“Halo, Wir? Ini beneran Wira?” tanya Aisya setelah menyentuh icon loudspeaker di layar gawainya.“Iya, Sya, ini Wira. Aku nggak papa, ini pake hape orang yang ngejar aku. Kamu sama Mamak jangan kemana-mana dulu ya?” ucap Wira dari seberang dengan suara bergetar dan napas tersengal-sengal.“Iya, Wir. Ini ada Jaka sama Ario juga di sini. Mereka perlu gimana ini biar bantuin kamu?” tanya Aisya turut panik karena mendengar suara kekasihnya yang tampak tengah berlari.“Mmm, gini aja sampein ke mereka, besok ketemuan di rumah Niken aja. Kayanya aku ada di area sungai tempo hari itu, Sya. Aku pengen minta tolong sama Pak Kamis. Dia udah nggak mau nolongin Bapak, masa iya nggak mau nolongin aku, kan?” terang Wira dari seberang.Darah Aisya sebenarnya menghangat. Namun tak ada pilihan baginya untuk menyelisihi keputusan Wira. Kekasihnya itu memang terdengar baik-baik saja. Tapi tak ada yang bisa memastikan selain Wira sendiri. Apa lagi menurut cerita Mamak, Wira sempat babak belur dengan darah
“Maaf, Pak, apa memang harus begini?” tanya Jaka setelah saling pandang dengan Ario di kegelapan. Pak Kamis tak segera menjawab. Ia justru memperhatikan dengan seksama wajah dua pemuda itu.“Kalian benar-benar temannya Wira?” bisik Pak Kamis dengan penekanan nada pada kalimatnya.“Iya dong, Pak,” jawab Ario tegas.“Kok Bapak tanya begitu? Ada apa?” tanya Jaka yang mencium ada hal yang lebih besar dari yang mereka bayangkan selama ini tentang hal yang tengah dialami sahabatnya.“Kalau kalian teman Wira, sampai datang ke tempat ini, tapi nggak tahu seperti apa masalah temanmu, apa itu bisa dibilang teman?” ucap Pak Kamis begitu menyudutkan.Jaka dan Ario kembali saling pandang. Ada senggurat emosi yang meninggi di wajah Ario. Namun segera ia tepis manakala melihat bilah tajam parang di kedua tangan Pak Kamis. Keduanya serempak mengangkat bahu, tanda tak memiliki ide dan pembelaan apa pun.“Maaf, Pak, Wira memang cerita soal masalahnya dikejar-kejar oleh anak buah Pak Suryo, tapi kami ng
“Berhenti!” seru pria itu setengah berbisik.Wira berhenti mendadak namun tak mampu untuk menahan rasa terkejutnya. Seketika ia masuk lagi ke dalam air setelah hanya beberapa detik keluar. Suara masuknya Wira dalam air itu lah yang dikhawatirkan pria pengejar itu dan segera meletakkan telunjuknya di ujung hidung.“Keluar Lu dari air!” titahnya.Wira mengangkat kedua tangannya tanda ia tak akan melawan. Sesekali ia melirik ke sekitar. Tak ada siapa pun. Artinya pria ini bisa ia lumpuhkan tanpa menarik perhatian para pengejar yang mungkin masih bersembunyi dan mengawasi. Namun Wira tak tahu bagaimana caranya.Perlahan Wira keluar dari air. Pria berpakaian serba hitam itu terus menodongkan senjata apinya dengan tangan gemetar. Wajahnya terlihat panik dan terus menjaga jarak. Mungkin kemampuan spesial Wira sudah ia ketahui, atau mungkin juga ini kali pertama ia menggunakan senjata api.“Cepetan!” ucapnya setengah menghardik.“Nggak liat ini licin? Mana tangan gue ke atas, mana bisa gue pe
“Terima kasih, Wir. Ijinin aku terlibat untuk masalahmu ini,” ucap Niken di dada Wira. Sesunguhnya Wira ingin melepaskan, namun ia melihat ketulusan pada perempuan itu dan tak ingin menghancurkan momentum.“Tapi, Ken, masalahku ini bahaya. Keselamatanmu, Pak Kamis, Yura juga bisa terancam,” sanggah Wira pelan. Ia benar-benar tak ingin merepotkan Niken dan keluarganya lebih dari malam ini.“Wir, biarkan aku membalas pertolonganmu.” Niken melerai pelukannya. Ia kini sedikit mendongak memandang wajah pemuda tampan di hadapannya. “Awalnya aku pikir bisa menjadi pendampingmu, tapi rupanya sudah ada Aisya,” lanjutnya sendu.“Pendampingku?”“Ya, nikah sama kamu, melayani kamu seumur hidup mungkin jadi satu-satunya cara biar kamu tahu aku pengen berterima kasih,” terang Niken. Kedua manik mata hitam itu sudah digenangi air mata.“Kamu tahu itu nggak perlu, Ken. Kamu nggak perlu menyerahkan dirimu untuk berterima kasih. Cukup dengan membantuku kaya sekarang, itu jauh lebih baik,” ucap Wira lem
“Eh, Wir, sorry. Kamu mau kemana?” tanya Niken berusaha mengalihkan pembicaraan yang menghunus padanya.“Aku pikir lebih baik aku di luar. Di dalam rumah cuma ada kamu dan Yura, kan?” ucap Wira tanpa sekali pun meminta Niken memvalidasi ucapannya.Wira melangkah menjauh dari pintu separuh badan itu. Dapur rumah Niken cukup luas, khas dapur di desa. Dengan peralatan sederhana dan kursi bambu menyerupai balai-balai. Bedanya sudah ada washtafle yang belum ditemukan di dapur orang desa.“Nggak lebih baik kamu di dalam aja, Wir?” tanya Niken mengekori langkah Wira.“Aku nggak enak sama Pak Kamis, Ario dan Jaka. Sekaligus jaga-jaga siapa tahu ada yang coba masuk rumah dari belakang,” dalih Wira seraya duduk di kursi bambu. Beberapa detik kemudian pemuda itu menguap.“Istirahat lah, Wir. Kalau nggak mau di dalam, rebahan aja di sini. Kamu pasti capek,” ucap Niken yang sudah duduk di sisi Wira.“Hmm, kayanya rebahan dulu deh. Aku nyaris nggak pernah nyantai seharian ini,” ujar Wira tanda setu
Wira membuka pintu belakang rumah Niken. Emosinya sudah meninggi. Sabit di tangan kanannya terhunus siap untuk menebas apa pun yang menghalangi. Hampir seluruh yang ada di halaman belakang itu menoleh ke arahnya. Apa lagi sebab selain jeritan Niken yang melarang pemuda itu keluar.“Gue yang Lu cari! Nggak usah libatin orang lain!” seru Wira kepada seorang pria di tepi sungai. Pria itu baru saja menurunkan senjata apinya.“Bagus! Nggak usah susah kami cari Lu udah nongol sendiri!” sahut pria itu lantang seperti memanggil rekan-rekannya untuk muncul dari persembunyian.Wira memperhatikan sekitarnya. Ia melihat Pak Kamis, Jaka, Ario dan beberapa penduduk berjongkok setelah tembakan peringatan tadi. Jaka bahkan sudah menggenggam busur panah yang entah didapat dari mana. Ia berpengalaman tawuran saat duduk di bangku STM. Hal ini amat jamak baginya.Wira memberikan kode untuk Jaka agar tak menyerang. Tentu saja Jaka tak puas. Ia ingin sekali melepaskan anak panah pada lelaki bersenjata api
“Gue nggak papa. Udah nyantai aja!” lirih Wira sembari meringis menahan sakit di dadanya. Pemuda itu menjatuhkan sabitnya dan segera meraih tangkai belati yang menancap di dada.“Woy! Jangan bego, Lu! Jangan dicabut! Mending kita ke rumah sakit!” teriak Jaka.Sebuah teriakan yang tentu membuat warga yang ada di pekarangan belakang rumah Pak Kamis itu mendekat. Pun juga dengan Niken yang buru-buru menuruni dua anak tangga dan menghambur demi melihat kondisi Wira.“Aargh!” Wira berteriak seraya mencabut belati itu. Setelahnya ia terkulai lemas dan jatuh ke tanah.“Wira!” jerit Niken nyaris terlambat. Ia dan Jaka dengan sigap menahan tubuh bagian atas Wira agar tak jatuh ke tanah yang basah.“Pak, tolong, Pak! Bawa masuk ke rumah dulu!” pinta Niken setengah memohon.“Apa nggak langsung bawa aja ke rumah sakit, Mbak Niken?” cegah Jaka.“Rumah sakit lumayan jauh, sekitar sini nggak ada yang punya mobil buat bawa Wira. Biar saya dulu yang rawat dia di rumah. Nanti telepon ambulans aja,” ter
“Siapa yang percaya, Jek? Ditembak kok nggak ada bekas luka tembaknya,” ucap Ario dan segera diamini oleh Wira.“Gue sih mau aja lapor, Jek. Tapi kan polisi butuh bukti. Sedangkan gue nggak punya. Lagian dari kemaren gue dikejar-kejar terus. Baru ini lah gue bisa ngobrol sama orang,” terang Wira seraya menerima kaus bersih dari tangan Niken.“Iya juga sih,” lirih Jaka sebagai pertanda ia menyerah berargumen.“Mending sekarang kamu istirahat, Wir. Biar kami jaga gantian,” ucap Niken menenangkan hati.Waktu di jam dinding ruang tamu pak kamis sudah pukul 2 dini hari. Jaka dan Ario segera keluar bergabung dengan beberapa warga untuk berjaga. Sedang Wira akhirnya berusaha tidur di tuang tamu. Niken masuk ke dalam kamar setelah memastikan Wira mendapatkan tempat nyaman untuk beristirahat.***Adzan subuh selesai berkumandang. Wira melaksanakan sholat wajib dua rekaat di sisi dua sahabatnya yang baru saja tidur pukul 4 pagi. Pintu rumah dikunci dan Pak Kamis sholat subuh di Musholla tak jau
“Menikah? Besok? Gimana mungkin?” cecar Wira via sambungan telepon. Bukannya tak mau, tapi menikah dalam kondisi seperti ini benar-benar tak ideal. Dua hari lalu baru saja ia selesai diinterogasi sebagai saksi. Lalu ia harus wajib lapor. Membujuk Mamak agar mau mendonorkan darah untuk Firman. Dan besok harus menikah.Pemuda itu mengangguk beberapa kali dan menggumam. Semuanya sudah diatur Aisya. Pernikahan secara siri akan dilakukan di rumah sakit, di ruang Pak Aziz dirawat. Padahal pria itu dalam kondisi baik. Wira tak mengerti mengapa pernikahan harus segera dilakukan secepatnya. Bahkan bisa-bisanya Aisya sudah berdiskusi dengan Mamak dan Mamak menyetujuinya.Wira tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Perdebatan dengan Aisya kemarin tentu saja dimenangkan oleh perempuan cantik itu. Ya, siapa yang menyangka hidupnya berubah secepat ini. Seorang yatim tak pernah dekat dengan perempuan, tapi kini seolah dikejar untuk menikah perempuan cantik solihah.“Saya terima nikahnya Aisya
Ruang serba putih itu begitu sepi. Hanya ada suara alat deteksi detak jantung dan gerakan detik jam dinding. Hembusan pendingin ruangan sesekali menggerakkan tirai yang sebagian terbuka. Setelah mengaku sebagai keluarga, Mamak dapat dengan mudah masuk ke ruangan ini. Ruang yang dijaga setidaknya dua orang polisi bergantian setiap waktu.Mamak sampai di ujung ranjang. Seorang pria mengenakan masker oksigen terpejam di sana. Cairan infus menggantung di sisi kanannya. Dan beberapa kabel yang terhubung pada alat-alat yang Mamak tak tahu apa namanya. Semuanya penopang hidup Firman saat ini.“Sebenarnya aku merasa berdosa, Firman,” lirih Mamak seraya melangkah dan sampai di sisi kanan tubuh pria itu.Perempuan paruh baya menatap lekat wajah tak berdaya pria yang dahulu pernah meminta cintanya. Pria yang terus berupaya menjauhkannya dari Barata. Juga dalang dibalik pembunuhan suaminya itu.“Darahku kini mengalir di tubuhmu. Sungguh aku tak sudi kalau bukan dengan alasan memberatkan hukuman S
“Peluru jika ditembakkan dalam jarak sedekat ini, besar kemungkinan tembus! Jarak Wira denganmu terlalu dekat!” ucap Suryo begitu pongah.Pak Aziz terperangah memegangi dada kirinya. Sekali ia melihat telapak tangannya yang sudah berwarna merah. Pria itu panik setengah mati. Ia tak tahu mengapa tak segera merasakan timah panas itu. Tubuhnya kini terasa lemah. Napasnya mulai tersengal. Pria itu luruh ke lantai tepat di sebelah calon menantunya yang berlumuran darah.“Lagi pula kamar semewah ini sudah pasti kedap suara,” sambung pria tambun itu.Suryo melangkah mendekat. Bukan untuk memberikan tembakan lanjutan. Namun untuk mengambil gawai Pak Aziz yang masih terpasang di tripod. Rekaman video ia hentikan, lalu beberapa detik menggores-goreskan jemari pada layar pipih 6 inchi itu.“Begini kalau hidupmu penuh keteraturan!” desis Suryo seraya meninggalkan gawai Pak Aziz beserta tripodnya. Ia lalu menghampiri Wira, menyepak beberapa kali wajah pemuda yang telungkup tak berdaya.“Masih ada
Seorang pria tambun mengenakan tongkat berjalan diapit oleh dua orang berbadan besar. Di belakangnya seorang berpakaian safari berambut ikal mengikuti langkahnya dengan menenteng sebuah tas hitam. Ia berhenti dan mengetuk pintu dengan nomor A001.“Anda Pak Suryo?” tanya Pak Aziz, seorang yang membukakan pintu.“Benar, dengan Bapak Abdul Aziz?” tanya Suryo ramah. Hal yang tak biasa ia lakukan entah sudah berapa lama.“Selamat datang, Pak. Maaf mengubah tempat pertemuan. Tiba-tiba saya merasa sedikit lelah. Mari, silahkan masuk!” sambut Pak Aziz dengan santun.Suryo membalas keramahan Pak Aziz dengan segera membuka kacamata hitam yang selalu ia kenakan. Kamar president suite itu tampak luas dan mewah. Didominasi warna gading, Suryo diarahkan untuk duduk di sofa tepat di sebelah kiri pintu.“Maaf, Pak, apa boleh hanya kita berdua atau dengan orang kepercayaan Bapak saja?” pinta Pak Aziz setelah dua pria bertubuh besar itu turut serta masuk.“Tentu saja boleh, Pak,” jawab Suryo singkat. I
Permadi hanya bisa menuruti apa perintah pemuda di hadapannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, meski panik ia masih bisa menyembunyikannya. Ia justru tertawa sinis setelah file yang diminta Wira terbuka.“Pak Wira, ini adalah file mentah. Data yang saya paparkan tadi adalah data yang sudah diolah dan dilakukan revisi dan penyesuaian,” kilah Permadi.“Revisi? Penyesuaian?” tanya Pak Aziz mulai menangkap adanya kejanggalan.“Maksud saya, ini file mentah yang masih harus diperiksa dan direvisi apa bila ada kekeliruan,” kilah Permadi lagi.“Lalu mengapa file mentah ini sudah mendapatkan approval?” potong Wira.“Approval?” Permadi tertawa mendengar pertanyaan Wira. “Pak Wira, bagaimana mungkin Anda mengetahui bahwa file ini sudah disetujui sedang ini hanya lah soft file?”“Saya tidak sedang membicarakan soft file ini, Pak. Tapi dokumen hard copy yang disimpan oleh Sekretaris Bapak!” tandas Wira.“Sekretaris?”“Ya, lelaki yang menyambut kami tadi, Sekretaris Bapak, bukan?” desak Wira.“
Pukul 08:50 Pak Aziz dan Wira sudah sampai di Hotel Nusantara. Pak Aziz segera menghampiri receptionist untuk menanyakan letak ruang meeting yang dimaksud. Setelahnya pria paruh baya itu segera berjalan menuju lift untuk naik ke lantai delapan. Wira hanya mengekori calon mertuanya itu saja.“Seorang pemimpin tak berjalan menunduk, Wira,” ucap Pak Aziz memecahkan keheningan dalam lift yang bergerak naik itu.“Gimana, Pak?” tanya Wira tak mengerti. Pak Aziz mendekat dan membenarkan posisi kemeja slim fit yang dikenakan Wira.“Untuk dihormati kau harus membangun kesan lebih dahulu. Setelah penampilan, tentu perilaku. Tampilanmu sudah baik, Aisya sudah memilihkan pakaian yang tepat. Tapi harus kamu dukung juga dengan bahasa tubuh yang baik,” terang Pak Aziz sambil terus tersenyum.“Saya mengerti, Pak. Aisya sudah suruh saya ikut kelas kepemimpinan,” jawab Wira ragu. Pak Aziz tersenyum lalu mengangkat wajah pemuda di hadapannya dengan mendorong dagu.“Mulai sekarang kamu nggak boleh lihati
Wira tentu saja terkejut. Orang yang tadi ia hindari adalah calon mertuanya dan juga aktor dibalik kehidupan baru dan segala fasilitas yang ia dapat dua bulan ini. Pemuda itu merendahkan tubuhnya dan berjalan menyongsong pria yang bangkit dari duduknya.“Oh, ini yang namanya Wira? Saya Aziz, Abdul Aziz,” ucap pria itu sembari meggenggam tangan Wira dengan kuat.“Saya Wira, Om. Maaf, saya menghindar tadi. Soalnya....”“Aisya sudah cerita banyak ke saya. Maaf kalau kedatangan saya tiba-tiba. Kebetulan ada yang sedang saya urus di sini. Sekalian mampir dan bertemu kamu dan Bu Ayu,” terang Pak Aziz sembari tersenyum. Mata di balik kacamata itu menatap dalam wajah Wira yang datar.Wira diam. Ia memang tengah memandang mata Pak Aziz, namun yang ia lihat adalah masa lalu pria 50 tahun itu. Pak Aziz tampak heran, namun segera tersenyum setelah melihat senyum putrinya. Seolah memberi isyarat bahwa pemuda di hadapannya sedang berkelana ke masa lalu.“Wira?” sapa Pak Aziz. Namun Wira tetap diam.
Penglihatan masa lalu itu terus berlanjut dan berganti. Semuanya berupa potongan-potongan peristiwa yang bertentangan dengan anggapan dan asumsi yang Firman dan ibunya yakini terkait Barata dan keluarganya selama ini. Hal yang membuat alasan-alasan dibalik kesanggupan Firman bekerja sama dengan Suryo untuk membunuh Barata menjadi bias.Bukan seperti yang disangkakan oleh ibunya. Barata rupanya lebih dulu melamar Ayu sebelum mendapatkan pekerjaan. Juga bukan Barata yang membuatnya disangka sebagai penggelap uang perusahaan. Bahkan Barata pula yang membantunya mendapatkan pekerjaan di PT. Franz Williams Indonesia. Mulanya sebagai Staff General Affair, lalu dimutasi menjadi asisten sekaligus driver Suryo.Barata juga tidak merebut Ayu darinya. Ayu sendiri yang meminta Barata untuk melamarnya. Semua karena omongan sinis Bu Lasmi. Ibunya itu yang sudah membakar amarah dan api cemburu. Bahkan mungkin saja mengarang cerita terkait pemilihan pewaris kerajaan kuno yang jatuh ke kakeknya Barata
Seorang perempuan baya keluar dari balik tirai yang membatasi ruangan itu dengan ruang belakang. Ia membawa nampan yang berisi minuman berwarna coklat terang. Sepertinya teh panas, tampak dari asap yang masih mengepul di atasnya. Perempuan itu tersenyum manis kepada beberapa orang yang duduk di sudut ruangan itu. Entah dari mana datangnya, di awal sama sekali tak terlihat kehadiran mereka.“Silahkan diminum,” ucap perempuan itu ramah.Anggukan dan senyuman masing-masing tamu yang kebanyakan lelaki mengiringi perempuan itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi single paling kanan. Tamu perempuan hendak berucap sesuatu namun pria di sebelah kiri menghalanginya.“Ayu sedang keluar dengan temannya. Mungkin sebentar lagi kembali,” ucap perempuan itu membuka pembicaraan.“Maaf, Bu Rahmi, apa Ayu pergi bersama Barata?” tanya pria di sebelah kiri. Dia pula yang mencegah perempuan di sebelahnya bicara tadi.“Benar, bagaimana Pak Dahlan bisa tahu?” tanya Rahmi, ibunda Ayu.“Barata itu masih kemen