Waktu berjalan cepat, hanya dengan sekali kedipan mata itu sudah berada di penghujung minggu. Sabtu siang ini Puspa dapat kortingan waktu kerja. Karena malamnya dia harus pergi bersama Hakam, setengah hari ini dia gunakan waktunya untuk bersantai.“Bik Asih, saya masih bisa bantu-bantu kok,” Puspa bersikeras, tidak enak hati jika harus bersantai sementara Bi Asih bekerja seorang diri.“Ya ampun, kamu ini. Ini perintah langsung dari Pak Hakam lo. Kalau sampai dia tahu aku izinkan kamu kerja, yang kena masalah bukan kamu, tapi aku!” Bi Asih langsung mendorong pundak Puspa keluar dari dapur. “Pokoknya kamu harus istirahat. Ingat Puspa, acara malam nanti bukan sembarangan pesta. Kalau kamu kelelahan dan kelihatan loyo saat bersanding dengan Pak Hakam, bayangkan betapa mengerikannya amukan Bu Batari.” Mendengar nama ini, Puspa bergidik. Benar sekali, dia melupakan satu fakta penting bahwa Batari sangat menjunjung tinggi gengsi dan penilaian orang lain terhadapnya. Kalau sampai dia membua
Hakam mengangguk, “Seperti ini.” Jawabnya, kemudian melepaskan tangannya dari pinggang Puspa, menuntun kedua tangan gadis itu memeluk lehernya, sementara kepalanya sendiri menelisik ke ceruk leher gadis muda itu.Seketika itu juga, Puspa merinding sebadan-badan. Entahlah, dia masih tidak menyangka jika Hakam bisa jadi seagresif ini dalam beberapa hal selain hal pekerjaan. ‘Ini pasti karena dia sedang mempertaruhkan nama keluarganya,’ tebak Puspa dalam hati. Pikirnya, jika bukan karena masalah ini menyeret nama baik keluarganya, dia pasti tidak akan se-aktif ini untuk dekat dengan orang lain.Sementara Puspa berpikir begitu, sebaliknya, Hakam sama sekali tidak peduli pada keluarganya. Dia tiba-tiba jadi begitu berani hanya karena dorongan hati. Menjadi sangat dekat dengan sosok gadis yang bahkan pernah dia jadikan fantasi pelepasan gairah, bagaimana mungkin dia tahan? Itu murni karena nafsu. Hakam memejamkan mata sambil menghirup dalam-dalam aroma gadis muda di pelukannya. Ya, tidak
“Papa, apa aku tampan?” Hamun datang dengan cengiran lebar. Hakam yang sedang menunggu sendiri di ruang keluarga menoleh dan tersenyum pada sang putra.“Tentu saja, kamu selalu tampan.” Puji Hakam sambil menarik tangan Hamun mendekat.Sementara itu, di dalam kamar Puspa, Bi Asih terlihat sibuk membantu Puspa bersiap-siap. “Sepertinya sudah,” ujarnya sambil mengangguk puas ketika melihat betapa cantiknya gadis muda di depannya itu.“Ya, aku juga suka riasan wajah tipis seperti ini. Terimakasih sudah membantu,” jawab Puspa. Dia sangat berterimakasih pada Bi Asih, tidak menyangka jika dia tahu banyak soal make up dan cara merias wajah yang sesuai dengan karakteristik orang. Walaupun Puspa bisa sendiri, dia tidak yakin hasil riasannya bisa dibawa ke acara orang-orang
“Kamu jangan sampai buat saya malu ya, di pesta nanti. Jangan kampungan!” Dalam perjalanan menuju kediaman Zara, Batari tak henti-hentinya memberi wejangan kosong pada Puspa.“Nenek, jangan memarahi Mbak Puspa terus!” Hamun yang masih anak kecil saja merasa sangat kesal dengan tingkah neneknya, dia pun langsung mengingatkan Batari dengan ekspresi tak senang.Di ingatkan oleh cucunya sendiri, Batari tidak bisa marah. Dia hanya terkejut sesaat, kemudian mencoba membujuk Hamun dengan kalimat manis. Sementara itu, Hakam melirik Puspa.“Jangan dengarkan. Cukup jadi dirimu sendiri di pesta nanti. Apapun yang orang lain pikirkan itu tidak penting. Lagipula, kamu akan tetap berdiri di dekatku, jadi tidak akan terjadi apa-apa.”Puspa yang mendengar kalimat ini dari mulut Hakam, seketika menjadi lebih tenang. Dia pun mengangguk, “Ya, saya akan berusaha tidak mempermalukan kalian. Tenang saja, Pak.” Balasnya dengan senyuman lebar. Walau dia tidak bisa menghindari fakta menyakitkan tentang sandiw
Makan malam akan diadakan pukul sembilan tepat. Saat ini masih pukul 7, dimana juga menjadi waktu favorit semua orang untuk membangun relasi bersama orang-orang besar. Semua orang memasang wajah tersenyum palsu, saling menyanjung satu sama lain namun pada kenyataannya hanya kesopanan di permukaan.Puspa tidak terbiasa dengan pemandangan memuakkan itu, namun dia harus bertahan. Untungnya, Hakam senantiasa bersanding disisinya. Hamun sudah lama digeret Batari pergi untuk di pamerkan pada rekan-rekan sosialitanya, sementara Darma berkumpul dengan para tetua seumurannya, membahas hal-hal berbau bisnis dan semacamnya.“Kamu ingin makan cemilan?” Tanya Hakam berbisik di telinga Puspa.Puspa melihat sekeliling yang sangat ramai dan menggeleng. “Tidak usah, pak. Minum ini saja,” tolaknya sambil menunjukkan gelas yang ia pegang.“Hai, kalian.” Zara menyapa, datang bersama dua teman wanita dan beberapa lelaki berjas yang terlihat seumuran dengan Hakam. Melihat orang-orang itu, Puspa hanya kena
“Kamu!” Zara langsung mendelik. Namun bentakannya barusan berhasil menarik perhatian dan membuat banyak pasang mata menatap lekat pada kelompok mereka. Terutama pada pasangan yang terlihat intim di depan Zara. Siapa lagi kalau bukan Hakam dan Puspa.Mereka yang sudah mendengar rumor tentang betapa menyesalnya Hakam atas perceraiannya, merasa bingung setelah melihatnya hadir bersama perempuan lain. “Bukannya Hakam sedang depresi? Kudengar dia jatuh sakit setelah bercerai dengan Zara.”“Aku juga dengar itu. Tapi kelihatannya baik-baik saja. Dia bahkan membawa wanita cantik di sisinya.”“Mungkin rumor itu salah. Aku pernah dengar rumor lain yang mengatakan perpisahan mereka diakibatkan perselingkuhan Zara. Itulah mengapa hak asuh anak jatuh ke tangan Hakam dan bukan Zara. Karena dia tidak baik!”“Astaga, itu masuk akal!”Segera, bisik-bisik dari semua orang yang ada disana memenuhi udara. Tak sedikit Zara mendengar semua obrolan itu, dan telinganya berubah panas. Wajahnya memerah karena
Sementara itu, Puspa sama sekali tidak menyadari rencana jahat yang sudah disiapkan Zara untuknya. Membuka acara baru malam itu, beberapa orang sudah maju ke depan untuk unjuk kebolehan. Namun ada yang menarik, karena hiburan kali ini harus memiliki dua peserta dalam sekali tampil. Kemudian dua orang itu akan berkompetisi sesuai dengan bidang yang mereka sepakati, dan yang kalah nantinya harus menyumbangkan sejumlah uang untuk nanti didonasikan kepada orang yang membutuhkan.“Acara ini bagus,” Hakam mau tak mau harus mengakuinya. Penggalangan dana seperti ini sebenarnya bisa jadi kegiatan positif apabila terus dilanjutkan.“Ya, aku juga berpikir begitu. Btw, acara ini sebenarnya usulan yang aku berikan. Tidak menyangka jika akan terealisasi dan bahkan semua orang menyambut dengan senang.” Zara berkata rendah hati, namun sebenarnya sedang
Puspa pun bereaksi dan tertawa kecil, “Terima kasih, tapi aku tidak akan mudah menyerah.” Ucapnya, kemudian balas menatap mata Hakam yang sejak tadi terus memandanginya.“Jangan khawatir, aku sering menggambar pocong waktu kecil. Ini akan mudah, Pak.” Ketika Puspa berdiri, dia sempat membisikkan kalimat candaan ini untuk menenangkan majikannya. Bagaimanapun juga, Puspa bisa melihat raut khawatir dari Hakam. Padahal yang maju ke depan bukan dia.Hakam pun dibuat terhibur dengan kalimat ini. “Oke, lakukan saja sesukamu.”Interaksi manis ini tak ayal berhasil menyita perhatian sekali lagi, apalagi mereka jarang melihat Hakam tersenyum seperti itu. Bukankah ini sudah menjelaskan semuanya?Zara mendengus pelan, sangat kesal deng
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha