Seorang polisi yang berjaga di luar rumah tiba-tiba berlari masuk ke dalam.
"Mereka sudah tertangkap!" Dia melapor pada dua rekannya yang berdiri di depan jendela kamar.Inah, Risa dan Johan saling berpandangan. Dengan raut wajah bingung dan penasaran, mereka bertiga mengikuti langkah para polisi itu ke luar rumah.Betapa terkejutnya mereka saat melihat Yoga dan Tari sudah diringkus oleh polisi. Wajah dua orang itu tampak pias dan pasrah.Inah berlari mendekat dan bertanya dengan bingung, "Pak, apa salah anak dan menantu saya? Kenapa mereka—""Anak dan menantu Ibu terlibat dalam kasus penipuan yang sedang kami tangani. Mereka akan kami bawa ke kantor pusat untuk menjalani pemeriksaan," ujar salah seorang polisi.Inah sangat terkejut. Dia menatap Tari dan bertanya dengan suara bergetar, "Apa yang sudah kamu lakukan, Nak? Penipuan apa? Kenapa kamu terlibat? Ada apa ini sebenarnya?"Tari hanya bisa menangis dan menundu"Mbak Tika?! Apa yang dia lakukan?!" Nauna berseru kaget saat melihat Tika tiba-tiba datang dan menghadang laju mobil. Dean juga tak kalah kaget. Beruntung, mobilnya melaju sangat pelan, jadi dia masih bisa menghentikan lajunya sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Dean membunyikan klakson beberapa kali, tapi Tika tidak mau menyingkir. Dia berdiri mematung di depan mobil dengan ekspresi yang tidak terbaca. Dia tidak sendirian, Bella ada dalam gendongannya. "Kita turun saja, Mas. Mungkin ada yang ingin Mbak Tika katakan." Nauna menyarankan. Dean mengangguk setuju. Mereka berdua melangkah turun dari mobil dan menghampiri Tika yang masih diam di tempatnya. "Mbak Tika, ada apa? Kenapa menghalangi jalan?" Dean bertanya sembari berjalan mendekat. Tika tidak segera menjawab. Dia menatap pasangan suami istri di depannya secara bergantian dengan tatapan penuh arti. Nauna mengerutkan kening dan bertanya dengan hati-hati, "Ada yang ingin Mbak Tika katakan?""Ya!" Tika menyahut cepat.
Tika terserempet mobil. Dia dan Bella terpental jatuh ke pinggir jalan. Sementara mobil yang menyerempetnya pergi begitu saja. Orang-orang mulai berkerumun. Tika menangis histeris ketika melihat lengan dan kakinya berdarah. Sedangkan Bella tidak mengalami lecet sedikitpun, tapi gadis kecil itu juga menangis karena terkejut. "Aduh, Mbak, kenapa lari-lari di jalan? Jadi keserempet, kan?" "Iya, kasihan anaknya. Untung saja anaknya nggak terluka.""Ibunya nggak hati-hati. Hampir saja mencelakai anaknya sendiri!"Bukannya prihatin, beberapa orang malah menghakimi Tika. Mereka melihat sendiri bagaimana perempuan itu berlari di jalan raya tanpa mempedulikan kendaraan di sekitar. Beberapa dari mereka bahkan ada yang mengira dia tidak waras. Pada saat ini, Dean dan Nauna masuk dalam kerumunan dengan wajah panik. Mereka langsung memeriksa keadaan Tika dan Bella yang tak henti menangis. "Mbak, ayo ke rumah sakit!" Nauna meraih lengan Tika dan membantunya berdiri dengan hati-hati. Sedangkan
“Syaratnya adalah, Mbak Tika harus bersedia menjadi saksi dan memberikan keterangan dengan sejujur-jujurnya pada polisi.” Dean berkata dengan tegas. "Ya, kami ingin Mbak Tika menjadi saksi dan mengakui semuanya pada polisi. Setelah itu, kami akan mencabut laporan terhadap Mbak Tika dengan alasan kekeluargaan. Bagaimana?" Nauna menimpali. Tika terdiam. Sejenak, dia menimbang-nimbang syarat yang diberikan Dean dan Nauna. Tidak butuh waktu lama, dia segera menyetujuinya. “Baik. Aku bersedia menjadi saksi dan akan memberikan keterangan dengan sejujurnya-jujurnya. Aku juga akan mengaku bahwa aku dan Mas Daniel memang terlibat dalam rencana Mas Rudy, meskipun pada akhirnya kami nggak mendapatkan apa-apa." Tika berkata dengan raut wajah meyakinkan. Dean dan Nauna saling berpandangan. Mereka tidak menyangka, Tika akan langsung setuju. Terbesit rasa ragu di dalam benak keduanya. Mereka tidak bisa mempercayainya begitu saja. "Mbak benar-benar bersedia? Mbak nggak akan memberikan keterangan
Dinara sedang berada di firma hukum ketika Dean dan Nauna menghubunginya dan meminta waktu untuk bertemu. Dia segera setuju dan menawarkan untuk bertemu di luar, tapi mereka lebih memilih mendatanginya langsung. Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka sudah berada di ruangan Dinara. Ketiganya duduk berhadapan dan mulai berbicara dengan serius. Ketika mendengar bahwa Dean dan Nauna ingin mencabut laporan terhadap Tika, Dinara agak keberatan. Dia menatap pasangan itu dan bertanya untuk memastikan, "Kalian benar-benar yakin ingin mencabut laporan? Apa kalian sudah memikirkannya baik-baik?"Dean mewakili Nauna untuk mengangguk dan mengiyakan. "Ya, kami sudah memikirkannya baik-baik.""Kami memikirkan nasib anaknya yang masih balita. Selain itu, dia juga berjanji akan menjadi saksi dan mengatakan apapun yang dia tahu dengan sebenar-benarnya pada polisi." Nauna menimpali dengan raut wajah meyakinkan. "Apakah keputusan kami salah?" Dia bertanya kemudian.Dinara tidak segera menjawab. Dia ter
Pagi itu, Tika datang ke kantor polisi sesuai janji. Dia sengaja datang lebih awal agar bisa bertemu dan bicara dengan Daniel terlebih dahulu. Wajah Daniel terlihat lebih kusut hari ini. Sepertinya, dia benar-benar tidak tidur semalaman. Begitu melihat Tika, dia segera duduk dan bertanya dengan nada tak sabar, "Bagaimana? Kamu berhasil membujuk Dean dan Nauna untuk mencabut laporan terhadap kita?"Tika menatapnya dengan datar. Dia menarik napas panjang, lalu berkata dengan tenang, "Ya. Mereka akan mencabut laporan hari ini."Daniel terkesiap. Sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Dia menatap Tika dengan tatapan tak percaya. "Kamu serius? Mereka benar-benar mau mencabut laporan?"Tika mengangguk. "Ya. Aku serius. Mereka nggak tega pada Bella, karena itu memutuskan untuk mencabut laporan."Daniel merasa sangat lega. Wajah kusutnya seketika dihiasi dengan senyum merekah. Dia bahkan tidak bisa menahan tawa kemenangan yang keluar dari mulutnya. "Ternyata Dean dan Nauna memang benar-bena
Jeremy bersikap acuh saat berpapasan dengan Dean, Nauna dan Dinara. Wajahnya terlihat dingin dan tatapannya begitu tajam. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah pergi begitu saja bersama dengan David dan seorang pengacara yang mendampingnya. Dinara agak terkejut dengan sikap acuhnya. Begitu pula dengan Dean dan Nauna. Mereka sempat mengira, Jeremy akan menyerang mereka dengan kata-kata tajam. Akan tetapi, laki-laki itu justru berlalu tanpa kata. Dinara menatap punggung yang semakin menjauh dengan tatapan nanar. Ada perasaan aneh yang menyusup ke dalam hatinya pada saat ini, tetapi segera dia tepis seiring menghilangnya Jeremy dari pandangan. "Sepertinya, dia baru saja diperiksa." Dean membuka suara, membuat Dinara segera berpaling ke arahnya. "Ya, sepertinya begitu," sahutnya dengan acuh tak acuh. Mereka tidak membahasnya lagi dan bergegas masuk ke dalam. Tika rupanya sudah menunggu. Perempuan itu segera menghampiri begitu melihat mereka datang. "Oh, ternyata Mbak Tika sudah di sin
Hari itu, setelah menjemput Alina dari sekolah, Dinara membawanya pergi ke rumah Dean dan Nauna yang sekarang ditempati oleh keluarga Jeremy. Dia menghentikan mobilnya di depan gerbang dan menatap bangunan rumah itu dari dalam mobil. "Ma, ini rumah siapa? Kenapa kita pergi ke sini?" Alina bertanya dengan bingung, sembari mengikuti arah pandangan ibunya. Dinara menoleh dan menatap wajah cantik putri kecilnya dengan tatapan lembut. Lantas, dia tersenyum dan berkata, "Ini rumah baru Papa, Sayang."Sepasang bola mata Alina seketika memancarkan binar kebahagiaan. Gadis itu menatap Dinara dan bertanya dengan antusias, "Benarkah? Ini rumah baru Papa? Mama nggak bohong, kan?"Dinara tersenyum dan mengusap kepalanya dengan lembut. Ada rasa sedih yang terlintas di hatinya, saat melihat mata Alina yang berbinar-binar. Dia pasti sangat merindukan ayahnya. "Iya, Sayang. Ini rumah baru Papa," ucap Dinara dengan lirih. "Kalau begitu, ayo kita masuk!" Tanpa menunggu tanggapan Dinara, Alina sudah
"Ibu senang sekali kamu dan Alina mau datang menemui Ibu. Bagaimana kabar kalian selama ini? Kalian baik-baik saja, kan?"Jihan membuka obrolan bersama Dinara dan juga Alina di ruang tamu rumah barunya. Viola duduk menemani di sebelahnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak berseri-seri. Tidak ada lagi sisa-sisa air mata yang beberapa saat lalu mengalir deras. Suasana hatinya pun sangat baik. Dia bahkan tidak berhenti mengulas senyum, menatap mantan menantu dan juga cucunya yang begitu dia rindukan. "Alhamdulillah, kami berdua baik-baik saja, Bu." Dinara menjawab pertanyaannya dengan segaris senyum. "Ibu sendiri bagaimana?""Ibu juga baik-baik saja, hanya terkadang, terlalu merindukan kalian," sahut Jihan. Viola melirik ibunya, lalu berkata pada Dinara, "Sebenarnya, setahun belakangan ini, Ibu kurang sehat, Kak. Ibu terkena diabetes.""Viola..." Jihan tampak keberatan saat Viola mengatakan apa yang menimpanya setahun belakangan ini. Viola hanya tersenyum. Dia tidak bisa lagi menari
Andaikan bisa menolak, Jihan tentu tidak akan mengatakan iya. Masalahnya adalah, apa yang diminta oleh Jeremy juga merupakan tuntutan dari pengadilan. Oleh karena itu, dia sama sekali tidak punya pilihan, selain menerima dengan berat hati. Pada akhirnya, rumah itu benar-benar dikembalikan kepada pemiliknya. Betapa bersyukurnya Dean dan Nauna ketika menerima kembali sertifikat rumah yang selama ini mereka perjuangkan. Air mata bahagia tumpah ruah, pasangan suami istri itu saling memeluk, sambil tak henti mengucap syukur. Hari berganti. Jihan dan Viola mulai mengemasi barang-barang milik mereka dan juga milik Jeremy untuk di bawa pergi. Alvaro dan beberapa orang suruhan membantu mereka membawakan barang-barang tersebut ke dalam mobil pickup. Setelah memastikan semuanya sudah terbawa, Jihan melangkah keluar dengan langkah yang begitu berat. Raut wajahnya benar-benar suram. Kesedihan masih tampak jelas dari kedua matanya yang sembab. Viola dan Alvaro yang mendampingi sang ibu, hanya bi
“Apa yang dilakukan perempuan itu di sini tadi? Dia menemuimu?” Alvaro bertanya dengan tajam. Tatapannya mengarah lurus pada Jeremy yang duduk diam di hadapannya. Tidak ada jawaban. Jeremy tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat pandangan yang semula terpaku pada permukaan meja, lalu menatap Alvaro dengan tatapan dingin. Aura suram menguar dari keseluruhan dia pada saat ini. Sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pada saat dia berhadapan dengan Dinara. Alvaro berdecak kesal, tidak suka dengan reaksi Jeremy yang seperti ini. Dia menginginkan jawaban atas pertanyaannya, bukan sorot mata dingin dan mengintimidasi. “Nggak salah lagi, dia pasti datang untuk menemuimu dan kamu pasti bersedia bertemu dengannya.” Alvaro menyimpulkan sendiri, sebab tak kunjung mendapat jawaban. Jeremy masih belum menanggapi, alih-alih membiarkan Alvaro kembali berkata-kata, “Seharusnya, kamu menolak bertemu dengannya, Kak. Dia pasti datang untuk menertawakanmu, kan? Dia pasti senang melihatmu seperti
Hampir tiga puluh menit berlalu sejak tiba di kantor polisi, Dinara masih saja berdiam diri di dalam mobil. Bukan tanpa alasan, perempuan itu hanya perlu waktu sedikit lebih lama, untuk menyiapkan hati dan meyakinkan diri, sebelum benar-benar pergi menemui Jeremy. Sebab, bukan hal mudah untuk berhadapan dengan Jeremy di ketika ini. Jika kemarin siang saja laki-laki itu bisa menunjukkan kemarahan yang begitu menggebu-gebu terhadap dirinya, lantas bagaimana dengan hari ini? Biar bagaimanapun, ditahannya Jeremy, tidak terlepas dari upaya Dinara yang diam-diam merekam pembicaraan mereka kemarin lalu. Jadi, bukan tidak mungkin dia akan meluapkan kemarahan, jika mereka bertemu nanti. Pemikiran itulah yang membuat Dinara merasa was-was. Namun demikian, dia tidak bisa mundur begitu saja. Apapun yang terjadi, dia harus tetap bertemu dan bicara dengan Jeremy. Bukan sekedar untuk memenuhi permintaan Viola, melainkan juga untuk menuruti kata hatinya sendiri. Pada akhirnya, setelah memeriksa w
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dinara, rekaman suara itu benar-benar bisa menjadi barang bukti yang kuat. Beberapa jam setelah Dean menyerahkannya pada polisi, Jeremy akhirnya resmi di tahan. Rasa kaget dan tak percaya tentu saja menyeruak dalam diri Jeremy, saat polisi menunjukkan surat perintah penahanan terhadap dirinya. Mereka mengatakan, sudah ada bukti yang menguatkan dugaan, bahwa dirinya terlibat dalam kasus penipuan yang dilakukan oleh Rudy. Hal yang membuat Jeremy merasa semakin kalut adalah, polisi menahannya ketika dia sedang memimpin rapat di kantor. Akibatnya, bukan hanya orang-orang yang berada di ruang rapat, tapi hampir semua orang yang ada di kantor melihat dengan mata kepala mereka sendiri, bagaimana dia dibawa pergi oleh polisi. Desas-desus tentang sang CEO yang ditangkap oleh polisi seketika menyebar dengan cepat. Berbagai spekulasi bermunculan. Dalam sekejap, Jeremy telah menjadi perbincangan hangat semua orang di perusahaannya, dan reputasinya benar-benar te
Jeremy menyorot Dinara dengan bias kemarahan di kedua matanya. Aura suram dan mengintimidasi yang menyeruak dari kesuluruhan dia, berhasil membuat mantan istrinya itu menahan napas selama sepersekian detik. “Apa yang sudah kamu katakan pada ibuku?” Sekali lagi, Jeremy mengulang pertanyaan yang sama, namun dengan nada yang lebih ditekan-tekankan dari sebelumnya. Dinara tidak segera menjawab, alih-alih menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Dalam diam, dia tengah mengatur debar jantung yang sempat berpacu dengan kencang, begitu pula dengan ritme pernapasan yang sempat tertahan hingga akhirnya menjadi berantakan. Dinara sepenuhnya mengerti, cara terbaik menghadapi seseorang yang sedang diselimuti emosi seperti Jeremy di ketika ini, adalah dengan bersikap tenang dan hati-hati. Karena itu, Dinara sebisa mungkin menciptakan aura tenang di keseluruhan dirinya, alih-alih menunjukkan ketakutan dan rasa terintimidasi yang kentara. “Kamu bilang padanya tentang kasus pen
"Mas?" Nauna menahan langkah saat dia dan Dean baru saja keluar dari ruangan tempat bertemu dengan Lusi. Ketika laki-laki itu menoleh dan mengunci tatap padanya, dia segera bertanya dengan hati-hati, "Kamu sungguh-sungguh sudah memaafkan Mbak Lusi?"Dean tidak langsung menjawab. Sesaat, dia menatap Nauna dalam-dalam. Sekian detik kemudian, barulah dia buka suara, tapi bukan untuk memberikan jawaban, alih-alih balik bertanya, "Apa aku terlihat nggak bersungguh-sungguh, Nau?""Bukan begitu, Mas." Nauna segera menyangkal. "Aku hanya ingin memastikan. Maksudku... Mbak Lusi sudah melakukan hal yang sangat merugikanmu. Apakah semudah itu dia mendapatkan maaf darimu?"Dean lagi-lagi tidak segera menjawab, alih-alih mengajak Nauna duduk di kursi yang berada tak jauh dari mereka. Setelah duduk, Dean mulai berkata-kata, "Sebenarnya, nggak semudah itu, Nau. Jujur, aku juga merasa berat, tapi..." Dean menggantung sebentar kalimatnya. Setelah menghela napas berat, barulah dia genapkan, "Bagaimanap
"Nau, cepat ganti baju, kita ke kantor polisi sekarang!"Nauna baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Dean tiba-tiba berkata dengan nada terburu-buru. "Ada apa, Mas?" Menanyakan itu, Nauna sambil beranjak menuju lemari, kemudian mengambil sehelai baju ganti dari dalamnya. "Mas Rudy dan Mbak Lusi sudah tiba di kantor pusat. Citra juga ada di sana, kita jemput dia sekarang," sahut Dean sebagaimana adanya. Mendengar ucapannya, sepasang mata Nauna terbuka lebar-lebar. Dia sudah menunggu kabar ini sejak tiga hari yang lalu, tepatnya sejak dia dan Dean pertama kali mendapatkan kabar tentang Rudy dan Lusi yang sudah ditangkap oleh polisi. Tanpa bertanya apa-apa lagi, Nauna bergegas berganti pakaian, kemudian mengambil kerudung dan mengenakannya dengan cepat. "Ayo, Mas!" ajak Nauna sembari menyambar tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dean mengangguk. Setelah meraih kunci mobil di atas nakas, dia dan Nauna segera keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa. "Sudah sejak kapan me
"Ibu, tenanglah!" Viola berkata sembari menyentuh bahu sang ibu sebagai upaya menenangkannya. Meski Viola juga terkejut dengan semua yang dikatakan Dinara, dia masih bisa berpikir dengan jernih. Alih-alih mengusir mantan iparnya itu seperti apa yang dilakukan Jihan, dia justru ingin mendengar penjelasannya lebih banyak lagi. Akan tetapi, Jihan yang begitu emosional, tampaknya tidak mau mendengar apapun lagi. Sepasang matanya menyorot Dinara dengan tajam, kemudian berkata, "Pergilah, Dinara! Jangan katakan omong kosong apapun lagi tentang Jeremy!"Dinara tahu Jihan sedang kalut, karena itu dia sama sekali tidak ambil hati atas sikap dan ucapan wanita itu. Alih-alih angkat kaki seperti apa yang diminta, dia justru tetap duduk di tempatnya. "Bu," katanya dengan nada rendah dan terukur. "Ini nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku dan Mas Jeremy. Semua yang aku katakan ini, semata-mata untuk memberitahu Ibu yang sebenarnya, tentang apa yang sudah dilakukan Mas Jeremy demi mendapat
Setelah meninggalkan kediaman Jihan, Dinara segera mengajak Dean dan Nauna bertemu. Kebetulan, pasangan suami istri itu sedang berada di luar rumah, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kafe, sekalian makan siang bersama. Dinara tiba lebih dulu, sementara Dean dan Nauna datang sekitar sepuluh menit kemudian. Setelah memesan makanan dan minuman masing-masing, mereka tidak berbasa-basi lagi. Dinara segera menceritakan secara detail semua yang dia dengar dari Jihan, tentang persaingan bisnis antara orang tua Dean dan orang tua Jeremy. Mendengar apa yang diceritakan oleh Dinara, Dean dan Nauna tampak terkejut. "Aku sama sekali nggak tahu tentang ini." Dean berkomentar setelah Dinara benar-benar menyelesaikan ceritanya. "Aku nggak pernah mendengar kalau perusahaan Ayah sampai menyebabkan kebangkrutan untuk perusahaan lain. Mungkin karena saat itu aku masih terlalu muda untuk mengetahuinya."Dinara menghela napas. "Sudah kuduga," ucapnya dengan nada rendah nyaris tenggelam. "Ka