“Puspa?” Fajar terkejut bukan main ketika melihat Puspa berdiri di depan pintu rumahnya dengan wajah sembab sambil sesenggukan. Lelaki itu langsung melihat ke belakang dimana kedua orangtuanya sedang mengobrol di ruang keluarga.“Ayo ke studio saja, jangan sampai orangtuaku salah paham melihatmu disini.” Ucap Fajar sambil menuntun gadis itu masuk kedalam ruko yang ada di depan rumahnya.“Apa yang terjadi?” Fajar bertanya dengan lembut setelah membiarkan Puspa tenang di atas kursi.Puspa menghela napas panjang. “Maaf, aku tidak tahu lagi harus kemana. Yang aku fikirkan pertama kali langsung Mas Fajar ketika pergi dari rumah.”“Tidak apa-apa.” Fajar menggeleng. Andai Puspa lelaki, akan lebih mudah baginya membawanya masuk kedalam rumah sebagai teman. Tetapi berbeda dengan kondisi sekarang, dia tidak bisa terang-terangan membawa Puspa ke hadapan ibu dan ayahnya.“Ibuk sudah tahu tentang karirku dan dia marah besar.” Puspa mulai terisak lagi, “Aku tidak tahu apa yang salah. Dia selalu mel
“Itu benar-benar Puspa! Papa, dia memang Bibi Puspa!” “Nenek, Hamun tidak mungkin salah! Ini benar-benar Puspa!”Saat ini, ruang keluarga di kediaman Batari sedang hening kecuali sosok Hamun yang sejak tadi nampak bersemangat. Yang paling syok jelas Hakam. Lelaki itu bahkan tidak mengalihkan pandangan pada sosok wanita yang ada di layar ponselnya. “Dia … jadi penyanyi?” Darma mengerutkan kening. Sama sekali tidak menyangka jika sosok yang mereka anggap hilang sebenarnya sedang menikmati ketenaran sebagai penyanyi terkenal.“Ini nyata, kan?” Hakam tidak memedulikan apapun, yang dia pedulikan hanyalah sosok perempuan yang selalu ia rindukan siang dan malam. Di satu sisi, dia senang. Tetapi disisi lain dia juga sedih. Mungkin gadis itu sudah melupakannya sekarang.“Ini nyata, Papa! Puspa terlihat sangat cantik!” Hamun terlihat sangat bahagia. Dia bahkan sudah memutar video itu lebih dari lima kali saking rindunya.Melihat bagaimana antusiasnya pasangan ayah dan anak itu, Darma dan Bata
“Kira-kira, dia pergi kemana, ya?” Tanya Fajar penasaran. Motor itu belum juga berhenti, padahal ini sudah memasuki menit ke lima belas. Puspa juga penasaran, tetapi ia tidak memiliki jawaban untuk itu. “Seharusnya ke bandara, atau terminal.”“Benarkah?” Fajar bertanya. “Memang dia mau pergi kemana?”Puspa langsung membayangkan wajah Hakam. “Aku cukup yakin jika yang ada di kepalanya saat ini adalah Hakam. Kemungkinan besar dia akan langsung pergi kembali ke rumah kami dulu.”Fajar pun terkejut, “Kalau begitu, bukankah itu berbahaya?”“Tidak,” Puspa menggeleng. “Sebenarnya itu bagus. Semakin aku jauh dari Ibu, maka semakin mudah bagiku untuk menjalankan rencanaku.”Fajar terperangah dalam diam. Dia sejak awal memang tidak pernah membayangkan jika dirinya hanya akan dijadikan batu loncatan seorang gadis muda seperti Puspa. Tetapi dia tidak marah, bagaimanapun juga ini sama-sama menguntungkan. Dia butuh Puspa, Puspa juga membutuhkan dia sebagai pendukungnya.“Maaf, itu mungkin terdenga
“Puspa?” Fajar melambaikan tangannya di depan wajah melamun itu. “Oh, maaf. Aku malah melamun,” Puspa terkesiap, kemudian mengajak Fajar duduk di depannya dan memesan minuman untuknya. “Bagaimana? Ibuku benar-benar pergi?”Fajar terlihat menyesal, “Apa mungkin itu karena kalimatku, ya?”“Tidak apa-apa. Sebenarnya aku juga mengharapkan hasil ini. Maksudku, kalau ibuk ada disini, kegiatan kita akan terganggu.”“Tetap saja,” Fajar berkata sambil menghela napas. “Jadi, rencanamu selanjutnya apa?”Puspa menggeleng, “Tidak ada. Kita harus fokus promosi sampai balik modal.”“Uhuk …” Fajar yang sedang menyeruput es jeruk langsung tersedak. “Kenapa malah membahas masalah itu?” Puspa tertawa, “Aku tahu semua laporan pengeluarannya dari staf. Ternyata itu uang yang banyak.” Di akhir kalimat, Puspa berkata lirih karena merasa tidak enak. “Pokoknya kita harus gencar promosi. Biar saja promosi sederhana seperti video-video pendek di channel agar para penggemar merasa lebih dekat denganku.”“Yah,
Hakam kembali kerumah dan merundingkan masalah ini bersama kedua orangtuanya. “Ini mencurigakan. Bik Asih bilang sejauh ini hanya Zara yang pernah mampir ke rumah. Sementara rekaman cctv juga hilang disaat yang sama.” Hakam berkata sambil menggelengkan kepala. Dia semakin yakin jika semua ini ada hubungannya dengan Zara.Darma memijat pelipis, “Ada satu hal lagi yang harus kita selidiki. Aku pernah secara tidak sengaja melihat Zara menjatuhkan sesuatu dari dalam tasnya. Kemarin, ketika dia datang kemari.”“Apa yang Papa lihat?” Tanya Hakam penasaran, begitu pula Batari.“Kalung. Kalung yang seharusnya ada di leher Puspa,” jawab Darma yang seketika membuat Hakam terkejut.Batari langsung menanggapi, “Aku ingat terakhir kali kalung itu dipakai Puspa di perjamuan. Bagaimana mungkin itu ada di tas Zara?”“Itulah mengapa aku bilang ini harus di selidiki lebih lanjut. Kita tidak bisa mengandalkan ingatanku yang sudah buram. Aku tidak berani menuduhnya sebelum terbukti benar.”Hakam tampak
Puspa termenung didalam kamar. Ia menatap langit-langit kamarnya yang usang, ditumbuhi sarang laba-laba dan nampak begitu asing. Ini bukan kamarnya, ini bukan rumahnya. Puspa mengerjap perlahan-lahan, pikirannya kembali lagi ke beberapa waktu yang lalu. Ketika pertama kali bertemu dengan Hakam di agen pemakaman.‘Jika saat itu kami tidak bertemu, apakah hidupku akan jadi lebih damai?’ Batin Puspa bertanya-tanya. Mungkinkah dia masih tetap menjadi teman baik Salsabila dan bercanda hingga petang tiba?Puspa membayangkan hidupnya tanpa Hakam. Mungkin ia dan ibunya tidak akan pernah bertengkar hebat sampai sejauh ini, dia tidak akan pernah jatuh kedalam kesedihan berkelanjutan seperti ini. Hidupnya akan damai, monoton, dan membosankan seperti biasanya. Berangkat kerja, pulang, bercanda bersama ibunya di gereja, dan hanya itu.Semuanya di mulai dari pertemuannya dengan Hakam. Perlahan-lahan, rasa kantuk membuatnya kehilangan kesadaran dan Puspa terbangun hanya ketika alarm pagi berbunyi
Puspa sampai di teras yang gelap. Biasanya lampu di teras dihidupkan sampai fajar menyingsing, aneh kali ini dibiarkan mati begitu saja. Puspa menempelkan telinga di daun pintu, mencoba mendengarkan suara apapun yang datang dari dalam. Tapi dia tidak mendapatkan apapun, itu hanya hening seolah-olah ruko ini tidak di tinggali semalaman ini.“Apa aku masuk saja, ya?” Puspa bergumam. Dia memiliki kunci cadangan ruko ini, dan itu diberikan Fajar sejak dia menjadi pegawai disini. “Masuk saja, lah.” Lanjut Puspa sebelum mengeluarkan sebuah kunci dari dalam tas jinjing yang ia bawa.Ketika dia masuk, benar saja terasa dingin, suhu di ruangan terasa sangat rendah menunjukkan bahwa tidak adanya manusia selama beberapa jam. Puspa menutup kembali pintu itu dan menghidupkan lampu ruangan. “Aneh, katanya tidak punya tempat tinggal, diberi tempat tinggal bukannya ditempati malah pergi.” Puspa jelas tahu ciri-ciri ruangan yang setidaknya dijamah manusia atau tidak dari pengalaman kerjanya di agen
"Puspa, kabar buruk. Pak Kepala Desa memanggil kamu ke kantor desa sekarang juga." Fajar berkata dengan ekspresi cemas. Barusan ia mendapat telepon dari sekretaris desa yang memintanya membawa Puspa ke kantor desa untuk suatu urusan."Apa kamu terlibat masalah dengan Endhang?" Tebak Fajar. Sebab, ini bukan pertama kalinya ada kasus seseorang dipanggil ke kantor desa karena orang itu memiliki masalah dengan Endhang. Puspa menghela napas, "Sebenarnya memang iya. Tadi pagi aku terlalu kesal dan bertindak berlebihan. Tapi dia dulu yang memancing amarah. Kalau tidak, mana mungkin aku berbuat seperti itu."Fajar percaya pada Puspa, jadi dia mengangguk. "Aku yakin kamu tidak bersalah. Tetapi berbeda dengan orang-orang di kantor desa yang jelas memihak kepala desa. Mereka tidak akan membuat masalah ini bebas begitu saja.""Aku tahu ini akan terjadi," Puspa memijat pelipisnya. "Cuma aku tidak menyangka jika akan secepat ini. Kita bahkan masih syuting, bagaimana cara menjelaskan pada staf yang
Puspa berdiri di depan bangunan sederhana. Itu adalah rumahnya, rumah yang menjadi saksi pertumbuhannya dari kecil hingga dewasa. Hakam disamping Puspa, tangannya tidak pernah lepas menggenggam telapak halus itu. Hakam berkata dengan lembut, "Selamat datang." Hati Puspa bergetar mendengar ucapan itu. Matanya memerah dan ia berusaha keras menahan tangisannya agar tak pecah. "Hm, aku pulang." Balas Puspa dengan senyuman kecil. Keduanya berjalan bersamaan masuk kedalam rumah yang terasa begitu sunyi. Aroma familiar yang dejavu membuat Puspa berkhayal tentang sosok ibunya yang keluar dari dapur dan menyapanya dengan hangat. Aroma masakan sederhana itu jelas ia rindukan. Senyuman sang ibu yang menghangatkan kalbunya tentu saja membuatnya ingin menangis saat itu juga. "Tidak ada apa-apa disini." Puspa duduk di sofa dengan lemas. Ia menatap kosong ke depan, bingung harus kemana mencari sang ibu yang pergi tak berkabar. "Mungkinkah ibu benar-benar pergi meninggalkanku?" Hakam menghela n
"APA YANG KALIAN LAKUKAN! LEPASKAN AKU! LEPASKAN!"Ketika Puspa datang bersama Hakam dan Fajar, suara teriakan yang familiar langsung menyerbu ketiga orang itu. Puspa berhenti di depan pintu masuk dan mengambil napas panjang. Sementara Fajar sudah masuk lebih dulu, Hakam ikut berhenti di samping Puspa dan memperhatikan ekspresi rumit dari wajahnya.Puspa jelas merasakan perasaan campur aduk dalam hatinya. Tuhan tahu betapa bencinya ia pada wanita yang ada di dalam sana. Semua kekacauan yang terjadi ada di sana penyebabnya, ia bahkan tidak tahu apakah bisa menahan emosi ketika nanti langsung berhadapan dengan Zara.Tangan Puspa yang terkepal di samping badannya tiba-tiba dilingkupi rasa hangat. Puspa menoleh ke samping dan mendapati senyuman hangat dari Hakam. Tangan besar lelaki itu memberi sebuah kenyamanan yang menenangkan hati. "Jika kamu tidak mau masuk, kita bisa menunggu di mobil saja." Saran Hakam lembut.Namun, Puspa dengan cepat menggeleng. "Aku akan masuk. Ini adalah waktu
"Terima kasih sudah datang. Sampai jumpa lagi!" Puspa melambaikan tangannya dengan senyuman lebar. Hatinya benar-benar berbunga, ia merasa terharu berkat semua penggemar yang datang dan membuat harinya berwarna.Ketika Puspa berbalik dan hendak turun panggung, tiba-tiba ia mendengar sebuah teriakan lantang yang mengalahkan semua kericuhan yang ada. "PUSPA! AKU MENYAYANGIMU!" Hamun berteriak dengan putus asa. Urat-urat lehernya menonjol, matanya memerah dan ia sudah menangis sejak tadi. Anak itu benar-benar merindukan sosok Puspa. Ia juga merasa sedih dengan semua keadaan yang terjadi di antara mereka. Walau masih kecil, perasaannya tidak pernah salah, dan ia tidak bisa menahan perasaan sedih dalam hatinya lebih lama lagi.Mata Puspa bergetar dan ia langsung berbalik untuk mencari arah sumber suara. Semua orang tampak heran, terutama ketika melihat sang idola kembali ke tengah panggung dan mengedarkan pandangannya ke segala arah.Jantung Puspa berdetak sangat kencang, tangannya mengep
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Fajar ketika melihat Puspa melamun sepanjang perjalanan. "Kalau kamu tidak keberatan, cerita saja denganku."Puspa tampak ragu, tetapi akhirnya menghela napas. "Entahlah, aku hanya ... hanya sedang memikirkan ibuku. Sampai sekarang kami tidak berkabar satu sama lain. Aku tidak tau dia dimana dan bagaimana keadaannya." Puspa akui ia merasa marah pada ibunya. Tetapi sekarang sudah reda, justru digantikan dengan rasa khawatir, karena ia tidak tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia khawatir sesuatu terjadi padanya, mengingat bagaimana sifat licik dan jahatnya Zara."Kita akan segera bertemu dengannya. Tetapi sekarang, kamu fokuslah untuk acaramu sebentar lagi. Aku dengar dari tim yang berada di lokasi, penggemarmu yang datang tidak main-main. Mereka memenuhi semua kursi, bahkan ada yang rela berada di luar pembatas dan berdiri disana hanya untuk melihatmu.""Maaf," Puspa merasa kecewa pada dirinya sendiri. Ia harus menyadari posisinya saat ini. Ia sudah m
Untunglah, Puspa tidak kehabisan akal. Ia dengan sekuat tenaga mengarahkan tangannya ke selangkangan Anton dan meremas benda itu dengan kekuatan penuh. Anton sontak berteriak kesakitan dan mundur beberapa langkah. Puspa pun memanfaatkan kesempatan yang ada dan berlari sekuat tenaga, mencoba menghindari Anton yang berusaha mengikutinya dengan pistol hitam di tangannya. Dia berharap bisa menemukan tempat bersembunyi atau bantuan dari orang lain, tetapi jalanan sepi dan redup. Anton semakin mendekat, dan Puspa merasakan nafasnya terengah-engah. Dia tahu dia tidak akan bisa bertahan lama. Dia hanya berharap Fajar dan para polisi segera datang membantunya.Tiba-tiba, Anton menarik pelatuk dan sebuah peluru bersiul di udara. Puspa menjerit dan terjatuh, merasa darah mengucur dari lengannya. Dia melihat Anton tersenyum sinis dan mendekatinya dengan langkah pasti. Pistol hitam itu kini menempel di dahi Puspa, dan dia merasakan keringat dingin membasahi wajahnya. Dia menutup mata, menunggu det
Setelah semua kentang pesanan itu dimasukkan, mobil melaju menuju desa sebelah. Puspa deg-degan setengah mati, terutama ketika mobil mulai memasuki area jalanan sepi yang di kanan dan kirinya hanya ada pohon jati. Ini adalah daerah perbatasan desa, setelah melewati jalanan ini mereka akan sampai di tempat tujuan. Puspa sesekali melirik ke belakang, berharap melihat ada kendaraan lain. Sayangnya, hanya ada mereka di sana, jalanan begitu sepi, tidak ada kendaraan sama sekali kecuali mobil yang mereka tumpangi. Puspa menelan ludah, bersiap-siap memberi perlawanan sekuat tenaga apabila Anton tiba-tiba menyerangnya. Terutama karena dia tidak melihat ada pihak polisi yang memantau sama sekali. Ia bahkan tidak yakin mereka ada di belakang sana untuk menjaganya. "Kenapa Mbak?" Tanya Anton ketika melihat Puspa gelisah. Puspa tersentak dan menyadari kebodohannya. Ia baru menyadari gelagatnya yang terlalu kentara akibat rasa takut berlebihan dalam hatinya. "Enggak ada," Puspa tersenyum kaku,
Puspa dan kedua orangtua Fajar bergegas ke kantor polisi. Mobil hitam itu melesat kencang menuju kantor polisi terdekat. Mereka hanya bisa berharap pihak kepolisian bisa dengan mudah membantu rencana mereka."Ada yang bisa kami bantu?" Tanya salah seorang polisi kepada ketiga orang itu.Puspa mengangguk, "Ini sangat mendesak. Saya harap bapak mau mendengarkan."Pak polisi mengangguk, kemudian mendengarkan dengan seksama laporan dari ketiga orang di depannya. Begitu mereka selesai menjelaskan, ia terkejut. Terutama ketika ia mendengar rekaman yang baru saja di putar."Apa rekaman ini asli?" Tanya polisi itu.Kali ini, ibu fajar mengangguk. Ia langsung menjelaskan secara lebih rinci tentang permasalahan yang mereka hadapi. Sementara itu, Puspa merasa semakin gelisah. Telapak tangannya berkeringat, pikirannya kacau. Berada di kantor polisi tidak membuatnya merasa tenang sama sekali.Ia takut hal ini akan membawa keluarga Fajar berada dalam masalah. Tetapi masalahnya, ia juga tidak yakin
Setelah Anton kembali, Fajar berbasa-basi sejenak, kemudian berpamitan dan langsung pergi ke studio untuk berdiskusi dengan Puspa."Apa? Kenapa?" Puspa kebingungan ketika Fajar tiba-tiba datang dengan ekspresi aneh. Dia langsung menutup pintu rapat-rapat dan membawa Puspa duduk di atas sofa.Fajar terdiam sejenak, terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu. "Itu ...""Apa? Apa yang itu?" Puspa mengerutkan kening."Ada hal penting yang harus aku katakan. Tapi ... ""Jangan buat aku penasaran!" Puspa yang tidak tahan, reflek memukul pundak Fajar.Fajar langsung duduk tegap, kemudian agak takut melihat ekspresi yang dipasang oleh Puspa saat ini. Setelah menarik napas panjang, ia akhirnya berani membuka mulutnya."Aku tidak yakin bisa mengatakannya, sebaiknya kamu mendengarnya secara langsung." Fajar langsung memasangkan earphone ke telinga Puspa dan memutar rekaman yang baru saja ia dapatkan.Puspa awalnya bingung, karena tidak ada suara apapun selama beberapa saat. Itu karena Fajar sedang m
"Aku sudah curiga sejak awal, tapi masih terasa sakit mendengarnya langsung dari orang lain." Puspa mengusap air mata di pipinya. Dia masih tidak menyangka jika sang ibu tega melakukan hal jahat demi uang."Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apalagi ibumu bukan ibu kandung, kan? Bukan maksudku menjelek-jelekkan ibumu. Tetapi itu mungkin karena kalian berdua tidak memiliki ikatan darah."Puspa tidak setuju, "Seharusnya lebih daripada itu. Jika memang hanya karena alasan hubungan darah, sejak kecil aku tidak mungkin mendapat kasih sayang darinya. Ini pasti ada alasan lain mengapa Ibuk mau bekerja sama dengan Zara. Mungkin Zara mengancamnya.""Mengancam dengan apa?" Tanya Fajar penasaran.Puspa menggeleng, "Aku juga belum tahu, tetapi akan segera aku caritahu kebenarannya.""Tetapi kamu akan sibuk akhir-akhir ini. Bagaimana mungkin kamu punya waktu untuk menyelidiki sesuatu yang jauh disana?""Entahlah," Puspa tertawa, "Aku yakin pasti ada jalan jika memang takdirku mengatakan ha