Dewi Hara bangun dari tidurnya. Tak ia temukan di mana Arsa berada. Dari dulu memang dewa perang itu suka hilang begitu saja.“Apa jangan-jangan dia menemui Ambar?” tebak Hara asal-asalan. Ia pun kemudian memanggil pelayan. “Iya, Dewi Hara, kami di sini?” Ratri datang memenuhi panggilan tuannya. “Bantu aku bersiap. Aku ingin menemui dua anakku.” Hara bangkit dan meletakkan selimutnya. Sejenak Ratri terpaku, sang dewi tidur mengenakan dalaman bagian atas saja, bagian perut terlihat lebih kencang dan padat. Dewi Hara sudah sangat berubah. “Kenapa?” tanya Hara pada Ratri yang diam saja. “Tidak ada, Dewi Hara, hanya saja Dewa Arsa tadi sudah menemui si kembar dan sedang bersama dengan mereka.” “Ya sudah kalau begitu, kau siapkan baju dan perhiasan, aku akan mandi sendiri saja.” Hara masuk lagi dalam kolam pemandian yang sama. Ia bersiap secepat kilat karena sudah tak sabar ingin menemui dua anak kembarnya. Namun, saat melihat jubah dewi yang dibawakan oleh Ratri, Hara merasa tak coc
“Jangan gegabah. Kami bisa jalan sendiri.” Dewa Arsa memegang tangan Hara agar tak mudah tersulut emosi. “Hanya kalian saja yang belum datang, Dewa Arsa, percayalah panggilan dari raja dan ratu tidak boleh diabaikan,” sahut Jayamurcita.“Baik, kami mengerti. Kami akan pergi sekarang juga. Kalian bawa kembali Banu dan Indurasmi ke kamarnya dan jaga mereka baik-baik.” Perintah Arsa pada para pelayan. Mereka semua patuh. Arsa dan Hara terbang tinggi agar lebih cepat sampai. Namun, wanita yang arwahnya pernah pecah menjadi tujuh itu melihat ke bawah. Ia heran mengapa Jayamurcita menatap begitu berbeda pada dua anak kembarnya. “Aku tahu apa yang kau khawatirkan. Jayamurcita tidak akan berani berbuat lebih jauh, istriku.” Arsa menggapai Hara yang baru saja ingin turun kembali. “Aku tidak percaya dengan dia. Aku masih ingat bagaimana Jayamurcita merantaiku seperti anjing dan melemparkan seribu petir padaku, dan aku masih tak bisa mengingat kepingan ingatan yang hilang dari kepalaku, Kand
Bagian 1 Dewa ArsaKerajaan langit sedang berbahagia, lantaran seorang dewa perang yang sudah berusia ribuan tahun baru saja kembali membawa kemenangan setelah menutup portal iblis. Portal di mana musuh abadi senantiasa mengintai dan bisa melepaskan ancaman kapan saja. “Hara ...! Hara ...!” Lelaki yang masih menggunakan zirah perang itu memanggil nama seseorang sembari tersenyum lebar.Dewa perang bernama Putra Bawika Arsa masuk ke dalam kediamannya—aula biru di kerajaan langit. Para dewa dan dewi yang menjaga memberikan hormat kepadanya. Namun, sudah berkali-kali Arsa memanggil istrinya, Hara tak jua datang. Para dewa-dewi hanya saling melirik satu sama lain sehingga menyebabkan Arsa menjadi heran.“Katakan! Di mana gerangan istriku berada sekarang?” tanya Arsa yang tak sabaran. Hampir sepuluh tahun ia meninggalkan aula biru demi menutup portal iblis. Tentu saja Arsa sangat merindui sang istri, Hara—Dewi kebaikan yang senantiasa memberikan pengaruh positif padanya. “Kalian tidak
Bagian 2 Penjara Petir “Turun! Kita selesaikan baik-baik! Tak sadarkah kalian bisa membuat raja dan ratu marah?” tanya Dewi Bunga Ambaramurni. Arsa dan Jayamurcita turun dan menapaki kaki di kerajaan langit. “Ikut aku Dewa Arsa, kalau begini terus aku khawatir hukuman mati atas istrimu bisa jauh lebih cepat.” Jayamurcita mengingatkan. “Atas dasar apa kalian menangkap istriku. Dia itu dewi kebaikan, tidak mungkin berbuat yang tidak baik.” “Kanda Arsa, lebih baik ikuti saja dulu Jayamurcita. Aku yakin semua bisa dijelaskan.” Ambaramurni ingin membersihkan luka di pelipis Arsa, tapi dewa perang itu menolak. “Baik, aku akan ikut, tapi kalau sampai sesatu terjadi pada istriku, kerajaan langit ini akan aku obrak-abrik sampai hancur berantakan.” Dewa Perang Arsa menyimpan pedangnya. Ia ikut dengan Jayamurcita, tapi tak mau tangannya diikat. Dewa perang itu pergi dengan penuh wibawa diikuti oleh dewa dan dewi dibawah naungannya. Ambaramurni hanya bisa memandang saja, dewi bunga itu pun
Mata tajam Arsa begitu awas melihat kedatangan empat orang dewa yang sama kuat seperti dirinya. Pun dengan Hara yang memegang erat tangan suaminya. Sangat mudah diprediksi jika sebentar lagi akan pecah pertarungan besar. Empat lawan satu, sudah jelas siapa yang akan menang. Sebab lawan Arsa sama tangguhnya. “Suamiku, sudah, relakan saja kalau memang aku harus dicambuk. Sepertinya hukuman ini tidak akan pernah bisa aku elakkan, walau bukan aku pelakunya.” Tubuh Hara gemetar ketika melihat empat dewa besar itu mengeluarkan masing-masing pedangnya. “Bagaimana kalau kita mati bersama saja, Istriku.” Arsa tersenyum. Lalu dari tangan kanannya muncul sebuah pusaran energi berwarna biru dan lama-lama membentuk sebuah pedang dengan ukuran yang lebih besar. Pedang itu yang ia gunakan untuk menutup portal iblis. “Tidak. Kau dewa perang, kau sangat penting bagi umat manusia. Tidak denganku yang hanya dewi kecil.” Tiba-tiba saja tubuh lembut Hara terbang dan mendarat di satu tempat. Sang dewa
Bagian 3Pecahan Jiwa Dewi Bunga Ambaramurni pergi karena tak sanggup melihat hukuman yang amat keji. Satu demi satu petir menyambar tubuh Dewi Hara hingga nantinya genap sampai seribu. Padahal tidak pernah ada sejarahnya yang berdaya menghadapi hukuman itu. Jelas sekali hanya sampai pada cambukan ke tiga puluh tubuh Dewi Hara telah berubah menjadi tembus pandang.Hara melihat tangannya sendiri, perlahan-lahan tubuhnya masih padat lalu lama-lama terasa ringan bahkan ia bisa melihat sehelai daun yang jatuh di atas perutnya. Hara melihat ke arah Arsa yang punggungnya ditusuk pedang. “Suamiku, jaga diri baik-baik. Aku pergi dulu, berbahagialah dalam hidupmu.” Dewi Hara melihat kilatan petir ke 31 yang datang meyambar perutnya. Kemudian tubuhnya menghilang dan berbaur menjadi bintang-bintang kecil di langit. Ada tujuh bintang dengan aneka warna yang ikut berpendar. Bintang itu tidak berkumpul di angkasa, melainkan turun ke bumi tanpa ada yang tahu. Jiwa Dewi Hara pecah menjadi tujuh be
Dewa Parasurama—dewa yang paling tua di kerajaan langit. Rambutnya sudah memutih semua, sekilas terlihat seperti orang tua lemah. Namun, nyatanya dia masihlah yang paling sakti bahkan mengalahkan raja langit. Dewa Rama, begitu dia kerap dipanggil oleh para dewa yang lain. Ia memang paling jarang menampakkan diri. Dewa Rama lebih suka bersemedi. Terakhir ia bertapa demi menyempurnakan kalung dengan tujuh rasi bintang yang paling kuat. Saat bangun ia dikejutkan oleh pertempuran antara dewa perang serta dewa yang lain. “Sebuah trik adu domba yang sangat dahysat,” ucap Dewa Rama di dalam kediamannya. Kalung tujuh rasi bintang itu ia pandang di atas mejanya. Yang ia lakukan tadi adalah menyelamatkan Dewi Hara. Agar hidup sang dewi tak hanya berakhir menjadi butiran bintang di langit. “Dewa Rama.” Seorang dewa pelayan datang dan membawakan lelaki itu beberapa kitab lama dari pustaka langit. Kitab yang sangat kuno dan usianya sudah ratusan ribu tahun. Memuat berbagai transkrip kejadian
“Lalu kau pikir setelah sampai di langit mereka akan membiarkan kalian hidup bahagia begitu saja? Dan tubuh istrimu itu terbagi menjadi tujuh. Bagaimana kiranya kau akan membawa ketujuhnya ke langit?” Ucapan Dewa Rama membuat Arsa terdiam dan menenangkan diri sejenak. Sang dewa perang merendahkan diri pada dewa kebijaksanaan. Ia memberi hormat tanda membutuhkan bantuan untuk membawa istrinya kembali ke langit. “Duduklah dulu agar kau tenang. Sekalipun ini neraka, tapi aku sudah meredamnya dengan esku.” Dewa Rama duduk begitu juga dengan Dewa Arsa. “Aku sangat mencintainya, Dewa Rama. Sejak dulu aku melihatnya dan menahan diri. Saat itu Hara masih sangat kecil dan belum cukup umur untuk menikah. Setelah besar aku membantunya naik menjadi dewi kebaikan karena dia memang baik dan layak, lalu kami menikah sampai jadi begini.” Arsa melihat tangannya yang akan digenggam Hara ketika tidur di malam hari, atau ketika membutuhkan pertolongan. “Aku tahu, karena itu aku ingin menolongmu. Kala