Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan.Diego takut Sophia akan marah kepadanya, jadi dia langsung berjanji, "Sophia, masa lalu sudah berlalu, aku sudah benar-benar berubah sekarang. Jangan khawatir, aku nggak akan pernah mengecewakanmu, aku juga nggak akan pernah melakukan semua hal buruk itu lagi."Mendengar itu, Sophia berkata, "Aku sudah setuju untuk bersamamu, jadi aku nggak akan mempermasalahkan hal-hal yang pernah kamu lakukan sebelumnya.""Aku marah sama dirimu yang sekarang.""Sekarang aku kenapa memangnya?"Diego tidak mengerti."Bagaimana mungkin kamu meminta kakakmu buat kasih izin buat kita melangsungkan pernikahan di sana? Itu 'kan rumah dia dan suaminya," kata Sophia."Cuma karena masalah ini?" Diego tidak habis pikir. "Dia kakakku, hal sekecil ini bukan masalah baginya."Melihat sikap keras kepalanya, Sophia makin marah, "Jangan nggak peduli begitu. Aku kasih tahu, setelah kita bersama, kamu nggak boleh minta tolong apa pun lagi sama kakakmu. Jangan menganggap rem
Begitu Diego menyebutkan kata cicit, Nyonya Liz langsung mengubah pendapatnya tentang Sophia. Dia tertawa dan mengatakan, "Ya, bagus sekali. Kamu harus punya beberapa anak laki-laki, dengan begitu masa depan keluarga masih bisa dilanjutkan. Jangan seperti kedua Om mu itu, anak mereka perempuan semua. Lihatlah, dia sampai diusir sama mertuanya. Bikin malu saja."Diego mengangguk berulang kali."Ya, Nenek tenang saja."Nyonya Liz mengalihkan pikirannya untuk berbicara dengannya tentang hal lain. "Oh ya, kalau kamu sama dia, bagaimana dengan Hanna?"Nyonya Liz tidak melupakan putri tunggal dari keluarga kaya ini.Diego juga ingin menikahi Hanna. Selama dia menikahinya, dia tidak perlu terlalu bekerja keras dalam beberapa tahun. Namun, kenyataan terlalu kejam. Orang tua Hanna tidak menyukainya."Lupakan saja, nona kaya sepertinya sulit buat dilayani, Sophia jauh lebih baik darinya."Nyonya Liz menganggukkan kepalanya berulang kali. "Ya, nona kaya memang sulit dilayani. Lebih baik sama wani
Hujan turun dengan deras di hari ziarah makam.Saat ini, di pintu masuk rumah sakit.Reina yang bertubuh kurus sedang memegang laporan tes kehamilan dari rumah sakit, di kertas itu tertera sebuah kata yang tercetak tebal."Negatif.""Sudah tiga tahun menikah belum hamil juga?""Astaga, bisa-bisanya ada wanita yang begitu nggak berguna seperti kamu. Kalau nggak cepat hamil, kamu pasti akan didepak keluar dari Keluarga Sunandar, lalu bagaimana dengan Keluarga Andara?"Treya Libera yang berpakaian anggun mengentakkan sepatu hak tingginya. Dia menunjuk Reina dan terlihat sangat kecewa.Reina menatap kosong, begitu banyak kalimat yang ingin dia ungkapkan, tetapi pada akhirnya hanya terucap sebuah kata."Maaf.""Aku nggak butuh maaf. Aku mau kamu hamil anak Maxime, ngerti?"Reina tercekat, tidak tahu harus menjawab apa.Reina dan Maxime sudah menikah selama tiga tahun, tetapi Maxime tidak pernah sekalipun menyentuhnya.Mana mungkin dia bisa hamil?Treya kembali melirik Reina yang terlihat le
Semua orang yang ada di ruangan itu menengok ke arah pintu.Sontak, suasana jadi hening.Reina melirik Maxime, tatapan pria itu begitu jernih, jelas dia sama sekali tidak mabuk.Reina sadar dia sudah ditipu Marshanda.Saat Maxime melihat sosok Reina, bola matanya yang gelap pun menegang.Sedangkan Jovan dan yang lainnya yang barusan mendukung Maxime untuk menerima perasaan Marshanda, semua tersenyum canggung.Harusnya Reina tidak datang."Nana, jangan salah paham. Jovan cuma bercanda, sekarang Max dan aku hanya teman biasa."Marshanda-lah yang pertama kali memecah ketenangan.Sebelum Reina sempat menjawab, Maxime yang kehilangan kesabaran sudah berdiri lebih dulu."Nggak perlu menjelaskan apa pun padanya."Setelah itu, Maxime berjalan ke depan muka Reina dan bertanya, "Mau apa ke sini?""Kupikir kamu mabuk, jadi aku datang untuk menjemputmu pulang," jawab Reina jujur.Maxime mencibir, "Sepertinya kamu nggak ingat sepatah kata pun yang kukatakan, ya."Maxime mengecilkan suaranya sehingg
Suara Reina begitu tenang dan ringan.Seolah perceraian ini hanya hal sepele.Pupil mata Maxime menegang."Apa katamu?"Selama pernikahan mereka, seketerlaluan apa pun perlakuan Maxime padanya, Reina tidak pernah menyebut kata 'cerai'.Sebenarnya Maxime paham betul betapa Reina sangat mencintainya.Tatapan Reina yang awalnya kosong saat ini berubah menjadi sangat tajam."Pak Maxime, selama ini aku sudah menjadi penghalangmu.""Kita cerai saja."Maxime meremas tinjunya kuat-kuat."Kamu dengar pembicaraanku barusan, 'kan? Keluarga Andara sudah berada di ujung jurang, apa bedanya menikah denganku atau menikah dengan orang lain?""Apa tujuanmu bercerai? Kamu mau anak atau mau uang? Atau mau mengancamku supaya aku nggak melakukan apa pun pada Keluarga Andara?" Maxime bertanya dengan dingin."Jangan lupa, aku sama sekali nggak mencintaimu, ancamanmu nggak berguna untukku!"Sosok Maxime di mata Reina tiba-tiba menjadi kabur. Reina merasa tenggorokannya tercekat dan telinganya sakit. Bahkan de
Alat bantu dengarnya terselimuti darah ....Pupil mata Reina bergetar, dia buru-buru menyeka telinganya dengan tisu, melepas seprai dan mencucinya.Reina takut akan ketahuan karena Lyann pasti mengkhawatirkan kondisinya. Jadi, dia diam-diam mengemasi semua barangnya lalu membuat alasan asal dan berpamitan pada Lyann.Sebelum pergi, diam-diam Reina meninggalkan sebagian uang tabungannya di meja di samping tempat tidur.Lyann mengantar Reina ke stasiun sambil melambaikan tangan dengan enggan.Lyann sangat mengkhawatirkan Reina yang sangat kurus, jadi dia menghubungi orang dalam Grup Sunandar.Sekretaris Maxime langsung melapor begitu tahu pengasuh Reina yang menelepon.Hari ini adalah hari ketiga sejak kepergian Reina.Ini juga pertama kalinya Maxime menerima telepon yang berhubungan dengan Reina.Maxime sedang duduk di kantornya dan begitu mendapat kabar ini, dia sangat senang. Benar 'kan perkiraannya, wanita itu tidak akan bertahan lebih dari tiga hari.Suara Lyann pun terdengar dari u
Reina membuka berita dan melihat konferensi yang diadakan Grup Sunandar, beritanya Maxime telah berhasil mengakuisisi Grup Andara.Mulai sekarang, Grup Andara sudah punah dari dunia ini .......Kehidupan Maxime akhir-akhir ini sangat menyenangkan.Setelah berhasil mengakuisisi Grup Andara, balas dendam yang sudah ditunggu-tunggu Maxime pun terbalaskan.Jovan tersenyum seraya berkata, "Akhirnya Keluarga Andara kena karma karena sudah menipumu tiga tahun yang lalu."Jovan mengganti topik pembicaraan dan bertanya pada Maxime yang sedang bekerja, "Kak Max, apa si tuli itu datang memohon padamu?"Tangan Maxime yang sedang menandatangani dokumen berhenti bergerak.Entah mengapa belakangan ini selalu saja ada orang yang menyebut nama Reina."Nggak."Maxime menjawab dengan dingin.Jovan tercengang, setelah masalah sebesar ini terjadi di Keluarga Andara, Reina tetap diam?Dia melanjutkan, "Jangan-jangan dia sudah sadar akan semua perbuatannya?""Katanya ibu dan adiknya sedang mencarinya ke man
