Setelah itu Morgan memerintahkan para pengawalnya untuk membawa Syena pergi.Sebenarnya Syena ingin diantar oleh Morgan sendiri, tapi dia malu dan tidak merasa pantas karena hal yang terjadi padanya barusan.Morgan memperhatikan Syena yang pergi dalam diam, lalu melepas jaketnya, menyeka tangannya dan membuang jaket itu ke tempat sampah.Di sisi lain.Reina sudah kembali ke Kota Simaliki. Dia bersandar di kursi sambil memandang pemandangan di luar jendela. Suhu di dalam mobil yang lebih hangat membuat jendela kaca tampak tertutup lapisan kabut sehingga pemandangan di luar tidak terlihat jelas.Reina melihat kotak suvenir di pangkuannya dan penasaran akan benda di dalamnya.Di sana ada sebuah kotak indah seukuran telapak tangan. Reina membukanya dan langsung membelalak waktu melihat isinya.Di dalam kotak itu ada cincin perak yang sangat indah dan di dalamnya ada inisial nama Reina dan Maxime yang Reina ukir sendiri waktu mereka masih kecil.Cincin itu sepasang, satu untuk Reina dan sat
Mereka berdua duduk di dalam mobil dan menunggu hari gelap sampai anak buah Maxime bisa mencuri cincin itu.Sesampainya di rumah, Reina meletakkan tas hadiah itu di atas meja lalu pergi ke kamar Lyann untuk gantian jaga dengan suster.Setelah mendapat perawatan para ahli, semangat hidup Lyann sudah meningkat pesat. Kalau kondisinya terus stabil seperti ini, Lyann pasti bisa hidup beberapa tahun lagi.Mereka tidak melihat ada orang yang menyelinap masuk.Tidak lama kemudian, kotak berisi cincin itu dibawa ke Maxime.Ekki membukanya dan dari luar sudah tahu itu barang murah. "Murah sekali, nggak mungkin Tuan Morgan kasih hadiah kayak gini, 'kan?"Maxime tidak percaya Morgan akan memberikan benda seperti itu sebagai kenang-kenangan."Coba amati yang benar?"Ekki melihat dengan cermat dan mendapati bagian dalam cincin itu terukir huruf, XS&LNC."Sepertinya ini singkatan, XS, LNC. Ini ... inisial Bos dan Reina, 'kan?"Ekki tersenyum dan berkata, "Bos, jangan-jangan ini kejutan dari Nyonya?"
Maxime buru-buru masuk dan berpura-pura tidak tahu Reina ada di sana, lalu meletakkan tas suvenirnya.Reina bingung. "Kamu ngapain barang-barangku?"Reina melirik sekilas ke dalam tas suvernir itu dan kotak cincin itu masih ada di dalam."Kamu sudah lihat?" Reina bertanya lagi.Maxime berdiri diam dan menjawab, "Nggak, aku 'kan nggak bisa lihat."Reina tidak percaya. Jelas-jelas Maxime masuk sambil membawa tas ini, bisa jadi dia minta orang lain melihatnya."Kalau gitu kamu mau tahu apa isinya?" Reina sengaja menipunya.Alis tajam nan indah Maxime terangkat. "Nggak."Reina juga tidak marah. Dia duduk di sofa dan membukanya."Suvenir pemberian kakakmu lumayan mahal, liontin emas. Boleh kusimpan?"Maxime mendengarkan dalam diam. Dia sadar Reina sengaja berbohong padanya, tapi dia tidak bisa mengaku.Maxime mensugesti dirinya sendiri untuk tidak cemburu dengan apa yang dilakukan Reina dengan pria lain waktu dulu, namun dia tetap menjawab dengan nada kesal, "Oke."Melihat tingkah Maxime, R
