Wira dihempaskan ke atas sebuah kasur spring bed dengan sprei merah muda. Perempuan itu tersenyum dengan tatapan sayu penuh gairah. Ia kibaskan rambut keemasan ke arah berlawanan dengan lekuk tubuhnya. Jari jemarinya meraba seluruh tubuh berbalut kain ketat yang tak sepenuhnya menutup aurat.“Mau ngapain Lu?” Wira panik. Berada dalam situasi seperti ini tak pernah terpikir olehnya. Ia takut keteguhannya lambat laun akan roboh. Sedang Mamak tak juga kunjung muncul.“Oh, gitu ya? Kayanya harus aku yang mulai deh. Kamu suka cewek yang gimana? Aktif? Hmm?” cecar perempuan itu manja. Ia mulai menurunkan tali tanktop yang tak sepenuhnya mampu menutupi aset berharganya itu.“Eit, mau ngapain? Nggak, nggak, tutup lagi!” tolak Wira. Ia cemas mengapa Mamak belum juga muncul. Padahal perempuan itu sudah mulai menelanjangi dirinya sendiri.“Nggak usah malu, Ganteng. Mendingan diem, terus nikmatin aja deh!” protes perempuan itu setelah menurunkan pakaiannya.Wira cepat-cepat menutup kedua mata den
Sebuah sorot lampu mobil yang datang menyita perhatian Wira dan Mamak. Ibu dan anak itu segera bangkit dari teras kantor yang terasa begitu nyaman lima belas menit terakhir. Wira tersenyum setelah mengenali mobil itu.“Itu Aisya, Mak,” ucap Wira singkat. Dalam hati ia bersyukur akhirnya orang yang ditunggu-tunggu tiba juga.“Alhamdulillah,” sambung Mamak bersiap menyongsong calon menantunya.Wira segera menghambur mendekat, membantu Aisya untuk membuka pagar kantornya. Senyumnya terus mengembang demi menyembunyikan peristiwa yang mengancam keselamatannya di hadapan Aisya. Namun noda darah di kausnya tak bisa berbohong.“Kamu nggak apa, Wir?” tanya Aisya dengan wajah paniknya. “Aku nyariin kamu dan Mamak seharian.”“Aku nggak apa, Sya. Maaf apa boleh Mamak tinggal di sini untuk sementara?” tanya Wira mencoba mengalihkan kekhawatiran Aisya pada dirinya. Sedang menurutnya keselamatan dan kenyamanan Mamak jauh lebih penting.“Ya boleh lah, Wir. Kamu ngomong apa sih?” protes Aisya. Pandang
Beberapa orang segera mengangkat tubuh tak berdaya Wira untuk ditepikan. Luka yang diderita pemuda itu cukup parah. Banyak darah yang keluar dari kepalanya. Orang-orang yang mengangkatnya tadi tak berani berbuat banyak sebelum pihak berwenang datang.Beberapa orang lagi berkerumun mencoba untuk membuka mobil yang menabrak Wira tadi. Pengemudinya tak sadarkan diri, terluka di kepala dan terus menerus menekan klakson akibat kepalanya yang mengimpit kemudi. Sejauh ini tak ada yang berhasil.Para pengejar tak tahu harus berbuat apa. Tak ada yang sanggup melakukan berpura-pura menjadi keluarga Wira dan histeris meminta pertolongan. Lagi pula pemuda itu tengah dikelilingi banyak orang. Amat riskan berbuat suatu hal yang begitu mencolok.“Hah!” Seketika Wira tersentak, seolah napasnya baru bisa ia kendalikan. Ia bahkan segera bangkit dan duduk dengan tatapan mata aneh mengelilinginya.“Mas? Mas nggak papa?” tanya seorang pria sambil memegang tengkuk Wira.“Nggak papa, Pak,” jawab Wira sekena
Wira naik di atas sepeda motor dengan tangan, mulut dan mata terikat. Ia diapit oleh para pengejar di depan dan belakang. Praktis pemuda itu tak bisa kemana-mana. Tak ada celah untuk melakukan gerakan kecil. Entah akan dibawa kemana ia kini.“Bang, bang,” panggil Wira sembari terus menggerakkan tubuhnya.“Diem, Lu!” hardik pria yang mengemudikan sepeda motor. Pria yang dibelakang Wira segera memukul kepala Wira agar pemuda itu diam.“Gue mau pipis!” kilah Wira. Entah mengapa ide itu datang tiba-tiba.“Tahan! Sebentar lagi kita sampe!” sahut pria di belakang.“Udah nggak tahan! Ntar pipis di sini lho!” Wira terus berupaya meyakinkan bahwa ia tidak berbohong dengan terus menggerak-gerakkan tubuhnya.“Ye, nih bocah!” gerutu pria pengendara dan segera menepikan sepeda motornya. “Sono, pipis!”Wira terburu-buru untuk turun dari sepeda motor dan terus saja bergerak seolah ia tak bisa lagi menahan rasa untuk buang air kecil. Namun setelah turun pemuda itu hanya diam di tempatnya. Dan terus m
Tak ada pilihan lain bagi Wira selain bersembunyi di balik rimbunnya semak dan pohon di kebun kosong itu. Tepiannya tumbuh subur pohon jarak dan tanaman rimpang. Pemuda itu tak peduli lagi akan ancaman dari binatang berbisa atau yang lain. Baginya ancaman dari orang-orang Suryo ini begitu merepotkan.Menyatu dengan kepekatan malam adalah pilihan terbaik sekarang. Sambil terus berdoa agar selamat dan paling tidak tak ditemukan para pengejar itu. sorot lampu senter lalu lalang di atas kepala Wira. Dari sumber gerakannya, lebih dari tiga orang yang menggunakan senter. Sebisa mungkin Wira tak bergerak, diam terpaku pada bumi.“Ya Allah, kalau pun harus melawan, tolong pisahkan mereka,” gumam Wira dalam hati. Pengalamannya mengalahkan sembilan orang saat mengantar Nadya pulang kampung bisa jadi rujukan. Namun kali ini pasti para pengejar akan lebih berhati-hati.Suara langkah kaki menginjak rerumputan terdengar tak jauh dari tempat Wira telungkup, tiarap memeluk bumi. Perkiraan Wira mungki
“Mau kemana Lu? Daerah situ udah gue cari!”Wira mendadak menghentikan langkahnya. Ia merutuki diri sendiri karena tak menyadari kehadiran orang lain di dekatnya. Pemuda itu segera menurunkan topi dan menunduk, menyamarkan wajahnya sendiri. Semoga saja orang itu tak mengenali bahwa rekannya sudah berbeda.“Kencing!” sahut Wira singkat.“Oh!” jawab pria itu singkat.Lelaki sebaya dengan orang yang sudah Wira lumpuhkan itu segera berlalu meninggalkan Wira yang berakting seolah-olah ingin buang air kecil. Setelah pria itu menghilang dalam gelap, Wira segera meninggalkan tepian sungai itu dan berjalan ke arah sebaliknya menyusuri aliran sungai.Beberapa belas meter kemudian Wira menemukan deretan pohon karet yang berjajar begitu rapi. Tempat yang bagus untuk melarikan diri, tapi tak bagus untuk bersembunyi. Karena biasanya kebun karet selalu terawat. Memang ada rumput namun tak akan menjadi semak belukar.Sorot-sorot lampu senter sudah cukup jauh berada di belakang Wira. Dari jauh gerakan
“Halo, Wir? Ini beneran Wira?” tanya Aisya setelah menyentuh icon loudspeaker di layar gawainya.“Iya, Sya, ini Wira. Aku nggak papa, ini pake hape orang yang ngejar aku. Kamu sama Mamak jangan kemana-mana dulu ya?” ucap Wira dari seberang dengan suara bergetar dan napas tersengal-sengal.“Iya, Wir. Ini ada Jaka sama Ario juga di sini. Mereka perlu gimana ini biar bantuin kamu?” tanya Aisya turut panik karena mendengar suara kekasihnya yang tampak tengah berlari.“Mmm, gini aja sampein ke mereka, besok ketemuan di rumah Niken aja. Kayanya aku ada di area sungai tempo hari itu, Sya. Aku pengen minta tolong sama Pak Kamis. Dia udah nggak mau nolongin Bapak, masa iya nggak mau nolongin aku, kan?” terang Wira dari seberang.Darah Aisya sebenarnya menghangat. Namun tak ada pilihan baginya untuk menyelisihi keputusan Wira. Kekasihnya itu memang terdengar baik-baik saja. Tapi tak ada yang bisa memastikan selain Wira sendiri. Apa lagi menurut cerita Mamak, Wira sempat babak belur dengan darah
“Maaf, Pak, apa memang harus begini?” tanya Jaka setelah saling pandang dengan Ario di kegelapan. Pak Kamis tak segera menjawab. Ia justru memperhatikan dengan seksama wajah dua pemuda itu.“Kalian benar-benar temannya Wira?” bisik Pak Kamis dengan penekanan nada pada kalimatnya.“Iya dong, Pak,” jawab Ario tegas.“Kok Bapak tanya begitu? Ada apa?” tanya Jaka yang mencium ada hal yang lebih besar dari yang mereka bayangkan selama ini tentang hal yang tengah dialami sahabatnya.“Kalau kalian teman Wira, sampai datang ke tempat ini, tapi nggak tahu seperti apa masalah temanmu, apa itu bisa dibilang teman?” ucap Pak Kamis begitu menyudutkan.Jaka dan Ario kembali saling pandang. Ada senggurat emosi yang meninggi di wajah Ario. Namun segera ia tepis manakala melihat bilah tajam parang di kedua tangan Pak Kamis. Keduanya serempak mengangkat bahu, tanda tak memiliki ide dan pembelaan apa pun.“Maaf, Pak, Wira memang cerita soal masalahnya dikejar-kejar oleh anak buah Pak Suryo, tapi kami ng
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen