Zara tidak main-main dengan rencananya. Keesokan harinya, dia langsung bertemu dengan sosok teman lama yang ternyata bekerja sebagai pesuruh bayaran. Ya, sebutannya memang pesuruh bayaran karena dia mau melakukan perintah apapun, termasuk membunuh orang, asal dengan bayaran tinggi serta diberi perlindungan. Tentu saja, dalam hal uang, Zara tidak kekurangan. Dan untuk masalah perlindungan, meskipun dia tidak memiliki kerabat di ranah hukum atau semacamnya, setidaknya dia punya uang. Dengan uang, semua bisa diatur sesuka hati.Pagi ini, Zara mengirimkan lokasi kepada pesuruh bayaran itu. Dia bahkan tidak ingin membuang waktu lebih lama dan meminta bertemu di pagi hari. Terlihat tidak sabar untuk segera melakukan rencananya.“Kamu terlambat lima menit,” Zara menaikkan alis ketika melihat sosok itu datang. Tidak ada yang tahu jenis kelaminnya, karena pesuruh bayaran sangatlah menjaga privasi dirinya sendiri. Dengan pakaian berlapis-lapis, bahkan jika dia punya payudara, itu akan tertutupi
Iya, Elisha Humeera dulunya adalah gadis muda dari keluarga kaya. Dia sangat dimanjakan dalam segala hal, sehingga sikapnya arogan dan suka memerintah. Semua keinginannya harus terpenuhi seketika itu juga, apabila tidak, orang-orang yang ada disekitarnya akan jadi korban.Suatu hari, Elisha Humeera yang masih berusia muda, bertemu dengan seorang lelaki tampan namun sederhana. Sejak pandangan pertama, dia langsung suka pada lelaki itu dan meminta bantuan ayahnya untuk mencari tahu soal latar belakang keluarganya. Namun, begitu sang ayah tahu bahwa lelaki yang disukai oleh putrinya hanyalah pria sederhana tanpa kekayaan apa-apa, dia langsung menolak gagasan Elisha.Namun, Elisha yang sejak kecil selalu dimanjakan merasa tidak adil dengan keputusan sang ayah. Akhirnya, secara diam-diam dia masih terus mendekati lelaki itu. Sementara itu di pihak lelakinya, dia tidak suka pada Elisha. Karena sejatinya dia sudah memiliki pasangan sendiri.Elisha tidak peduli dan terus meluangkan waktu unt
Hampir satu jam mereka berbincang, sebelum akhirnya berhasil membuat rencana brilian, namun Zara agak kecewa dengan rencana itu.“Aku suka rencananya, tetapi aku ingin sesuatu yang sadis. Bukan seperti ini,” keluhnya. Yang segera mendapat tanggapan bijak dari lawan bicaranya.“Ini bukan soal sadis lagi, tapi tentang keberhasilan rencanamu. Percuma kamu membuat rencana pembunuhan tetapi tidak berpengaruh pada musuhmu, siapa namanya, Puspa kan?”Zara menghela napas, “Awalnya aku ingin begitu. Aku pikir, setelah ibunya meninggal dia akan sedih dan melupakan Hakam.”“Mana mungkin bisa semudah itu. Jika Elisha mati, Puspa hanya akan sedih sebentar, lalu apa? Hakam akan lebih kasihan padanya dan semakin menginginkan dia sebagai pasangan. Setelah itu, tidak menutup kemungkinan mereka akan menikah lebih cepat lagi. Apa ini keinginanmu?”Zara langsung menggeleng, “Kamu benar. Lebih baik pakai rencana ini dulu. Mengancamnya mungkin bisa lebih berguna.”“Bukan cuma mengancam. Setelah kamu memega
“Kamu pikir aku orang bodoh?” Setelah berpikir sejenak, Elisha kembali mendapatkan kesadarannya. Dia tahu putrinya lebih dari siapapun, Puspa tidak mungkin melakukan hal sekejam itu, apalagi sebelumnya sudah pernah ia peringatkan. “Jangan coba membuat tuduhan kosong tanpa bukti! Jika kamu hanya bisa mengatakannya tanpa memberi bukti, silakan angkat kaki dari sini karena aku lebih percaya pada putriku!”Zara tahu hal ini akan terjadi, jadi dia langsung mengeluarkan semua foto kebersamaan Puspa dan Hakam yang berhasil ia kumpulkan. Zara juga menunjukkan foto pernikahannya dengan Hakam beberapa tahun lalu.“Lihat foto ini, ini aku dan disebelahku adalah suamiku. Sekarang, kamu lihat foto anakmu itu dan bandingkan sosok lelaki yang ada bersamanya.” Zara mendengus, “Kamu pikir, pembantu yang seperti apa, sampai-sampai bisa terlihat mesra begitu bersama majikannya?”“Ini… ini tidak mungkin!” Elisha gemetar ketika melihat lembaran foto-foto itu. Sejak kecil, dia berusaha memberi pendidikan y
“Ada apa?” Tanya Hakam, yang saat ini sedang berkumpul bersama Puspa dan Hamun di taman belakang.Puspa menggelengkan kepalanya, namun ekspresi wajahnya jelas terlihat tidak baik-baik saja. “Kamu jangan bohong,” Hakam mengerutkan kening, kemudian meminta Hamun pergi masuk ke dalam dan meninggalkan mereka berdua. “Apa yang terjadi? Ibumu sakit?” Lanjutnya.Puspa lagi-lagi hanya menggeleng, “Ibuk sepertinya marah, tapi aku tidak tahu karena apa. Dia bahkan sampai mengancam jangan pernah pulang kalau hari ini aku tidak menjenguknya.”Hakam terkejut mendengar ini, “Separah itu? Apa kamu bahkan tidak pernah meneleponnya akhir-akhir ini?”“Ya, sepertinya karena itu. Karena aku jarang menghubunginya akhir-akhir ini,” Jawab Puspa agak ragu. Sementara ini berasumsi demikian karena belum tahu pasti alasan sang ibu terdengar begitu marah padanya.“Kalau begitu pulang cepat. Hari ini, kamu bisa pulang dan menginap sampai besok. Jangan buat ibumu kesal.” Puspa juga berpikir demikian, jadi dia me
“Kenapa tidak ambil cuti seminggu? Sebulan, atau kalau bisa selamanya tidak usah kerja.”Puspa terdiam, kemudian menggenggam pergelangan tangan Elisha dan membujuk. “Puspa tahu beberapa hari terakhir jarang menelepon, tolong jangan marah, ya.”“Ini bukan soal itu.” Elisha menghela napas. “Kamu ingat Ibuk pernah bilang apa? Jangan lupa siapa kamu ketika sedang bekerja. Saat ini, kamu bekerja sebagai pembantu di rumah orang lain. Jadi, ingatlah siapa kamu sebenarnya!”Puspa mengangguk keras, “Aku tahu, Puspa tidak lupa siapa Puspa sebenarnya. Ibuk jangan khawatir, ya.”“Ibuk khawatir!” Elisha mulai terlihat emosional. “Sudah ibuk bilang, jangan berhubungan terlalu dekat dengan siapapun di luar sana. Termasuk keluarga majikan yang sedang kamu jadikan sebagai ladang nafkah. Kenapa kamu tidak mengikuti nasehat ibuk?!”Wajah Puspa membeku mendengar kalimat ini, ‘Mungkinkan ibuk tahu kalau…’“Buk, Puspa mau tanya. Apa ada sesuatu yang ingin Ibuk sampaikan? Ibuk baru dapat berita apa?” Puspa
Ketika malam tiba, rumah kayu itu masih terasa sangat dingin. Meskipun ada dua manusia di dalamnya, namun keduanya seolah orang asing yang enggan untuk berbicara satu sama lain. Elisha masih menyiapkan makan malam seperti biasa, sementara Puspa tetap di dalam kamar dan melamun. Lamunan Puspa buyar ketika suara ketukan pintu itu mengejutkannya. Dari luar, ada suara Elisha yang memintanya untuk makan malam. “Makan malam sudah siap. Keluarlah,” ujar Elisha singkat, kemudian pergi lagi. Sementara Puspa juga beranjak dengan gontai, membuka pintu kamar dengan handuk di pundak, berniat mandi terlebih dahulu sebelum makan malam. Puspa tampak lebih segar setelah mandi, tetapi ketika dia tiba di meja makan, lauk sepertinya sudah berkurang, pun nasi yang ada disana. Sepertinya Elisha makan duluan selagi ia mandi. Puspa tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya menghela napas. Dia mengambil tempat duduk dan makan dengan tenang. Setelah makan, Puspa sempatkan masuk ke kamar sang ibu. Tetapi Elisha
Puspa mengedipkan mata. Kemudian, ketika menyadari maksud dari kalimat Hakam, wajahnya memerah. “Pak, ini hanya sehari, Mungkin juga setengah hari, pokoknya tidak akan terlalu lama. Setelah aku menyelesaikan masalah ini dengan ibuk, pasti langsung kembali. Janji.”“Oke, aku pegang kata-katamu. Aku-- maksudku Hamun, anak itu pasti merindukanmu.”“Yah ...” Puspa menahan tawa. “Itu benar. Hamun pasti yang paling merindukanku.”Mereka terus bicara, tanpa sadar melupakan masalah Puspa yang barusan sedang di keluhkan. Ketika panggilan telepon itu diakhiri, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Puspa langsung terdiam lagi, lingkungannya yang sepi mendukung keluh kesah dalam hatinya. Gelisah tak menentu akibat sikap sang ibu yang terlihat sangat berbeda dari biasanya.Keesokan harinya, Puspa berinisiatif bangun pagi dan menyiapkan sarapan. Ketika dia melihat ibunya keluar dan mengambil air putih dari dalam teko, Puspa segera mendekat dan membuka obrolan.“Buk, sarapannya sudah siap. Ayo lang
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha