Melihat sikap Klinton, mata Herman membelalak. "Klinton, apa kamu mencoba memberontak?"Klinton masih terus bersikeras, "Ya! Aku nggak akan membiarkan Papa melakukan rencana ini. Aku melarang Papa menyakiti Briella!""Pemberontak!" Suara kemarahan Herman terdengar nyaring. Dia menggebrak meja, membuka pintu dan berteriak keluar, "Pelayan, cepat ke mari. Bawa beberapa orang untuk memasukkan pemberontak ini ke dalam aula biar dia merenungkan kesalahannya!"Mendengar hal ini, Klinton berniat untuk pergi. Namun, beberapa pengawal keluarga sudah menerobos masuk dan menghadang Klinton di dalam ruang kerja.Herman memerintahkan, "Ikat dia dan terus awasi. Jangan biarkan dia keluar aula tanpa perintahku!"Klinton diikat dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Dia ditarik dan didorong oleh beberapa orang menuju aula di halaman belakang.Dia menoleh ke arah Herman, yang mengikuti di belakang dengan tangan di belakang punggung. Lalu, Klinton berteriak kepada Herman dengan wajah dingin, "Lepask
Begitu Briella menjamu para tamu, dia menyempatkan diri untuk berfoto bersama mereka dan tersenyum penuh percaya diri.Publik selalu berasumsi bahwa dia berada di penjara karena kasus pembunuhan Rieta dan terancam hukuman seumur hidup atau hukuman mati.Namun, pesta malam ini telah meredakan rumor tak berdasar itu.Briella menghela napas lega dalam hati. Dia telah berjuang dengan baik, yang membuatnya sangat bahagia.Dia mengambil tempat duduknya dan berniat untuk menyantap hidangan yang ada. Namun, tiba-tiba pintu ruang perjamuan dibuka paksa dari luar dan beberapa petugas polisi berseragam berjalan ke arah Briella."Jangan bergerak!"Beberapa dari mereka mengepung Briella, membuat Briella menatap mereka dengan terkejut.Dia bertanya dengan nada dingin kepada salah satu polisi, "Kesalahan apa yang aku lakukan?""Kamu tahu apa kesalahanmu. Ikut dengan kami.""Nggak akan!" Tatapan Briella dengan tenang melirik orang-orang yang seperti perampok ini. "Atas dasar apa kalian menangkapku?""
Valerio dan pemimpin dari polisi itu berjalan keluar dari aula, sementara polisi lain membubarkan diri.Moonita melihat punggung mereka yang menjauh, lalu menenangkan para tamu, "Hadirin sekalian, ada masalah kecil yang terjadi. Mari kita lanjutkan saja acaranya."Briella berdiri diam dan melihat sekeliling. Memikirkan bagaimana mereka membelanya barusan, dia menatap mereka semua dengan tatapan penuh rasa terima kasih."Briella, apa kamu nggak enak badan? Wajahmu pucat."Moonita langsung menarik Briella untuk duduk. "Apa kamu ketakutan?"Briella menyentuh pipinya yang agak panas, lalu menjawab, "Nggak apa-apa. Mungkin aku kelelahan. Aku mau pulang saja dan istirahat.""Kalau nggak kuat jangan dipaksakan. Kamu pulang saja dan istirahat di rumah." Moonita masih gelisah. "Lagipula, ada Valerio di sini. Dia akan membantumu menghadapi mereka, jangan takut."Briella tidak tahu apakah dia ketakutan atau tidak, tetapi sepanjang hari ini dia merasa sangat lemah. Bisa bertahan sampai perjamuan i
Valerio memukul pergelangan tangan pria itu dengan tangan belakang dan meremasnya dengan keras hingga tulangnya bergemeletuk. Pria itu meringis kesakitan memohon belas kasihan."Pak Valerio, tenanglah."Wajah Valerio menegang, lalu berseru dengan suara dingin, "Katakan yang sebenarnya. Siapa yang menyuruhmu untuk menangkapnya?""Kapten kami. Ipar kapten kami punya status dan mengatakan ada bukti dalam kasus Bu Rieta, yang mengarah kalau Nona Briella pembunuhnya."Valerio yang mendengar itu pun mengerutkan kening. "Dia dari Keluarga Samudra?""Ya, benar."Kalau begini, semuanya jadi masuk akal. Keluarga Samudra dan Keluarga Atmaja memiliki hubungan yang dalam. Hanya Herman yang bisa melakukan tindakan semacam ini.Valerio melepaskan dan mendorong polisi itu menyingkir. Dia masih memberikan kesan dingin, menyeberang jalan dan masuk ke dalam mobil."Pergi ke kediaman Keluarga Atmaja."Valerio tiba larut malam dan pria itu langsung melangkah menuju rumah. Baru sampai depan pintu, dia mende
"Papa, apa Papa juga ingin aku bercerai?""Davira, tanda tangan." Herman masih bersikap tenang. Dia bukan membujuk, tetapi memerintah, "Ada beberapa hal kemampuan Papa terbatas untuk bisa menyelesaikannya. Kamu harus membayar atas apa yang sudah kamu lakukan."Davira menjatuhkan diri ke lantai dan mematung. Dia menatap Herman, lalu beralih menatap Valerio dengan tatapan kosong."Kamu sangat kejam."Dengan raut wajah yang dingin, Valerio mengeluarkan ponsel dan menelepon pengacaranya. "Datang ke Kediaman Keluarga Atmaja dan bawa surat cerainya, biar Davira bisa tanda tangan."Setelah mengatakan itu, Valerio beranjak dan menatap Davira dengan mata tertunduk, "Aku sudah bilang, kali ini aku akan melindungimu. Tapi kalau lain kali kamu melakukan dosa besar lainnya, kamu sendiri yang harus menanggung akibatnya."Valerio langsung meninggalkan kediaman Keluarga Atmaja dengan langkah mantap setelah menjatuhkan kalimat itu. Sampai di luar rumah pun dia masih bisa mendengar tangisan memilukan Da
"Queena khawatir nggak akan bisa bertemu Tante lagi, hiks."Briella menepuk-nepuk punggung Queena, mencoba menenangkannya, "Jangan menangis. Itu tempat orang jahat ditempatkan. Tante nggak melakukan kesalahan, mana mungkin dikurung di sana?"Kepala Queena terbenam dalam pelukan Briella, terus menempel kepadanya. "Lalu siapa orang jahatnya?"Briella menjilat bibirnya dan berkata dengan ragu-ragu, "Tante nggak tahu siapa orang jahatnya. Yang Tante tahu, orang jahat pasti akan dihukum."Queena mengedipkan matanya yang berkaca-kaca dengan polos. "Tapi kata para pelayan, Nenek meninggal dan Mama yang membunuhnya."Zayden berkata dengan jengkel, "Dia bukan Mama mu. Dia memperlakukanmu dengan nggak baik dan mengajarimu hal buruk. Dia nggak pantas untuk menjadi seorang ibu."Queena mengerutkan kening dan berkata dengan cemas, "Mama Queena orang yang jahat. Apa orang lain juga akan menganggap Queena jahat?""Nggak akan." Zayden bersumpah, "Selama ada Kakak, nggak akan ada yang berani menyebutmu
Briella menutup pintu untuk menghalangi pandangan kedua anak itu. Lalu, dia mengerutkan keningnya dengan tidak senang. "Nathan, apa yang kamu lakukan di sini?"Nathan bersandar di ambang pintu, wajahnya terlihat sedikit muram. Bahkan tercium bau alkohol dari napasnya. Entah karena kematian Rieta atau karena apa, tetapi pria itu tidak terlihat baik-baik saja."Sudah malam. Kamu pergi saja."Lelaki itu mengaitkan bibirnya, berkata sambil tersenyum sangat tipis, "Kenapa? Sekarang kamu akhirnya berani mengakui kalau kamu itu Briella?"Briella mengabaikannya dan menutup pintu untuk mengusir Nathan pergi.Tangan Nathan menghalangi pintu dan melambai ke arah Zayden yang berada di dalam, "Nak, kamu masih nggak kenal sama Om?"Briella menoleh ke belakang. "Zayden, bawa adikmu ke kamar.""Zayden, kamu sama saja dengan Mama mu, tidak mau mengakuiku. Bagaimanapun, dulu aku pernah menolong kalian berdua, tapi sekarang kalian jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Briella menyadari sesuatu, lalu
Nathan melihat bahwa Briella tidak terlihat berpura-pura. "Ayo. Aku akan mengantarmu menemui ibu asuhmu. Kalian bisa bernostalgia di jalan.""Tunggu dulu. Aku mau ganti baju.""Pergilah. Pakai jaket dan sekalian bawakan jaket untuk putramu."Kata Nathan sambil menarik Zayden ke dalam rangkulannya.Briella menatap Zayden dan hatinya gelisah. Lalu, dia memerintahkan, "Aku ambil baju dulu. Nggak akan lama."Melihat Briella berbalik dan masuk ke dalam kamar, pria itu mencubit wajah Zayden dan menggodanya."Kasihan sekali, ibumu sendiri nggak mengakuimu sebagai anaknya."Zayden menoleh dengan angkuh, lalu berkata sambil mengerutkan kening, "Jangan menyentuhku!"Nathan menimpali, "Sifatmu ini sama persis seperti Valerio.""Aku anak kandungnya, tentu saja sama sepertinya.""Sepertinya kamu sangat menyukainya. Nggak boleh begitu. Apa kamu sudah lupa bagaimana dia memperlakukan Mama mu? Kamu harusnya membencinya.""Jangan mengatakan sesuatu yang nggak kamu mengerti." Zayden mencibir, "Aku punya