Share

Part 5

Author: Ida Saidah
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Apa aku gadaikan sertifikat rumah saja ya?

“Bagaimana, Ar?”

“Kalau sertifikat rumah ibuku kira-kira bisa buat pinjam berapa duit, Jo?”

“Jangan terlalu bernafsu, Ar. Pinjam secukupnya, takut nanti tidak bisa bayar nyaho, lo!”

“Halah...! ‘Kan kamu tau sendiri gaji aku itu gede. Pasti bisalah bayar angsuran doang mah! Yang penting angsurannya jangan terlalu besar!”

“Ya sudah. Aku hubungi temen dulu, nanti kalo udah deal, aku langsung kabari kamu. Gimana?”

“Aku butuh cepet, Jo. Kalo bisa besok ato lusa!”

“Kamu itu hidup susah dibikin sendiri. Udah enak-enakkan hidup sama Nirmala, malah bertingkah. Padahal apa sih kurangnya dia. Cacat juga kamu sendiri yang bikin!” Dia menggeleng kepala.

“Jangan sampai rahasia aku bocor, Jo. Masalah ini juga. Apalagi kalau Siska istri baruku tau tentang statusku. Bisa ditinggalin aku sama dia!”

“Aku nggak mau ikut campur urusan lain, Ar.”

“Ya sudah. Aku pamit balik. Jangan lupa kabari segera. Nggak pake lama, jangan sampai aku dipermalukan!”

Jojo hanya diam tidak menyahut. Ekspresinya datar, terlihat tidak suka denganku.

[Bu, tolong ke gang rumah depan. Aku mau bicara sama Ibu. Jangan sampai Siska tau.]

Kukirimkan pesan kepada Ibu setelah sampai di depan gapura komplek, meminta dia menemui diriku. Aku tidak mungkin langsung pulang sebab nanti Siska curiga. Belum lagi harus dikejar-kejar dia dimintai uang terus. Lama-lama bisa botak kepalaku memikirkan masalah yang tiada pernah ada habisnya.

Satu belum selesai, datang masalah baru yang lebih runyam. Amsyong banget hidupku ini.

Apa aku kualat karena mengkhianati cinta wanita baik seperti Nirmala?

Ah, sepertinya tidak. Bukannya laki-laki itu boleh menikahi lebih dari satu wanita? Jadi aku tidak salah dong...

Lamat-lamat kulihat ibu datang diantar oleh tukang ojek langganan. Buru-buru dia berjalan menghampiri, masuk ke dalam mobil menanyakan maksudku meminta bertemu di depan gerbang komplek.

“Aku mau minjem sertifikat rumah Ibu buat digadein. Soalnya Lala pindah nggak tau ke mana. Sepertinya dia sengaja menghindari aku, Bu!” keluhku menahan emosi yang kembali meninggi.

“Kok bisa, Ar?” Mata wanita dengan jambul khatulistiwa itu mendelik tidak percaya. Mungkin itu juga ekspresi yang aku tunjukkan kemarin ketika tahu kalau Nirmala pergi tanpa permisi. “Kamu nggak lagi nge-prank Ibu, ‘kan?”

Aku menyentak napas kuat. Boro-boro buat nge-prank dan menjahili orang. Otakku saja sudah hampir buntu, tidak bisa berpikir sama sekali kalau sedang kalut seperti ini.

“Aku serius, Bu. Lala pergi. Rumahnya kosong. Kalo aku ketemu sama dia nggak mungkin dong minta Ibu ke sini, pasti saat ini juga aku lagi seneng-seneng sama dia!”

“Terus? Sekarang bagaimana, Ar?”

“Cuma satu jalan keluarnya, Bu. Pinjami aku sertifikat rumah biar bisa bayar WO. Kalo nggak, aku pinjam uang ke Ibu. ‘Kan kemarin amplop dari orang-orang kondangan banyak. Biar kita nggak perlu gadaikan sertifikat!”

“Apaan! Amplopnya kebanyakan isinya goceng ma ceban. Pada numpang makan enak doang tamu-tamunya. Yang isinya gede Cuma beberapa orang doang. Makanya Ibu kesel. Kalo begini ‘kan jadi rugi bandar!!”

“Lagian Ibu juga sih, kalo kondangan cuma ngisi ceban. Paling gede mabelas ribu! Ya wajar kalo sekarang orang-orang juga kondangannya segitu!”

Ibu mendengus kesal mendengar serentetan kalimat yang keluar dari mulutku.

Untuk apa tersinggung? Orang nyatanya begitu kok!

“Ibu nggak mau pinjemin sertifikat rumah, Ar. Takut nggak kebayar dan rumah Ibu disita bank!” tolak ibu sambil melipat tangan di depan dada.

“Ya sudah kalau begitu. Asalkan Ibu siap dicibir tetangga karena nggak mampu bayar WO, dibilang orang miskin dan tidak lagi dihormati!”

“Ya sudah. Tapi janji jangan sampe gak ditebus. Bisa tambah malu Ibu nanti!”

“Siap, Bu!” Memeluk tubuh gempal ibu, berterima kasih karena akhirnya mendapatkan solusi. Walaupun sebenarnya bukan benar-benar jalan keluar, sebab pasti menambah masalah serta beban baru di kemudian hari.

Segera menghubungi Jojo sahabatku, mendesak dia supaya cepat mencarikan orang yang mau membantu dan akhirnya dia mengajakku bertemu sore ini juga di sebuah cafe ternama di Ibukota.

Dengan semangat empat lima juga membara kudatangi cafe tersebut, berjalan cepat menuju meja yang sudah dipesan, namun, langkah ini berderap kaku ketika melihat seorang wanita cantik nan anggun tengah duduk bersama Pak Irsyad bosku.

Senyum terkembang menawan di bibir tipisnya, beberapa kali juga kulihat laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu mencuri pandang, dengan pindaian penuh kekaguman membuat hati ini terbakar cemburu.

Panas! Dadaku terasa seperti tersiram lava gunung berapi mendengar tawa riang si perempuan. Sakit. Perih terparut luka tersayat cemburu.

Related chapters

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 6

    Ragu-ragu berjalan menghampiri Nirmala yang tengah asik bercengkerama dengan Pak Irsyad, menyapa perempuan yang masih menyandang status sebagai istriku itu tapi ekspresinya terlihat begitu datar seolah tidak mengenali diriku. "Kamu ke mana saja, La? Mas nyariin kamu dari kemarin. Mas kangen," ucapku dengan suara bergetar, apalagi ketika Pak Irsyad menatap tajam serta tidak suka ke arahku. "Kamu kenal sama laki-laki itu, La?" tanya pria dengan tuksedo hitam itu kepada Nirmala. "Enggak, Kak!" Nirmala menggeleng. "La, kamu boleh marah dan kecewa sama Mas. Tapi tolong jangan begitu. Kamu itu istrinya Mas. Masa malah bilang nggak kenal sama Mas?!" protesku kesal. "Arya. Kamu jangan kurang ajar sama pacar saya, atau nanti saya pecat!" "Pak, Bapak ditipu sama perempuan ini. Dia sudah menikah dengan saya setahun yang lalu. Bapak jangan percaya sama dia. Dia bukan perempuan baik-baik!" Buk!! Sebuah tinju mendarat di rahang. Aku meringis kesakitan sementara Nirmala hanya menatap tanpa m

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 7

    Jojo lekas mengayunkan kaki meninggalkan aku juga Ibu, sementara Pak Handoyo terlihat sedang sibuk menghubungi seseorang. "Baik, Bu. Sudah saya lakukan sesuai perintah Ibu. Iya, nanti saya antarkan ke rumah Ibu!" sekilas indra pendengaranku menangkap percakapan laki-laki gendut itu dengan seseorang. Mungkin dengan rekan bisnisnya, atau... Sudahlah. Bukan urusanku dia berbicara dengan siapa. Yang penting aku sudah mendapatkan uang untuk menyelesaikan masalah yang tengah membelenggu, meski dengan cara membuat masalah baru. Ini yang disebut menyelesaikan masalah dengan masalah. "Ayo, Ar. Kita mampir ke toko perhiasan dulu. Ibu udah nggak sabar pengen beli cincin baru!" ajak Ibu seraya menggandeng tanganku. "Besok saja lah, Bu. Aku sudah kangen berat sama Siska. Aku mau langsung pulang!" tolakku karena sudah tidak sabar ingin bertemu istri baru. Rindu rasanya dua hari satu malam tidak bertemu dengan dia. Ketika sampai di parkiran. Beberapa orang bertubuh tinggi besar berdiri mengelil

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 8

    Tidak bisa. Aku bukan boneka yang bisa dimainkan oleh siapa saja dengan seenaknya. Lebih baik sendiri, menata hidup yang sudah terlanjur berantakan dan mencoba untuk mencari terapis yang baru agar aku bisa berjalan kembali.Mobil milik Kak Irsyad menepi di depan rumah yang aku tinggali. Dia lalu membuka pintu kendaraan roda empatnya, mengeluarkan kursi roda milikku dari bagasi dan tersenyum ramah ketika Bi Sarni membuka pintu garasi.“Bi, tolong bawa kursi rodanya masuk!” perintah laki-laki bertubuh tinggi itu kepada embanku.“Kamu sengaja meledekku, Kak. Sudah tau aku tidak bisa jalan, cacat, tapi malah kursi rodanya disuruh dibawa masuk. Aneh!” sungutku kesal.Tanpa menjawab pertanyaan dariku dia langsung membopong tubuh ini, membawaku masuk ke dalam sehingga aku bisa menghidu aroma maskulin yang dulu selalu aku rindukan. Ia lalu merebahkan tubuhku di atas ranjang, mengusap lembut rambut ini sambil mengunci netraku dengan tatapannya.Jujur, berada di dekat Kak Irsyad getaran di hati

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 9

    “Apa kamu bisa antar saya ke rumah anak itu sekarang, Vir?” “Besok saja, Mbak. Tadi ‘kan Mbak Lala habis pergi sama Pak Irsyad. Saya takut Mbak Lala kecapean. Nggak tega liatnya!” Aku menghela napas. Benar juga sih, apa yang dikatakan Virgo. Aku tidak boleh terlalu memaksakan diri, supaya lekas sehat dan bisa kembali berjalan.“Mbak, besok ke lapangan yuk. Dulu ibu saya juga sakit kaya Mbak Lala. Tapi dia rajin belajar jalan tiap pagi, nginjek rumput yang masih berembun sambil berjemur, alhamdulillah sekarang ibu udah bisa jalan. Tapi ya dibarengi tetapi juga sih!” ajak Virgo dan sepertinya aku berminat. Siapa tahu dengan cara terapi seperti itu lama-lama bisa jalan. ‘Kan tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.“Oke. Jam berapa?” tanyaku mantap.“Jam enem, Mbak. Besok setengah enem saya jemput. Bagaimana?”“Oke. Saya setuju.”Laki-laki berambut cepak itu menerbitkan senyuman.“Bayaran kamu saya transfer sekarang, ya Vir!” “Siap, Mbak. Saya minta lima ratus ribu s

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 10

    “Ya sudah. Kita pulang sekarang!” Tanpa dikomando pria berusia dua puluh lima tahun itu segera membopong tubuhku, dan aku mengalungkan tangan di leher Virgo sambil melempar senyum nakal, persis seperti wanita kurang belaian kasih sayang yang suka menjajakan tubuh di pinggir jalan.Biarlah. Semua kulakukan demi mengobati luka hatiku. Karena dalam sanubari ada kepuasan tersendiri melihat pengkhianat itu marah dan terbakar cemburu.Mungkin dia pikir saat ini aku sedang meratapi nasib dan menangisi kepergiannya. Kamu salah, Mas. Terlalu mahal air mataku buat menangisi suami tidak setia seperti kamu. Aku sudah biasa dilukai sejak kecil. Dari ditinggal oleh wanita yang menyandang gelar sebagai ibu, tidak diakui oleh dia, dan sekarang diduakan oleh kamu. Hatiku sudah kebal.Ekor mataku terus melirik ke arah suami yang sedang berdiri mematung di samping selingkuhannya. Kepalan tangannya terlihat semakin erat sementara dia tidak bisa berbuat apa-apa melihatku bersama laki-laki lain.Dasar cem

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 11

    “Lho Mas Arya kok belum jalan? Mana mobilnya? Nggak pernah keliatan?” sapa tetangga ketika melihatku sedang berdiri di depan pagar menunggu taksi yang kupesan.“Dibegal, Bu. Kemarin pas dari luar kota. Tapi lagi beli yang baru, kok. Tinggal nunggu datang!” jawabku berbohong juga sedikit menyombong.“Astaga...Saya turut prihatin ya, Mas.”“Terima kasih, Bu.”“Omong-omong sudah lapor polisi belum Mas Ar?”“Tidak perlu lah, Bu. Ribet. Mobil nggak kembali, tapi malah buang-buang waktu saya. Tidak masalah mobil saya ilang. Toh, masih bisa beli yang baru!”“Duh! Mantap. Coba anak saya udah ada yang gede. Saya angkat mantu kamu, Mas!”Aku membusungkan dada, merasa bangga jika dipuji tetangga seperti itu.Lamat-lamat kulihat Siska tengah berlari-lari kecil diikuti oleh bapak-bapak komplek sambil bercengkerama juga bercanda ria. Mata para bapak terlihat menyusuri tubuh istri yang berpakaian serba pres di badan sehingga membuat siapa saja yang melihatnya terpesona karena kecantikan alami yang d

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 12

    “Kamu kenapa malah duduk di lantai kaya anak kecil, Arya? Saya membayar kamu bukan untuk berlaku kekanakan. Tapi untuk kerja!” sentak Pak Irsyad dengan tatapan tajam bak harimau lapar. Dasar bujang lapuk.“Ma—maaf, Pak. Saya tiba-tiba lemas. Belum sarapan!” Mencoba berdiri tegak mesti kaki terasa gemetar.Pak Isyad lalu segera mengayunkan kaki meninggal diriku sendiri di lobi.Ah, sial. Malu sekali aku. Sudah sok-sokan nunjukkin foto si Nirmala sama selingkuhannya malah nggak digubris. Memang kalau sudah cinta dan bucin, orang salah juga tetap terlihat benar. Batu kali saja terlihat seperti berlian di matanya. Namanya juga lagi tergila-gila. Tapi coba lihat saja nanti jika kedok Nirmala terbongkar. Pasti dia akan menyesal tidak mendengarkan aku.Masuk ke dalam ruangan, duduk di kursi singgasanaku lalu menyalakan laptop, mengerjakan tugas yang tiada pernah ada habisnya sambil sesekali berbalas pesan dengan sang bidadari hati.Jak

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 13

    Dengan langkah ragu kuhampiri perempuan itu, ingin menyapanya juga mengajak pulang. Aku akan memaafkan segala kesalahannya karena sudah berkhianat, asalkan ia mau kembali hidup bersama lagi.“La!” Panggilku dengan suara bergetar.Dia menoleh. Senyum yang terkembang di bibir perlahan memudar melihatku sudah berada di hadapannya. Pun dengan pria muda yang sedang bersama dengannya.“Ayo, Vir. Kita pergi dari sini. Katanya kita mau beli tongkat!” Ia seolah mengabaikan diriku.“La, aku mau ngomong sama kamu. Tolong jangan pergi!” Berjongkok tepat di hadapannya, menggengam jemari lentik milik Nirmala, namun, pelan-pelan dia menarik tangannya dari genggamanku.“La, ayo kita pulang. Mas kangen sama kamu. Mas ingin bicara penting sama kamu, tapi hanya berdua saja!” ucapku seraya menatap wajahnya.Nirmala bergeming. Wajahnya ia palingkan menghindari tatapanku. Dan entahlah mengapa perlakuannya kepadaku membuat hati ini terparut

Latest chapter

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Ending

    Buk!Aku meringis kesakitan ketika sebuah bola sepak tidak sengaja mengenai kepala. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga belas tahunan berjalan setengah berlari ke arahku, mengambil bola tersebut sambil berkali-kali mengucap kata maaf.“Aku nggak sengaja, Pak. Tadi nendangnya terlalu kenceng!” ucapnya penuh dengan penyesalan.“Iya, gak apa-apa. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?” tanyaku seraya mengusap lembut rambut bocah berseragam SMP itu, merasa kagum dengan sikapnya yang santun juga mau mengakui kesalahan. Pasti dia terlahir dari keluarga paham agama, sebab dari cara dia berbicara juga sikapnya, menunjukkan betapa suksesnya sang orang tua mendidik anak tersebut.“Nama aku Azam, Pak!” Dia mengulas senyum tipis, menunjukkan kedua ceruk di pipinya, menambah kesan tampan di wajah bocah itu.“Azam. Nama yang bagus.”“Terima kasih. Nama Bapak sendiri siapa?”“Arya.”“Sekali lagi aku minta ma

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siksa 2

    Samar-samar terdengar suara panik beberapa orang, akan tetapi aku tidak bisa meminta bantuan kepada siapa pun, karena suaraku tercekat di kerongkongan. Tidak bisa mengucapakan kata, karena semakin lama semakin terasa kehabisan napas.Membuka mata perlahan, lalu menutupnya kembali mengadaptasi cahaya yang menyilaukan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa nyeri di perut bagian bawah dan tidak bisa menggerakkan sebagian anggota tubuh. Perut juga sudah terlihat mengempis, tidak sebesar tadi saat sebelum aku jatuh dan terbentur. Apa aku sudah melahirkan?Pintu kamar rawat inapku terbuka perlahan. Seorang perawat datang dengan buku catatan pasien di tangan, mengulas senyum tipis kepadaku lalu mengecek infus yang menggantung di tiang penyangga.“Suster, kenapa saya tidak bisa menggerakkan tubuh bagian bawah saya?” tanyaku penasaran, karena kedua kaki terasa sudah mati rasa.“Mungkin efek anestesi, Bu. Ibu kan habis menjalank

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   POV Siska

    “Perut sialan. Kenapa sakit banget begini sih? Bayi kurang ajar, kenapa kamu nggak mati saja!” umpatku kesal, seraya memukuli perut yang terasa sakit. Sudah mulas dari dua hari yang lalu, tetapi anak ini tidak juga keluar. Bikin semua terasa nyeri dan tidak nyaman saja. Argh! Menjerit histeris, meremas-remas perut yang kian terasa nyeri juga mendorongnya agar si bayi lekas lahir. “Sepertinya harus dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi caesar, Bu. Soalnya bayinya sungsang!” Ucapan bidan kembali terngiang di telinga, membuat diri ini kian frustrasi dibuatnya. Boro-boro buat operasi caesar. Buat makan saja Senin Kamis. Jual diri juga tidak laku karena wajah terlihat jelek dan perut gendut. Paling banter dapet tamu dari kelas teri, yang bayarannya pake duit recehan, bau apek lagi badannya. Mas Arya juga. Pake dipenjara segala, padahal aku sedang mengandung. Bodoh banget memang itu laki-laki. Hanya menabrak orang sa

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 111

    “Sudah, jangan ribut. Mbak Delima melakukan itu juga karena terpaksa. Karena dia takut kehilangan Ayah. Jadi, sebaiknya masalah ini diselesaikan dengan kepala dingin, jangan pakai emosi,” timpal Lala dengan intonasi sangat lembut.“Dia bukan takut kehilangan Ayah, tapi takut kehilangan harta Ayah!”“Pa, Mama mohon. Jangan usir Mama dari sini. Maafkan Mama. Mama khilaf, dan Mama janji tidak akan melakukannya lagi. Mama juga akan mengembalikan uang Lala yang sudah Mama ambil, tapi dengan cara dicicil. Soalnya sudah buat beli mobil untuk Ibu dan buat beli berlian. Aku minta maaf, Pa. Ampun. Jangan usir Mama.” Mbak Delima mencekal kaki Ayah sambil menangis tersedu.“Oke, Papa mau kasih kamu kesempatan sekali lagi, tapi, jatah bulanan kamu Papa kurangi separo. Anggap saja itu hukuman dari Papa, karena kesalahan yang sudah kamu perbuat. Papa benar-benar nggak nyangka kamu bisa sejahat itu sama Papa dan anak aku. Padahal, selama ini Papa tidak pernah pilih

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 110

    Astagfirullah ... kenapa malah tiba-tiba jadi berprasangka buruk terhadap Mbak Delima? “Ayo, Virgo, Lala, silakan masuk!” Mbak Delima terlihat begitu ramah. Aku merangkul pundak Nirmala, sementara tangan kiriku menggandeng Alexa. Kami duduk di kursi ruang tamu, bergabung dengan yang lainnya akan tetapi tidak terlihat keramahan sama sekali di wajah keluarga ibu tiri istriku. Entahlah. Mungkin hanya perasaanku saja, atau memang mereka tidak suka dengan kedatangan kami bertiga. “Kenapa kalian nggak pernah ngasih kabar? Kalian juga nggak pernah bertandang ke rumah, padahal ayah itu kangen banget sama kalian,” ucap Ayah membuat dahi ini berkerut-kerut, menatap wajah mertua dengan mimik bingung. Kami tidak pernah memberi kabar? Bukannya dia sendiri yang selalu menolak panggilan dari kami, juga tidak pernah membalas pesan yang aku maupun Nirmala kirimkan. “Maaf, Ayah. Bukannya ...” “Pah, bisa minta tolong ambilin

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 109

    Membuka pintu, mengulas senyum tipis lalu mempersilakan Irsyad untuk masuk ke dalam.“Ada apa, Syad? Tumben mampir?” tanyaku tanpa basa-basi, apalagi ketika melihat netra di balik kacamata itu terus saja menyisir ke seluruh penjuru ruangan, seolah sedang mencari sesuatu di dalam rumahku. Pasti dia sedang mencari Nirmala. Tidak akan kubiarkan mantan tunangan istriku bertemu dengan Nirmala, walau hanya sedetik saja.“Saya datang ke sini hanya ingin mengantar undangan.” Dia menyodorkan sebuah surat undangan dengan tinta emas, dan di sampul undangan tersebut terdapat foto dirinya bersama seorang wanita.Alhamdulillah. Akhirnya mantan tunangan Nirmala mendapatkan jodoh, sehingga aku tidak perlu lagi khawatir kalau dia mengganggu kekasih hatiku nanti.“Selamat, ya, Syad. Semoga kalian berbahagia, dan cepet dapet momongan nanti. Kaya saya nih. Ces pleng.” Aku terkekeh, tetapi entah mengapa ekspresi lawan bicaraku terlihat tidak senang

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 108

    "Permisi, assalamualaikum!" Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Robby mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. Segera kupersilakan dia masuk, dan pria berkaus putih tersebut menyerahkan sepuluh lembar pecahan uang seratus ribuan kepadaku."Ini, Bu, uang yang tadi saya janjikan. Saya hanya bisa bantu segitu saja. Tidak bisa memberikan lebih!" Menyodorkan uang tersebut kepada Bu Haryanti, dan lawan bicaraku itu terlihat tidak percaya dengan tanggapan dariku."Jangan begitulah, Nak Virgo. Ibu datang ke sini itu bukan untuk mengemis. Tapi mau pinjam uang," ucapnya lagi, dengan nada kurang enak didengar."Saya tidak pernah menganggap Ibu pengemis. Tetapi saya juga tidak bisa membantu meminjami Ibu uang sebanyak itu. Saya setiap bulan memberikan uang ke kalian karena kasihan. Sebab biar bagaimanapun, Ibu itu tetap mertuanya Nirmala. Ada mantan suami, tetapi tidak ada mantan mertua kalau menurut saya. Sebab mertua sama dengan orang tua juga!"

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 107

    “Ada apa, Mas?” tanya istri sambil mengambil jemariku, menggenggamnya kemudian mengecupnya memberi kehangatan cinta.“Nggak ada apa-apa, Sayang. Sonya ingin membahas masalah harta peninggalan ayah, tapi aku pikir belum saatnya. Kuburan Ayah masih basah dan rasanya tidak etis banget kalau kita yang baru saja ditinggalkan malah membahas hartanya. Karena sebenarnya harta miliknya itu delapan puluh persen hakku dan Alisa. Aku juga sudah nggak lagi ngarepin walaupun hanya seujung kuku. Kalau Sonya ingin menyerahkan kembali harta itu, niatku ingin menghibahkannya ke pesantren, atau orang-orang yang membutuhkan.”“Mas Virgo memang suami yang sangat luar biasa!” Perempuan berhijab putih itu mendaratkan bibirnya di pipi, menyandarkan kepala di bahu sambil merangkul lenganku.“Pak, tadi ada dua orang perempuan datang dan katanya ingin bertemu dengan Bapak. Mereka mengaku sebagai keluarganya Arya,” ucap Melvi ketika aku baru saja sampai di kantor.

  • Resepsi Pernikahan di Rumah Mertuaku   Part 106

    Virgo segera menghubungi Alisa serta Robby, meminta mereka untuk segera pergi ke rumah ayah mertua tanpa memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu ganti pakaian dulu, Sayang. Yang panjang ya. Kalau bisa pake hijab!” titah suami sambil mengusap pipiku.“Iya, Mas.” Aku mengangguk dan segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki perlahan menuju kamar untuk menukar pakaian seperti apa yang diperintahkan oleh suami.Kuambil sebuah gamis putih yang tergantung di dalam lemari, mengenakannya, lalu memanggil Bibi untuk membantu memakaikan kerudung.“Maa syaa Allah … istrinya Mas Virgo cantik banget kaya bidadari,” puji suami membuat pipi ini seketika bersemu merah.“Terima kasih, Mas.” Menerbitkan senyuman termanis yang pernah kupunya, merangkul lengan suami yang sudah mengenakan kemeja hitam serta celana bahan dengan warna senada khas orang berbelasungkawa.Kendaraan roda empat milik Virgo melaju membelah kemacetan jalan

DMCA.com Protection Status