Badanku sakit semua. Sepanjang malam hanya berguling gelisah di ranjang. Aku lupa jam berapa akhirnya bisa terlelap. Bunyi alarm membuatku bisa bangun tepat waktu.
Bram tidak pernah menghubungiku lagi. Entah sibuk atau sebenarnya memang karakternya seperti ini kalau sedang marah. Aku tidak suka marah dalam kondisi jarak terbentang karena banyak prasangka yang akan memperburuk keadaan.
Aku bersandar pada headboard lalu meraih ponsel dari bawah bantal. Baterai ponsel sekarat. Sementara aku mandi dan bersiap-siap, lebih baik baterai ponsel diisi ulang saja.
Aku berjalan menuju kamar mandi. Berendam dengan air hangat adalah hal yang bisa aku lakukan untuk mengurangi rasa sakit di tubuh karena kurang tidur.
Kuteteskan bath oil beraroma cedarwood dalam air hangat. Di Bali nanti aku akan melakukan ritual perawatan tubuh lengkap untuk mempercantik diri sebelum be
Bali memang punya pesona yang membekas di hati wisatawan lokal atau mancanegara. Euforia di hati begitu meledak-ledak. Entah karena dorongan rinduku dan pernikahan Zanna sudah berhasil terjadi.Harusnya Bram mengetahui kalau aku sudah sampai di Bali saat ini. Namun, aku sengaja tidak memberi kabar apa-apa sejak kami terakhir kali bertengkar.Aku dan dia butuh ruang untuk menjernihkan pikiran agar tak terbawa suasana emosi. Tidak enak berbincang via ponsel ketika terjadi selisih paham.Setelah keluar dari bandara, sudah ada jemputan gratis dari pihak spa. Hiruk pikuk manusia yang ingin menghabiskan waktu di Pulau Dewata ini adalah pemandangan yang sudah biasa. Sihir keindahan alam, pantai, membuat candu untuk datang kembali.Aku ingin perawatan tubuh lengkap sebelum bertemu kekasih. Saat melihatku tampil cantik hatinya pasti akan mudah luluh. Aku memilih spa di daerah Seminyak.
Aku membuka mata dan menatap wajah Bram yang masih terlelap. Bagaimana bisa aku jatuh cinta sedalam ini hanya pada seorang laki-laki?"Honey, bangun." Aku menggigit telinga Bram.Bram mengerang kesakitan sementara aku tertawa kecil."Aku masih capek, Babe. Masih pengen bobok peluk kamu sampe siang.""Tapi aku lapar, Honey. Energi habis karena kamu. Ayo, sarapan.""Peluk dulu sini.""Ogah. Nanti pasti kamu minta jatah lagi."Bram tertawa. "Ketauan modusku, ya?"Aku langsung turun dari ranjang menuju kamar mandi. "Jangan ngintip, ya!""Hei, aku sudah hafal bentuk, ukuran dan rasanya.""Dasar, Mas Bewok Mesum!" Aku menjulurkan lidah mengejeknya.Saat aku selesai mandi, Bram masih dalam kondisi tidur. Sejak aku tiba, kami sama sek
"Mana sepedanya, Hon?" Aku celingukan. "Di garasi, Babe. Yuk." Bram kembali menggandeng lenganku. Butir keringat yang mengalir dari dahi membuatnya terlihat semakin seksi. Ih, kenapa otakku sudah terkontaminasi sepagi ini? Ada tiga sepeda terparkir di garasi. Sepeda lipat berwarna pink mengusik pikiran. "Hon, itu sepeda Nadhira?" "Iya. Fasilitas kantor dari aku. Buat olahraga pas hari libur." Bram santai melangkah ke arah sepeda gunung berwarna biru. "Aku naik sepeda mana?" "Ah, aku lupa, Babe. Sebentar, ya." Bram masuk ke pintu samping garasi. Aku menunggu sembari mengamati isi garasi. Tertata rapi dan bersih. Dari jendela yang terbuka, semerbak bunga yang berjajar bisa tercium sampai tempatku berdiri. Pengurus vila ini benar-benar rapi dan telaten. "Babe, ini sepeda untuk kamu." Bram mendorong sepeda lipat berwarna biru. Aku langsung mengamati sepeda yang dituntun oleh Bram. Persis sama seperti milik N
Dokter sudah membebat kaki yang terkilir sekaligus meresepkan obat pereda nyeri. Setelah berbincang sejenak, dokter berpamitan dan diantar keluar bersama Bram dan Baga. Aku meraih ponsel yang ada di nakas untuk mengaktifkannya. Bertubi-tubi pesan masuk, membuatku kelabakan. Aku menunggu sampai bunyi notifikasi berhenti. Setelah ponsel berhenti membunyikan notifikasi, aku menekan tombol nomor Papi. Satu kali panggilan tak terjawab. "Apa Papi sedang di luar kota?" Aku mengetukkan jari ke ponsel. Aku mencoba kembali. Nada sambung sudah terdengar. "Ya, Sweetheart. Maaf, tadi Papi gak denger ada telepon masuk." "Papi, jadwal Aline pulang kayaknya bakalan lebih lama." "Kenapa? Kamu ... baik-baik aja, kan?" "Aline tadi jatuh, Pi. Terperosok ke pinggir sawah. Naik sepedanya gak fokus." "Ya ampun. Trus gimana? Apanya yang sakit?" "Keseleo dikit, Pi. Udah dibebat kakinya sama dokter barusan. Tapi Aline belum bisa balik se
Bram tampak fokus pada layar laptop. Aku hanya bisa memandangi wajah seriusnya. Kami tidak jadi pergi kencan ke pantai karena cedera yang aku alami.Aku masih belum ingin mengaktifkan ponsel. Kerjaan pasti menumpuk, belum lagi omelan tajam dari Mami. Aku memang sengaja menghindar dari semua akses. Kalau Papi mencari, beliau sudah menyimpan nomor ponsel Bram."Honey." Aku merengek.Bram menoleh. "Kenapa? Denyut lagi kakinya?""Gak. Kan tadi udah minum obat pereda nyeri."Bram menggeser posisi duduk. "Terus?""Kamu sibuk banget. Aku jadi berasa dicuekin."Bram menutup laptop, bergeser lebih dekat lalu memelukku. "Rencananya, besok aku pulang cepat. Jam makan siang aku udah sampai di sini, biar bisa ngurusin kamu. Jadi aku cek ulang dokumen sekarang.""Aku pengen ke pantai. Kencan sama kamu." Aku menengadah.Bram langsung mengecup bibirku. "Kaki kamu masih sakit, Cantik. Tunggu sembuh dulu, oke?"Aku mendengkus. Mera
Aku bosan berbaring di ranjang. Pelan-pelan aku mencoba turun. Tertatih-tatih berjalan ketika aku mencoba keluar dari kamar.Villa yang disewa oleh Bram ini lumayan luas. Ada empat kamar sebenarnya, tetapi yang terpakai hanya tiga. Baga adalah utusan dari pemilik untuk menjaga sekaligus membersihkan villa. Namun Baga tidak menetap karena rumahnya hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari villa ini."Bli," panggilku ramah."Loh, Mbak. Kok malah jalan-jalan? Nanti kakinya malah gak sembuh." Baga meletakkan gunting rumput."Saya bosan di kamar terus, Bli. Memang, ini rasanya capek banget. Padahal baru jalan dari kamar ke depan doang." Aku tertawa."Karena kakinya Mbak masih nyeri itu. Kalau dipaksa, malah bahaya, Mbak." Baga tampak cemas."Saya nunggu di sini aja, Bli. Pemandangan dan wangi bunganya jauh lebih baik daripada
Satu minggu penuh cinta sudah dilewati. Entah kenapa rasanya waktu berlalu begitu cepat. Aku masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum kembali ke Jakarta."Hon, kaki aku udah sembuh. Kamu gak pengen ngajak aku ke mana, gitu?" Aku merapatkan tubuh pada Bram yang sedang fokus pada ponsel."Boleh. Mau ke mana? Pantai? Belanja?" Bram langsung meletakkan ponsel.Satu hal yang aku suka dari lelaki ini. Setiap bersamaku, jika bukan urusan penting, tidak akan ada ponsel yang jadi pihak ketiga. Apalagi ketika akhir pekan, Bram benar-benar tidak menyentuh ponsel."Aku hanya ingin menikmati kebersamaan kita, Beib. Akhir pekan itu waktunya istirahat. Quality time dengan pacar, keluarga, atau malah diri sendiri."Itu jawaban ketika aku menanyakan kenapa dia meletakkan ponsel begitu saja di atas nakas. Berbeda denganku yang seperti kecanduan gadget. Makanya sejak melarikan diri
Bram memilih privat villa yang berada tak jauh dari Pantai Berawa, sekitar satu setengah kilometer saja. Aku sengaja meminta kamar untuk bulan madu.Layaknya fasilitas villa, ada peralatan masak yang pastinya tidak akan terpakai karena bakat minusku di dapur. Ada layanan televisi kabel. Hal yang paling aku sukai adalah letak kamar mandi yang memiliki pintu kaca, jika dibuka akan langsung menuju ke bathtub juga kolam renang privat.Aku bisa berendam di bathtub sementara Bram berenang. Aku sudah berniat untuk berganti pakaian renang, Bram malah langsung mengempaskan badan ke ranjang.“Kenapa? Capek?” Aku duduk di tepi ranjang.“Ngantuk. Boleh tidur sebentar?” Bram membentangkan tangannya.“Ini mau tidur atau mau peluk?”“Dua-duanya. Kamu ‘kan guling cantik kesayangan aku. Sini,” panggil Bram.Aku pura-pura jengkel dengan menjulurkan lidah. “Jangan modus, ya!”