“Wiraaaa!”
Aisya berteriak sekuatnya setelah menyaksikan sepeda motor yang dikendarai kekasihnya tertabrak minibus dari arah kanan. Tubuh pemuda itu sempat terpelanting ke atas sebelum terhempas ke aspal. Aisya masih dapat melihat helm yang dikenakan Wira terlepas karena tak sempat ia kunci pengaitnya.
Adrenalin perempuan itu naik ke level tertinggi. Jantungnya tak berdetak normal lagi. Seluruh tulang ditubuhnya seperti melunak seketika. Hingga kakinya bergetar menopang tubuh 53 kilogram ini. Napasnya seperti tak sampai ke paru-paru. Namun entah mengapa ia masih tetap berlari untuk dapat sampai di dekat Wira secepatnya.
Warga sekitar segera berkerumun. Beberapa mengamankan pengendara mobil agar tidak kabur. Beberapa mencoba berkomunikasi dengan Wira, sedang sisanya mengamankan sepeda motor Wira yang ringsek di bagian kanannya. Ada pula yang beinisiatif mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan.
Jeritan Aisya membuat semua mata tertuju
“Keluarga Bapak Wirabhumi?” Seorang perawat keluar dari bilik mengenakan masker dan banyak berkas di tangannya.Aisya menoleh, setengah berlari ia menghampiri perawat itu. Seorang laki-laki yang sepertinya dokter jaga dengan stetoskop di lehernya keluar dari dalam bilik. Laki-laki dengan jas putih itu tersenyum pada Aisya. Hal yang membuat perempuan itu tumbuh ketenangannya.“Bu, suaminya sudah kami tangani. Sementara yang terlihat adalah luka di kepala belakang dan patah tulang di kaki kanan. Tapi jangan khawatir, kondisi Pak Wira stabil. Untuk pemeriksaan lanjutan nanti akan ada dokter spesialis penyakit dalam dan bedah tulang yang akan menangani,” ujar dokter jaga itu lugas.Aisya hanya mengangguk beberapa kali. Ia memang mendengarkan kata-kata dokter itu, namun pandangannya mengarah pada Wira yang berbaring di atas brankar. Pemandangan yang amat tak ingin ia lihat. Perban di kepala, penyangga leher, infus, selang oksigen, dan kaki yan
Brankar yang membawa tubuh Wira sudah sampai di kamar Bougenville nomor 132. Mamak dan Nadya terpaku melihat kondisi pemuda yang masih tak sadar itu. Wajah Wira sama sekali tak terluka. Namun ada perban melingkari kepalanya. Sedang di lehernya juga melingkar penyangga leher. Tubuh bagian bawah diselimuti kain berwarna senada dengan cat kamar itu. “Maaf, Ibu pasti Mak Ayu ya?” tanya Aisya ramah. “Kamu pasti pacar Wira ya? Masya Allah cantik banget. Terima kasih sudah menyelamatkan anak saya,” ucap Mamak. Wanita itu menghampiri dan segera menarik Aisya ke dalam pelukannya. Aisya terkejut namun juga senang dengan perlakuan yang ia terima dari orang tua kekasihnya ini. “Saya Aisya, Mak, doakan saja Wira segera sadar. Kata dokter luka yang serius di kepala bagian belakang dan kaki kananya patah. Hasil CT scan akan diberitahukan oleh dokter yang akan berkunjung nanti. Jika mengkhawatirkan akan ada pemeriksaan lanjutan,” terang Aisya. Perempuan canti
“Mbak Niken, kita ketemu lagi,” sapa Aisya ramah. Dalam hati ia bertanya mengapa perempuan ini ada di sini malam-malam. Padahal jam besuk sudah habis. “Eh, iya, Mbak. Kebetulan saya kerja di sini. Dapat kabar dari kawan perawat katanya ada yang kecelakaan atas nama Wira, jadi saya ke sini,” dalih Niken. “Lho, kalian sudah saling kenal?” ujar Mamak setelah beberapa saat hanya menjadi penonton dialog dua perempuan muda di hadapannya. “Tadi sore kami bertemu, Mak,” jawab Aisya ringan. Ia terus menatap Niken yang mulai tak nyaman. Tatapan penuh upaya pengusiran itu terejawantahkan dengan baik di kepala Niken. “Ya sudah, Mak, saya pamit ya ... besok ketemu lagi. Saya shift pagi kok,” ucap Niken berpamitan. Tatap perempuan bernama Aisya itu begitu mengintimidasinya. “Lho, baru datang kok sudah pulang, Ken?” cegah Mamak. Niken tak segera menjawab. Ia memandang tubuh lemah Wira yang tadi sore begitu bugar saat mampir ke rumahnya. Pahl
Pukul sembilan dua puluh menit, dokter pemit setelah menjelaskan hasil CT Scan Wira pada Aisya dan Mamak. Luka di kepala belakang tidak parah, hanya memar dan tidak ada pendarahan otak seperti risiko terburuknya. Hanya benturan macam ini berpotensi gegar otak ringan. Biasanya pasien akan mengalami kehilangan memori sebagian. Itu hanya bisa dilihat saat pasien sudah sadar.Patah tulang kaki kanan di dua bagian akan terus dilakukan perawatan intensif. Tim dokter akan segera menyiapkan operasi jika kondisi Wira stabil. Mamak hampir saja menangis. Untung saja ada Aisya yang mampu bersika tenang di situasi genting.“Sya, gimana ini?” rengek Mamak.“Gimana apanya, Mak? Wira sudah mendapatkan tindakan terbaik. Kalau soal biaya, kan aku udah bilang dari awal kalau aku akan bantu, jadi Mamak nggak perlu khawatir,” ujar gadis itu lembut.Mamak masih tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Dengan status Aisya dan anaknya yang hanya terlibat uru
Aisya meneruskan langkahnya memasuki ruang perawatan Wira. Hatinya benar-benar kesal. Beruntung mamak sedang tidur, sehingga kata-kata sindirannya tadi tak didengarnya. Jika mamak sadar ia tak akan berani sefrontal itu berbahasa dengan Niken.Tas ransel yang begitu berat itu Aisya letakkan di sudut ruang. Begitu juga kantung plastik berisi makanan untuknya dan mamak. Beberapa perlengkapan mandi dan makan juga tak lupa ia bawa.“Sudah datang, Sya?” Mamak bergerak dan merenggangkan seluruh tubuhnya.“Baru aja sampai, Mak. Ini aku bawain makan siang sama cemilan. Mamak makan duluan ya, ada yang mau aku urus di bawah,” ucap Aisya ramah.Mamak mengangguk, berpura-pura tidur ternyata membosankan. Sebenarnya ia ingin sekali mendengar Aisya mengadu perihal keberadaan Niken di sisi Wira tadi. Namun ternyata perempuan itu amat dewasa dalam bersikap.Aisya melangkah cepat hendak keluar dari kamar itu, sesaat gawainya berdering. Keningn
“Masya Allah sekarang sudah berhijab. Selamat ya, Nad. Baru datang ya? Pantas aku lihat sedan hitam di parkiran,” ujar Aisya sekaligus memberi tekanan.“Sedan hitam?” tanya Wira. Pemuda itu mengernyitkan kening mencoba mengingat sesuatu.“Ah, Mbak bisa aja. Nadya bawa motor kok, Mbak. Punyanya cuma itu,” kilah Nadya.Bahasa tubuh Aisya begitu mengintimidasi. Meski ia tengah menyuapkan air pada Wira, tapi pandangannya menusuk telak ke sisi psikologis Nadya. Selain menciptakan rasa tak nyaman, Nadya juga merasa tersudut.Aisya tersenyum simpul. Ia begitu yakin bahwa sedan hitam yang ia lihat masuk ke halaman rumah sakit adalah mobil yang sama dengan yang ia lihat kemarin. Tepat seperti dugaannya, Nadya yang Wira curigai memang ada di rumah sakit ini.“Apa yang dirasa, Wir? Butuh apa lagi?” tawar Aisya penuh perhatian.“Bisa tolong lepasin selang di bawah hidungku ini, Sya. Aku sudah baik-ba
“Nadya!” seru Wira. Mamak dan Aisya terkejut. Tak pernah sebelumnya Wira berkata dengan nada setinggi ini. “Kamu kenal Firman?” Nadya tersentak, diikuti dua pasang mata perempuan yang sorotnya turut serta menghardik. Gadis itu baru menyadari ia tak mengenakan lensa kontak. Kali ini ia tak akan bisa mengelak, seperti kemarin hingga menyebabkan Wira dirawat. Gadis itu membisu, ia tak tahu harus menjawab apa. Wira di hadapannya masih terus menguliti masa lalunya yang penuh dosa. Nasibnya kini diujung tanduk. Mamak dan Aisya perlahan mendekat. Entah akan ikut mendesak, atau menjaga agar Nadya tidak kabur. “Jawab aku, Nad!” pekik Wira. “Maafin Nadya, Mas ... Mak, Mbak Aisya juga,” pinta Nadya sendu. “Ada apa ini, Wir?” tanya Mamak. Wanita ini merasa ada hal besar yang tengah dilihat anaknya dan berhubungan dengan Nadya. “Mamak tanya aja ke dia, Nadya tahu segalanya! Dia ini yang bikin aku masuk rumah sakit!” hardik Wira. Kini emosinya semak
Wira dan Aisya saling tatap. Wira merasa kemampuannya melihat masa lalu amat tak berguna karena asal-usul diri sendiri tak bisa diketahui. Pantas saja terakhir ia lihat masa lalu tempat itu, ia seperti berada dalam sebuah kerajaan. Pakaiannya mewah, mungkin jika kerajaan itu masih ada ia berpotensi menjadi putra mahkota. Wira membelai janggutnya yang hanya beberapa helai. “Kakek mereka berdua berasal dari ibu yang berbeda. Mamak juga nggak tahu asalnya, tapi kakek mereka memperebutkan tahta. Namun kakek bapakmu lah yang akhirnya naik tahta. Tak lama kemudian kerajaan itu hancur setelah kedatangan Belanda,” terang Mamak lagi. “Terus? Apa sebab Firman itu kayanya benci banget sama bapak? Padahal kan kejadian itu sudah lama?” tanya Wira. “Mamak nggak tahu jelas, Wir. Walaupun dia benci, tapi bapakmu masih mengganggapnya saudara. Itu saja yang diceritakan bapak ke Mamak.” Mamak menghirup cairan di rongga hidungnya. Setiap kali wanita itu mengingat mendian
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen