Sore pun tiba, Zalila bersiap akan pulang. Jam kerjanya telah selesai, bergantian dengan shif dua karyawan lain.
Berbarengan dengan Lucy keluar dari Resto. Langkah Mereka terhenti, ketika ada seseorang memanggil Zalila.
"Lil!" panggil Denis, sambil berlari kecil untuk lebih mendekati Zalila.
"Iya, Pak!" sahut Zalila, sebelumnya melirik pada Lucy. Sahabatnya itu pun, membalas dengan melihatnya juga.
"Bagaimana? mau ku antar pulang?" tanya Denis yang telah sampai pada kedua karyawannya itu.
Zalila dan Lucy kembali saling melirik, kemudian Lucy mencolek Zalila dengan sikutnya. Mengangkat kedua alis lengkungannya dan menggerakkan wajah cantiknya kearah Denis, Lucy memberi kode agar Zalila menerima tawaran Denis.
Merasa di dukung, Denis tersenyum girang. Zalila sendiri mengikuti saran Lucy, karena Ia selalu percaya dengan sahabatnya itu.
Zalila sampai di rumahnya dengan diantar Denis.
"Ini rumahmu, Lil?" tanya Denis melihat rumah Zalila dari kaca jendela depan mobilnya yang memang menghadap tepat ke depan rumahnya, masuk dan berhenti di halaman luas rumah Zalila.
"Iya, Pak!"
"Tapi lebih tepatnya gubuk, Pak!"
Denis memperhatikan lagi rumah Zalila yang terlihat kental dengan rumah adat Jakarta.
"Ini sih, bagus, Zalila. Terlihat tradisional dan asri," timpal Denis.
"Ayo, pak, turun," ajak Zalila.
"Eits, Pak lagi. Mas, dong," protes Denis.
"Iya, Mas Denis," sahut Zalila tersenyum kecil.
Baru saja Zalila akan turun dari mobil Denis. Bos nya itu memanggilnya lagi." Lila!"
"Ini, dibawa sekalian," ujarnya setelah Zalila menolehnya.
Zalila mengambil sebuah paper bag yang di ulurkan Denis itu, sambil melempar senyum.
"makasih, Mas Denis!"
Denis membalas dengan mengangguk juga senyuman. Kemudian turun dari mobil, bersebelahan pintu dengan Zalila yang turun dari pintu sebelah kiri.
Di dalam rumah Zalila, seperti biasa ada Ibunya yang duduk di bangku ruang tamu. Ya, bangku dengan busa yang tidak menggembul lagi. Bukan sofa empuk dan mewah.
"Bu!" panggil Zalila sambil membuka pintu.
Denis masih di luar yang juga ada dua bangku kayu dan mejanya. Kemudian Ia duduk, menunggu Zalila yang masuk ke dalam.
Denis melebarkan pandangannya ke sekeliling rumah Zalila. Ada rasa kagumnya pada rumah itu, di jaman modern seperti ini masih ada rumah berdisain rumah adat.
Zalila keluar bersama Ibunya yang Ia gandeng. Sontak, Denis bangun dari duduknya dan menyambut sopan Ibu Zalila.
"Bu, ini bos aku, namanya pak Denis." Zalila memperkenalkan Denis pada Ibunya.
Tak lama berbincang-bincang selanjutnya, dari sekedar basa-basi hingga soal pekerjaan Zalila. Denis mengadukan jika Zalila adalah karyawannya yang rajin.
Denis undur diri, usai meminum segelas kopi suguhan Zalila.
"Terimakasih, Nak Denis. Sudah bersedia datang ke sini, pakai mengantar Lila segala," ucap Radiah, ibu Zalila.
"Iya, Bu!" sahut Denis sambil tertawa kecil.
Zalila dan Ibunya masuk ke dalam rumah, sepulangnya Denis. Di bangku ruang tamu yang juga tempat menonton televisi, Mereka duduk bersama.
Awal perkenalan Ibu Zalila dan Denis, berkesan manis. Di mata Ibu Zalila, Denis adalah pria yang sopan dan bertanggung jawab.
Ibu Zalila menaruh harapan pada Denis, jika suatu saat Denis dan Zalila berjodoh. Ia sudah sangat menginginkan Zalila Menikah, menyadari kondisinya yang sering sakit-sakitan. Ketakutannya yang selalu hadir di saat sakitnya adalah tak dapat lagi menemani Zalila, begitupun dengan pernikahan Zalila. Ia takut tak dapat menyaksikannya.
"Kenapa, Ibu menatap aku seperti itu?" tanya Zalila merasa aneh dengan ditatapnya oleh Ibunya yang sambil tersenyum-senyum.
"Kau dan Pak Denis itu, apa ada hubungan yang lebih?" tanyanya.
"Tidak, Bu. Pak Denis itu memang baik pada semua karyawannya," elak Zalila.
Mendengar jawaban Zalila yang katanya Denis baik pada semua karyawannya, mematahkan dugaannya jika Denis memperlakukan lain putrinya itu dari karyawan lainnya karena ada persaan yang lain pula.
Malam pun datang menyamarkan semua yang terlihat jelas di siang hari. Zalila memandang ke luar lewat jendela kamarnya. Semilir angin malam sangat terasa menerpa wajahnya, memainkan rambut hitam dan panjang milik Zalila.
Terbuai belaian angin malam itu, Zalila baru tersadar tentang peristiwa pagi tadi saat di rumah mewah Betara.
'Urusan ini tentu belum selesai, saya akan meminta keputusan mu sore nanti'
Ucapan Betara itu terngiang di telinga dan ingatan Zalila. Kemudian Ia melihat jam dinding yang menempel di tembok Rumahnya. Jam dinding yang tak bernyawa namun berdetak di setiap detiknya, menunjukkan pukul sepuluh malam.
Zalila merasa keheranan sendiri baru menyadari tak ada pergerakan dari Betara, yang biasanya selalu mengirim anak buahnya. Padahal Tuan rentenir itu akan meminta keputusannya sore tadi.
'Apa dia lupa, sama seperti ku' gumam Zalila.
Zalila yang pikirannya masih tertuju pada Betara dan ancamannya, dikagetkan dengan suara ketukan pintu kamarnya.
"Lila!" panggil Radiah.
"Iya, Bu!" sahut Zalila seraya beranjak untuk membuka pintu.
"Kau belum tidur, La?" tanya Radiah, sudah dibukakan pintu oleh Zalila.
"Belum, Bu. Belum ngantuk," sahut Zalila sambil berjalan ke tempat tidurnya, kemudian Ia duduk di pinggirnya. Di ikuti oleh Ibunya.
"La, Ibu harus bantu kamu untuk mencari uang, untuk membayar hutang kita pada tuan Betara," ucap Radiah menatap Zalila.
"Ibu tenang saja, ini pasti ada jalan keluarnya agar kita terbebas dari hutang tuan Betara," timpal Zalila, Ia merebahkan kepalanya di pangkuan Ibunya. Belaian lembut pun jatuh ke kepala Zalila dari tangan kurus Ibunya.
"Ibu tidak ingin kau bersusah payah sendirian," ucapnya sambil tetap membelai rambut Zalila.
"Bu, kesehatan Ibu yang paling penting. Yang lainnya, tidak perlu Ibu pikirkan." Zalila bangun dari tidurannya di pangkuan Ibunya tadi.
"Kamu juga, Lila. Ibu khawatir, kesehatan mu akan terganggu," balas Radiah dengan memegang kedua pipi lembut Zalila.
"Sudah, Ibu tidak perlu khawatir," Zalila kembali merebahkan kepalanya di pangkuan Ibunya seperti tadi. Ibunya pun kembali membelai sayang kepala Zalila. Hingga akhirnya, Zalila tertidur.
"Tidurlah, Nak. Kau memang anak yang baik, Ibu sayang padamu, Lila."
Sebutir air bening keluar dari ujung pelupuk matanya, segera Ia menyekanya agar tak sampai jatuh. Jika jatuh, kemungkinan akan menimpa wajah Zalila yang semakin manis dalam terpejam matanya.
Radiah membetulkan dengan pelan dan hati-hati tubuh Zalila, agar jangan sampai terbangun. Kini terbaring sempurna Zalila di atas kasurnya.
Radiah menutup jendela kamar Zalila yang tadi terbuka. Langsung saja wajahnya tertiup angin dingin malam, Ia bergidik merasakan kedinginan pada bulu kuduknya. Barulah terasa hangat usai jendela tertutup.
Baru saja akan keluar kamar Zalila, Radiah tak sengaja menendang sebuah paper bag yang terletak di bawah bagian depan tempat tidur Zalila yang berhadapan dengan jendela.
Tak menimbulkan suara keras, paper bag yang berisi gaun yang tadi di belikan Denis itu jatuh rebah. Radiah memungutnya, berniat untuk di rapikan kembali. Gaun itu terlihat sedikit keluar dari paper bag.
'Baju siapa ini? apa iya, punya Lila?' gumamnya seraya melihat lebar gaun tersebut.
Ibu! ada apa?" tanya Zalila terbangun."Ini, Ibu tidak sengaja menendang tas kertas, kamu," sahut Radiah."Ternyata isinya baju bagus begini," lanjutnya."Oh, itu baju dari pak Denis," ungkap Zalila yang dilanjutkan dengan menguapnya."Dari pak Denis?" tanya heran ibu Zalila.'Ada ya, bos sebaik ini' batinnya."Lila, apa mungkin pak Denis, su--," ucapan Radiah terpotong melihat Zalila yang tertidur kembali.Keesokan harinya..."Duh, yang kemarin diantar pulang pak bos!" ledek Lucy, saat bersamaan sampai di restoran.Belum lah menimpali ledekan dari Lucy, muncul pula Denis dari belakang.Zalila kini sudah menginjak tiga tahun menjadi karyawan di restoran milik Denis. Di tahun ini, Denis baru mulai lebih mendekati Zalila, karena kesibukannya dengan beberapa Restorannya di beberapa tempat lainnya.Pertemuannya yang diawali sebuah peristiwa membuat hubungan mereka berlanjut menjadi hubungan antara karyawan dan bosnya. Nam
Zalila mengedarkan pandangannya kesemua arah, Ia melihat banyak orang-orang berpakaian bagus-bagus dan mewah. Terutama pada wanitanya, yang gaunnya menjuntai hingga lantai dan ada yang begitu seksi menampilkan bentuk lekuk tubuh idealnya.Sepasang pengantin yang berdiri di pelaminan, menyambut ceria orang-orang yang memberi selamat kepadanya. Semuanya telah jelas, jika Denis mengajak Zalila ke sebuah pesta pernikahan."Ayo, La!" ajak Denis lalu menggandeng bahu Zalila.Zalila menurut mengikuti langkah Denis, dan membiarkan tangan Denis merangkulnya walaupun Ia merasa tak nyaman."Hai, Denis!" sapa seorang wanita, Cantik sekali penampilannya."Hai!" balas Denis tanpa ekspresi."Ini pacar kamu?" tanya kemudian.Baru saja Zalila ingin menyanggah pertanyaan itu, Denis yang sudah keburu menjawab."Iya, pacarku," ucapnya."Oh, turun ya selera kamu," cibir wanita itu, usai menatap detail Zalila. Dalam pandangannya, Zalila memang t
Pertanyaan itu tak keburu terjawab, karena Mereka telah sampai rumah Zalila.Zalila membuka pintu mobil sebelah kiri untuk turun, sementara Denis tidak turun dari mobil."Tidak masuk dulu, Pak?" tanya Zalila sebelum menutup pintu mobil."Tidak, Lil. Sudah malam, sampaikan saja salam saya pada Ibu," jawab Denis."Oh, ya sudah, nanti saya sampaikan," balas Zalila.Zalila membuka pintu rumahnya yang tak terkunci, begitu masuk langsung terlihat ibunya yang tertidur duduk di bangku.'Ibu' gumamnya.Zalila mendekati Ibunya yang masih tetap tertidur, karena langkah Zalila sangat dipelankannya. Duduk di samping Ibunya, Zalila menatap wajah sang Ibu dengan sendu."Ibu! Ibu sehat terus ya, Bu. Jangan sakit lagi, aku tidak mau Ibu sakit lagi" ucapnya pelan.Menatap wajah Ibunya semakin dalam, Zalila jadi teringat saat keadaan Ibunya yang kritis ketika berada di rumah sakit."Ibu anda harus segera di operasi, ginjalnya harus di angkat
Seminggu sudah tidak ada kabar dari Betara. Membuat Zalila merasa keheranan, hingga akhirnya Ia mencoba untuk mencari tahu. Karena Ia takut, jika tiba-tiba Betara dan anak buahnya akan menyerangnya lagi.Dari kejauhan Zalila mengintai rumah Betara. Memanjangkan pandangannya, Zalila mendapati rumah itu begitu sepi. Pagar rumah yang tinggi terlihat terbuka.Pukk...Seorang Ibu menepuk pundak Zalila, membuatnya terkejut."Sedang apa, mengintai seperti itu?" tanya."Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya--," sahut Zalila gugup."Hati-hati kalau sampai Tuan Betara tahu," katanya lagi memperingati."Sebenarnya saya sedang ada urusan dengan Tuan Betara, tetapi sudah seminggu ini Tuan Betara tidak menemui saya," ungkap Zalila.Ibu itu menganggukkan kepalanya, seperti mengerti maksud Zalila."Maksud mu, tidak meneror, bukan?""Tuan Betara itu sedang tertimpa musibah,""Ya, semoga saja selamanya. Biar tahu rasanya sulit orang yang
"Terimakasih," ucap Zalila usai kepada seorang apoteker, usai membayar dan menerima obat yang dibelinya.Berbalik badan, Zalila langsung berhadapan dengan Indrita. Terjadilah saling pandang, namun Zalila langsung tertunduk."Kau, Zalila," sebut Indrita.Zalila tetap tertunduk, tak berani mengangkat wajahnya. Ia sangat ketakutan.Indrita terus menatap dalam Zalila, ada sesuatu yang Ia pikirkan tentang Zalila."Ayo ikut aku." Indrita menarik Zalila untuk segera keluar dari apotik.Di luar, Indrita baru melepaskan dari mencekal pergelangan tangan Zalila."Kamu enak-enakan beli obat, sementara hutangmu belum juga kau bayar!" ketusnya memarahi Zalila."Maaf Nyonya, obat ibu saya sudah habis," sahut pelan Zalila.'Hmm!' batin Indrita sambil mengangguk-angguk.Indrita menarik lagi Zalila, mengajaknya secara paksa untuk masuk ke dalam mobilnya."Cepat masuk!" hentak Indrita."Tapi, Nyonya. Saya harus memberikan obat ini
"Cepat putar keran Shower nya!" Gala terus memerintah Zalila dari depan pintu kamar mandi.Keluar rintik-rintik deras air dari Shower, sedikit membasahi baju Zalila."Sudah," ucap Zalila."Ya sudah, berdirilah kau di bawah air yang mengalir itu,"Zalila merasa keheranan dengan apa yang diperintahkan Gala. Apa maksudnya menyuruh Zalila berdiri di bawah air mengalir itu, tentunya akan membuat bajunya basah kuyup. Tentunya pula memang itu yang di inginkan Gala.Gala menjadikan Zalila pelampiasan dendamnya, sedangkan Zalila sendiri tidak tahu bahkan tidak paham sama sekali maksud semua ini. Tetapi Gala begitu menikmati melihat Zalila yang basah kuyup seluruh tubuhnya. Seakan dendamnya benar-benar telah Ia balas pada orang yang melakukannya."Tuan Muda, apakah sudah selesai? Sa-Saya kedinginan," ucap Zalila gemetar, kedua tangannya memeluk dirinya."Belum, tetaplah disitu!" teriak Gala.Zalila merasa kedinginan badannya, Ia memang sedang me
"Sekarang juga, suruh suster ini pergi!" ketus Gala."Gala, dia itu memang harus melayani mu menuruti perintah mu, sebagai bayaran hutangnya," jelas Indrita."Maksud, mami? tanya Gala."Eeem..., maksud mami. Kalau dia pergi, dia akan berhutang karena mami sudah bayar dia," bohong Indrita.Sebenarnya sangat tidak setuju dengan apa yang di lakukan kedua orang tuanya ini, mengenai peminjaman uang yang berbunga. Karena itu, Ia memiliki usaha sendiri tanpa meminta bantuan dari kedua orang tuanya ini.Awalnya Gala tidak pernah mengetahuinya, karena banyak orang yang membicarakannya bahkan ada yang sampai melampiaskan kekesalan padanya barulah Ia mengetahuinya.Gala pun akhirnya marah kepada Betara dan Indrita, hingga mengancam akan pergi. Untuk mencegah Gala pergi, Betara dan Indrita mengatakan akan meninggalkan itu semua. Namun ternyata, Betara dan Indrita tak benar-benar melepas bisnis pinjaman uang berbunga nya itu. Karena begitu banyak keuntungan ya
Dibelakang Rumahnya terdapat hamparan air berukuran 3x7 meter. Ya, itu adalah sebuah kolam renang. Biasanya Gala yang paling sering menggunakannya, namun dengan kondisinya sekarang ini tentu sangat tidak memungkinkan.Tak berjauh jarak dari pinggir kolam renang itu terdapat payungan besar dengan kursi panjang dibawahnya sebagai tempat untuk berjemur seusai berenang, selayaknya nuansa pantai.Indrita merebahkan dirinya pada kursi panjang itu, melunjurkan kakinya."Kau dibawah!" perintahnya pada Zalila.Zalila menurut, duduk di bawah menghadap Indrita yang terbaring itu. Pastinya kursi pantai itu memang tidak tinggi."Pijatlah kakiku!" perintahnya lagi.Zalila pun menurut, perlahan Ia memegang kaki Indrita yang mulus. Kemudian Ia menggerakkannya keatas kebawah dengan sedikit menekannya. Ia sering melakukannya pada Ibunya."Hm, enak juga pijatan mu," ucap Indrita."Saya sering melakukannya pada Ibu saya, Nyonya," sahut Zalila."Oh b
Dengan mendorong kursi rodanya sendiri, Gala lebih mendekat pada Zalila, Denis dan si bibi yang tengah membicarakannya."Nah, tu dia. Si tuan muda!" Pekik Denis.Zalila menatap nanar pada Gala, entah rasa apa yang dirasakannya. Ia pun tidak mengerti."Zalila!" Panggil Gala."Hey, tuan muda. Berdirilah, tunjukkan pada Zalila kalau kau sudah bisa berjalan," ucap Denis tajam.Gala tidak menyahut, Ia tetap duduk tenang pada kursi rodanya."Apa aku harus memaksamu?" Denis semakin mendekati Gala kemudian Ia memegang kerah baju Gala dengan kasar."Mas Denis!" Teriak Zalila terkejut.Si Bibi pun terkejut dengan apa yang dilakukan
"Baiklah, aku akan datang," ucap Zalila menutup perbincangannya melalui telepon.Di Lain tempat, Indrita turun dari lantai atas rumahnya tepatnya keluar dari kamarnya. Berniat untuk mengambil makanan di lemari es untuk menemaninya membaca novel, karena merasa belum mengantuk. Bak nyonya besar piyama yang ia kenakan pun terlihat mewah.Belum sampai pada lemari es langkahnya terhenti, Ia terkejut melihat Gala. Kemudian Ia segera sembunyi di balik tembok.'Gala!' gumamnya dengan wajah dan mata yang begitu terkejut. Dari balik tembok ia terus memperhatikan Gala sampai putranya itu masuk ke dalam kamarnya.Begitu Gala menutup pintu kamarnya, Indrita segera berlari menaiki tangga dengan tergesa-gesa.Terengah-engah masuk ke kamarnya, melihat pada Betara yang sudah terti
"Pulang denganku, kau mau kan, Zalila?" Tanya Arkan yang sebenarnya hanya untuk memancing kecemburuan Lucy."Oh, tentu aku mau. Kau tidak membawaku di depan, bukan? Lalu Lucy dibelakang," bercandanya Zalila.Arkan pernah meledek Zalila dengan tubuhnya yang imut, Arkan berkata akan membonceng Zalila tetapi posisinya Zalila di depan kemudi layaknya membawa anak kecil.Arkan dan Zalila tertawa bersamaan membuat Lucy semakin cemberut."Sudahlah, Arkan. Kau jangan membuat Lucy marah," ucap Zalila usai tawanya terhenti."Aku duluan, ya!" Pamit Zalila akhirnya."Hati-hati di jalan, okey!" Teriak Arkan."Oke, akur-akur lah kalian berdua," balas Zalila kemudian berlalu.****Zalila kembali menemui Gala yang tengah bersama kedua orang tuanya.Tak berkata-kata, Indrita dan Betara meninggalkan Gala bersamaan mendekatnya Zalila.Zalila tak mengerti dan tak mengetahui apa yang dibahas keluarga kecil itu, yang pasti tak a
"Bisakah kau pulangkan Zalila? ibunya sakit," ucap Denis menjawab pertanyaan Gala."Apa? Ibu sakit?" sosor Zalila mengambil handphone Gala dari tangan Gala.Gala yang sempat terkejut dengan aksi Zalila kini melihat Zalila sambil mengerutkan keningnya."Mas Denis! mas Denis! bagaimana keadaan ibu sekarang?" cecar Zalila panik."Ya, kau pulang dulu saja," sahut Denis."Iya, iya, Mas Denis. Aku pulang," sahut balas Zalila.Percakapan dalam sambungan telepon pun berakhir. Zalila baru tersadar jika kini Ia telah memegang handphone Gala."Maaf, tuan muda. Ini...handphonenya," perlahan dan malu-malu Zalila mengembalikan ponsel Gala."Tadinya kau bilang aku saja yang terima, akhirnya kau rebut juga handphoneku," ledek Gala."Maaf, tuan muda," wajah Zalila memerah."Tuan muda, saya harus segera pulang. Ibu saya, ibu saya," panik Zalila seketika teringat ibunya."Ya, pulang lah!" sahut Gala."Terimakasih, tuan
"Mas Denis memang atasan saya, tapi kami sudah pernah bertemu sebelumnya. Jadi sedikit akrab," jelas Zalila sambil menatap Gala."Oh!" timpal Gala pendek.Pagi harinya, Zalila memang tak pulang lagi semalam."Terimakasih, Mas Denis!" ucap Zalila mengakhiri dari menelpon Denis, untuk meminta lagi pertolongannya memberi kabar kepada Ibunya."Ini tuan muda, handphonenya." Zalila mengembalikan ponsel milik Gala yang Ia pinjam untuk menelpon Denis."Kau boleh pulang, Zalila! lupakan kesempatanmu dengan Mami," ucap Gala setelah menerima handphonenya."Maafkan aku!"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku pikir, kau adalah seorang suster yang bekerja untuk merawat ku, ternyata ini adalah tuntutan dari keluarga ku." Gala membelakangi Zalila, merasa tak enak dengan Zalila."Jadi, selama ini tuan muda tidak tahu siapa saya?" Zalila terhenyak. Dia mengira Gala telah tahu tentangnya dan perjanjiannya."Jadi...!" henyak Zalil
'Cepat datang kesini sekarang juga!' ucap Indrita dalam sambungan telepon.'Tapi, Nyonya, ini sudah malam sekali' sahut Zalila.'Saya tidak peduli' tandas Indrita.Tut...Sambungan telpon pun terputus.Zalila kebingungan dengan apa ia akan kesana, kendaraan umum tidak mungkin ada jam segini. Namun ada hal lain yang membuatnya lebih bertanya-tanya lagi, apa yang membuat Nyonya besar itu menyuruhnya datang semalam ini.'Apa ada hubungannya dengan tuan Gala? tapi apa yang terjadi dengan tuan Gala?' gumam Zalila.'Oh, Tuhan. aku sangat mengkhawatirkannya' gumamnya semakin khawatir.Tiba-tiba, Zalila teringat satu nama.'Mas Denis!'Zalila teringat akan ucapan Denis.'Kalau ada apa-apa, kau boleh meminta bantuan ku''Tapi, apa aku tidak mengganggunya malam-malam begini meminta bantuannya?' pikir Zalila.Zalila mondar-mandir kebingungan. Apakah Ia akan meminta bantuan Denis yang adalah bosnya.
Gala menatap Zalila tajam, membuat Zalila mundur beberapa langkah."Kenapa tidak kau lakukan saja apa yang ingin lakukan tadi, sekarang?" ucap Gala."Meskipun aku tidak dalam keadaan tidur pun, aku tidak bisa melawan, bukan?" Gala melemahkan ucapannya merasa dirinya lemah."Ti-tidak, tuan muda. Tuan muda, hebat kok," timpal Zalila tergagap."Bilang saja aku ini laki-laki lumpuh tidak berguna." Gala memalingkan wajahnya menyembunyikan sendunya."Tuan Gala, diluar sana pasti sudah menunggu orang-orang yang dulu mengenal tuan yang gagah. Aku yakin mereka merasa kehilangan tuan Gala saat ini," hibur Zalila."Karena itu demi orang-orang yang mencintai tuan. Anda harus bisa bangkit lagi, tuan harus bisa berjalan lagi kemudian hadir di hadapan mereka." Zalila terus memberi semangat kepada Gala.Ujaran semangat Zalila ternyata mengena di hati Gala."Kau yakin seperti itu?" tanya Gala."Yakin Tuan! Ayo, kita belajar berjalan lagi
"Kau bilang tidak akan melanjutkan perjanjian dengan gadis itu. Tapi kau biarkan dia bersama Gala," Ucap Betara seraya menuruni anak tangga."Ya biarkanlah, Pi. Lagi pula aku sudah mengancam dia agar tidak main-main," jawab Indrita sambil melangkah menuju sofa, kemudian Ia duduk di sana."Aku tidak yakin si Bibik bisa menjalani dua pekerjaan sekaligus, bisa tidak masak dia," lanjutnya."Dia itu lamban sekali dalam bekerja," katanya lagi."Ya sudah, jika begitu maunya mami," balas Betara."Oh ya, Pi. Jam sembilan nanti jadikan, kita survei lokasi lagi," tanya Indrita."Ya, dari semalam aku menghubungi si Jhon. Tapi tidak diangkat juga, dia juga belum telpon balik." Betara kebingungan tentang orang yang pernah mengadakan kerjasama dengannya, bahkan Ia yang telah menginvestasikan lebih banyak."Masih sibuk mungkin, si Johan," tebak Indrita.Matahari semakin bersinar seiring berjalannya waktu. Zalila mengajak Gala menghirup udara d
"Dasar wanita, kalian semua sama saja. Murahan," marah Gala sendirian, menggebrak kursi rodanya.Ya, Gala lah yang tadi melihat Zalila yang seperti memeluk Denis disaat hampir terjatuhnya tadi. Ia bersama Betara mengikuti Zalila sampai Rumahnya. Tentu itu atas kemauan Gala yang sebenarnya berniat ingin lebih jauh mengenal Zalila.Gala begitu marah melihat kejadian tadi. Ia mengira Zalila benar-benar memeluk Denis. Entah Ia cemburu atau tidak suka dengan wanita yang menurutnya begitu mudah jatuh ke pelukan seorang pria.Dada Gala begitu terbakar rasa marah kepada Zalila, Ia tadinya Ia berfikir jika Zalila berbeda dengan gadis atau wanita lain yang selama ini Ia temui. Namun akhirnya pandangan predikat wanita baik terhadap Zalila, kini terpatahkan dengan peristiwa tadi.Sementara Betara pun mengadukan apa yang dialaminya bersama Gala tadi kepada Indrita."Gala terlihat cemburu, saat gadis miskin itu bersama laki-laki lain?" ulang Indrita bertanya usa