Dewa perang Arsa membawa Reksi menembus awan di langit. Kemudian lekaki yang menggunakan zirah besi di lapisan luar bajunya itu mendorong lawannya begitu jauh. Meski demikian, Reksi masih bisa menahan dorongan tersebut dan melayang di langit dengan sebelah kaki naik. “Kau memang anjing,” ucap Arsa sambil menggeram. Tak ia tahu bagaimana caranya mereka yang terkurung di portal iblis itu bisa lepas, padahal Arsa sudah menguncinya dengan sangat kuat. “Aku anjing yang akan menggigit kakimu hingga putus.” Usai mengucapkan itu, Reksi mengeluarkan jurus bayangan dengan cepat hingga sudah ada yang menyerang Arsa dari belakang. Julukan dewa perang terkuat bukan tanpa alasan bisa didapatkan oleh Arsa. Meski kini Reksi telah terpecah menjadi 100 bayangan, ia tetap bisa menyerangnya satu per satu dengan bantuan pedang petir yang setia menemaninya sejak dulu. Dari atas Arsa diserang dengan cambuk dari bawah ia diserang dengan pedang. Lelaki kekar itu tak lagi tahu bagaimana keadaan Adara di b
Kembali dua mata itu bertatapan lagi. Demi keamanan dan kenyamanan, Arsa mengunci pintu sangat erat agar bahkan Rogu pun tak datang mengganggu tiba-tiba. Adara bingung, ia tak tahu harus apa. Firasat bahwa dewa perang itu menginginkannya ternyata benar. “Kenapa?” tanya Adara. Napas hangatnya menerpa wajah Arsa, ada aroma jeruk yang tercium dan dihirup ole lelaki itu. “Tidak perlu alasan,” jawab dewa perang dengan penuh percaya diri. “Tapi kita berbeda. Aku berkulit hitam, kau tidak. Kau dewa makhluk abadi, tapi aku manusia biasa dan tak lama lagi mati, mungkin di tengah-tengah laut juga.” Adara mencoba beringsut dari pelukan lelaki di depannya, tapi ia tak bisa. Sejenak gadis itu lupa kalau yang ia hadapi adalah seorang dewa. “Hanya raga, hati aku yakin tetaplah sama. Sampai kapan pun kau tetaplah Haraku,” gumam dewa perang itu sambil tersenyum. Adara diam begitu juga dengan Arsa. Suara debur ombak di tengah laut tak membuat mereka berpaling. Sore pun beranjak menjadi senja yang
Tanpa sadar atau entah Adara mengikuti perasaannya sendiri, pembasmi bajak laut yang baru saja melepas kegadisannya memegang telapak tangan Arsa. Napas gadis itu sampai berasap karena perubahan cuaca ekstrem yang tiba-tiba terjadi. “Dingin, berkali-kali lipat dari biasanya,” ucap sang pemimpin sambil tubuhnya terasa terombang-ambing dibuai ombak samudra. Malam itu geladak kapal sepi, hanya tersisa anak buah Adara saja yang berjaga. “Sini, mendekat padaku.” Arsa membuka dua tangannya lebar-lebar. Terang saja mendapat tawaran demikian Adara memeluk dewa perang itu amat erat. Seakan semua kehangatan dunia diberikan secara cuma-cuma tanpa pertumpahan darah. Lelaki yang disembah oleh semua manusia harimau itu tersenyum lebar. Akhirnya sang pembasmi bajak laut berhasil Arsa luluhkan hatinya. Satu sudah selesai, tapi masih ada enam lagi yang perlu dicari di mana keberadaannya. Dan zodiak kedua kembali memanggilnya untuk yang kedua kali. “Dewa Arsa, sampai pada panggilan ketiga kau menol
Usai membunuh gurita raksasa tersebut. Arsa terbang dan menuju portal waktu yang dibuat oleh Rogu. Dari atas samudra ia melihat portal tersebut semakin lama semakin mengecil. Sang dewa perang kemudian menambah kecepatan terbangnya. Masuk tubuh Arsa dalam lorong waktu dan terombang-ambing sesaat sebelum ia bisa menyeimbangkan diri dan menuju tempat di mana Adara dibawa oleh Rogu. Ada banyak lubang waktu di dalamnya. Namun, ketika ia mendengar suara gadis pembasmi bajak laut itu, Arsa tahu ke mana ia harus pergi. “Lama sekali. Sudah tiga hari kami menunggu,” ucap Rogu ketika Arsa baru saja sampai di kamar dan entah di mana mereka berada sekarang. “Tiga hari? Aku terbang secepat mungkin dan portal waktumu hampir tertutup. Bagaimana keadaan istriku?” tanya Arsa yang langsung duduk di ranjang tempat Adara berbaring. “Dan kita ada di mana sekarang?” “Dia demam tapi keadaannya sudah membaik, mungkin tak biasa terbang sampai ke langit, dia selalu memanggil namamu. Kita ada di penginapan t
Arsa dan Adara memadu kasih di penginapan tepi pantai. Gadis bermata hijau itu bahkan mengabaikan perasaan bahwa sebentar lagi ia akan ditinggal jauh. Itu urusan nanti, sekarang adalah menikmati kebersamaan yang hanya sebentar saja. Tiga malam sudah mereka berada di sana, tak peduli walau ada utusan dari Ayah Adara yang meminta keduanya untuk pulang sejenak. Bisik-bisik tetangga mulai mengganggu ketenangan ayah sang pembasmi bajak laut. Arsa ingin memenuhi panggilan itu, sekaligus ia ingin menitipkan salah satu pecahan arwah istrinya pada orang yang tepat. Namun, Adara yang enggan untuk kembali. “Kau tak kenal ayahku bagaimana. Ada alasan kenapa aku lebih memilih pergi daripada tinggal di rumah,” ucap Adara yang merapikan rambut keritingnya. “Iya, aku tahu, sama kerasnya denganmu.” “Mungkin setelah kau pergi, aku akan berlayar lagi tak peduli walau tanpa awak kapal. Nanti aku bisa mengatasi hal-hal seperti itu.” “Kau tak ingin menetap di rumah, seperti gadis-gadis yang dipingit
Dewa Arsa ditinggalkan sendirian di tengah hutan yang gelap gulita. Suami dari Dewi Hara kemudian menghidupkan seberkas api yang berasal dari tangan kanannya. Ia melangkah mencari jalan keluar agar bisa menemukan pecahan kedua arwah sang dewi kebaikan. Di tengah perjalanan, Arsa mendengar lolongan binatang buas yang jumlahnya ia yakini tak hanya satu. Namun, lelaki dengan tubuh tegap itu tak peduli. Baginya menyempurnakan misi keduanya jauh lebih penting. Bahkan ketika derap langkah kaki binatang buas mulai terdengar mengejarnya, Arsa tak ambil pusing. Barulah ketika hewan yang berkerumun tersebut mencoba menerkamnya, ia memutar dan menendang beberapa binatang dengan mudah hingga semuanya terpental sangat jauh dan membanting pepohonan. “Kalian tak paham aku siapa!” Arsa memperjelas siapa dirinya. Tapi sia-sia sebab yang menyerangnya sekumpulan serigala kelaparan dan butuh daging segar untuk disantap. “Oh, baiklah kalau itu yang kalian mau. Aku akan buat kalian tak merasakan kelapa
Dira tersedak ketika sebuah tangan terulur memberikan dua buah pisang padanya. Buru-buru ia pasang penutup di wajah. Tabib itu takut aibnya ketahuan dan dicemooh siapa pun. “Kenapa harus ditutup?” tanya Arsa yang kehilangan kesempatan memandang wajah sang tabib. “Malu. Ada bekas luka besar.” Dira mengambil dua buah pisang itu dengan ragu dari tangan Arsa. Sebenarnya dari sekian banyak orang, sang tabiblah yang paling lapar. Hampir tujuh malam tak pernah benar-benar tidur karena mengurus borok warga. “Coba aku lihat.” Dewa perang itu nekat meraih cadar Dira. Tapi gadis itu lekas menghindar. “Terima kasih atas buahnya, Tuan. Dan apa kau berencana menetap di sini? Aku lihat dari cara berpakaian, pembawaan dan semua tentangmu, kau seperti lebih tinggi kastanya dari adipati atau mungkin raja yang tak pernah aku temui.” Arsa diam sejenak. Jelas ia akan tinggal sampai tujuannya tercapai. Tapi dia harus menjawab apa atas pertanyaan Dira. “Aku berencana tinggal, sampai orang-orang di si
Dewi Bunga—Ambaramurni sedang memperhatikan kebun kerajaan. Pesta bersama Ratu Langit telah usai. Kini ia harus menanam kembali bunga yang telah dipetik. Dewi yang sejak dahulu menyukai Arsa itu memperhatikan satu buah bunga berwarna biru.“Bunga calendula. Bunga aneh, tidak pantas ada di sini, para dewa bisa muntah-muntah kalau menghirup aromanya apalagi kalau diminum.” Sang dewi yang berparas cantik dengan kulit putih pucat itu memusnahkan bunga yang tak seharusnya tumbuh di kebun kerajaan. Mungkin salah satu kecerobohan dayang-dayangnya. Selesai mengawasi kebun kerajaan, gadis suci yang menyimpan Arsa rapat-rapat dalam hatinya itu kembali ke Aula merah muda tempatnya tinggal. Sudah beberapa kali ia coba dinikahkan oleh Ratu langit—bibinya. Namun, kalau tak dengan Arsa, Ambaramurni tak mau. Ia sudah senang Hara tewas, tak tahunya Arsa masih terus berharap. “Apa kabar Dewa Arsa, ya? Aku harap dia baik-baik saja mencari pecahan arwah istrinya. Setelah itu kembalilah, aku akan menagi
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling