"Tasya nggak laper, kok, Juna, tenang aja." Tasya tersenyum madu. "Juna ngomong aja langsung."Kebohongan yang tidak sempurna karena Juna dapat mengetahuinya. Dari gerakannya ia tahu Tasya tengah berdusta. Ia yakin, wanita ini pasti menahan laparnya, setidaknya haus. Ia tak ingin membuat Tasya pingsan nanti setelah mendengar apa yang ingin dikatakannya. "Mending lu pesen dulu, deh, Sya. Minimal minum, gitu. Gue nggak mau lu kelaperan karena nungguin gue." Juna juga tahu, pasti Tasya sudah lama menunggunya. Sepertinya wanita ini mengira mereka akan berbicara masalah hubungan mereka, padahal ia hanya ingin memperingatkannya agar tidak mengganggu wanitanya. Ia tak ingin kejadian seperti sebelas tahun yang lalu terulang. Ia ingin Diva merasa aman di sampingnya, bukan sebaliknya. Kali ini ia akan ekstra hati-hati, mungkin akan menyewa bodyguard untuk mengawal Diva ke mana pun wanitanya pergi, jika ia tidak dapat menemani. Tasya mengangguk. Meskipun semua lapar, haus, dan perasaan lainny
Kantor Arkan Grup adalah tujuan Juna selanjutnya. Ia sudah tahu jika Diva pergi ke sana hari ini untuk bekerja. Benar-benar pembangkang dan bar-bar, Diva tak berubah sama sekali. Padahal ia sudah meminta untuk tidak ke mana-mana apalagi bekerja, dia masih belum aman. Namun, Diva tetap keluar dan melanggar perkataannya. Sepertinya Diva memang ingin dihukum. Baiklah, sepertinya mengurungnya selama seminggu di apartemen dan membuatnya tidak bisa berjalan besok adalah ide yang bagus. Diva perlu diberi pelajaran agar tidak seperti ini lagi. Untuk kedua orang tuanya yang akan pulang beberapa hari lagi, ia bisa mengulur waktu mereka dengan memperlambat negosiasi. Ronny Wijaya sedang berbisnis dengan anak perusahaan dari Dirgantara Enterprise. Jarak antara Diamond Cafe dan Arkan Grup tidak terlalu jauh. Hanya satu jam kurang perjalanan jika ditempuh dengan mobil, dalam keadaan lalu lintas lancar alias tidak macet. Sengaja Juna meluncur sebelum jam istirahat, agar ia tidak terjebak macet. I
Diva memasuki ruangannya yang kemarin sudah dibersihkan oleh petugas cleaning service perusahaan. Dia juga sudah meminta petugas dekorasi dan interior untuk menata ruangannya, dia ingin ruangannya terlihat secantik mungkin agar dia betah dan nyaman selama mengerjakan tugasnya. Aroma segar hutan Pinus bercampur dengan aroma apel langsung memenuhi indra penciumannya. Dia tersenyum, pemilihan aroma penyegar ruangan yang sangat tepat, dia menyukainya. Aroma hutan pinus mengingatkannya dengan wangi parfum Juna, salah satu wangi kesukaannya. Decakan kembali keluar dari mulut Diva, dalam hati memaki kesal. Kenapa dia sendiri yang mengingatnya? Pasti karena aroma ruangan ini. Dia kesal, tetapi juga merasa nyaman pada saat bersamaan. Diva duduk di kursinya, meletakkan tas tangannya di atas meja di bagian kanan. Mejanya tidak terlalu besar, bentuknya segiempat sedikit memanjang. Besok dia akan mulai membawa barang-barang untuk mengisi mejanya agar tidak terlihat kosong seperti lapangan sepak
Jika pria lain akan mengamuk atau meninggalkan ruangan wanita yang sudah menyelingkuhinya dan menutup pintu dengan membantingnya maka Juna sebaliknya. Ia memasuki ruangan Diva dengan tenang, berjalan perlahan, dan senyum yang menghiasi wajah tampannya. "Ju ... Juna, ini nggak kayak yang kamu liat!" Diva mencoba menjelaskan. Dia tak merasa perlu membela diri karena memang tidak bersalah. Meskipun tatapan tajam Juna mengulitinya, dan senyum miring yang membuat wajahnya makin tampan itu terlihat menakutkan, dia tetap berusaha bertahan di atas kedua lutut yang terasa lemas. "Dia Aldi, re ... rekan kerja aku."Juna tak menjawab, sebisa mungkin ia tidak membuka mulut. Ini kantor Arkan, tak akan ia mempermalukan dirinya dengan membuat keributan. Satu lagi, ia sudah berjanji pada Diva dulu, tidak akan menjadi monster lagi. Itulah sebabnya ia tidak melakukan apa-apa, berusaha terlihat baik-baik saja agar tidak menghancurkan lantai tiga gedung ini. Juna menarik napas dalam dan panjang, mengel
Aldi berbalik pada Diva karena Juna tak lagi merespons. Ia berpikir Juna mati kutu, kalah telak karena kata-katanya. Ia mengira Juna berubah pikiran, tidak lagi memaksa Diva untuk berhenti bekerja. Siapa pria ini, berani sekali mengatakan jika Diva berhenti? Itu sama saja dengan menjauhkannya dari wanita yang dicintainya. Ia tidak ingin gagal lagi untuk yang kesekian kali. Apalagi ia belum memulai apa-apa, belum melancarkan serangannya untuk mendekati Diva. Jangan harap bisa membawa Diva jauh darinya, ia tidak akan membiarkan Diva keluar dari perusahaan ini. "Jangan mau dipaksa, Va," kata Aldi lembut. "Kamu harus profesional!" Ia menekan kata-katanya. Berharap Diva mendengarkannya. Namun, ia salah, Diva yang telah selesai dengan semua barangnya justru berdiri di samping Juna, dan kembali memeluk lengannya. "Udah?" tanya Juna. Diva mengangguk. "Udah!" jawabnya. Dia belum membawa apa-apa, hanya beberapa barang saja di dalam tas tangannya. Rencananya besok atau lusa dia akan membawan
Makan malam yang dipesan Juna tak tersentuh. Mereka keburu kenyang setelah menghabiskan satu kotak pizza berukuran sedang, berdua. Pesanan itu datang terlambat, Abang kurir yang mengantarkan terjebak macet sehingga sekotak pizza sudah menjadi penghuni perut mereka, baru makan malam mereka datang. Juna menyimpannya di dalam lemari pendingin, ia akan memanaskannya besok sebagai sarapan mereka. Biarkan saja menu sarapan mereka seperti makan malam, sekali-sekali mereka perlu mencoba sesuatu yang ektrem. "Nggak apa-apa, 'kan, besok kita sarapan makanan tadi?" tanya Juna setelah kembali ke depan Diva. Ia baru saja menyimpan makanan pesanannya. Makanan itu baru saja menghangat, sehingga ia bisa menyimpannya sekarang. "Sayang kalo dibuang, atau kamu mau kita makannya buat besok?""Emang masih enak?" Diva balas bertanya. Sepasang alisnya bertaut. Makanan yang masih tersisa banyak memang sayang untuk dibuang. Jika masih bisa dipanaskan, kenapa tidak? Lebih murah dan menghemat biaya. Terbiasa
Juna mengangguk. Ia memang tidak memiliki bakat melawak, apalagi sepuluh tahun terakhir. Jangankan mengatakan sebuah lelucon, tertawa pun ia hampir tidak pernah, kecuali saat bersama Roma. Astaga, ia sudah melupakan bocah itu! Sudah terlalu lama mereka tidak bertemu, lebih dari dua minggu. Tak pernah mereka tidak bertemu selama ini sebelumnya, biasanya seminggu sekali adalah waktu paling lama. Mungkin nanti ia akan menemui Roma, menjemputnya di sekolah. Namun, tidak besok karena ia masih harus menghukum wanitanya. "Aku, 'kan, bukan badut, Be, wajar nggak lucu." Juna membela diri. "Nggak bilang kalo Juna badut!" Diva makin mengerucutkan bibirnya. Tangannya meraih wajah Juna, kepalanya menggeleng. Entah mendapatkan keberanian dari mana dia sudah duduk di pangkuan prianya, saling berhadapan. "Kamu bukan badut, tapi Arjuna," bisiknya di depan bibir Juna sebelum menjatuhkan bibirnya di atas bibir sexy prianya. Dia terlalu merindukannya, terlalu mencemaskannya, sampai-sampai dadanya te
Satu minggu. Juna benar-benar mengurungnya selama itu. Rasanya sedikit membosankan, tetapi Diva mencoba menekannya. Lagi pula, Juna tidak pernah meninggalkannya, selalu bersamanya di dalam apartemen, tidak pergi ke kantor. Pria itu memilih untuk mengerjakan semua pekerjaan kantornya dari rumah, dan mengirimkannya melalui faksimili kepada Kevin jika sudah selesai. Waktu satu minggu bahkan nyaris tak terasa karena begitu banyak hal yang mereka kerjakan bersama. Tak hanya di tempat tidur, mereka juga memasak bersama, berolahraga bersama. Juna memiliki arena fitness pribadi di apartemennya. Beberapa kegiatan mengingatkannya pada sesuatu, tetapi masih tampak samar, belum jelas sehingga dia tidak bisa mengingat secara keseluruhan. Yang pasti satu hal, tubuhnya mengingat sentuhan Juna. Setiap inchi tubuhnya seolah meneriakkan nama pria itu, membuatnya candu. Ini hari kedelapan, Juna berencana membawanya ke rumah Helen. Tadi malam, dalam sambungan video call, Juna berjanji pada si kecil Ro
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Suasana ruang sidang berubah menjadi kondusif begitu hakim mengetuk palu tiga kali setelah membacakan putusan hukuman untuk Hilda. Wanita itu harus menerima dihukum seumur hidup di dalam penjara atas semua kejahatan yang dilakukannya di masa lalu. Hukuman yang lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati karena terbukti Hilda merencanakan menggugurkan kandungan Diva, atau sama saja dengan pembunuhan berencana. Meskipun Diva selamat, tetapi calon bayinya tidak. Diva juga sempat dinyatakan meninggal oleh dokter sebelum akhirnya koma dan bangun satu tahun kemudian dalam keadaan kehilangan ingatan. Proses hukum Hilda tergolong cepat. Dalam waktu dua minggu semua berkas perkaranya sudah rampung dan langsung diajukan ke pengadilan untuk menjalani sidang. Hanya dua kali sidang hakim sudah memutuskan hukuman untuknya. Tidak ada yang memprotes, meskipun Arsen Dirgantara terlihat menekuk, tetapi pria yang mengenakan setelan berwarna hitam itu hanya diam saja. Di
"Katanya kamu punya bukti yang yang kuat buat jeblosin dia ke penjara seumur hidup. Mana buktinya?" tanya Arsen sambil menyatukan kesepuluh jarinya, menumpukan dagu di atas jari-jarinya itu. Ia juga menumpuk kakinya, kaki kanan di atas kaki kiri.Tanpa bersuara, Juna merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil ponsel, mengutak-atiknya sebentar, kemudian memberikan pada sang Ayah. Arsen menaikkan sebelah alisnya melihat video itu. Berlatar sebuah restoran, seorang wanita berbicara di bawah pengaruh alkohol, terus meracau mengakui semua yang sudah dilakukannya semasa dia masih sekolah dulu guna mendapatkan perhatian pemuda yang dicintainya. Sampai rela melalukan hal paling buruk, meneror kekasih pemuda itu dan mengakibatkannya tewas beserta calon bayi dalam kandungannya. Wajah tampan pria berusia lebih dari setengah abad itu memerah, rahangnya mengeras mendengar wanita itu yang mengaku bahagia saat mengetahui kekasih pemuda itu meninggal dunia berikut calon bayi mereka. Arsen merekam
Diva menarik napas dalam, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan pelan melalui mulut. Dia terus mengulanginya beberapa kali, baru berhenti setelah mobil yang dikendarai Juna memasuki sebuah gerbang dengan daun pintu berwarna hitam keemasan. Mobil berhenti di halaman, tepat di depan undakan. Diva keluar lebih dulu, dia membuka sabuk pengamannya dengan cepat sebelum Juna melakukannya. Halaman rumah ini masih sama seperti sebelas tahun yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Air mancur yang berada di bagian kiri halaman, di tengah sebuah taman mungil. Bunga mawar merah yang merupakan kesukaan nyonya rumah tumbuh dengan subur di taman itu. Sekali lagi Diva menarik napas sebelum menahannya ketika Juna mendekat dan menciumnya dengan panas beberapa saat. Mata bulat Diva membelalak, tangannya terangkat memukul bahu Juna yang dianggapnya tak tahu malu, sementara pria itu justru tertawa kecil menanggapinya. Dengan santainya Juna menarik tangannya memas
Senyum puas tercetak di bibir sexy Juna. Akhirnya, tetapi ini baru awal karena ia tidak akan berhenti sampai Hilda membusuk di penjara. Ponselnya berbunyi, Juna yang ingin mengomentari perkataan Arsyi mengurungkan niatnya. Ia lebih memilih untuk meraih ponsel dari kantong kemeja dan memeriksa siapa yang menghubunginya. Nama ayahnya tercinta tertera di layar. Juna kembali tersenyum, orang yang ditunggunya sudah tiba. Cepat ia menggulir ikon hijau ke kanan, menjawab panggilan itu. "Where are you? Nggak ada di rumah."Ternyata bukan Daddy, tetapi Mommy yang menggunakan ponsel ayahnya untuk menghubunginya. Ataukah ia yang salah membaca nama si penelepon? Alis Juna mengernyit, ia menjauhkan ponsel dari telinga guna memeriksa. Benar, ini nama ayahnya. Berarti benar Mommy yang menggunakan ponsel Daddy."Juna di rumah Helen, Mom!" sahut Juna sambil berdiri, melangkah keluar ruang kerja Arsyi yang sedikit lebih sesak dari terakhir mereka berkumpul. "Meriksa bukti video sekali lagi. Kevin udah
Suara dari layar lebar berukuran satu kali setengah meter terdengar mendominasi di ruang kerja Arsyi. Sementara tujuh pasang mata menatap nyaris tak berkedip pada layar yang menampilkan adegan berlatar belakang sebuah restoran mewah. Seorang wanita cantik terus meracau dengan kata-kata yang masih bisa ditangkap dengan jelas arti dan maksudnya. Wanita itu berada di bawah pengaruh alkohol sehingga semua hal yang disembunyikannya rapat-rapat, terbongkar oleh mulutnya sendiri. Tayangan berdurasi hampir satu jam itu berasal dari ponsel Juna yang dialihkan ke mesin proyektor. Tadi malam Kevin sudah menyalinnya ke dalam mikro film dan disket. Rencananya mereka akan memberikan disket kepada pihak berwajib sebagai bukti kejahatan yang sudah dilakukan oleh wanita di dalam layar tadi. "Kalo boleh gue jujur, sebenarnya gue agak kaget dia yang ngelakuin semuanya," komentar Nora setelah tayangan berakhir. "Gue emang nggak kenal sama dia, tapi selama yang gue liat dia cewek baik-baik. Maksudnya, p
Baiklah. Segala sesuatu memang bisa terjadi. Siapa pun orangnya bisa melakukan semua itu, tetapi untuk Hilda merupakan sebuah pengecualian. Ia memang tidak mengenalnya secara dekat, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin. Sungguh, jika Kevin tidak melihat dan mendengar dengan mata dan kepala sendiri, ia tidak akan memercayainya. Video berdurasi lebih dari tiga puluh menit itu diambil baru beberapa jam yang lalu. "Kayaknya sekarang dia masih belum sadar, masih pingsan di restoran tempat kita makan siang tadi." Kevin menatap Juna, meneguk ludah kasar melihat ekspresi tak terbaca di wajahnya. Mata karamel Juna memerah, tanda jika dia sedang menahan amarah. "Lu pasti juga nggak nyangka, 'kan, Vin, kalo yang kita cari selama ini adalah dia?" tanya Juna dengan gigi bergemeletuk. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis selembut Hilda bisa melakukan hal keji seperti itu, bahkan tanpa perasaan mengaku senang atas kabar meninggalnya Diva bersama bayinya. Hilda benar-benar seorang psikop