Kartika memandang wajah Kirana dengan penuh haru. "Kau... Cantika anakku?" Ucapnya sambil menahan isak. Kartika mengelus lembut pipi Kirana, sentuhan itu benar mengingatkannya akan putri Cantika yang sudah tiada. “Aku anak yang dilindungi Ibu, nenek melindungiku dari mati dan Dyah.”
Degggg!
Jantung Kartika seakan berhenti bersetak sejenak. Bagaimana bocah yang ya perkirakan berusia satu setengah tahun kurang, itu bisa berbicara dengan sangat lancar.
"Jangan menangis Bu ...." Kirana mengusap air mata yang keluar dari dua netra Kartika. "Aku senang bisa beltemu Ibu lagi." Kirana tersenyum. Saat Rasya memanggil Kartika, seketika Kirana kembali bertingkah seperti bocah biasa. Rasya baru saja menut
Anis dan Hendra akhirnya memutuskan untuk berangkat kembali ke rumah Lukman. "Uti, ikut!" Cakra mulai merengek. Melihat Cakra yang sudah mengulurkan tangan, Rasya segera bertindak menggendong bocah tiga tahun itu. "Kamu di rumah saja, main sama ayah.""Gak mau, mau ikut Uti." Cakra mulai merengek. "Sudahlah biarkan saja dia ikut." Anis yang tidak tega bersiap hendak mengambil alih Cakra. Namun Rasya lebih sigap menepisnya. "Biar saja, Bu. Justru kalau Cakra ikut aku malah khawatir."Anis mengangguk mengerti. Ia segera bergegas masuk ke mobil yang akan membawanya ke desa Plaosan, tempat tinggal Lukman. ---Mobil yang dikemudikan Hendra menyusuri jalan berliku menuju desa Sidomulyo. Sawah-sawah hijau membentang di kiri-kanan, diselingi pohon kelapa yang melambai pelan. Udara segar menyapa, membuat hati serasa nyaman."Kok lewat jalan sini, Yah?" pertanyaan Anis memecah keheningan sepanjang perjalanan. "Aku tadi cek jalan lewat GPS, ternyata ada jalan yang dekat menuju desa Lukman." Ta
"Gak usah wedi, Nduk." Sosok itu terus melambaikan tangan ke arahnya, membuat Anis ingin menangis."Saya Mbah Sur, yang punya rumah ini." Pria itu menunjuk ke arah rumah Lukman. "Saya ini bapaknya Lukman. Seharusnya saya bisa pergi dengan tenang, tapi Dewi malah mengambil susuk milikku dan menanamkannya dalam tubuhnya."Anis tercekat, tapi ia mengusahakan langkahnya untuk mendekat."Ojo wedi. Saya sudah tobat di detik akhir sebelum mati," Mbah Sur mencoba meyakinkan Anis. "Saya butuh bantuanmu, supaya bisa mengikuti Lilis. Mbah berharap setelah kamu tahu jalan ceritanya, kamu bisa membantu melepas susuk dari Dewi. Mbah ingin pergi dengan tenang."Anis mengangguk. "Ba-gai-mana sa-ya bisa membantu?" tanyanya dengan terbata."Kau cukup ikuti. Setelah kembali ke alam sadarmu, cari saja keberadaan Dewi. Aku juga sudah menitipkan sesuatu kepadamu, bawa ke orang yang mengerti.""Aku tidak paham.""Lakukan saja, nanti kau juga aka
Lilis berjalan di dapur ia mencoba menahan perasaan dengan melakukan aktifitas memasak. Baru bersiap untuk menyiapkan bahan, Lilis tiba-tiba mendengar suara teriakan Dewi dari dalam kamar. Ia langsung berbalik dan terhenyak mendapati Dewi sudah berdiri di tengah pintu. "Mbak Lilis ini bagaimana sih, dipanggil gak menyahut," Dewi menggerutu, "perutku sakit aku biasanya mengompres perutku dengan air hangat."Tanpa menjawab, Lilis segera merebus air permintaan Dewi. "Oh, iya, Mbak. Saya ingin memastikan kembali mengenai ucapan Mbak Lilis tadi di rumah sakit." Dewi menghela nafas dalam, lalu melanjutkan ucapannya, "Mbak kok tega sih ngomong begitu. Saya ini hamil lho, anak mas Lukman. Tega sekali, Mbak bilang kalau mau mengambil bayi ini dan meminta Mas Lukman untuk menceraikan saya." Nada suara Dewi terdengar bergetar, seakan menahan diri untuk tidak menangis. Melihat itu hati Lilis trenyuh, dia merasa sudah keterlaluan. "Maaf, Mbak. Tadi saya hanya emosi saat mengetahui hubungan Mbak
"Hahahahah!" Tawa Dewi bergema di ruangan. Ia menunjuk Lilis dengan tatapan mengejak. "Mulai hari ini kau jadi kembang Mayang!" Dewi menyeret tubuh Lilis yang separuh mati, menjauh dari pintu kamarnya.Terlihat Lilis yang kepayahan, berusaha meraih gawai milik Dewi, tapi Dewi malah menendangnya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Lilis berusaha merangkak menuju ke ruang tamu. Akan tetapi lagi-lagi, Dewi menendangnya.Tubuh Lilis yang lemah, berusaha merangkak perlahan di atas lantai dingin, kedua tangannya berusaha menarik tubuhnya ke depan meski gemetar hebat. Nafasnya berat, terdengar seperti erangan kesakitan."Mau ke mana, kembang Mayang?" Ucapan Dewi terdengar menyakitkan. Lilis menangis. Sementara Anis mencoba memejamkan mata, melihat pemandangan di hadapannya."Aku tidak kuat," lirih Anis, "andai aku kasat mata, aku akan menolong Mbak Lilis." Anis mulai menangis."Kau hanya melihat bayangan ini sekali, coba bayangka
"Kenapa Mbak Lilis tiba-tiba bisa jadi seperti itu?" tanya salah seorang tetangga. Dengan menangis, Dewi menjelaskan kalau Lilis adalah seorang penganut ilmu hitam. "Aku sendiri tidak menyangka, rupanya Mbak Lilis memiliki susuk. Entah dari mana dia bisa memilikinya." Suara Dewi terdengar sendu. Membuat beberapa orang mulai tergiring dengan opininya, tapi sebagian lagi seakan tidak percaya."Buktinya apa?" Ucapan salah seorang warga membuat Dewi mencebik. "Buktinya Mbak Lilis jadi kembang Mayang." Dewi menunjuk ke arah Lilis. Air mata mulai keluar, terlihat Lilis menangis. Sementara itu bayangan di belakang punggung Dewi semakin jelas terlihat. "Itu saja tidak cukup, siapa tahu ada orang yang sengaja mengirim 'tenun' kepadanya. Setahuku Lilis adalah wanita baik." "Kalau kau tidak percaya itu urusanmu, Mbah." Dewi mencelos membalas ucapan seorang wanita tua."Aku benar-benar tak menyangka," lirih Bu Kades, fokusnya lalu tertuju pada rantang berkat yang ada di meja. "Apa tadi Suci ke
"Tapi kenapa?" tanya Hendra suaranya hampir gak kalah tinggi, membuat Rasya mengelus pundak sang ayah untuk menenangkannya. "Aku akan menjaga kalian dari sini, jangan khawatir. Cari saja wanita yang bernama Dewi itu." Mbah Kanjim mulai merendahkan suaranya. "Ini kasus yang berbeda lagi dengan dua kasus sebelumnya. Dyah dan Purwati menjadi gaib karena dendam, meski penyebabnya juga dua hal yang berbeda. Kalau kasus Lilis dan Dewi, bukan hanya sekedar dendam. Dia memiliki peliharaan sosok gaib."Malam semakin pekat di luar rumah Mbah Kanjim. Angin dingin bertiup, membuat dedaunan pohon beringin tua di halaman bergesekan dan menimbulkan suara aneh seperti bisikan. Lampu di teras rumah berkedip-kedip, seolah-olah nyaris padam. Suara burung hantu tiba-tiba terdengar dari kejauhan, diikuti bunyi langkah samar yang seolah mengitari rumah.Suasana mendadak sunyi. Mbah Kanjim menelan kata, ia menatap Hendra dan Rasya dengan raut wajah serius. "Apa ada yang mengikuti kalian?" tanyanya. Hendra m