Maxime mau menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa antara dia dan Marshanda, tapi dia masih berpura-pura menderita amnesia."Nggak." Maxime menutup matanya lalu berkata, "Tidurlah."Reina keluar dari pelukannya agak dan tertidur dengan gelisah.Dia akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kehamilan besok, jadi hari ini dia harus tidur nyenyak....Di sisi lain, di Rumah Sakit Kota Simaliki.Syena akhirnya bisa tenang.Ayahnya, Tanu, sudah mengirim orang untuk mencari tahu siapa yang melecehkan putrinya. Namun, Keluarga Hinandar sudah membuat banyak musuh jadi pelakunya tidak bisa cepat terungkap.Treya yang awalnya masih marah atas apa yang terjadi di pesta pertunangan langsung datang menjenguk begitu dapat kabar ini. "Syena, kamu nggak apa-apa?"Syena menatap Treya dengan jijik."Masih nanya? Punya mata nggak sih? Memang nggak bisa lihat?"Dulu Syena masih memberi muka pada Treya karena wanita ini sudah menikah dengan ayahnya selama lima tahun.Tapi begitu teringat putrinya Reina diam-di
Syena akhirnya mengerti mengapa ayahnya menikah dengan Treya.Awalnya dia pikir Treya hanya berusaha menyenangkannya, tapi sekarang Syena mengerti segalanya.Akhirnya dia juga mengerti kenapa Liane yang sudah berusia lebih dari setengah abad hanya punya seorang anak yaitu dirinya.Syena menatap sobekan kertas di tempat sampah, dia berdiri lagi dan dengan panik melemparkan sobekan kertas itu ke toilet kamar mandi lalu menyiramnya."Aku putri pengusaha wanita sukses, Liane. Bukan putri seorang aktor yang nggak berguna."Di mata Syena yang juga seorang penari, menjadi penari ternama dunia tidak sehebat jadi pengusaha wanita.Selain itu, dengan cara Liane bekerja dia juga bisa menjadi penari terkenal dengan uangnya yang tak berseri.Dibandingkan ibu rumah tangga seperti Treya, hanya Liane yang layak menjadi ibunya.Sesudah memikirkan semua ini, Syena memanggil Treya dan kali ini menatapnya dengan kelembutan yang palsu. "Bu, sudah kupikirkan baik-baik. Mulai sekarang, aku akan berbakti pada
Meski dalam hati Riki berpikir seperti itu, dia tetap berpura-pura. "Kamu aja yang mati! Papaku nggak mungkin mati, huhuhu! Kamu jahat!"Maxime tidak menyukai anak kecil, terutama yang ada di depannya. Maxime jadi kesal mendengar tangisan yang tiada henti ini."Jangan nangis.""Nggak." Riki terus menangis tanpa mengeluarkan air mata.Maxime tidak dapat melihat bahwa Riki hanya pura-pura menangis, Maxime pun merubah sikapnya karena takut waktu Reina sudah selesai periksa, dia malah melihat anaknya menangis. Reina pasti marah."Papamu belum mati.""Tapi kamu mengutuk papaku supaya mati! Huhuhu!" Riki menangis lebih keras.Maxime semakin sakit kepala, "Berhentilah menangis, aku cuma bercanda."Riki tidak menyangka ayah berengseknya ini akan mengalah. Riki melirik jam dan sadar kalau pemeriksaan mamanya sudah hampir selesai.Sepertinya ayah bajingannya ini sekarang takut pada mamanya, jadi Riki pun berniat memanfaatkannya."Kamu 'kan sudah besar, mana mungkin orang dewasa bercanda seperti
Treya berdiri dengan tidak sabar. Dia terkejut saat melihat Reina.Treya menatap Riki dengan ragu.Anak siapa ini?Treya tidak mengenal Riki, tetapi Riki sudah menyelidikinya dan sekilas tahu bahwa dia adalah neneknya.Kilatan kemarahan muncul di matanya, dan dia diam-diam mengepalkan tinjunya.Wanita tua ini hampir membunuh Ibu. Aku harus memberinya pelajaran.Treya jelas bisa melihat anak kecil itu sangat membenci dirinya. Treya agak terkejut, kenapa anak kecil yang tidak dia kenal bisa begitu membencinya?Namun, Treya tidak terlalu memedulikan dan langsung menghampiri mereka bertiga.Reina secara naluriah langsung berdiri di hadapan Riki. "Riki, kamu pulang sama Om Maxime dulu ya, Mama ada urusan."Maxime juga mendengar ada langkah kaki orang asing, tapi dia tidak tahu siapa orang itu.Riki tidak ingin melakukan hal buruk di depan ibunya, jadi dia menoleh pada Maxime dan berkata, "Om Max, ayo pulang.""Ya." Maxime mengangguk.Sesudah masuk rumah, Maxime bertanya pada Riki, "Siapa ya
Wajah Treya langsung memerah, dia menatap Reina dengan tidak percaya karena tidak menyangka putrinya yang dulunya sangat patuh, sekarang berani menamparnya.Reina juga menjatuhkan tangannya yang gemetar."Nyonya Treya, tolong jaga mulut kotormu itu. Kalau kamu berani melakukannya lagi, aku nggak cuma akan menamparmu."Treya mematung di tempat. Butuh waktu lama baginya untuk sadar kalau dia harus membalas Reina.Namun kali ini, tidak sesederhana itu. Beberapa pengawal bergegas mendekat dan menahannya.Treya yang diringkus pun tidak lagi bisa bersikap anggun dan terlihat sangat menyedihkan."Lepaskan! Lepaskan aku! Apa hak kalian menahanku? Aku lagi kasih pelajaran ke putriku sendiri!"Tanpa instruksi Maxime, mana mungkin para pengawal berani melepaskannya?Reina merasa sangat konyol saat mendengar teriakan Treya.Biasanya, Treya tidak akan pernah mengakui Reina sebagai putrinya. Tapi sekarang demi bisa menampar Reina, Treya bersedia mengaku.Reina mengepalkan tangannya dan berkata, "Usi
Akhirnya, Sophia merasa lega setelah berhasil meyakinkan orang tuanya untuk kembali ke rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, dia menggenggam erat tangan ayah dan ibunya, tidak mau melepaskannya."Dokter bilang kalau penyakit kalian disebabkan karena kelelahan jangka panjang. Selama kalian menerima perawatan satu atau dua tahun, kalian bisa pulang dengan sehat."Sophia tersedak, lalu melanjutkan, "Sekarang, pengobatan tinggal setengah tahun lagi, lalu kita bisa hidup dengan baik. kalian jangan pernah punya pikiran buat melarikan diri lagi.""Ya." Erna menghibur dan memeluknya dengan lembut, "Maafkan Ibu karena sudah membuatmu khawatir, Nak."Robi juga berkata, "Kali ini Ayah dan Ibu memang salah, kami minta maaf sama kalian."Sophia tersenyum. "Lain kali kalian nggak boleh seperti ini lagi.""Hmm, ya." Robi mengangguk berulang kali, nadanya lembut.Diego yang duduk di kursi depan menatap Sophia, Erna dan Robi yang terlihat bahagia, entah kenapa jadi teringat masa kecilnya.Dia teringat
Reina langsung menghubungi Diego setelah meminta pengawal itu mengirimkan alamat hotel di mana keduanya berada.Saat itu masih pagi sekali.Diego dan Sophia masih berada di luar.Ketika Diego menerima telepon itu, bagian bawah matanya berbinar. "Kak, terima kasih banyak, kamu benar-benar sangat membantuku."Reina tidak banyak bicara saat mendengar ucapan terima kasihnya."Cepat pergi dan jemput mereka kembali. Selain itu, perlakukan temanmu itu dengan baik.""Ya, ya, ya."Diego langsung mengiakan. Karena cuaca terlalu dingin, jadi suaranya sedikit bergetar.Setelah menutup telepon, Diego langsung memberi tahu Sophia."Ayo, aku tahu di mana Om sama Tante."Wajah Sophia pucat, pipinya memerah karena kedinginan. Dia mencoba mengucapkan terima kasih, tetapi ia terlalu dingin untuk berbicara.Diego segera menghentikan taksi.Keduanya duduk di dalam, penghangat di dalam mobil sangat memadai, membuat tubuh Sophia menghangat. Dia berkata, "Di mana orang tuaku sekarang? Apa mereka baik-baik saj
Reina sedikit tidak percaya saat mendengar itu.Teman Diego? Bukankah itu wanita yang bernama Sophia?Sekarang, Diego tidak punya uang atau kedudukan, teman-temannya dulu sudah mengabaikannya."Ya, berikan informasi orang tua temanmu, aku akan menyuruh seseorang mencarinya.""Ya, terima kasih, Kak. Kamu benar-benar sangat baik."Diego tidak pernah berterima kasih pada Reina setulus hari ini.Bahkan jika Reina pernah melunasi tagihannya, rasa terima kasihnya kepada Reina tidak sebanyak hari ini.Reina juga mendengar ketulusan di dalam suaranya, masih belum percaya bahwa pria itu benar-benar telah berubah."Kita masih belum menemukannya, jadi jangan bilang makasih dulu.""Hmm, baiklah."Setelah menyelesaikan panggilan, Diego menemui Sophia, meminta informasi orang tua Sophia dan sebagainya.Setelah Reina melihatnya, dia menyadari bahwa semuanya seperti yang dia duga. Teman yang dimaksud Diego adalah Sophia."Aku mau tanya sesuatu," kata Reina."Kak, tanya saja.""Kenapa demi seorang tema
Diego membungkuk dan berjongkok di sisi Sophia, menghiburnya dengan lembut, "Jangan terlalu sedih, Tante sama Om bakal baik-baik saja, ayo kita cari lagi. Kamu nggak boleh terlalu sedih, nanti kamu nggak bakal punya kekuatan buat cari Om sama Tante."Mendengar perkataannya, Sophia perlahan-lahan menjadi tenang."Ya, aku harus tenang, harus tetap tenang.""Hmm." Diego mengangguk. "Ayo cari lagi.""Ya."Namun, ketika Diego baru melangkah beberapa langkah ke depan, tiba-tiba pandangannya menghitam dan tubuhnya jatuh ke bawah.Sophia bergerak cepat untuk menopangnya, menahannya tepat sebelum Diego jatuh ke aspal."Diego," teriak Sophia.Diego menjawab dengan gugup, "Ada apa?""Barusan kamu hampir jatuh." Sorot mata Sophia penuh dengan kecemasan dan kekhawatiran.Diego mengusap-usap kepalanya. "Hah? Aku nggak sadar, mungkin aku kurang istirahat. Ayo, kita lanjut cari."Sophia menatap Diego yang linglung, mana mungkin dia berani membiarkan pria itu terus mencari."Kita pulang dan istirahat d
Tatapan Sophia menghangat dan dia sangat tersentuh.Sekarang, dia benar-benar tidak punya banyak uang dan tidak ingin membuat orang tuanya khawatir. Jadi, dia mengambil uang Diego terlebih dahulu, lalu membayarnya kembali setelah dia dapat gaji.Sophia mengambil uang itu, kemudian pergi untuk membuat sarapan.Anehnya, biasanya pada jam-jam seperti ini kedua orang tuanya sudah bangun, tetapi hari ini tidak satu pun dari mereka yang terlihat. Pintu kamar mereka pun tertutup rapat.Sophia mengira kedua orang tuanya masih beristirahat, jadi dia tidak tega mengganggu mereka.Setelah sarapan siap, Sophia pergi ke depan pintu kamar mereka, mengetuk pintu dan berkata, "Ayah, Ibu, bangun, ayo sarapan."Namun, setelah memanggil mereka beberapa kali, mereka tidak mendengar satu jawaban pun.Jantungnya berdebar kencang dan dia pun mendorong pintu kamar.Ketika pintu kamar terbuka, dia melihat bagian dalam kamar sudah dibersihkan dengan rapi. Semua barang terlipat rapi dan kamar dalam keadaan koson
"Kamu dengar sendiri, aku sudah jelasin sama dia." Reina menyimpan ponselnya kembali dan menatap mata Maxime tanpa sedikit pun rasa bersalah.Memang benar bahwa dia tidak memberikan sinyal apa pun kepada Ari, jadi dia tidak melakukan kesalahan apa pun.Sekelebat kerumitan melintas di mata Maxime. Dia mengangkat tangannya, ujung jarinya membelai wajah Reina."Aku mengerti. Istriku sangat luar biasa, wajar kalau ada yang menyukainya."Reina menjadi agak malu ketika tiba-tiba dipuji olehnya.Keduanya berdiri diam di tengah kerumunan, indah seperti sebuah lukisan."Salju turun, salju turun ...."Banyak orang di sekitar mulai berseru.Reina kembali tersadar dan menatap kepingan salju yang berjatuhan, bagian bawah matanya berkilau."Cantik sekali."Maxime menggenggam tangannya dan tetap berada di sisinya tanpa berbicara.Dia berharap waktu tetap berada di momen ini sekarang....Saat ini musim dingin, ada tumpukan salju di mana-mana.Beberapa orang menganggapnya indah, tetapi bagi sebagian o
"Baguslah kalau kamu mengerti," kata Imran.Ari tidak ingin berbicara dengan mereka lagi dan melangkah menuju kamarnya.Retno mencoba mengejarnya untuk menjelaskan, tetapi Imran menghentikannya."Biarkan dia sendiri dan merenungkan semuanya. Sebagai orang tua, kita nggak bisa mendiktenya seumur hidup."Mata Retno berkaca-kaca dan mengangguk kaku. "Ari sangat hebat, kenapa dia nggak memilih gadis baik-baik, menikah dan memulai sebuah keluarga?""Kalau tahu begini, seharusnya aku nggak membiarkannya terjun ke dunia hiburan." Imran selalu memandang rendah industri aktor. "Jadi dokter sepertiku dan menikah dengan wanita dengan profesi yang sama, bukankah itu bagus?"Keduanya tidak bisa memahami pikiran anak muda saat ini, jadi mereka membiarkannya.Ari tinggal sendirian di kamar, mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Reina, tetapi Reina tidak bisa dihubungi.Entah sudah berapa lama dia tinggal di dalam kamar, tetapi melihat hari sudah mulai gelap, dia tidak bisa menahan diri lagi dan
Sebenarnya, ini bukan menjelaskan semuanya dengan jelas, tetapi menempatkan identitas dengan jelas bahwa Ari tidak pantas untuk Reina dan dia tidak lebih baik dari Maxime.Sekarang, Ari merasa sangat bersalah, "Bu Reina, kita akan bertemu lagi lain kali. Kali ini, aku yang mentraktirmu dan Tuan Maxime."Maxime segera membalas, "Nggak perlu. Saat datang, aku sudah bayar."Dia tidak mau menerima traktiran dari saingan cintanya, dia juga bukan orang yang suka gratisan.Ari makin malu, lalu mengangguk mengerti sebelum pergi bersama orang tuanya.Setelah dia pergi, Reina menghela napas panjang, merasa masih belum pulih dari semua kejutan yang baru saja terjadi."Apa maksudnya ini?" Reina bergumam pada dirinya sendiri.Maxime menatapnya dengan ramah. "Sudah percaya 'kan kamu sekarang?"Reina menghela napas, masih sedikit tidak percaya."Apa mungkin Ari mengarang jawaban yang barusan?"Dia tidak mengerti kenapa seorang selebriti pria populer menyukai seorang wanita yang lebih tua beberapa tah
"Bu, jangan konyol." Ari membela Reina, "Itu masalahku sendiri, nggak ada hubungannya sama dia."Ari memang penurut dan pengertian sejak kecil, kecuali untuk urusan jatuh cinta dan menikah.Melihatnya membela wanita lain, hati Retno jadi makin tidak nyaman, lalu melampiaskan kemarahannya pada Reina."Namamu Reina?" tanya Retno sambil menatapnya tajam. "Apa suamimu tahu tentang hubunganmu dengan Ari?"Kata-kata dingin Retno terus terlontar, "Kamu sudah menikah, punya anak dan terlihat sedikit lebih tua dari Ari. Jadi, kamu harusnya sangat pandai dalam memanipulasi laki-laki muda, bukan? Menurutmu, apa yang akan suamimu lakukan kalau aku memberitahunya semua ini?"Jika orang ini bukan ibu Ari, Reina pasti sudah membalas tanpa ampun."Tante, aku nggak memanipulasi anak Tante, jadi jangan bicara sembarangan tentangku. Usia anak Tante sudah dua puluhan, bukankah dia punya pendapat sendiri?" kata Reina dengan tegas.Ari mendengarkan percakapan antara Reina dan ibunya sendiri, mengerti bahwa