Reina mengikuti arah pandangan Morgan dan merasa sedikit gugup.Harusnya Jovan sudah datang bukan?Untungnya, Morgan tidak berkata apa-apa. Dia menoleh balik dan tersenyum, "Iya aku ngerti kok. Kamu bukan gadis polos kayak dulu lagi.""Ayo jalan-jalan ke tempat yang lebih jauh," ucap Morgan."Oke."Reina sangat beruntung.Di sisi lain, Jovan sudah tiba di vila, dia masuk ke kamar melalui pintu belakang dan memeriksa Maxime.Reina tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan Jovan untuk memeriksa, jadi dia mengulur waktu sebisa mungkin.Mereka berdua mengobrol tanpa henti. Saat sebuah pesan masuk di ponsel Reina, dia pun berkata pada Morgan, "Balik yuk, sudah malam."Morgan tidak tega membongkar kedok Reina saat melihat wajah wanita yang begitu damai."Oke."Sesampainya di rumah, Maxime masih belum bangun. Reina yang lapar pun memesan makanan dan menyantapnya dengan Morgan.Morgan sudah lama tidak merasakan suasana seperti ini. Dia bisa makan, berjalan dan mengobrol dengan Reina berduaa
Reina bersandar di pelukan Maxime."Kamu ..."Reina hendak bertanya, namun tubuh Maxime yang tinggi besar sudah lebih dulu bersandar pada Reina dan memegangi kepalanya dengan tangannya yang besar, "Kepalaku sakit.""Sakit kepala? Aku panggil dokter ya.""Jangan pergi, aku mau peluk sebentar." Suara Maxime terdengar serak.Reina menyadari sekarang Maxime terdengar seperti orang normal."Kamu ingat sesuatu?""Ssst, jangan bicara, di sini nggak aman."Reina tidak berani memercayai hal ini, namun Reina patuh dan tidak bersuara.Maxime memeluknya erat-erat dan setelah sekian lama, tubuhnya kembali terkulai lemas di kasur.Reina mengulurkan tangan dan menyentuh kening Maxime, dia demam.Reina langsung mengambil obat dan mengompres Maxime.Kepala pelayan mengawasi dari luar dan tidak ikut campur.Kondisi Maxime baik atau buruk masih tidak jelas. Malamnya, saat Reina mengajaknya mengobrol, Maxime kembali menjadi orang idiot.Reina merasa sebenarnya Maxime tidak gila, mungkin dia masih dalam ma
"Ngapain berdiri di depan pintu gitu? Masuk." Rendy langsung memerintah Reina yang terlihat bengong di depan ruangannya.Matanya mengamati seluruh tubuh Reina.Meski Reina sedang hamil, dia masih terlihat cantik. Sayang wajah mulusnya itu cacat karena bekas luka.Reina masuk dan menyapa, "Ada perlu apa Pak Rendy?"Rendy bersandar di sandaran kursi sambil menopang dagunya dengan satu tangan."Nggak ada yang penting kok, silakan duduk, kita ngobrol."Reina menarik kursi dan duduk.Rendy melanjutkan, "Katanya departemenmu menduduki peringkat pertama dalam penjualan bulan lalu?""Ya.""Boleh juga. Kamu seorang wanita bisa membuat kinerja departemen yang awalnya menduduki posisi terakhir jadi posisi pertama," lanjur Rendy.Reina tidak tahu maksud Rendy, jadi Reina hanya menjawab sopan, "Terima kasih."Rendy menyilangkan kakinya dan berkata, "Kudengar kamu sudah bercerai dari Maxime? Dia tuh benar-benar deh, masa wanita secantik dan sehebat kamu dibuang?"Tatapan Reina jadi dingin saat melih
Sekarang taktik Reina adalah memberikan semua sesuai keinginan Melisha.Reina tidak terburu-buru. Dia tahu dirinya masih punya kartu truf yang belum dikeluarkan.Kalau Melisha dan Rendy keterlaluan sampai Reina menemui jalan buntu, barulah dia akan bertindak."Kenapa? Bukannya kemarin kamu sangat sombong?"Melisha sangat senang saat mendapat proyek dari Reina.Saat keduanya bertemu di koridor, Melisha pun pamer, "Kamu tahu nggak aku baru mendapat beberapa proyek baru yang katanya adalah kerja keras dari departemenmu. Terima kasih banyak ya."Melisha melanjutkan, "Tapi aku juga orang yang tahu diri kok. Nanti kukasih beberapa proyek kami, jangan sampai kamu ngadu ke Morgan aku nggak memperlakukanmu dengan baik ya."Reina menatapnya dengan acuh tak acuh."Jangan khawatir, aku nggak akan ngadu. Kamu nggak perlu ngasih proyekmu ke aku, buatmu aja."Reina sudah tahu proyek yang diberikan Melisha pasti tidak ada untungnya dan sulit didapat.Melisha tersedak, lalu berujar dengan sinis, "Reina
Reina masih ingat bahwa Sisil datang ke Kota Simaliki dengan tujuan ingin mengenal Deron lebih dalam. Setelah menjemput Sisil, dia langsung membawanya ke Vila Magenta."Bos, kok kamu nggak nanya aku bawa hadiah apa untukmu?" tanya Sisil begitu duduk di dalam mobil.Reina mengernyit bingung, "Hadiah apa?"Sisil merasa sekarang Reina sudah benar-benar tidak memedulikannya, Sisil pun menjawab dengan lesu, "Yah, koneksimu di luar negeri dan Pak Revin menyeretku untuk membawakanmu makanan enak. Selain itu, Ari juga nyuruh aku bawain lagu barunya."Reina tidak terlalu tertarik pada makanan dan lagu baru.Namun begitu dia mendengar tentang koneksi luar negeri, seketika hati Reina langsung tergerak."Bagus!"Reina langsung memeluk Sisil seraya berkata, "Sisiiiiil! Kamu memang bintang keberuntunganku!"Sisil mengernyit bingung."Hah? Kok aku bisa jadi bintang keberuntungan? Memangnya semua ini turun dari langit?"Reina tersenyum, "Pokoknya menurutku begitu!"Dia sudah tahu bagaimana cara mengha
Reina menghiburnya, "Sisil, kamu juga hebat kok. Kamu itu wanita kuat, jangan meremehkan dirimu sendiri."Sisil memeluk bantal yang ada di sampingnya."Bos, jangan ngejek aku lah."Sisil tahu diri, pria seperti Deron pastinya lebih suka wanita kalem, penurut dan imut."Kamu mau aku comblangin?" Reina belum pernah menjadi makcomblang dan dia juga berharap Sisil bisa jadian dengan Deron.Menurutnya Sisil itu imut dan Deron tampan, sehingga keduanya adalah pasangan yang serasi.Apalagi Sisil juga bisa bertarung, dia bisa jadi teman tanding Deron."Nggak, Bos nggak boleh ngasih tahu dia." Sisil langsung menghentikan Reina, "Aku cuma suka karena dia ganteng, tapi kayaknya belum ada rasa cinta atau mau jadi pacarnya gitu."Karena Sisil menolak, Reina hanya bisa mengangguk dengan lesu. "Oke, tapi kalau kamu butuh bantuanku, bilang aja ya."Sisil mengangguk sungguh-sungguh, "Oke deh.""Kamu mau makan apa hari ini?""Apa aja boleh."Sisil menambahkan, "Bos, aku sudah selesai ngurus izin usaha p
Tentu saja Maxime tidak bisa menanggapi ucapan Reina, dia hanya mengulurkan tangan dan memeluk Reina.Reina tercengang."Maxime."Pria itu menundukkan kepalanya dan mendekati wajah Reina, "Bobok."Bobok?Reina terkekeh, ingin sekali rasanya merekam tingkah laku Maxime saat ini dan menunjukkannya pada Maxime saat nanti dia sudah sembuh.Reina menarik selimut dan menyelimuti tubuh mereka, lalu menepuk bahu Maxime, "Oke, ayo bobok."Reina mematikan lampu, memejamkan mata dan langsung tertidur.Keesokan harinya di saat matahari belum terbit, Reina terbangun karena ponselnya yang tidak berhenti berdering.Reina mengangkat ponselnya dan mendapati yang menelepon adalah Elly, suster perawat Treya.Kenapa suster itu mencarinya subuh-subuh begini?Apa Syena cari masalah lagi?"Nona Reina ... Tolong! Tolong ..."Begitu Reina mengangkat telepon, terdengarlah suara Elly yang lemah dan tidak berdaya."Bibi Elly, kamu kenapa?"Pertanyaan Reina tidak dijawab, hanya saja samar-samar terdengar suara seo
Raisa pun terlihat sangat kagum."Kak, kamu hebat banget."Syena tentu senang-senang saja dipuji seperti itu, lalu berkata pada Raisa, "Kamu 'kan juga putri Keluarga Hinandar. Mulai sekarang, kamu juga bisa menikmati bagianmu di Keluarga Hinandar."Raisa buru-buru menggeleng."Aku nggak mau. Aku cuma mau Doni cepat sembuh dan punya tempat tinggal yang aman untuk kami."Syena mencibir dalam hati.Di mulut sih bilangnya tidak mau, tapi siapa yang tahu isi hatinya? Masa iya menolak ditawari jadi miliarder?Kalau Raisa punya hati yang baik, dia tidak mungkin mau menggantikan posisi Reina!"Ayo turun.""Oke."Raisa mengikuti Syena keluar dari mobil dan masuk ke Grup Rajawali. Dekorasi megah dan mewah di kantor itu membuatnya sangat iri.Tunangan Syena memiliki perusahaan yang sangat besar, jadi Keluarga Hinandar pasti sangat kaya. Bagaimanapun mereka sudah memberinya gelang miliaran begitu saja.Sayangnya suami Raisa hanyalah seorang karyawan biasa.Raisa menyentuh gelang di pergelangan tan
Mendengar pertanyaan Hanna, Adrian menjawab, "Tadi pagi aku keluar buat cari rumah yang lebih besar. Karena kamu lagi tidur nyenyak, jadi aku nggak tega mau bangunin. Aku sudah mengemasi barang-barang dan niatnya mau aku bawa ke rumah baru sebelum kamu bangun."Mendengar penjelasannya, kekhawatiran di hati Hanna pun lenyap."Dasar bodoh! Kenapa nggak bilang, aku pikir kamu ....""Kamu pikir aku kenapa?" tanya Adrian tidak mengerti.Hanna merasa malu untuk mengatakan bahwa Adrian sudah tidak menginginkannya lagi.Dia menoleh, mencoba menghindar. "Bukan apa-apa.""Oh, kalau begitu ayo sarapan, kamu pasti lapar."Adrian mengambil sarapan."Aku nggak tahu kapan kamu bakal bangun, jadi aku menaruh sarapan di dalam penanak nasi agar tetap hangat. Ini masih panas, lihatlah, kamu suka nggak? Kalau nggak, aku akan beli yang lain."Hanna mengambil kue kukus yang dibeli Adrian, menggigitnya. "Ini di Jalan Permata?""Hmm."Adrian mengangguk membenarkan.Hanna sedikit tersentuh, mengingat jarak ant
Mendengar Hanna ingin ditemani ke toilet, wajah Adrian langsung terasa panas."Kamu mau ke toilet, gimana aku nemeninnya?" katanya dengan sedikit gagap.Hanna berpikir sebentar, lalu menjawab, "Tunggu di depan pintu, ya?"Wajah Adrian makin memerah.Hanna sudah panik. "Tolong, aku benar-benar takut.""Ya ... baiklah." Adrian akhirnya mengangguk setelah ragu cukup lama.Hanna langsung menariknya ke depan pintu toilet."Kamu tunggu di sini dulu.""Ya."Adrian berdiri membelakangi toilet.Sebenarnya, toilet di sini sangat dekat dengan ruang tamu, hanya berjarak sekitar tujuh meter.Hanna benar-benar merasa takut. Setelah masuk ke dalam toilet pun dia masih sempat berseru kepada Adrian."Adrian, kamu masih di depan?""Ya."Adrian menjawabnya sambil membelakangi pintu.Hanna baru merasa tenang setelahnya.Dia sedikit tidak enak hati karena ke toilet seperti ini, jadi dia bertanya, "Apa kita begini nggak aneh? Apa kamu jadi nggak suka denganku karena ini?"Mendengar ini, Adrian menjawab tanp
"Apa aku akan terus tinggal di hotel? Apa kamu punya uang buat bayar hotel yang aku tinggali?" tanya Hanna lagi.Adrian terdiam.Hanna berbaring di sofa dengan punggung menghadapnya. "Pokoknya aku nggak peduli. Aku mau tinggal di sini sama kamu. Aku nggak akan pergi ke mana pun."Adrian tidak berdaya saat melihat ini.Dia tahu Hanna keras kepala dan tidak mudah dibujuk."Baiklah kalau begitu. Istirahat di kamar saja, mulai hari ini aku akan tidur di ruang tamu," kata Adrian dengan sangat jelas.Hanna kemudian duduk dengan gembira. "Ya."Melihat senyum di wajah Hanna, Adrian tahu bahwa Hanna membohonginya lagi. Meskipun tidak berdaya, dia tidak tega memarahi Hanna.Hanna merebahkan tubuhnya di sofa. "Bukannya kamu istirahatnya pas siang? Tidurlah, aku di ruang tamu, nggak akan mengganggumu.""Nggak usah, aku juga mau berhenti," jawab Adrian.Hanna ada di tempat ini, bagaimana dia bisa tidur?"Ya sudah kalau begitu.""Sudah makan belum? Mau aku masakin?" tanya Adrian saat melihat hari su
Adrian mengikuti Hanna ke dalam, cukup perhatian dengan membiarkan pintu tetap terbuka.Lalu, dia bertanya pada Hanna, "Hanna, apa yang terjadi di rumahmu?""Bukan apa-apa, mereka nggak mengakuiku sebagai putri mereka lagi." Hanna duduk di sofa sempit di ruang tamu dan menyelesaikan perkataannya tidak peduli. Lalu, dia bertanya kepadanya, "Kenapa pintunya nggak ditutup?""Nggak baik kalau pintunya ditutup."Adrian menjawab polos.Hanna mengembuskan napas panjang. "Pikiranmu terlalu ...."Dengan sedikit tak berdaya, dia melangkah maju dan melewati Adrian, lalu menutup pintu."Ngapain takut, sih. Kita 'kan pacaran. Kita juga nggak kenal sama orang di sini, mereka juga nggak kenal kita."Adrian masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi disela oleh Hanna, "Coba pikirkan, tempat yang kamu sewa ini penuh dengan berbagai jenis orang. Bagaimana kalau ada orang jahat yang mengincarku?"Dengan satu kalimat itu, Adrian benar-benar kehabisan kata-kata untuk menyanggah.Dia berjalan dan membuka kunci
Adrian tidak tahu harus berkata apa lagi saat mendengar Hanna mengatakan ini.Setelah beberapa saat, dia mengatakan, "Jangan khawatir, aku nggak akan menyakitimu."Senyum Hanna mengembang puas."Ya, aku percaya padamu."Jika dia tidak percaya pada Adrian, dia tidak akan membohongi orang tuanya.Sampai saat ini, keduanya masih belum menikah.Dia sempat menyarankan kepada Adrian untuk menikah secara diam-diam, tetapi ditolak mentah-mentah olehnya.Dia berkata, "Orang tuamu belum setuju kita menikah, jadi aku nggak bisa nikah sama kamu tanpa sepengetahuan mereka. Itu akan menyakiti mereka yang sudah melahirkanmu. Jangan khawatir, aku sudah memulai bisnisku sendiri. Ketika sukses nanti, aku akan membuat orang tuamu mengakuiku."Pada saat itu, Hanna tahu bahwa dia tidak salah menilai.Adrian berjalan di depan untuk memimpin jalan, sementara Hanna berjalan di belakangnya. Dia melihat punggung lebar Adrian, serta tangan yang tergantung di kedua sisi tubuhnya. Seketika, dia langsung menggengga
Setelah Hanna meninggalkan rumah, dia hendak menyetir mobil. Namun, sopir menghampirinya dan berkata, "Nona, Tuan bilang Nona nggak boleh bawa mobil keluarga mulai sekarang."Setelah mendengar itu, Hanna tidak menyalahkan sopir, melainkan mengeluarkan kunci mobil dan menyerahkannya kepadanya."Ya, tolong bantu aku mengembalikannya.""Baik."Sopir itu mengambil kunci dan melihat Hanna pergi.Hanna keluar dan naik taksi ke tempat Adrian.Sepanjang perjalanan, dia memejamkan mata dengan lelah, pikirannya kembali ke setahun yang lalu.Dia mulai tertarik pada Adrian setelah Adrian menyelamatkannya setahun yang lalu.Pada awalnya, dia hanya ingin tahu kenapa pria itu sangat sulit didekati, kenapa pria itu tidak tertarik kepadanya dan kenapa pria itu tidak memperlakukannya dengan baik seperti yang dilakukan orang lain kepadanya.Kemudian, Hanna jadi sering menemui Adrian. Secara bertahap dan seiring berjalannya waktu, dia menyadari bahwa dia menyukai Adrian.Suatu ketika, saat dia pergi menem
"Dia mau tinggal sama kita kalau Ayah dan Ibu setuju."Hanna sangat serius. "Ibu, bukannya dari dulu Ibu berencana punya menantu yang mau tinggal di rumah kita?"Ines tidak menjawab, masih terkejut dan butuh waktu lama untuk kembali sadar."Hanna, kamu dan dia sudah menikah, apa dia bahkan nggak punya rumah?"Wajah Hanna sedikit tidak wajar. "Dia punya orang tua angkat yang sulit dihadapi, jadi dia belum bisa mengumpulkan uang atau mendapatkan pekerjaan yang baik. Dia menyewa apartemen."Wajah Ines berubah muram saat mendengar ini."Lihat, dia saja nggak punya rumah! Kalau kamu ikut dengannya, apa kalian akan makan angin?""Bu, apa aku nggak bisa cari uang sendiri? Nggak masalah, aku masih punya rumah kecil, kok," kata Hanna."Dia ... jangan bilang dia tinggal bersamamu di vila itu?" tanya Ines.Hanna menggelengkan kepalanya. "Nggak, dia nggak mau tinggal di sana. Katanya, dia ingin membeli rumah untuk kami dengan usahanya sendiri."Mendengar ini, hati Ines menjadi sedikit lebih baik.
Hanna menghilang di balik ambang pintu.Reina sedikit membeku.Putranya, Leo, mendongakkan kepalanya dan berkata pada Reina dengan suara menggemaskan, "Ibu, sudah lima."Reina kembali tersadar dan melihat ke bawah, melihat bahwa bidak hitam Leo sudah penuh, yaitu lima bidak."Sayang kamu menang, luar biasa." Reina langsung memberikan pujian beruntun.Leo tersenyum bahagia.Di sisi lain, Liam sedikit cemburu saat melihat ibunya memuji kakaknya.Dia berjalan ke arah Reina dan memeluk lengan Reina. "Mama."Reina sedikit tidak berdaya, menyentuh kepala kecilnya. "Liam juga hebat."Joanna merasakan gejolak kecil di dalam hatinya saat melihat ini.Dia mengulurkan tangannya. "Ayo, sini peluk Nenek."Liam dan Leo berbeda dengan Riki dan Riko. Mereka tumbuh bersama Joanna dan memiliki perasaan mendalam kepada neneknya ini, tidak kurang dari perasaan mereka kepada Reina.Mereka berdua berlari mendekati Joanna, ingin dipeluk.Joanna sangat gembira dan berkata kepada Reina sambil tersenyum, "Lihat
Ines berdecak, "Bukannya aku keberatan karena dia miskin, tapi keluarga yang berbeda, kelas yang berbeda, konsep hidup yang berbeda, pandangan dalam hidup pun akan berbeda.""Sekarang, darahnya sedang menggebu-gebu. Tapi, setelah darah itu mengalir ke kepalanya, dia akan lebih tenang. Saat itulah dia akan menyadari kalau dia dan Adrian berbeda."Setelah itu, Ines menoleh ke arah Reina."Nana, bukankah begitu?"Wajah Reina menegang.Dia terkejut kenapa Ines melemparkan pertanyaan itu kepadanya?"Hmm, memang benar akan ada konflik di kemudian hari, ketika kesenjangan antara status keduanya terlalu besar," kata Reina.Setelah mengatakan itu, dia mengubah topik pembicaraan, "Tapi, aku pikir kalau mereka benar-benar saling mencintai, mereka seharusnya bisa saling menemani hingga tua bersama."Dia mengatakan persetujuan untuk kedua belah pihak, jadi tidak menyinggung perasaan Hanna dan ibunya.Sejujurnya, Reina bahkan tidak tahu bagaimana Hanna dan Adrian bisa bersatu.Kalau di ingat tahun l