Wira dan Aisya saling tatap. Wira merasa kemampuannya melihat masa lalu amat tak berguna karena asal-usul diri sendiri tak bisa diketahui. Pantas saja terakhir ia lihat masa lalu tempat itu, ia seperti berada dalam sebuah kerajaan. Pakaiannya mewah, mungkin jika kerajaan itu masih ada ia berpotensi menjadi putra mahkota. Wira membelai janggutnya yang hanya beberapa helai.
“Kakek mereka berdua berasal dari ibu yang berbeda. Mamak juga nggak tahu asalnya, tapi kakek mereka memperebutkan tahta. Namun kakek bapakmu lah yang akhirnya naik tahta. Tak lama kemudian kerajaan itu hancur setelah kedatangan Belanda,” terang Mamak lagi.
“Terus? Apa sebab Firman itu kayanya benci banget sama bapak? Padahal kan kejadian itu sudah lama?” tanya Wira.
“Mamak nggak tahu jelas, Wir. Walaupun dia benci, tapi bapakmu masih mengganggapnya saudara. Itu saja yang diceritakan bapak ke Mamak.”
Mamak menghirup cairan di rongga hidungnya. Setiap kali wanita itu mengingat mendian
Pukul sepuluh lima belas menit pagi, Aisya tengah menyelesaikan administrasi rawat inap Wira selama dua hari. Setelah kunjungan dokter satu jam lalu, Wira dipastikan sembuh. Dokter yang memeriksa sampai terheran-heran, bagaimana mungkin patah tulang di dua lokasi dapat sembuh dalam semalam tanpa perlakuan khusus.Mamak dan Aisya tentu gembira dengan kesembuhan Wira. Apalagi Mamak yang memang amat tak nyaman biaya rumah sakit diselesaikan semua oleh Aisya. Wanita itu sudah membayangkan uang puluhan juta yang akan dikeluarkan Aisya untuk perawatan operasi patah tulang dan kemungkinan gegar otak.Aisya tersenyum memandang kartu ATM platinum yang sudah kembali ia pegang. Ayahnya sudah berjanji untuk memberikan kembali seluruh haknya bila ia sudah sembuh dari luka hati, berhasil menemukan pria yang tepat untuk pendamping hidup, dan mampu hidup tanpa sokongan orang tua.Begitu melihat kartu ATM berwarna hitam itu, petugas rumah sakit berubah ekspresi seketika. Semula
“Halo? Siapa ini?”“Kamu nggak perlu tahu siapa aku, perempuan j***ng! Aku memberimu dua pilihan, tetap di sini dan terus awasi Wira atau pulang tanpa nyawa,” suara bariton di seberang telepon itu begitu mengganggu pendengaran Nadya.“Lu ngancem gue, hah? Dibayar berapa Lu sama Firman?” hardik Nadya.Pria itu hanya tertawa, perlahan tawanya semakin kuat hingga memekakkan telinga. Nadya menjauhkan gawainya dari organ pendengaran. Lalu terdengar suara sambungan telepon terputus.“Sial! Apa-apaan ini? Nggak bener si Maya, bisa-bisanya dia lapor ke Firman!” geram Nadya.Ia bangkit dari tempatnya bermalas-malasan. Tujuannya hanya satu, menyerbu Maya. Selama ini perempuan itu ia anggap rekan dan sahabat. Ia tak menyangka Maya ingin mengambil keselamatan dirinya sendiri dan menyerahkannya sebagai korban.“May!” Nadya menggedor pintu kamar Maya. “Keluar, Lu! Lu laporin ke Firman ya ka
“Kamu beneran udah sehat kan, Wir?” tanya Aisya. Nada suaranya begitu khawatir. Namun di sisi lain ia tak bisa mencegah kekasihnya pergi, apalagi ini soal keluarga.“Insya Allah aku udah sehat, Sya. Seharusnya kami berangkat kemarin lusa, tapi karena aku masih di rumah sakit ya nggak bisa dong. Makanya mepet begini,” kilah Wira.“Ya sudah, hati-hati, Wir. Kasih kabar kalau sudah sampai ya?” ucap Aisya sambil tersenyum.“Siap, Sya. Assalamu’alaikum.”“Wa’alaikumussalam.” Sambungan telepon itu berakhir. Mamak dan Nadya memandang Wira dengan penuh tanda tanya. Terlebih Mamak, yang sebenarnya tak rela namanya digunakan sebagai alibi.“Cukup sekali kamu bohong pakai nama Mamak ya, Wir. Selesai antar Nadya, segera pulang!” pinta Mamak. Sejak kedatangan Nadya kemarin siang, ia sama sekali tak mau melihat wajah gadis itu.“Iya, Mak. Aku pamit ya?” Wira me
“Jangan bangun dulu!” bisik Wira. “Pasti suruhan Firman, sial!” umpatnya.Mobil bak terbuka yang mereka tumpangi terus melesat dengan kecepatan sedang membelah jalanan yang dingin. Supir tidak tahu bahwa ada bahaya yang mengintai dua orang penumpangnya. Sementara tak ada yang bisa Wira lakukan selain menyelimuti Nadya dengan tubuhnya sendiri.Kecepatan mobil menurun, suara riuh orang-orang mulai terdengar. Beberapa aroma tercium di indera penciuman. Jalan yang dilalui cukup membuat tubuh mereka berdua terguncang ke kanan dan kiri.“Kayanya kita udah masuk pasar, alhamdulillah, sementara kita aman, Nad.” Wira bangkit. Ia perhatikan sekeliling, dan benar mobil bak terbuka ini sudah memasuki area pasar pagi.Nadya bangkit seiring dengan mobil yang berhenti di muka sebuah bangunan besar dengan slot-slot pedagang di dalamnya. Wira segera melompat turun. Pemuda itu segera mengulurkan tangannya, sebuah bantuan lain yang ia sed
Tiba-tiba Nadya merasa kedinginan karena kata-kata Wira. Ya, dengan kemampuannya itu dia memang tahu. Tapi apakah pantas seorang gadis yang tengah mengutarakan perasaannya hanya dibalas dengan kata-kata sedingin itu? Nadya kecewa namun segera berhasil menanganinya, ia berpengalaman soal ini.“Bukan waktunya ngomongin itu, aku curiga sama orang di belakangmu ini,” ujar Wira lirih.“Belakangku? Ada apa?” tanya Nadya panik. Baru saja bus berangkat dan belum keluar dari kompleks terminal, sudah ada sesuatu yang mencurigakan.Percakapan mereka berhenti karena seorang penjual koran, cemilan dan air mineral menawarkan barang dagangan. Wira meraih uang lima ribu rupiah dan membeli koran itu.“Bang, airnya mau satu!” pinta Nadya sambil mengacungkan jarinya pada penjual air mineral.“Enggak, Bang, nggak jadi! Maaf, ya....” seru Wira sampil menyatukan telapak tangan. Wajah penjual air mineral itu tampak kecewa,
“Toloooong!” sayup-sayup terdengar teriakan perempuan yang amat Wira kenal suaranya. Sumber suara berasal dari balik pintu besar ini.Wira segera membuka pintu itu. Logam bergesekan dengan logam membuat suara derit yang cukup tajam. Sepanjang penglihatan Wira hanya semak belukar yang rimbun sampai ke pagar dinding bata merah. Tapi ada jalan lagi berbelok ke balik bangunan toilet umum ini.“Astaga, itu jilbab Nadya!”Wira cepat-cepat meraih kain dengan motif bunga yang terhampar di rerumputan. Firasat Wira benar-benar buruk kali ini. Tapi ia memutuskan untuk tidak bersuara atau memanggil Nadya. Pendengarannya tak salah, tadi ia mendengar suara minta tolong tak jauh dari sini.Wira melangkah menembus rumput setinggi mata yang di beberapa titik roboh. Tak salah lagi, rumput-rumput ini baru saja terinjak seseorang. Patahan daun dan batangnya masih segar. Pemuda itu mengikuti arah robohnya rerumputan itu. Di depan sana sekitar 50 meter
BUGH!Sebuah tinju menghantam telak perut pria itu. Ia melenguh, sebenarnya ingin berteriak namun rasa sakit itu membuat energinya habis untuk menahan rasa sakit. Cengkraman Wira di kausnya sudah terlepas. Pemuda itu membiarkannya tersungkur di lantai toilet umum.Nadya menggapit lengan Wira. Akan sangat bahaya bila emosi Wira tak terkendali di tempat ini. Tentu banyak yang mengenali pria ini. Entah itu preman atau orang yang menguasai wilayah terminal ini.“Wir, udah, mending pergi aja. Jangan cari masalah, kita bukan orang sini,” bujuk Nadya. Lengan Wira masih saja berkontraksi, efek dari telapaknya yang menggenggam kuat.“Dia juga bukan orang sini, dia orangnya Firman. Penjaga toilet yang asli dia beri uang agar dia dapat menjaga sesuka hati. Demi mencelakaimu,” sahut Wira masih dengan amarah.“Iya, Nadya paham. Tapi mungkin aja di sini masih ada orangnya Firman kan?” bujuk Nadya lagi. “Kita jangan sampa
“Nurut! Atau gue bongkar isi perut Lu!” bentak pria itu. Wira semakin terpojok saja. Memanfaatkan sedikit saja kesempatan rasanya tak akan cukup sekarang.Tiga orang terakhir muncul dari balik lorong kios pedagang buah. Lengkap sudah semua yang mengejar Wira. Napas pemuda itu masih saja tersengal. Momentum menegangkan sejak turun dari bus sampai jatuh tersungkur belum sepenuhnya mampu membuat jantungnya berdetak dengan normal.“Oh, ini bocah yang punya kekuatan super?” ledek seorang yang baru datang. “Gue jadi pengen tahu apa bisa kekuatan Lu itu ngalahin kami berenam?”“Buruan, kasih tahu dimana cewek itu!” bentak seorang dengan sebatang kayu di tangan.“Kalau gue nggak mau kasih tahu gimana?” lirih Wira dengan senyum kecut di ujung bibir.“Bangsat!”Pria itu mengayunkan kayu di tangannya dengan kuat, tepat mengenai rahang kiri Wira hingga menimbulkan suara yang cukup k
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen