Tubuh yang bergelung dalam selimut tebalnya itu menggeliat. Mata indahnya perlahan terbuka, mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sempurna. Diva menutup mulutnya yang menguap kemudian menyingkap selimut sampai sebatas pinggang. Dengan malas Diva duduk, dia masih mengantuk. Meskipun demikian dia tetap menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang kaku setelah tidur semalaman. Dua bulan terakhir ini –sejak kepulangannya ke tanah air– tidurnya selalu nyenyak. Meskipun mimpi tentang pria itu tetap hadir, tapi setelah terbangun dia akan kembali tidur dan bangun pagi harinya. Sepertinya pilihannya untuk pulang sangat tepat, dia dapat melalui malamnya dengan berkelana ke alam mimpi seperti dulu. Dia benar, 'kan? Dia selalu tidur nyenyak, 'kan, sebelum-sebelumnya? Maksudnya, sebelum dia kehilangan ingatan. Entah apa yang terjadi sebelum itu, sepertinya sangat buruk sehingga kedua orang tuanya seolah enggan dia mengingat lagi. Sepertinya mereka lebih suka dia sekarang ini. Namun, dia tidak meny
"Jadi, kita deal, ya, Jun?"Juna menjawab pertanyaan Arkan Wijaya dengan anggukan. Ia menyetujui kesepakatan yang ditawarkan pria itu. Sama seperti Ronny Wijaya, Papa Diva yang juga pamannya Arkan, yang sudah bekerjasama terlebih dahulu dengan perusahannya, Arkan juga menawarkan kerjasama. Ia meminta kucuran dana, dan menjanjikan keuntungan yang memadai. Tidak ada yang rugi dalam kerjasama ini, ia langsung menyetujuinya setelah Kevin selesai mempelajari surat rekomendasi dan pengajuan kerjasama dari Arkan. Bukan karena Arkan adalah sepupu almarhumah Diva sehingga ia mau bekerjasama dengannya, melainkan karena memang kerjasama mereka sangat menguntungkan. Jadi, semua ini murni karena bisnis semata. Ia datang pagi-pagi hari ini karena ada meeting penting annya pada jam makan siang nanti. Untung saja Arkan sudah berada di ruangannya saat ia tiba karena ia tak ingin menunggu. Yang seharusnya ditunggu adalah dirinya sebagai penanam modal, bukan si pemohon yang membutuhkan bantuan. Bukanny
Diva melangkah memasuki lift, bersamaan dengan dua orang pria yang keluar dari lift di sebelahnya. Sebelum pintu lift yang dimasukinya tertutup, Diva masih sempat melihat kelebatan mereka, juga mendengar suara mereka yang tengah asyik mengobrol.. Diva tertegun, suara itu seolah tak asing, rasanya begitu familiar di telinganya. Dia memang tidak menangkap pembicaraan mereka, hanya mendengarkan suaranya, dan Diva yakin pernah mendengar suara itu. Namun, di mana pernah mendengarnya, dia lupa. Diva memukul-mukul pelan dahinya dengan kepalan tangan, baru berhenti setelah lift yang ditumpanginya terbuka, dia sudah tiba di lantai teratas gedung di mana ruangan Arkan berada. Hari ini dia akan membuat perhitungan dengan Arkan. Persetan dengan wawancara kerjanya, dia dapat melakukannya di lain waktu. Arkan tidak mungkin tidak menerimanya. Lagipula, sepupunya yang menyebalkan itu memerlukan bantuannya untuk kembali menstabilkan perusahaannya yang sedang dilanda sedikit guncangan. Arkan tak hanya
"Lu kenapa, sih, Jun? Dari tadi gue perhatiin kayak gelisah banget gitu." Kevin mengerutkan alisnya. "Lu nyesal udah setuju kerjasama sama Arkan?" Juna menggeleng, mengempaskan tubuhnya di kursi kebesarannya. Mereka baru tiba di kantor dan memasuki ruangannya. Pertanyaan Kevin tidak salah, dia benar. Juna mengakuinya, ia memang gelisah. Namun, Kevin salah jika menebak Arkan yang menyebabkannya gelisah. Bukan Arkan, melainkan sepupunya yang sudah meninggal. Juna khawatir ia akan mengulangi tidur di malam Diva lagi jika terus seperti ini. Tadi itu rasanya benar-benar nyata, Diva memanggilnya. Memanggil namanya dengan suaranya yang sedikit lebih besar, suara Diva versi dewasa. Ingin Juna menceritakannya pada Kevin, tapi tak mungkin Kevin percaya karena sepertinya hanya dirinya yang mendengarnya. Oleh sebab itu, ia memilih diam dan gelisah sendirian. "Nggak apa-apa, kok, Vin. Gue cuman capek doang kayaknya." Juna mendongak, memejamkan matanya. "Pagi-pagi lu udah capek aja, Bos. Kayak y
Sesi wawancara berakhir, Diva segera menemui Arkan di ruangan pria itu. Ternyata tak sesulit yang dia bayangkan. Dengan pengalaman tiga tahun bekerja di salah satu perusahaan ternama di dunia, menjawab pertanyaan dari suara yang ditugaskan Arkan untuk mewawancarainya, cukup mudah. Sekarang tinggal menemui Arkan dan bertanya tentang pria kemarin yang kemungkinan besar bernama Juna. Dia yakin pria itu baru saja bertemu dengan Arkan. Dia juga yakin pria itu ada hubungannya dengan masa lalunya. "Mau ke mana lu?" Pertanyaan itu menghentikan gerakan tangan Diva yang hendak memutar handle pintu berwarna keemasan. Tangannya mengambang, mulut berdecak. Dia memutar leher ke arah kirinya di mana wanita sok cantik itu berdiri dengan berkacak pinggang menantang. "Nggak ada yang boleh masuk ke ruangan Pak Arkan kecuali udah buat janji sebelumnya!"Diva mendelik. Emosinya tersulut. Dia yang sudah kurang tidur tadi malam gara-gara kembali bermimpi tentang pria yang selalu memanggilnya dengan pangg
Ini buruk, sangat buruk. Sudah sejak beberapa menit yang lalu dia mencoba mengingatnya, tapi tak bisa. Tak ada satu potong pun ingatan tentang Juna yang tersimpan di memori otaknya. Dia sudah melupakan semuanya. Diva mengepal kuat, napasnya memburu, dada naik turun dengan cepat. Bulir-bulir air mata semakin deras, tak bisa berhenti sejak dia keluar dari ruangan Arkan. Persetan dengan orang-orang yang berlalu-lalang dan tatapan mereka yang beraneka ragam. Dia hanya ingin meluapkan perasaannya. Keluar dari ruangan Arkan, Diva tidak langsung pulang. Dia memilih mengikuti kakinya membawanya ke mana. Taman kota bukan tempat yang buruk untuk menyendiri. Meskipun ramai, tapi mereka mempunyai kesibukan masing-masing. Tak ada yang peduli dengan wanita yang menangis, mereka pasti berpikir jika si wanita baru saja putus cinta atau memiliki masalah lainnya. Orang-orang itu menatapnya. tapi mereka hanya membiarkannya saja. Diva bersyukur ibu kota secuek kota besar lainnya di dunia. Dia bisa 'bers
Juna menggeleng beberapa kali, mengerjap-ngerjapkan mata untuk memastikan penglihatannya tidak bermasalah. Wanita yang berdiri di depannya adalah Diva. Astaga!"Be, ini beneran kamu?" Gemetar tangan Juna menyentuh pipi yang dipenuhi air mata. Pipi itu hangat, tidak sedingin seperti kondisi seseorang yang sudah meninggal. Hanya air nata yang membuatnya terasa dingin. Apakah ia bermimpi? Namun, kenapa mimpinya kali ini terasa nyata? Ia dapat menyentuh Diva, dapat mencium aromanya yang khas –wangi susu. "Juna." Dada Diva terasa mau meledak setiap kali dia menyebutkan nana itu. Benar, ini adalah pria di dalam mimpinya. Meskipun dia tidak mengingatnya, tapi ia hafal dengan suaranya, juga panggilan khas yang biasanya didengarnya di dalam mimpi. "Kamu Juna?" Juna mengangguk. Tersenyum geli mendengar pertanyaan itu. Ia masih menganggap ini semua adalah mimpi, tidak nyata. Diva pasti kasihan melihatnya sendirian di taman ini sehingga turun dari atas sana untuk menemaninya. Diva versi dewasa
Suasana taman tiba-tiba menjadi sepi, seolah hanya ada mereka berdua saja di sana, sementara yang lainnya seakan menghilang. Sista embusan angin dan suara bising kendaraan di jalan raya pun tak tertangkap oleh indra pendengaran Diva. Kedua telinganya seolah tuli dengan suara-suara yang berasal dari luar, tertutup oleh segala macam pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya yang disebabkan oleh perkataan Juna. Dia sudah meninggal sebelas tahun yang lalu? Astaga! Bagaimana bisa? Siapa yang memberitahunya seperti itu? Siapa yang mengatakan itu? Dia belum mati, masih hidup. "Kamu, 'kan, udah meninggal, Be. Gimana kamu bisa di sini?" Tak hanya Juna yang mengucurkan air mata, bulir-bulir bening juga meluncur di pipi mulus Diva. Kepalanya menggeleng, menyangkal semua yang dikatakan Juna. "Be, ini ...." Juna tidak meneruskan kalimatnya. Ia kesusahan mencari kosakata yang tepat untuk menggambarkan kebingungannya saat ini. "Aku masih hidup, Juna. Aku belum mati." Diva makin terisak. Tida