"Cucuku harusnya mirip akulah, mana mungkin mirip kamu." Raut wajah Hendra berubah tidak suka, "lagian lho ya, harusnya si Udin itu cepat menikah biar bisa buat cucu yang mirip kamu."Mbah Kanjim hanya tersenyum, tidak menanggapi. Sementara Rasya, terlihat fokus menyetir, tapi pikirannya menerawang mengingat ucapan Mbah Kanjim semalam. Sementara mobil terus melaju pelan di jalan sempit, dikelilingi pohon-pohon besar yang daunnya rimbun. Rasya tampak larut dalam lamunannya, tatapan kosong mengarah ke depan. Hatinya penuh tanda tanya—apa benar sosok pria tua Mbah Kanjim akan menjadi anaknya? Rasya Memnag percaya mengenai hal gaib, tapi untuk reinkarnasi dia tidak terlalu percaya itu. "Rasya! Fokus!" tegur Hendra, suaranya memecah keheningan, membuat Rasya tersentak dari lamunan. "Itu pos satpamnya. Kau hampir terlewat!"Rasya menginjak rem mendadak, membuat mobil sedikit berguncang. Ia menarik napas dalam, berusaha mengembalikan konsentrasi."Maaf, aku tadi melamun," ucap Rasya, menco
"Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata
Anis merinding. Ia tidak merasakan apa pun, tapi muncul dengan serius Ayu membuatnya mulai merasa tidak nyaman.Hendra melirik Anis, mencoba mencari tanda-tanda aneh. Sementara itu, Ira yang sejak tadi diam ikut bicara, "Ayu, jangan bicara sembarangan. Kamu memang bisa melihat sosok gaib, tapi ini bukan saat yang tepat."Ayu menggeleng kuat, "Tidak, Ra. Sosok itu seperti menempel padanya. Aku takut, nanti dia akan menguasai tubuh Uti. Ini tidak boleh, tidak boleh....!"Ketegangan makin terasa. Rasya yang masih duduk di sampingnya sambil tertawa, sementara Kartika mencengkeram tangan suaminya dengan cemas.Anis menggigit bibirnya, dengan gemetar ia mulai jika suara, "apa yang kau lihat adalah sosok hantu perempuan?""Bukan. Dia arwah seorang pria," ujar Ayu. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Siapa kamu? Kenapa mengikuti Uti Anis?"Udara di dalam ruangan tiba-tiba terasa berat. Hening. Tak ada yang menjawab, tapi ekspresi
Ira dan rekan perawatnya saling pandang. Keduanya tidak menyangka kalau Kartika juga seperti mereka. "Iya, Mbak," jawab Ira, setelah melakukan tugasnya, ia beranjak mendekat ke arah Kartika, lalu berbisik, "Mbak Kartika pura-pura gak dengar saja ya, sama jangan buka pintu kalau ada yang mengetuk sambil bilang kulo nuwun."Kartika mengernyit mendengar ucapan aneh Ira. "Jangan buka pintu, ada yang bilang ‘kulo nuwun’?" tanyanya, sedikit bingung.Ira hanya tersenyum tipis. "Iya, Mbak. Apalagi kalau sudah lewat jam sepuluh malam. Pokoknya jangan.""Memangnya kenapa?" Kartika masih belum mengerti, tetapi perasaan was-was merayapi hatinya.Ira tidak langsung menjawab, hanya melirik jam dinding sejenak sebelum akhirnya berkata, "Pokoknya nurut aja, Mbak. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku ya."Sebelum Kartika sempat bertanya lebih jauh, Ira dan rekannya sudah melangkah keluar dari kamar, meninggalkannya dengan sejuta pertanyaan.Kartika menarik nafas dalam, menatap Rasya yang masih belum sada
Suasana di lokasi kecelakaan begitu riuh dan panik. Beberapa warga sekitar yang mendengar benturan keras segera berlari ke arah mobil Rasya yang ringsek di pinggir jalan. Kaca depan pecah, pintu penyok, dan darah terlihat menodai kemudi.“Cepat, bantu dia keluar!” teriak seseorang.Beberapa pria dengan sigap menarik pintu mobil yang sudah sulit dibuka. Nafas Rasya lemah, kepalanya bersandar di jok dengan luka di pelipis yang terus mengeluarkan darah.Sementara itu, sirene mobil polisi terdengar mendekat. Seorang petugas segera turun dan mengamati situasi. Dia berjalan mendekat, melihat kondisi Rasya, lalu segera menghubungi ambulans.Di sela-sela kepanikan, seorang polisi lainnya melihat sesuatu di lantai mobil. Sebuah ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala. Dia mengambilnya dan segera mengamankannya ke dalam kantongnya.“Ambulans datang! Cepat angkat dia!” teriak seorang pria yang berdiri di pinggir jalan.Beberapa orang dengan hati-hati mengangkat Rasya ke atas tandu. Dara
"Anis tolong saya ... saya sudah tidak kuat lagi ... tolong, demit peliharaan Dewi menyiksaku."Sosok Lilis mengulurkan tangan, sementara kepalanya menengadah ke atas."Aku tersiksa, Anis ...." Sosok Lilis mulai menampakan wajahnya yang menyeramkan. Kepalanya patah ke kanan dan dia berjalan dengan menyeret satu kakinya. "Anis ... Anis ... Bukankah suamimu adalah teman baik suamiku?" Sosok Lilis terus berjalan mendekat membuat Anis semakin ketakutan. "Mbak, Mas Hendra sudah berangkat ke rumah orang yang bisa menolongmu." Ucapan Anis berhasil membuat sosok Lilis menghentikan langkahnya. "Benarkah?" Lilis memutar kepalanya menghadap ke arah Anis. Kali ini wajahnya hanya pucat, ia tak terlihat semenyeramkan sebelumnya. "Terimakasih Anis, terimakasih." Tubuh Lilis perlahan memudar meninggalkan asap pekat.Anis akhirnya bisa menghela nafas lega. Sampai ia merasakan seseorang seperti menepuk pundaknya. "Bu ... bangun ... kenapa Ibu tidur di sofa begini?" Sayup-sayup Anis mulai membuka mata
"Cucuku harusnya mirip akulah, mana mungkin mirip kamu." Raut wajah Hendra berubah tidak suka, "lagian lho ya, harusnya si Udin itu cepat menikah biar bisa buat cucu yang mirip kamu."Mbah Kanjim hanya tersenyum, tidak menanggapi. Sementara Rasya, terlihat fokus menyetir, tapi pikirannya menerawang mengingat ucapan Mbah Kanjim semalam. Sementara mobil terus melaju pelan di jalan sempit, dikelilingi pohon-pohon besar yang daunnya rimbun. Rasya tampak larut dalam lamunannya, tatapan kosong mengarah ke depan. Hatinya penuh tanda tanya—apa benar sosok pria tua Mbah Kanjim akan menjadi anaknya? Rasya Memnag percaya mengenai hal gaib, tapi untuk reinkarnasi dia tidak terlalu percaya itu. "Rasya! Fokus!" tegur Hendra, suaranya memecah keheningan, membuat Rasya tersentak dari lamunan. "Itu pos satpamnya. Kau hampir terlewat!"Rasya menginjak rem mendadak, membuat mobil sedikit berguncang. Ia menarik napas dalam, berusaha mengembalikan konsentrasi."Maaf, aku tadi melamun," ucap Rasya, menco
"Tapi kenapa?" tanya Hendra suaranya hampir gak kalah tinggi, membuat Rasya mengelus pundak sang ayah untuk menenangkannya. "Aku akan menjaga kalian dari sini, jangan khawatir. Cari saja wanita yang bernama Dewi itu." Mbah Kanjim mulai merendahkan suaranya. "Ini kasus yang berbeda lagi dengan dua kasus sebelumnya. Dyah dan Purwati menjadi gaib karena dendam, meski penyebabnya juga dua hal yang berbeda. Kalau kasus Lilis dan Dewi, bukan hanya sekedar dendam. Dia memiliki peliharaan sosok gaib."Malam semakin pekat di luar rumah Mbah Kanjim. Angin dingin bertiup, membuat dedaunan pohon beringin tua di halaman bergesekan dan menimbulkan suara aneh seperti bisikan. Lampu di teras rumah berkedip-kedip, seolah-olah nyaris padam. Suara burung hantu tiba-tiba terdengar dari kejauhan, diikuti bunyi langkah samar yang seolah mengitari rumah.Suasana mendadak sunyi. Mbah Kanjim menelan kata, ia menatap Hendra dan Rasya dengan raut wajah serius. "Apa ada yang mengikuti kalian?" tanyanya. Hendra m
"Kenapa Mbak Lilis tiba-tiba bisa jadi seperti itu?" tanya salah seorang tetangga. Dengan menangis, Dewi menjelaskan kalau Lilis adalah seorang penganut ilmu hitam. "Aku sendiri tidak menyangka, rupanya Mbak Lilis memiliki susuk. Entah dari mana dia bisa memilikinya." Suara Dewi terdengar sendu. Membuat beberapa orang mulai tergiring dengan opininya, tapi sebagian lagi seakan tidak percaya."Buktinya apa?" Ucapan salah seorang warga membuat Dewi mencebik. "Buktinya Mbak Lilis jadi kembang Mayang." Dewi menunjuk ke arah Lilis. Air mata mulai keluar, terlihat Lilis menangis. Sementara itu bayangan di belakang punggung Dewi semakin jelas terlihat. "Itu saja tidak cukup, siapa tahu ada orang yang sengaja mengirim 'tenun' kepadanya. Setahuku Lilis adalah wanita baik." "Kalau kau tidak percaya itu urusanmu, Mbah." Dewi mencelos membalas ucapan seorang wanita tua."Aku benar-benar tak menyangka," lirih Bu Kades, fokusnya lalu tertuju pada rantang berkat yang ada di meja. "Apa tadi Suci ke
"Hahahahah!" Tawa Dewi bergema di ruangan. Ia menunjuk Lilis dengan tatapan mengejak. "Mulai hari ini kau jadi kembang Mayang!" Dewi menyeret tubuh Lilis yang separuh mati, menjauh dari pintu kamarnya.Terlihat Lilis yang kepayahan, berusaha meraih gawai milik Dewi, tapi Dewi malah menendangnya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Lilis berusaha merangkak menuju ke ruang tamu. Akan tetapi lagi-lagi, Dewi menendangnya.Tubuh Lilis yang lemah, berusaha merangkak perlahan di atas lantai dingin, kedua tangannya berusaha menarik tubuhnya ke depan meski gemetar hebat. Nafasnya berat, terdengar seperti erangan kesakitan."Mau ke mana, kembang Mayang?" Ucapan Dewi terdengar menyakitkan. Lilis menangis. Sementara Anis mencoba memejamkan mata, melihat pemandangan di hadapannya."Aku tidak kuat," lirih Anis, "andai aku kasat mata, aku akan menolong Mbak Lilis." Anis mulai menangis."Kau hanya melihat bayangan ini sekali, coba bayangka
Lilis berjalan di dapur ia mencoba menahan perasaan dengan melakukan aktifitas memasak. Baru bersiap untuk menyiapkan bahan, Lilis tiba-tiba mendengar suara teriakan Dewi dari dalam kamar. Ia langsung berbalik dan terhenyak mendapati Dewi sudah berdiri di tengah pintu. "Mbak Lilis ini bagaimana sih, dipanggil gak menyahut," Dewi menggerutu, "perutku sakit aku biasanya mengompres perutku dengan air hangat."Tanpa menjawab, Lilis segera merebus air permintaan Dewi. "Oh, iya, Mbak. Saya ingin memastikan kembali mengenai ucapan Mbak Lilis tadi di rumah sakit." Dewi menghela nafas dalam, lalu melanjutkan ucapannya, "Mbak kok tega sih ngomong begitu. Saya ini hamil lho, anak mas Lukman. Tega sekali, Mbak bilang kalau mau mengambil bayi ini dan meminta Mas Lukman untuk menceraikan saya." Nada suara Dewi terdengar bergetar, seakan menahan diri untuk tidak menangis. Melihat itu hati Lilis trenyuh, dia merasa sudah keterlaluan. "Maaf, Mbak. Tadi saya hanya emosi saat mengetahui hubungan Mbak