Kuwara berubah menjadi seekor serigala ketika sampai di hutan tempat Lira dan Nira tinggal. Begitu juga dengan Reksi yang mengubah wujud menjadi sosok anjing ganas. Dua binatang itu mulai berlarian. Pepohonan dibuat tumbang, akar pohon terangkat, dan tanah bergetar serasa gempa bumi ketika dua binatang buas itu menghantam semua yang ada di depannya. Lalu sampailah mereka semua di hadapan mantan penjaga gerbang neraka. Nira mengeluarkan pedang dengan kobaran api neraka, dan Reksi berlarian mencari Lira yang mencoba kabur. Wanita bermata merah itu mengempas api dari pedangnya berkali-kali. Kuawara menangkis dengan tangan kekar dan berbulu hitam kasar. Terasa panas walau Kuwara berasal dari klan iblis. “Enyahlah kau dari hadapanku.” Nira turun dan menantang sang raja iblis secara langsung. Sesaat Kuwara terpana ketika cadar yang menutupi wajah Nira terlepas. Wajah yang amat dia dambakan. Dewi Hara. Tapi sayangnya yang dihadapan Kuwara kini seseorang yang mudah mengobarkan api. Nira
Dewa Rama terbang turun ke bumi memenuhi panggilan Rogu dan Dewa Arsa. Lelaki berambut putih itu menoleh ke belakang dan tak kaget ketika diikuti oleh Dewa Jayamurcita dan pasukan langit. Penjaga gerbang mempercepat terbang dan Dewa Rama sengaja melambatkan diri. “Atas perintah Mahadewi?” tanya Dewa Rama santai saja. “Benar, sebaiknya kau ikut denganku Dewa Rama.” Jayamurcita jadi serba salah. “Kalau aku tidak mau?” “Terpaksa ak—” “Melawanku? Sudah sempurna ilmumu anak muda?” Dewa Rama malas sekali berbasa-basi. “Dewa Rama, maaf tapi aku tidak punya pilihan lain.” Jayamurcita terpaksa menaikkan tombaknya. Namun, tiba-tiba saja lelaki berambut putih itu menghilang tanpa peringatan. Jayamurcita mencari tapi tidak juga ketemu. Langit begitu luas tapi tanpa penopang dan di manakah dia bersembunyi? Dewa Rama hanya geleng-geleng kepala melihat begitu patuhnya Jayamurcita pada Senandika yang ternyata palsu. Lelaki itu terus saja terbang turun dan mulai terlihat Dewa Arsa beserta romb
“Istri-istriku, akhirnya kalian datang juga.” Arsa membuka lebar tangannya dan berharap mendapat sambutan. Tapi yang ia terima hanya angin dan butiran pasir saja.“Cih, kau tahu sendiri akibatnya mengumpulkan banyak perempuan di satu tempat. Makanlan itu penjelasan, weeek!” Nira sudah habis selera mengejar Arsa. Sisanya ia serahkan pada empat arwah yang lain saja. “Nira, Nira, tolong jangan, tolong bantu aku jelaskan pada mereka semua.” Arsa menahan tangan pecahan arwah ketiga Hara. “Malas!” Mantan penjaga neraka itu berlalu meninggalkan sang dewa perang. “Matilah aku. Semoga mereka bisa menerima dengan berlapang dada, ya, mau bagaimana, bukan aku yang mau mereka terpecah belah.” Arsa menghampiri empat pecahan arwah lain yang masih membeku. Paling kaget memang dengan Samara. Dokter bedah itu membawa bayi laki-laki, padahal anak dari Lira saja sudah membuat sang dewa jadi bingung. “Aku harus menghampiri yang mana satu?” Arsa terhenti di tengah jalan. Tidak demikian dengan si pembe
“Lihat, Dewa Arsa dan Dewi Hara, mereka sudah datang. Ayo cepat kita semua bersiap menyambutnya.” Para dewa dan dewi kecil yang menghuni aula biru berkerumun ketika langkah sepasang suami istri mulai terlihat. Kediaman itu sudah mulai dibersihkan atas perintah dari Dewi Ambaramurni. Dewi bunga memang tulus mencintai Arsa meski sering mengambil tindakan konyol hingga membuat Arsa benci padanya. Bahkan bunga peony yang ditanam oleh Arsa dan Hara dulu ia rawat lagi hingga hidup dan terus berbunga. Lalu ia dapat apa? Tidak ada yang tahu. Belum tentu juga Hara mau menerimanya sebagai selir. “Tapi kenapa Dewi Hara jadi berubah? Bukankah dulu rambutnya lurus dan indah? Sekarang kenapa jadi bergelombang aneh begitu?” bisik salah satu dewi. Yang lain juga mulai memperhatikan. “Lihat juga matanya. Bukankah dulu mata Dewi Hara cokelat jernih, sekarang … ehm aku tidak salah lihat, kan?” Dewi kecil itu sampai mengucek matanya sendiri. “Tidak, kau tak salah lihat. Mata Dewi Hara sebelah kuning
“Bantu aku bersiap. Aku harus cantik dan wangi malam ini agar bisa memikat Dewa Arsa.” Perintah Dewi Ambar pada Ratri. Dewi pelayan itu diam sejenak. “Apa yang kau tunggu?” lanjut dewi bunga. “Ehm, maafkan hamba, Dewi Bunga. Sebagai selir paling rendah sebenarnya kau tidak ada bedanya dengan para pelayan. Kau tidak mendapatkan pelayan untuk mengurus kebutuhanmu. Jadi, hamba undur diri dulu. Hanya sampai di sini saja hamba melayani Dewi Bunga.” Sebelum kena marah, Ratri segera menutup pintu kamar. Semua di langit juga tahu kalau Dewi Ambar itu memang cantik tapi cepat marah. “Dasar pelayan rendahan. Hanya karena aku selir paling rendah kau pikir bisa seperti itu padaku. Baik, akan aku adukan pada bibiku sampai kau dihukum mati. Hara sekali pun tidak akan bisa menolong.” Dewi Ambar kesal, lalu ia menarik napas sejenak. “Baiklah malam ini aku akan menyambut Dewa Arsa dalam pelukanku. Aku akan mengurus diriku sendiri. Dibantu atau tidak oleh para pelayan semua juga tahu kalau aku paling
Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.
Kuwara mengubah wujudnya menjadi seekor serigala besar dan berdiri di dua kakinya. Dewa perang itu juga mengubah wujudnya menjadi seekor harimau kuning besar dengan otot yang kokoh serta taring dan kuku yang tajam. Dua binatang buas yang saling berteriak dan memamerkan kekuatan mereka. Suara auman yang terdengar membahana sampai menembus portal keamanan milik Dewa Rama. Bahkan Hara terkejut dan hampir pegangannya pada Dewi Anjas terlepas. Di bumi, suara dua dewa yang sedang bertikai itu terdengar seperti naga yang sedang bangkit dari tidurnya. Macam-macam legenda yang berkembang. Terutama ketika tubuh binatang buas itu menutupi bulan yang bersinar terang. Penduduk bumi akan mulai memukul kentungan agar mereka yang bertikai memuntahkan bulan yang ditelan. Harimau dan serigala itu saling bergelut. Mencakar, menggigit, menendang, mematahkan tulang belulang. Kuku mereka masuk ke menembus kulit, tulang serta daging. Darah bercucuran sampai menetes ke bumi hingga membuat tumbuhan yang
Hara memegang pedang api neraka di tangan kanannya. Ia bersiap menghadapi pasukan iblis yang jumlahnya begitu banyak. Sang dewi melompat dan menaikkan lalu menebas pedangnya hingga timbul gelombang energi angin yang cukup besar. Gelombang itu tajam sesuai dengan pedangnya dan membuat beberapa bagian tubuh iblis terputus. Kemudian ibu dari Dewa Kembar itu berlarian dari satu atap ke atap lainnya sembari mengayunkan senjata mengikuti gerakan para iblis yang begitu gesit. Peluh Hara bercucuran. Ia melompat lebih tinggi dan mencoba meretakkan portal iblis yang dibuat oleh Kuwara. Portal hancur sedikit demi sedikit. Cahaya hijau terang dari tubuh Dewi Anjas keluar menembus langit. “Besar juga kekuatanmu sejak kembali dari bumi.” Kuwara memperhatikan pertarungan sengit dari atas singgasananya. Di sisi kirinya Dewi Anjasmara terkulai lemah tanpa bisa melawan.Sementara itu Reksi berdiri di antara barisan para prajurit neraka yang menghadapi Arsa. Pelayan Raja Iblis itu memiliki dendam yan
Seekor rubah ekor tujuh berlarian di atas gunung es. Ekornya bergerak ke sana kemari dengan lincah hingga membuat pola yang cahayanya berpendar begitu indah. Rubah ekor tujuh itu melompat ketika seekor harimau mengejarnya. Sang dewi api sedang menguji kekuatan barunya. Benar ia telah menyatu dengan makhluk kuno yang habitatnya dulu hancur diburu para iblis. Seekor harimau besar melompat cukup tinggi, mata rubah ekor tujuh itu bersinar terang. Dengan kekuatannya ia bersusaha menghindar dari terkaman. Namun, setelah rubah melompat tetap saja harimau yang merupakan perwujudan dari dewa perang mampu menangkapnya. “Ah, sudah, sudah hentikan! Aku tak tahan geli!” Dewi Hara mengubah wujud menjadi seperti biasa ketika kuku-kuku harimau yang tajam menelisik bulu-bulu rubah yang halus. Hara tak berhenti tertawa sampai menangis ketika Arsa terus menggodanya. “Ternyata seorang Dewi Api bisa geli juga. Kupikir seluruh tubuhnya akan dilindungi perisai sampai tak bisa tersentuh.” Arsa menyudahi
Di puncak Gunung Api dan Es, Dewi Hara berdiri tegak, matanya menatap tajam ke arah cakrawala yang dipenuhi oleh kabut tebal. Angin dingin yang menusuk tulang bercampur dengan panas yang membara dari lava yang mengalir di bawahnya, menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekuatan alam yang luar biasa.Dewi Hara mengangkat pedang saktinya, pedang api neraka, yang berkilauan dengan sinar merah yang memancar dari dalamnya. Pedang itu ia dapatkan ketika menjadi sosok Nira. Sebuah senjata berbahaya yang mampu mengeringkan sungai dalam sekejap mata. Dengan setiap ayunan, Dewi Hara merasakan kekuatan yang mengalir melalui tubuhnya, mempersiapkannya untuk pertempuran yang akan datang. Perang melawan bagian dari dirinya sendiri. Di hadapan wanita berambut keriting itu, bayangan besar mulai terbentuk. Rubah Ekor Tujuh, makhluk yang merupakan gabungan dari tujuh dewi zodiak kuno, muncul dengan anggun. Setiap ekor rubah memancarkan cahaya yang berbeda, mencerminkan kekuatan dan el
Sahasika membawa bayi Arsa dan Hara ke dalam kediamannya bersama raja langit. Tak lama kemudian Wanudara pun masuk. Sahasika memerintahkan para pelayan keluar. “Apa lagi yang kau lakukan?” tanya Wanudara pada ratu langit. “Menurutmu?” tanya kembaran Senandika itu dengan ekor mata melirik lelaki yang bukan suaminya. “Kenapa harus mencari masalah lagi?” Raja langit duduk dengan dua kaki terbuka lebar. “Aku tidak mencari masalah, Kanda, aku mencari kasih sayang. Anak sekecil ini pasti tahu menyayangi siapa yang merawatnya. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari dulu.” “Sahasika …” panggil sang raja. “Berhenti memanggilku dengan nama itu. Aku bahkan tak menyukainya sama sekali.” “Sahasika, kejahatanmu sudah terlalu jauh, cepat atau lambat aku harus mengembalikan Senandika pada tempatnya.” Jujur saja Wanudara merindukan istrinya yang asli. Wanita yang penuh kelembutan tapi ketegasan, hanya saja mudah kasihan pada saudara kembarnya. “Aku tidak akan mengembalikan tempat ini pada Sen