Reina mematung dan tidak bisa berkutik, dia tidak percaya semua hal ini terjadi.Reina berusaha meronta dan menolak, tetapi usahanya sia-sia.Maxime baru kembali tenang setelah mencapai puncak kepuasan.Di luar, langit sudah mulai terang.Maxime melirik tubuh Reina yang ringkih, lalu mendapati ada noda merah di kasur. Maxime merasakan sesuatu, tetapi dia tidak bisa menjelaskannya."Plak!"Reina mengangkat tangannya dan menampar wajah Maxime kuat-kuat.Tamparan ini sekaligus mematahkan semua ilusinya tentang cinta.Telinga Reina kembali berdengung, dia tidak bisa mendengar apa yang Maxime katakan dan langsung membentaknya, "Keluar!"Maxime pun pergi.Adegan semalam terus berputar di benaknya.Maxime kembali ke mobilnya dan berkata pada Ekki, asistennya, "Selidiki pria mana saja yang Reina kenal."Ekki bingung.Mana mungkin ada pria lain? Setelah menikah setiap hari Reina hanya mencintai Pak Maxime, mana mungkin ada pria lain?...Di motel, setelah Maxime pergi.Reina mandi dan menggosok
Begitu Diego menyebutkan kata cicit, Nyonya Liz langsung mengubah pendapatnya tentang Sophia. Dia tertawa dan mengatakan, "Ya, bagus sekali. Kamu harus punya beberapa anak laki-laki, dengan begitu masa depan keluarga masih bisa dilanjutkan. Jangan seperti kedua Om mu itu, anak mereka perempuan semua. Lihatlah, dia sampai diusir sama mertuanya. Bikin malu saja."Diego mengangguk berulang kali."Ya, Nenek tenang saja."Nyonya Liz mengalihkan pikirannya untuk berbicara dengannya tentang hal lain. "Oh ya, kalau kamu sama dia, bagaimana dengan Hanna?"Nyonya Liz tidak melupakan putri tunggal dari keluarga kaya ini.Diego juga ingin menikahi Hanna. Selama dia menikahinya, dia tidak perlu terlalu bekerja keras dalam beberapa tahun. Namun, kenyataan terlalu kejam. Orang tua Hanna tidak menyukainya."Lupakan saja, nona kaya sepertinya sulit buat dilayani, Sophia jauh lebih baik darinya."Nyonya Liz menganggukkan kepalanya berulang kali. "Ya, nona kaya memang sulit dilayani. Lebih baik sama wani
Keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan.Diego takut Sophia akan marah kepadanya, jadi dia langsung berjanji, "Sophia, masa lalu sudah berlalu, aku sudah benar-benar berubah sekarang. Jangan khawatir, aku nggak akan pernah mengecewakanmu, aku juga nggak akan pernah melakukan semua hal buruk itu lagi."Mendengar itu, Sophia berkata, "Aku sudah setuju untuk bersamamu, jadi aku nggak akan mempermasalahkan hal-hal yang pernah kamu lakukan sebelumnya.""Aku marah sama dirimu yang sekarang.""Sekarang aku kenapa memangnya?"Diego tidak mengerti."Bagaimana mungkin kamu meminta kakakmu buat kasih izin buat kita melangsungkan pernikahan di sana? Itu 'kan rumah dia dan suaminya," kata Sophia."Cuma karena masalah ini?" Diego tidak habis pikir. "Dia kakakku, hal sekecil ini bukan masalah baginya."Melihat sikap keras kepalanya, Sophia makin marah, "Jangan nggak peduli begitu. Aku kasih tahu, setelah kita bersama, kamu nggak boleh minta tolong apa pun lagi sama kakakmu. Jangan menganggap rem
Sophia mengulurkan tangan dan menarik tangan Diego. "Diego, kita adakan acara sederhana saja."Setelah mengatakan itu, dia menoleh ke arah Reina."Kak, jangan dengarkan Diego. Kita nggak akan menyelenggarakan pernikahan atau apa pun itu. Kita hanya akan menyediakan beberapa meja saja. Diego bilang Kak Reina adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki saat ini, jadi Kakak harus datang untuk merayakan hari bahagia kami."Sophia adalah orang yang punya harga diri tinggi dan tidak ingin bergantung pada siapa pun, apalagi kakak Diego.Dia juga bisa melihat bahwa Reina tidak bersedia meminjamkan rumah lama mereka untuk melangsungkan pernikahan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa memaksanya.Namun, Diego sedikit enggan. "Tapi ...."Sophia memelototinya, membuatnya mengerucutkan bibirnya dan tidak mengatakan apa-apa lagi.Reina memperhatikan interaksi keduanya dengan jeli. Setelah mengobrol sebentar dengan mereka, dia mengantar mereka pergi sampai ke depan.Begitu mereka pergi, Sisil datang."Bos,
Waktu berlalu dalam sekejap mata.Tidak lama setelah kembalinya Reina, Diego datang bersama Sophia.Reina langsung berdiri ketika melihat gadis berpakaian sederhana dan agak ceroboh yang berdiri di depannya. Setelah itu, dia mempersilakannya duduk."Sini, duduk saja nggak perlu sungkan."Dia berkata dengan lembut.Sophia sebelumnya mengira bahwa Reina adalah seorang wanita paruh baya, tetapi tidak disangka bahwa Reina masih muda dan cantik. Dia bahkan tidak terlihat seperti bos-bos wanita yang biasanya muncul dalam berita."Terima kasih, terima kasih." Dia gugup dan sedikit gemetar.Melihat hal ini, Diego menggandeng tangan Sophia dan menuntunnya untuk duduk."Ayo, jangan gugup, Kakak baik kok."Sophia mengangguk, lalu menyerahkan hadiah yang dibawanya pada Reina. Itu adalah sebuah set perawatan kulit mahal yang mungkin berharga puluhan juta."Kak, aku nggak tahu mau bawa apa, tapi ini tanda penghargaan kecil dariku. Terima kasih sudah membantuku menemukan orang tuaku."Dia juga tahu b
Reina melihat ke luar jendela dan bertanya pada Diego, "Diego, menurutmu apa yang akan kamu lakukan kalau kamu nggak punya kakak sepertiku. Bagaimana kalau aku, sebagai kakakmu nggak bisa melunasi semua utangmu?"Diego tidak merasa begitu. "Nggak perlu berandai-andai, Kak. Tolong aku untuk yang terakhir kalinya. Aku janji nggak akan pernah melakukannya lagi."Setelah mengatakan itu, dia menunggu dengan tenang.Tidak ada jawaban dari seberang telepon untuk waktu yang lama.Diego mengira sudah tidak ada harapan lagi, tiba-tiba Reina akhirnya berbicara.Dia menghela napas panjang sebelum berkata, "Terakhir kali kamu juga bilang kalau itu yang terakhir kalinya. Aku nggak tahu apakah aku harus mempercayaimu.""Kak, kamu harus percaya padaku." Diego mencoba meyakinkan Reina."Begini saja, kita buat perjanjian saja," kata Reina.Meskipun Reina tidak berpikir bahwa perjanjian adalah sesuatu yang bisa ditepati oleh Diego, itu lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali."Perjanjian apa?"
Sophia menatap wajah tampan Diego, menekan pemikiran di dalam hatinya dan menggelengkan kepalanya. "Lupakan saja, aku benar-benar nggak punya rencana buat nikah."Dia merasa bahwa dia dan Diego memang tidak ditakdirkan untuk bersama.Diego sekarang menjadi seperti ini, tetapi dia masih memiliki kakaknya yang seorang presdir, tidak berada di kelas sosial yang sama dengannya."Bukannya aku sudah bilang, kita nggak perlu sampai mendaftarkan pernikahan kita. Selain itu, kamu juga harus menghadapi orang tuamu, ya nggak?"Mendengar itu, Sophia terlihat ragu-ragu cukup lama, lalu bertanya lagi, "Apa kamu menyukaiku?"Diego membeku.Sophia menatapnya dan berkata dengan tegas, "Kalau kamu menyukaiku dan ingin bersamaku, kamu bisa mengatakannya. Kalau hanya sebatas bantuan di antara teman, aku rasa lebih baik kita lupakan saja"Menghabiskan hari-hari bersama, Sophia merasa Diego cukup baik, setidaknya pria itu memperlakukannya dengan baik.Diego membutuhkan waktu lama untuk kembali tersadar. Buk
Awalnya Sophia hanya mengambil cuti lima hari, tetapi dia harus kembali minta cuti karena ingin mencari orang tuanya. Sekarang, cutinya telah habis.Sophia segera mengangkat telepon dan berbicara dengan manajer, menatap orang tuanya dengan permintaan maaf."Ibu, Ayah, kalian harus menjalani pengobatan di rumah sakit. Manajer memintaku kembali bekerja.""Ya, jangan sampai kelelahan.""Hmm."Sophia mengangguk beberapa kali, lalu meninggalkan rumah sakit bersama Diego.Sesampainya di luar, dia bertanya lagi kepada Diego apa yang dikatakan orang tuanya.Kali ini, Diego tidak mengatakan yang sebenarnya. Dia hanya menjawab, "Om sama Tante khawatir aku akan meninggalkanmu karena kalian menyulitkanku. Jadi, aku janji sama mereka hal seperti itu nggak akan terjadi.""Oh."Sebuah kegelapan melintas di mata Sophia."Ayah sama Ibu terlalu memikirkan yang nggak perlu. Sebenarnya, aku nggak punya rencana buat menikah, aku juga nggak khawatir orang nggak suka denganku."Mendengar Sophia mengatakan ba
Akhirnya, Sophia merasa lega setelah berhasil meyakinkan orang tuanya untuk kembali ke rumah sakit. Dalam perjalanan pulang, dia menggenggam erat tangan ayah dan ibunya, tidak mau melepaskannya."Dokter bilang kalau penyakit kalian disebabkan karena kelelahan jangka panjang. Selama kalian menerima perawatan satu atau dua tahun, kalian bisa pulang dengan sehat."Sophia tersedak, lalu melanjutkan, "Sekarang, pengobatan tinggal setengah tahun lagi, lalu kita bisa hidup dengan baik. kalian jangan pernah punya pikiran buat melarikan diri lagi.""Ya." Erna menghibur dan memeluknya dengan lembut, "Maafkan Ibu karena sudah membuatmu khawatir, Nak."Robi juga berkata, "Kali ini Ayah dan Ibu memang salah, kami minta maaf sama kalian."Sophia tersenyum. "Lain kali kalian nggak boleh seperti ini lagi.""Hmm, ya." Robi mengangguk berulang kali, nadanya lembut.Diego yang duduk di kursi depan menatap Sophia, Erna dan Robi yang terlihat bahagia, entah kenapa jadi teringat masa kecilnya.Dia teringat
Reina langsung menghubungi Diego setelah meminta pengawal itu mengirimkan alamat hotel di mana keduanya berada.Saat itu masih pagi sekali.Diego dan Sophia masih berada di luar.Ketika Diego menerima telepon itu, bagian bawah matanya berbinar. "Kak, terima kasih banyak, kamu benar-benar sangat membantuku."Reina tidak banyak bicara saat mendengar ucapan terima kasihnya."Cepat pergi dan jemput mereka kembali. Selain itu, perlakukan temanmu itu dengan baik.""Ya, ya, ya."Diego langsung mengiakan. Karena cuaca terlalu dingin, jadi suaranya sedikit bergetar.Setelah menutup telepon, Diego langsung memberi tahu Sophia."Ayo, aku tahu di mana Om sama Tante."Wajah Sophia pucat, pipinya memerah karena kedinginan. Dia mencoba mengucapkan terima kasih, tetapi ia terlalu dingin untuk berbicara.Diego segera menghentikan taksi.Keduanya duduk di dalam, penghangat di dalam mobil sangat memadai, membuat tubuh Sophia menghangat. Dia berkata, "Di mana orang tuaku sekarang? Apa mereka baik-baik saj