Share

Part 8

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tidak bisa. Aku bukan boneka yang bisa dimainkan oleh siapa saja dengan seenaknya. Lebih baik sendiri, menata hidup yang sudah terlanjur berantakan dan mencoba untuk mencari terapis yang baru agar aku bisa berjalan kembali.

Mobil milik Kak Irsyad menepi di depan rumah yang aku tinggali. Dia lalu membuka pintu kendaraan roda empatnya, mengeluarkan kursi roda milikku dari bagasi dan tersenyum ramah ketika Bi Sarni membuka pintu garasi.

“Bi, tolong bawa kursi rodanya masuk!” perintah laki-laki bertubuh tinggi itu kepada embanku.

“Kamu sengaja meledekku, Kak. Sudah tau aku tidak bisa jalan, cacat, tapi malah kursi rodanya disuruh dibawa masuk. Aneh!” sungutku kesal.

Tanpa menjawab pertanyaan dariku dia langsung membopong tubuh ini, membawaku masuk ke dalam sehingga aku bisa menghidu aroma maskulin yang dulu selalu aku rindukan. Ia lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang, mengusap lembut rambut ini sambil mengunci netraku dengan tatapannya.

Jujur, berada di dekat Kak Irsyad getaran di hati masih ada. Aku masih menyimpan setitik rasa cinta di dalam sanubari, karena memang pernikahanku dengan Mas Arya dulu bukan didasari oleh cinta. Mas Arya datang bagai malaikat tanpa sayap, yang melengkapi hidupku juga menghidupkan kembali harapanku yang patah dan menyediakan bahu untuk bersandar.

Aku berusaha menjadi istri yang baik juga berbakti, memberikan apa saja yang dia mau, sebagai ungkapan rasa terima kasih karena telah menerima diriku yang tidak sempurna.

Namun, nyatanya cinta yang selalu dia gaungkan, kata-kata yang selalu terucap dari mulut manisnya semua hanya dusta belaka. Dia hanya memanfaatkan diriku, menikahiku karena uang, bukan karena cinta. Sakit rasanya diperlakukan seperti itu oleh para lelaki.

Dan siapa pun orang yang sudah membuatku menjadi cacat seperti ini, aku hanya bisa berdoa kepada Tuhan, supaya kelak mendapatkan balasan yang setimpal supaya bisa merasakan apa yang aku rasa. Bahkan mungkin mendapatkan balasan yang lebih menyakitkan.

Andai saja dia mau bertanggungjawab dan tidak langsung kabur meninggalkan diriku yang terkapar tidak berdaya di tengah jalan. Jika saja pelaku itu membawaku ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan, mungkin saat ini aku sudah bisa jalan karena mendapatkan penanganan lebih cepat juga tepat. Tetapi bed*bah itu langsung kabur meninggalkan diriku setelah menabrak tubuh ini hingga terpental, bahkan aku saja tidak sampai melihat siapa yang melakukannya, juga pelat kendaraan yang dia gunakan.

“Kamu kenapa melamun, La. Apa masih memikirkan Arya? Aku bisa memecatnya kalau kamu mau!” ucap Kak Irsyad membuyarkan lamunanku.

“Tidak perlu. Aku ingin bermain cantik dengan dia. Jangan Kakak pecat dia dari pekerjaan, karena aku masih ingin bersenang-senang dengan pengkhianat itu!”

“Ya sudah. Aku pulang dulu. Kalau butuh sesuatu jangan sungkan hubungi aku, La. Aku akan setia membantu kapan pun dan jam berapa pun.”

Aku menerbitkan senyuman. Kak Irsyad kembali mengusap rambutku, mencondongkan tubuh hendak mendaratkan ciuman tetapi aku segera mendorong tubuh kekar itu menjauh.

“Maaf, La. Aku Cuma terbawa suasana!” lirih Kak Irsyad.

Dua bulat beningnya mengisyaratkan luka serta cinta yang teramat dalam, juga rindu yang belum sepenuhnya ia curahkan.

“Ya sudah. Aku pulang. Besok aku ke sini lagi.”

Aku diam tidak menyahut, takut terbawa perasaan hingga akhirnya kembali jatuh juga sakit seperti dulu.

Kak Irsyad beranjak dari duduknya lalu mengayunkan kaki meninggal aku sendiri di dalam kamar.

Ponsel di dalam tas terdengar berbunyi nyaring. Ada panggilan masuk dari Virgo—orang yang aku suruh memata-matai suami serta istri barunya. Aku juga membayar beberapa orang lagi untuk membantu menghancurkan Mas Arya serta gundiknya itu.

Dia berani bermain api, maka dia sendiri yang akan terbakar perlahan, hangus menjadi abu.

“Ada info apalagi, Vir?” tanyaku sambil meluruskan kaki yang terasa nyeri.

“Saya ada informasi bagus tentang Siska, Mbak. Tapi sepertinya tidak mungkin kalau saya bicarakan lewat sambungan telepon!” jawab Virgo terdengar serius.

“Ya sudah. Kamu ke rumah saja, Vir. Saya tunggu!”

“Baik, Mbak.”

Lekas memanggil Bi Sarni untuk membawakan kursi roda ke kamar, berdiri dengan kedua tangan bertopang pada meja lalu duduk di atas kursi roda dan keluar dari kamar.

Tidak lama kemudian terdengar suara sepeda motor orang suruhanku masuk ke pekarangan rumah. Seraut wajah tampan dengan senyum khasnya muncul, memberi salam lalu menghampiri diriku dan segera duduk setelah kupersilakan.

“Ada info apa, Vir?” tanyaku penasaran.

“Ini, Mbak!” Dia menyodorkan beberapa lembar foto wanita yang terlihat tidak asing di mata, mirip seperti Siska tapi dia begitu berbeda. Hidungnya pesek dan kulitnya gelap serta kumal. Sementara yang aku lihat kemarin di pelaminan, Siska begitu putih juga cantik. Tubuhnya juga langsing bak gitar spanyol, hampir tidak ada cela dari fisiknya.

“Kenapa kamu ngasih foto ini sama saya? Siapa dia, Vir?”

“Siska sebelum operasi plastik. Dia itu cantiknya nggak alami, Mbak. Dia juga ternyata punya satu anak, tapi tidak diakui. Siska mengaku masih single dan Mas Arya tidak tau kalau cantiknya Siska hasil operasi plastik. Ini fotonya anaknya, dan saya juga punya alamat anak itu.”

Bagus. Akan kugunakan anak itu untuk menghancurkan Siska juga Mas Arya. Aku juga akan membongkar kedok Siska secara perlahan, menunjukkan seperti apa wajah asli istri baru suamiku itu.

Kasihan sekali kamu, Mas. Membuang berlian demi seonggok sampah buruk rupa. Tapi Laki-laki sampah memang pantas bersanding dengan perempuan sampah pula.

Sekarang kamu boleh senang dan menganggap istri kamu bidadari yang sempurna. Tapi aku pengen tau reaksi kamu setelah tau wajah Siska sebenarnya.

Related chapters

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 9

    “Apa kamu bisa antar saya ke rumah anak itu sekarang, Vir?” “Besok saja, Mbak. Tadi ‘kan Mbak Lala habis pergi sama Pak Irsyad. Saya takut Mbak Lala kecapean. Nggak tega liatnya!” Aku menghela napas. Benar juga sih, apa yang dikatakan Virgo. Aku tidak boleh terlalu memaksakan diri, supaya lekas sehat dan bisa kembali berjalan.“Mbak, besok ke lapangan yuk. Dulu ibu saya juga sakit kaya Mbak Lala. Tapi dia rajin belajar jalan tiap pagi, nginjek rumput yang masih berembun sambil berjemur, alhamdulillah sekarang ibu udah bisa jalan. Tapi ya dibarengi tetapi juga sih!” ajak Virgo dan sepertinya aku berminat. Siapa tahu dengan cara terapi seperti itu lama-lama bisa jalan. ‘Kan tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.“Oke. Jam berapa?” tanyaku mantap.“Jam enem, Mbak. Besok setengah enem saya jemput. Bagaimana?”“Oke. Saya setuju.”Laki-laki berambut cepak itu menerbitkan senyuman.“Bayaran kamu saya transfer sekarang, ya Vir!” “Siap, Mbak. Saya minta lima ratus ribu s

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 10

    “Ya sudah. Kita pulang sekarang!” Tanpa dikomando pria berusia dua puluh lima tahun itu segera membopong tubuhku, dan aku mengalungkan tangan di leher Virgo sambil melempar senyum nakal, persis seperti wanita kurang belaian kasih sayang yang suka menjajakan tubuh di pinggir jalan.Biarlah. Semua kulakukan demi mengobati luka hatiku. Karena dalam sanubari ada kepuasan tersendiri melihat pengkhianat itu marah dan terbakar cemburu.Mungkin dia pikir saat ini aku sedang meratapi nasib dan menangisi kepergiannya. Kamu salah, Mas. Terlalu mahal air mataku buat menangisi suami tidak setia seperti kamu. Aku sudah biasa dilukai sejak kecil. Dari ditinggal oleh wanita yang menyandang gelar sebagai ibu, tidak diakui oleh dia, dan sekarang diduakan oleh kamu. Hatiku sudah kebal.Ekor mataku terus melirik ke arah suami yang sedang berdiri mematung di samping selingkuhannya. Kepalan tangannya terlihat semakin erat sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa melihatku bersama laki-laki lain.Dasar cem

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 11

    “Lho Mas Arya kok belum jalan? Mana mobilnya? Nggak pernah keliatan?” sapa tetangga ketika melihatku sedang berdiri di depan pagar menunggu taksi yang kupesan.“Dibegal, Bu. Kemarin pas dari luar kota. Tapi lagi beli yang baru, kok. Tinggal nunggu datang!” jawabku berbohong juga sedikit menyombong.“Astaga...Saya turut prihatin ya, Mas.”“Terima kasih, Bu.”“Omong-omong sudah lapor polisi belum Mas Ar?”“Tidak perlu lah, Bu. Ribet. Mobil nggak kembali, tapi malah buang-buang waktu saya. Tidak masalah mobil saya ilang. Toh, masih bisa beli yang baru!”“Duh! Mantap. Coba anak saya udah ada yang gede. Saya angkat mantu kamu, Mas!”Aku membusungkan dada, merasa bangga jika dipuji tetangga seperti itu.Lamat-lamat kulihat Siska tengah berlari-lari kecil diikuti oleh bapak-bapak komplek sambil bercengkerama juga bercanda ria. Mata para bapak terlihat menyusuri tubuh istri yang berpakaian serba pres di badan sehingga membuat siapa saja yang melihatnya terpesona karena kecantikan alami yang d

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 12

    “Kamu kenapa malah duduk di lantai kaya anak kecil, Arya? Saya membayar kamu bukan untuk berlaku kekanakan. Tapi untuk kerja!” sentak Pak Irsyad dengan tatapan tajam bak harimau lapar. Dasar bujang lapuk.“Ma—maaf, Pak. Saya tiba-tiba lemas. Belum sarapan!” Mencoba berdiri tegak mesti kaki terasa gemetar.Pak Isyad lalu segera mengayunkan kaki meninggal diriku sendiri di lobi.Ah, sial. Malu sekali aku. Sudah sok-sokan nunjukkin foto si Nirmala sama selingkuhannya malah nggak digubris. Memang kalau sudah cinta dan bucin, orang salah juga tetap terlihat benar. Batu kali saja terlihat seperti berlian di matanya. Namanya juga lagi tergila-gila. Tapi coba lihat saja nanti jika kedok Nirmala terbongkar. Pasti dia akan menyesal tidak mendengarkan aku.Masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi singgasanaku lalu menyalakan laptop, mengerjakan tugas yang tiada pernah ada habisnya sambil sesekali berbalas pesan dengan sang bidadari hati.Jak

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 13

    Dengan langkah ragu kuhampiri perempuan itu, ingin menyapanya juga mengajak pulang. Aku akan memaafkan segala kesalahannya karena sudah berkhianat, asalkan ia mau kembali hidup bersama lagi.“La!” Panggilku dengan suara bergetar.Dia menoleh. Senyum yang terkembang di bibir perlahan memudar melihatku sudah berada di hadapannya. Pun dengan pria muda yang sedang bersama dengannya.“Ayo, Vir. Kita pergi dari sini. Katanya kita mau beli tongkat!” Ia seolah mengabaikan diriku.“La, aku mau ngomong sama kamu. Tolong jangan pergi!” Berjongkok tepat di hadapannya, menggengam jemari lentik milik Nirmala, namun, pelan-pelan dia menarik tangannya dari genggamanku.“La, ayo kita pulang. Mas kangen sama kamu. Mas ingin bicara penting sama kamu, tapi hanya berdua saja!” ucapku seraya menatap wajahnya.Nirmala bergeming. Wajahnya ia palingkan menghindari tatapanku. Dan entahlah mengapa perlakuannya kepadaku membuat hati ini terparut

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 14

    POV Nirmala. Meremas jemari, merasa kesal karena harus bertemu dengan Mas Arya. Padahal, aku sangat berharap tidak akan lagi dipertemukan dengan laki-laki pengkhianat seperti dia, karena jujur melihat wajahnya yang sok polos membuat yang ada di dalam dada terasa sakit. “Mbak Lala pasti lagi nglamunin suami Mbak ya?” ucap Virgo menyentakku dari lamunan. “Aku sebel saja karena harus ketemu sama dia, Vir. Bikin bad mood!” sungutku kesal. “Benci sama cinta itu beda tipis, Mbak.” “Memangnya kamu tau apa, Vir?” “Saya tau segalanya, Mbak!” Dia tertawa lepas, seakan tidak pernah ada masalah yang mendera hidupnya. “Udah, ah. Aku mau pulang. Beli tongkatnya besok aja!” “Siap!” Dia terus mendorong kursi rodaku menuju parkiran, mengunci rodanya setelah sampai lalu membantuku untuk berdiri dan masuk ke dalam mobil. Aku memejamkan mata menghidu aroma tubuh pria yang tengah memapahku. Merasakan kenyamanan yang tidak pernah aku rasa ketika bers

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 15

    “Selamat pagi, La. Apa hari ini kamu ada jadwal terapi?” sapa Kak Irsyad saat aku baru saja keluar dari dalam kamar.Kapan dia datang? Lagian kok tumben. Pagi-pagi seperti ini dia sudah berada di rumahku.“Nggak ada, Kak. Aku terapi seminggu dua kali!” jawabku datar.“Kita jalan, yuk! Aku mau mengajak kamu main ke rumah Mama. Sudah lama aku tidak bertandang ke sana. Mama meminta aku datang, karena hari ini Mama ulang tahun.”Dahiku mengernyit mendengar ajakannya. Apa dia tidak malu mengajak perempuan cacat seperti aku ini? Apalagi pasti hari ini keluarga besar Kak Irsyad semuanya hadir.Enggak. Aku takut dipermalukan di sana. Sudah cukup luka yang dia torehkan dulu, dan aku tidak mau menggores kembali luka yang sudah mengering.“Kenapa malah bengong, La? Kamu mau ya?” Pria bertubuh jangkung itu berjongkok di depanku dan menggenggam jari-jemariku.“Maaf, Kak. Aku belum bisa bertemu dengan keluarga Kakak!” to

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 16

    Aku terus memberontak mencoba melepaskan diri, akan tetapi pria misterius itu mengikat kuat tangan ini menggunakan tali dan menutup mulutku menggunakan saputangan. Dalam hati tidak henti-hentinya merapalkan doa, meminta kepada Tuhan supaya Kak Irsyad menyadari bahwa ada orang yang tengah menculikku dan segera mengejarSetelah menempuh perjalanan lebih dari setengah jam, mobil yang membawaku akhirnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Mereka lalu membawaku keluar, membopong tubuhku masuk ke dalam rumah tersebut tanpa melepas ikatan di tangan.Buk!Sebuah tendangan melayang di punggung salah satu orang yang membawaku. Virgo berdiri dengan tangan terkepal serta dada naik turun tidak beraturan, terus menghadiahi tinju kepada laki-laki bertopeng yang menculikku hingga mengerang kesakitan.“Lepaskan Lala, atau gue patahkan tangan dan kaki Lo!!” teriak sang pemilik sabuk hitam itu seraya menunjuk ke arah orang yang tengah m

Latest chapter

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Ending

    Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siksa 2

    Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siska

    “Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 111

    “Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 110

    Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 109

    Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 108

    "Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 107

    “Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 106

    Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan

DMCA.com Protection Status