Arsa dan Hara pergi berdua ke gunung api dan es untuk menekan gejolak panas pada tubuh sang dewi. Keduanya melintasi langit di malam hari yang bertabur bintang amat indah. Tak mau terburu-buru, begitulah mereka kalau sedang berdua. “Itu, bintang saat aku masih di kehidupan yang dulu,” ujar Hara saat ia difitnah pada kehidupan lampau.“Dan bersinar sangat terang. Dari sana saja sudah ketahuan kalau kau tidak bersalah.” “Kalau misalnya aku bersalah, Kanda, aku jadi apa?” “Meteor atau benda-benda langit lainnya yang jatuh menghantam bumi dan membuat kerusakan hingga menyengsarakan umat manusia serta menyulitkan para dewa.” “Oh, aku baru mendengar hal-hal seperti ini. Tapi bintang di sebelah itu siapa, ya? Kenapa aku curiga kalau dia salah satu temanku,” tunjuk Hara pada bintang dewi pelangi hijau dengan sinar yang tak kalah terangnya. “Nanti akan aku cari tahu. Kita lanjutkan perjalanan, semakin cepat sampai semakin cepat kita bertemu dengan si kembar.” Arsa semakin menggenggam erat
Arsa membawa Hara ke dalam kamarnya. Ia meminta para pelayan meninggalkan mereka seorang diri sebab tahu panas dari tubuh istrinya masih tidak bisa diredam dengan mudah. Lelaki itu sendiri mengambil air dari sumbernya di kolam dan segera mengusap tubuh sang dewi dengan kain basah. Air yang menenangkan sanggup meredam panas yang masih bergejolak. “Dewa Arsa, sebelum kami benar-benar pamit, apakah ada yang masih dibutuhkan?” tanya salah satu pelayan dari luar. “Tidak ada. Awasi dan jaga anak kami dengan baik, jangan biarkan Ambar mendekati mereka, mengerti?” titah sang dewa. “Baik, Dewa Arsa.” Kemudian para pelayan beranjak meninggalkan kamar sang tuan. “Rubah ekor tujuh, bagaimana mungkin tubuhmu sanggup menahan hewan kuno itu. Pantas setiap sebentar kau marah dan mengeluarkan api.” Dewa perang mengganti pakaian istrinya yang basah dengah jubah baru warna putih dengan sensasi dingin dan menenangkan. “Istirahatlah, Sayang, yang tadi hanya mimpi buruk saja. Aku tidak akan pernah m
Dewa Api mendekati Hara tiba-tiba saja bahkan memegang tangan wanita itu begitu erat. Sahasika sangat menikmati permainan yang ia buat sendiri. Cepat atau lambat pertarungan besar terjadi dan akan berdampak ke bumi. “Permaisuriku, ayo ikut ke aula merah. Mulai sekarang kau adalah istriku.” Dewa Api menarik tangan Hara. Namun, wanita berambut keriting itu diam saja di tempatnya. Lagi, lelaki berjubah merah itu menariknya, tapi sama saja Dewi Hara tak bergerak sama sekali. Memiliki kekuatan yang sama-sama berasal dari api membuat keduanya saling adu kekuatan dalam diam. Tanpa disadari dua dewa, yang lain jadi menjauh karena hawa panas yang dikeluarkan dari tubuh masing-masing. “Ini yang aku khawatirkan.” Arsa berhasil melepas ikatan dari Jayamurcita. “Tidak mungkin Dewi Hara jadi seperti itu.” Dewa penjaga gerbang terbelalak matanya ketika api besar keluar dari tubuh sang dewi. Secara sengaja semua yang ada di sana menjauh. Api menyambar semua yang ada di sekitar Hara termasuk memb
Mahadewa dan istrinya sudah memasuki aula. Para dewa dan dewi memberikan hormat. Setelah diminta barulah mereka menaikkan kepala. Ada satu jabatan yang diisi oleh dewa baru, yaitu juru catat perintah mahadewa dan mahadewi. Jabatan itu diisi oleh Rogu. Mata Arsa menatap Rogu begitu dalam. Siapa sangka temannya akan di sana. Jabatan yang bisa dikatakan strategis karena memiliki daya ingat yang kuat. Namun, cukup berat karena yang diincar pertama kali untuk memanipulasi perintah raja dalah Rogu nantinya. “Aku senang semua pilar penyokong langit sudah terisi kembali,” ucap raja langit Wanudara. “Tapi aku kembali kecewa kenapa Dewa Rama masih tidak mau bergabung dalam pemerintahan, padahal aku sangat membutuhkan nasehatnya.” Ucapan Wanudara membuat Dewi Senandika palsu melirik ke arahnya. Rogu diam saja tak mau menjawab. Tindakan Dewa Rama sulit ditebak bahkan oleh takdir sendiri. “Yang Mulia, mulai saja sekalian jangan berlama-lama,” bisik Sahasika pada Wanudara. “Baik kalau begitu.