi Hanxel mati karena keegoisannya sendiri," bela Shuura menolak pendapat Varen."Aku tahu. Tapi temanmu merasa diuntungkan.""Bukan hanya Cakra, tapi kita semua!"Shuura berteriak. Sangat geram akan sikap sinis Varen. Ia pun mengambil ancang-ancang untuk menyerang, tetapi langsung diblokir oleh kuncian tangan Rayyan yang menahannya, sedangkan Varen ditenangkan oleh Amru."Sudah cukup!' bentak Fattah murka. "Kita cari solusi ini sama-sama.""Tidak!" bantah Varen menunjuk pria di samping Shuura. "Ini adalah satu-satunya jalan keluar. Cakra harus mau membuka pintu.""Tidak. Aku tidak setuju," raung Shuura memberontak dari cengkeraman Rayyan. "Kena
"Aku tidak bercanda!" Shuura memasang mimik wajah serius. "Jika kalian tidak percaya lihat sendiri!""Bagaimana kami bisa ke sana? Masalah di sini saja belum selesai."Keluhan datang dari Rayyan yang masih sibuk menyerang para Zombie bersama Fattah. Keduanya berusaha mendorong sekumpulan mayat hidup itu agar menjauh dari ambang pintu supaya bisa ditutup. Namun, sepertinya mustahil ketika para titan itu terus bertambah banyak.Di sisi lain, Amru dan Cakra menahan sisi pintu dari benturan. Kekuatan yang tiada batas membuat mereka kewalahan. Sibuk dengan perlawanan mereka tak menyadari jika Varen masih menganggur. Pria berambut merah itu malah asyik menonton teman-temannya yang berjuang sampai titik darah penghabisan."Oi, Varen! Dari pada kamu diam saja di sana, mending bantu Shuura memilih pintu yang benar," perintah Fattah memberi saran."Jangan! Nanti mereka bertengkar lagi," cegah Amru menolak keras usulan itu. Lirikan matanya lantas tertuju pada
"Aku tidak bercanda!" Shuura memasang mimik wajah serius. "Jika kalian tidak percaya lihat sendiri!""Bagaimana kami bisa ke sana? Masalah di sini saja belum selesai."Keluhan datang dari Rayyan yang masih sibuk menyerang para Zombie bersama Fattah. Keduanya berusaha mendorong sekumpulan mayat hidup itu agar menjauh dari ambang pintu supaya bisa ditutup. Namun, sepertinya mustahil ketika para titan itu terus bertambah banyak.Di sisi lain, Amru dan Cakra menahan sisi pintu dari benturan. Kekuatan yang tiada batas membuat mereka kewalahan. Sibuk dengan perlawanan mereka tak menyadari jika Varen masih menganggur. Pria berambut merah itu malah asyik menonton teman-temannya yang berjuang sampai titik darah penghabisan."Oi, Varen! Dari pada kamu diam saja di sana, mending bantu Shuura memilih pintu yang benar," perintah Fattah memberi saran."Jangan! Nanti mereka bertengkar lagi," cegah Amru menolak keras usulan itu. Lirikan matanya lantas tertuju pada
"Apa maksudmu, Bajingan?!" Shuura mencengkram kerah seragam tahanan si pria berambut merah. "Kamu berniat mengorbankan temanku?"Varen sendiri tidak takut akan kemarahan Shuura. Dengan tenang menepis tangan si pirang pendek dan membalas. "Kenapa tidak?! Dia juga menumbalkan temanku.""Tapi Hanxel mati karena keegoisannya sendiri," bela Shuura menolak pendapat Varen."Aku tahu. Tapi temanmu merasa diuntungkan.""Bukan hanya Cakra, tapi kita semua!"Shuura berteriak. Sangat geram akan sikap sinis Varen. Ia pun mengambil ancang-ancang untuk menyerang, tetapi langsung diblokir oleh kuncian tangan Rayyan yang menahannya, sedangkan Varen ditenangkan oleh Amru."Sudah cukup!' bentak Fattah murka. "Kita cari solusi ini sama-sama.""Tidak!" bantah Varen menunjuk pria di samping Shuura. "Ini adalah satu-satunya jalan keluar. Cakra harus mau membuka pintu.""Tidak. Aku tidak setuju," raung Shuura memberontak dari cengkeraman Rayyan. "Kena
"Oh, Tuhan ... Hanxel!" Amru bergegas menuju ke arah Hanxel, meletakan kepala pria botak itu di pangkuannya. Jeritan tadi cukup untuk membuat kelima pria lain tersadar dari trans. Dengan kecepatan kilat, Rayyan dan Fattah berjongkok memeriksa kondisi teman baru mereka. Di sisi lain, Varen mematung di tempat, menatap ngeri bekas luka tembakan di pelipis Hanxel. Reaksi sama sama terjadi pada Shuura yang bergetar hebat, tubuhnya menggigil dan berkeringat dingin. Pandangan mata tampak terpokus menatap darah segar yang mengotori seragam tahanan Amru. Menyadari kegelisahan si pirang, Cakra menggenggam tangan kanan Shuura yang terkepal kuat. "Tenanglah ... Aku berjanji semua akan baik-baik saja." Shuura tersentak, menoleh ke arah sahabatnya. "Tapi itu ____" "Tidak masalah. Aku menjagamu," sela Cakra. Keduanya saling bertukar pandangan selama beberapa detik. Sebelum akhirnya Shuura mengangguk pelan yang dibalas senyum tipis oleh Cakra. Pria be
"Aku tanya sekali lagi! Siapa kalian?!"Pria berambut merah membentak kasar. Posisi tubuhnya siaga dengan menodongkan moncong revolver ke arah Fattah dan Amru yang mengangkat kedua tangan ke atas, isyarat tanda menyerah.Di belakang si pemilik senjata api, pria lain bertubuh gemuk memperhatikan seragam sel tahanan yang dikenakan kelompok Cakra. Mirip seperti pakaian yang mereka kenakan, bedanya terletak pada warna kain. Milik Cakra dan Shuura berwarna merah, milik kelompok Fattah berwarna hitam dan miliknya berwarna biru tua. Lantas, ia menyadari sesuatu."Tahan dulu, Varen. Sepertinya mereka sekutu kita," ujar Hanxel Diandro menghalangi niatan temannya untuk menembak musuh."Huh? Benarkah?" tanya Varen sangsi."Iya, keliatannya mereka Narapidana dari kantor lain."Jawaban itu cukup untuk membuat Varen Xaperius tenang. Ia menurunkan senjata apinya, membuat Fattah dan Amru mengembuskan napas lega. Di sisi lain, Cakra dan Shuura saling bertuka
Indonesia, Januari 2032Tik! Tik! Tik!Denting jarum jam berdetak menandakan waktu terus berlalu. Dua orang pria mengendap-endap mencari jalan keluar. Berpindah tempat dari satu ruangan ke ruangan lainnya."Oh, Tuhan ... ini Apartement apa Labirin?!" rengek Shuura pada mantan teman satu sel tahanannya, Cakra Axellen."Berisik, Shui! Menggerutu tidak akan menyelesaikan apa pun."Cakra menegur dengan tatapan mata terpokus menjelajahi sekitar. Hanya ada ruang kosong dan perabotan seadanya. Bahkan sendari awal berkeliling, tidak ada satu pun kaca jendela."Dimengerti! Tapi kita sudah berada di sini lebih dari satu jam. Apa menurutmu mereka mempermainkan kita?" tanya Shuura mengeluh. Tidak heran ketika bangun dari tidur, ia ditempatkan di ruangan asing."Entah, aku tidak tahu," jawab Cakra. "Tapi isi perjanjiannya jelas bukan seperti itu."Pria berparas tampan tersebut membuka pintu berwarna hitam, berharap tidak lagi berakhir di ru