BUGH!
Sebuah tinju menghantam telak perut pria itu. Ia melenguh, sebenarnya ingin berteriak namun rasa sakit itu membuat energinya habis untuk menahan rasa sakit. Cengkraman Wira di kausnya sudah terlepas. Pemuda itu membiarkannya tersungkur di lantai toilet umum.
Nadya menggapit lengan Wira. Akan sangat bahaya bila emosi Wira tak terkendali di tempat ini. Tentu banyak yang mengenali pria ini. Entah itu preman atau orang yang menguasai wilayah terminal ini.
“Wir, udah, mending pergi aja. Jangan cari masalah, kita bukan orang sini,” bujuk Nadya. Lengan Wira masih saja berkontraksi, efek dari telapaknya yang menggenggam kuat.
“Dia juga bukan orang sini, dia orangnya Firman. Penjaga toilet yang asli dia beri uang agar dia dapat menjaga sesuka hati. Demi mencelakaimu,” sahut Wira masih dengan amarah.
“Iya, Nadya paham. Tapi mungkin aja di sini masih ada orangnya Firman kan?” bujuk Nadya lagi. “Kita jangan sampa
“Nurut! Atau gue bongkar isi perut Lu!” bentak pria itu. Wira semakin terpojok saja. Memanfaatkan sedikit saja kesempatan rasanya tak akan cukup sekarang.Tiga orang terakhir muncul dari balik lorong kios pedagang buah. Lengkap sudah semua yang mengejar Wira. Napas pemuda itu masih saja tersengal. Momentum menegangkan sejak turun dari bus sampai jatuh tersungkur belum sepenuhnya mampu membuat jantungnya berdetak dengan normal.“Oh, ini bocah yang punya kekuatan super?” ledek seorang yang baru datang. “Gue jadi pengen tahu apa bisa kekuatan Lu itu ngalahin kami berenam?”“Buruan, kasih tahu dimana cewek itu!” bentak seorang dengan sebatang kayu di tangan.“Kalau gue nggak mau kasih tahu gimana?” lirih Wira dengan senyum kecut di ujung bibir.“Bangsat!”Pria itu mengayunkan kayu di tangannya dengan kuat, tepat mengenai rahang kiri Wira hingga menimbulkan suara yang cukup k
Wira segera menutup sambungan teleponnya. Padahal ia menggunakan nomor baru, bagaimana orang itu bisa tahu? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu pada Mamak? Pikiran Wira berkecamuk. Ia masih berdiri memandang kosong bangunan dengan kubah besar berwarna hijau di hadapannya. Tangan kanannya masih menggenggam pergelangan tangan Nadya.“Wir, kenapa?” Nadya menjajari tubuh pemuda itu.“Orang itu, kenapa bisa tahu nomorku? padahal ini nomor baru. Aku takut terjadi sesuatu pada Mamak,” ujar Wira khawatir.Jemari Wira kini mengusap-usap layar gawainya. Lalu mendial nomor wanita tercintanya. Semalam ia sudah meminta tetangga sebelah yang juga ketua RT untuk menjaga Mamak selama ia pergi. Namun tetap saja ia tak tenang.“Halo, Mak? Mamak dimana? Nggak kenapa-kenapa kan?” kejar Wira.“Apa sih, Wir? Mamak lagi metis di rumah sama Bu RT. Kenapa?” Mamak balas bertanya dengan santainya.“Alhamdulillah ...
Dengan melumpuhkan sembilan orang yang mengejar membuat perjalanan Wira dan Nadya kali ini sedikit lebih tenang. Meski tak sampai satu setengah jam jarak tempuh, sudah cukup untuk mereka berdua memejamkan mata sekira lima belas menit.“Pasir Sakti, yo! Abis, abis!”Teriakan kondektur yang tak nyaman di telinga membangunkan Wira dan beberapa penumpang yang juga tertidur. Ditambah ketukan uang logam pada besi yang begitu nyaring. Wira menguap dan segera membuka matanya. Nadya di sebelahnya masih tertidur sambil meringkuk memeluk ransel. Dalam ruang sempit, postur 166 cm itu masih tampak nyaman.“Nad, udah sampe nih.” Wira mengguncangkan tubuh gadis itu.Nadya mengusap kedua kelopak matanya. Bangunan terminal dari seberang jendela bus ia lihat dengan haru. Tak ada perubahan berarti dari gedung ini sejak empat tahun lalu.“Alhamdulillah, sampe juga, Wir.” Nadya tersenyum. Ia setengah bangkit dan memberikan kode pada
Bibir gadis itu tak henti-hentinya mengurai senyum. Semua momentum masa lalu yang begitu indah ia lihat di benaknya kini. Berjalan kaki sejauh lima kilometer terasa begitu ringan untuknya. Beberapa wraga yang awalnya cuek, kini mulai mengenali Nadya.Wira berjalan mendapinginya. Tak banyak yang bisa pemuda itu lakukan. Ia sibuk mengabadikan kondisi jalan dan panorama indah bukit dan laut dengan gawainya. Seorang anak yang mengendarai sepeda BMX-nya segera berteriak setelah menyadari keberadaan Nadya di desanya.“Budeee! Mbak Nadya pulang ... bawa pacarnya!” teriaknya lantang.Kayuhan sepeda kecilnya serasa tak mau berhenti. Ia berbelok ke halaman rumah panggung dengan bentangan halaman belakang yang luas dibatasi oleh bibir pantai. Ia masih terus saja berteriak di bawah rumah. Wira dan Nadya saling pandang, keduanya mengurai senyum manis.Seorang wanita berjilbab instan dan bergamis hitam keluar dengan terburu. Ia mengatakan beberapa patah kat
“Assalamualaikum,” salam seorang laki-laki yang suara tak Nadya kenal. Tapi laki-laki itu masuk ke rumah dari belakang.“Wa’alaikumussalam,” balas Ibu dan Nadya bersamaan.“Bu itu tamu sia ... pa? Kak Nanad?” remaja itu berjingkat dan menghambur memeluk kakaknya. Empat tahun berlalu dan ia masih saja memanggil Nadya dengan Nanad.“Fik? Kok kamu udah lebih tinggi dari Kakak?” tanya Nadya begitu tubuh mereka saling berhimpitan. Taufik kecil yang masih setinggi dadanya saat ditinggalkan. Kini bahkan suaranya sudah seperti laki-laki dewasa.“Kak Nanad yang nyusut kayanya,” gurau Taufik. “Yang di depan itu siapa, Kak? Pacar Kakak?”“Udah kamu temuin belum? Temuin gih! Mana tahu dia berjodoh sama Kakakmu. Kan nanti kamu jadi punya kakak cowok,” ujar Ibu.Taufik melerai pelukannya dan mengangguk. Ia selalu mendambakan punya kakak lelaki yang bisa mengajarinya
Dengan mengenakan masker dan topi milik Taufik, Wira meninggalkan Desa Pasir Sakti dengan meninggalkan banyak kenangan. Bus paling pagi ia tumpangi. Di seberang jalan ia masih melihat remaja itu memutar balikkan sepeda motor pinjaman untuk mengantarkannya ke jalan besar dekat balai desa.Sementara kakaknya ia tak ijinkan untuk mengantarkan. Ia tak ingin ada risiko yang harus ditempuh gadis itu sekembalinya ke rumah. Nadya tampak berat melepas pemuda itu. Ia bahkan diam-diam menyelinap untuk sekedar memeluk Wira tengah malam tadi.“Ah, kalau nggak ada Aisya mungkin aku benar-benar terbuai dengan cinta Nadya.” Wira tersenyum sendiri. Meski sudah memutuskan untuk bertaubat, perilaku gadis itu hanya berbeda tipis dengan menggoda.Tanpa kewaspadaan dan orang-orang yang mencurigakan, Wira merasa lebih tenang. Ia mampu menikmati perjalanan panjang ini meski bus sudah penuh sesak hingga beberapa penumpang terpaksa berdiri. Ia buka gawai dan mulai berselancar
“Tunggu, mengujiku? Penerus? Kamu ngomong apa sih?”“Nggak perlu kamu pikirin, Wir.” Kini Aisya bisa membuat kondisi yang tak bisa dikendalikan Wira. Ia memang bisa melihat masa lalu, tapi tak bisa membaca isi hati.“Udah dipikirin itu mah, Sya,” sungut Wira. Perempuan itu tersenyum.“Aku ini anak semata wayang, Wir. Papa minta suamiku dari pernikahan kedua ini harus bisa mengemban tugas menjalankan roda perusahaan yang dirintis Papa puluhan tahun lalu,” terang Aisya.Wira tak menjawab. Ada banyak hal yang ingin ia lihat sendiri perihal orang tua Aisya. Ia belokkan mobil itu ke SPBU dan mengekor di antrian. Ia menoleh ke arah kekasihnya.“Sya, aku nggak tahu apa aku mampu. Aku nggak berpendidikan tinggi, pengalaman kerjaku hanya kurir dan beberapa kali kuli bangunan. Memimpin perusahaan, apa nggak salah?” Wira coba memberi pertimbangan.“Jadi kamu nggak mau nikah sama aku?&rdq
Pukul dua puluh satu tiga belas menit, Pak RT pamit pulang, juga Kepala Lingkungan dan tetangga sekitar. Aisya akhirnya memutuskan untuk menginap. Entah mengapa tiba-tiba Mamak begitu manja. Dialah yang meminta Aisya untuk tetap tinggal menemaninya malam ini. Mungkin ada maksud lain di hati Mamak.Wira tak bisa melarang keinginan ibunya. Aisya juga sepakat untuk tinggal. Sepeninggal Nadya, Mamak memang hanya sendiri sampai Wira pulang. Itu sebab ia berkunjung ke rumah Bu RT atau sebaliknya kemarin.Wira berbaring di kamarnya sambil menatap layat gawai. Ia usap beberapa kali benda pipih itu. Tangkapan layar panggilan video antara penangkap Nadya dan Firman kemarin ia temukan. Saatnya mencari tahu informasi tentang pria yang menurut Mamak masih pamannya ini.“Bodoh! Sembilan orang melawan seorang bocah yang membawa perempuan, dan kalian dilumpuhkan? Percuma kalian dibayar mahal!” bentak Firman dengan gawai menempel di telinga kirinya.Ia terliha
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen